MENURUT Babad Tanah Jawi
pendiri Majapahit adalah Jaka Sesuruh. Prasasti Kudadu 11 September 1294M
menyebut sebagai Nararya Sanggramawijaya. Pararaton menulis raden Wijaya.
Negarakertagama menyebut dyah Wijaya. Empat sumber ini sebenarnya menunjuk satu
tokoh bernama asli Wijaya, putra sang Perwira Yudha dyah Lembu Tal.
Yang menarik penyebutan
Wijaya sebagai Jaka Sesuruh. Ini tanda yang harus diterjemahkan. Jaka artinya
pemuda. ‘Sesuruh’ artinya tempat atau daerah yang banyak tumbuhan ‘suruh’ atau
sirih. ‘Suruh’ bukan berarti ‘perintah’. Ini kata Jawa untuk daun sirih. Jaka
Sesuruh dapat dimaknai pemuda yang lahir dari daerah —entah gunung, bukit atau
tempat lain— yang banyak ditumbuhi tanaman suruh. Meski ada beberapa daerah
mengandung nama ‘suruh’, tetapi yang lebih mantap adalah tempat di Brang Kidul.
Di selatan sungai Brantas
terdapat daerah bernama Suruhwadang. Setelah wafat, Jaka Sesuruh atau raden Wijaya
selain di Antapura, juga didharmakan di Simping, desa Sumberjati, kecamatan
Suruhwadang, Blitar —jaman Majapahit dan era sebelumnya, daerah ini belum masuk
Blitar. Blitar di utara sungai Brantas. Daerah Suruhwadang merupakan tempat
kelahiran Nararya Sanggramawijaya. Karena itu pengarang babad Tanah Jawi
menulis sebagai Jaka Sesuruh. Mengapa raden Wijaya harus jauh-jauh didharmakan
di selatan Brantas, sekarang mendapat jawaban. Semasih hidup, pendiri Majapahit
ini menginginkan didharmakan di tanah asal. Sudah menjadi tradisi sejak lama
jika seseorang sedapat mungkin dimakamkan di tempat kelahirannya, menyatu
dengan tanah leluhur.
GIRINDRA : Pararaja Tumapel-Majapahit karya Siwi Sang |
Babad tanah Jawi menulis
semua raja Majapahit setelah Jaka Sesuruh bergelar Brawijaya. Serat Kandha
menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya[i],
putra prabhu Mertawijaya atau Damarwulan dan ratu Kencanawungu. Meski nama-nama
itu tetap tidak sesuai dengan sumber sejarah seperti prasasti, Negarakertagama,
juga Pararaton, adanya unsur nama ‘Wijaya’, menunjukkan pengarang Babad
mengerti nama asli pendiri Majapahit yaitu Wijaya atau Sanggramawijaya.
Penamaan raja Majapahit
Brawijaya dalam tradisi sastra Jawa seperti penamaan raja Pakuan Pajajaran
Prabu Siliwangi dalam tradisi sastra Sunda. Keduanya bukan nama asli, hanya
ungkapan atau tanda.
Dalam buku Sejarah Bogor
Bagian I, Saleh Danasasmita bilang, nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak
630 sebagai lakon pantun, ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup.
Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini
menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga
mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana, kakeknya, alias
Prabu Wangi. Menurut pandangan para pujangga Sunda, dalam tradisi lama, orang
segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun
memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur
Sunda.
Wangsakerta mengungkapkan
bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang
sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka
dudu ngaran swaraga nira.
Artinya:
Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua
orang Jawabarat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu
bukan nama pribadi.
Waktu muda Sri Baduga
terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah
mengalahkan ratu Japura atau Amuk Murugul waktu bersaing memperebutkan
Subanglarang, istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam.
Dalam berbagai hal, orang
sejamannya teringat kebesaran mendiang buyutnya, Prabu Maharaja Lingga Buana,
yang gugur di Bubat dan digelari Prabu Wangi. Tentang hal ini, Pustaka
Rajyarajya Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga
sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Terjemahan
naskahnya berisi sebagai berikut:
Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan
musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir
berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani
menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang
jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur
tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup
rakyatnya di seluruh bumi Jawabarat. Kemashurannya sampai kepada beberapa
negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran
sang Prabu Maharaja membangkitkan rasa bangga kepada keluarga, menteri-menteri
kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawabarat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja
mewangi. Selanjutnya ia disebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut
dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda.
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan
di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta penanggung jawab penyusunan
Sejarah Nusantara menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja
Linggabuana yang gugur di bubat, sedangkan penggantinya, “silih”nya, bukan Sri Baduga
melainkan Wastu Kancana, kakek Sri Baduga, menurut naskah Wastu Kancana disebut
juga Prabu Wangisutah. Orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga
menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana, Prabu Anggalarang.
Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan Niskala Wastu Kancana adalah “seuweu”
Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala, ayah Sri Baduga, dilewat. Ini disebabkan
Dewa Niskala hanya menjadi penguasan Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga
memang penerus “langsung” Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya Bhumi
Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga, Dewa Niskala dan Susuktunggal,
hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja, sama seperti
kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh. Dengan demikian, seperti
diutarakan Amir Sutaarga, 1965, Sri Baduga dianggap sebagai “silih” atau
pengganti Prabu Wangi Wastu Kancana, oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu
Wangisutah. “Silih” dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad
ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga
Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.[ii]
Pemaparan ini untuk
membuktikan betapa karya sastra Jawa, baik Kejawen maupun Kesunden, penuh
bahasa simbol dan tanda-tanda. Bertolak dari pemahaman tersebut, dapat
disimpulkan bahwa ternyata nama Brawijaya bukanlah nama khayal, tokohnya
benar-benar ada. Brawijaya adalah gelar raja Majapahit keturunan Wijaya,
berdasarkan tradisi sastra Jawa, bukan gelar resmi kerajaan atau abhiseka.
Karenanya nama Brawijaya tidak pernah termuat dalam sumber sejarah seperti
prasasti jaman Majapahit, naskah Negarakertagama, juga Pararaton.
Sememangnya tradisi sastra
Jawa layak menyebut Jayanegara, Hayam Wuruk, Aji Wikramawardhana, Aji
Ratnapangkaja, Kertawijaya, sebagai prabu Brawijaya, karena termasuk raja Majapahit
keturunan Wijaya.
Brawijaya V atau Brawijaya
‘terakhir’ dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha, sama-sama diberitakan wafat
pada tahun 1478M akibat serbuan salah satu putranya, raden Patah. Meski dua
Babad ini kacau menerangkan krononogis dan silsilah pararaja Majapahit, tetapi ada tanda masuk akal atau mengandung
kebenaran, yaitu pemberitaan Serat Kandha yang menyebut Brawijaya —maksudnya
Brawijaya V— sebagai putra pasangan Damarwulan dan Kencanawungu. Pasangan ini
adalah Aji Wikramawardhana dan Kusumawardhani.[iii]
Keturunan Aji Wikramawardhana dan Kusumawardhani yang menjadi raja Majapahit
adalah Sri Suhita dan sang pamungsu, Wijaya Parakrama Wardhana dyah Kertawijaya,
bertahta 1447M-1451M. Berdasarkan urutan raja Majapahit setelah raden Wijaya,
Kertawijaya menempati urutan 5. Dengan demikian boleh dibilang Kertawijaya
sebagai Brawijaya V.
Agus Sunyoto
mengidentifikasi Prabhu Brawijaya V sebagai Sri Prabhu Kertawijaya, maharaja
Majapahit yang pertama menaruh perhatian besar kepada perkembangan Islam. Hal
itu terjadi, masih menurut Agus Sunyoto, karena selain memiliki kawan-kawan dan
kerabat serta pembantu beragama Islam, dua istrinya dari Campa dan Cina adalah
muslimah. Berdasarkan sumber seperti Babad Ponorogo, Babad ing Gresik, Babad
Pengging, Serat Kandha, dan naskah-naskah berisi silsilah keturunan Prabhu
Brawijaya V atau Kertawijaya seperti Tedhak Dermayudan, Tedhak Pusponegaran,
Pustaka Dharah Agung, Silsilah Jayalelana, Serat Dharah, Layang Kekancingan,
diketahui Prabhu Kertawijaya atau Brawijaya V memiliki sejumlah putra beragama
Islam, seperti arya Damar adipati Palembang, raden Arak-kali Bhatara Katwang
adipati Ponorogo, arya Lembu Peteng adipati Pamadegan, arya Menak Koncar
adipati Lumajang, raden Patah adipati Demak, raden Bondan Kejawen Kiyai Ageng
Tarub II, raden Dhandhum Wangsaprana atau
Syeh Belabelu.[iv]
Brawijaya V Kertawijaya
sebagai ayah raden Patah memang cocok.[v]
Tapi tidak cocok sebagai ayah arya Damar. Catatan Tiongkok dari kelenteng Sam
Po Kong Semarang menyebut arya Damar putra Hyang Wisesa. Dalam sejarah
Majapahit, berdasarkan Pararaton, ada dua raja yang menggunakan unsur nama
‘Wisesa’, yaitu Hyang Wisesa Aji Wikramawardhana dan Hyang Purwa Wisesa
Girisawardhana dyah Suryawikrama. Gelar Hyang Wisesa dan Hyang Purwawisesa
merupakan gelar anumerta[vi].
Tentunya pemberitaan Tiongkok menunjuk kepada Wikramawardhana. Dengan kata lain
arya Damar putra Wikramawardhana. Jadi arya Damar keturunan Brawijaya, tetapi
Brawijaya III Wikramawardhana yang menjadi raja mulai 1389M-1427M.[vii]
Setelah ayahnya
teridentifikasi, kini siapa yang cocok sebagai ibu arya Damar? Berdasarkan
penafsiran Pararaton, sangat mungkin ibu arya Damar istri kedua
Wikramawardhana, yaitu ratu Mataram II, keturunan Brhe Wirabhumi Aji Rajanatha.[viii]
Pararaton mengabarkan Brhe Mataram II, istri kedua Wikramawardhana, wafat tahun
1415M. Jika dihubungkan dengan berita Babad, sangat mungkin Brhe Mataram wafat
setelah melahirkan arya Damar. Itulah mengapa Babad Tanah Jawi menyebut Ki
Dilah atau arya Damar kemudian diasuh uwaknya, Ki Kumbarawa. Tampilnya Ki
Kumbarawa mengisyaratkan ketika bayi, arya Damar ditinggal wafat ibu
kandungnya. Babad Tanah Jawi menyebut Ki Dilah putra prabhu Brawijaya dari
putri denawa bernama Endang Sasmitapuri, yang sewaktu hamil, istri raja Majapahit
itu diusir dari keraton, sampai akhirnya Ki Dilah lahir di hutan bernama
Wanasalam di selatan ibukota. Ki Dilah diasuh uwaknya, Ki Kumbarawa.
Jadi hubungan Brawijaya V
Kertawijaya dan arya Damar adalah saudara seayah beda ibu. Kertawijaya putra
keempat Wikramawardhana dari permaisuri Kusumawardhani, sementara arya Damar
putra sulung Wikramawardhana dari Brhe Mataram II. Dibanding Kertawijaya, arya Damar
lebih muda sekitar 25 tahun, lahir sekitar tahun 1415M, atau beberapa bulan
sebelum ibunya wafat.
Sementara hubungan Brawijaya
V Kertawijaya dengan raden Patah, sangat mungkin dari ratu Champa. Di Trowulan
terdapat makam Islam berangka tahun 1448M yang diyakini makam ratu Champa[ix]
yang menjadi permaisuri prabu Brawijaya. Sementara berdasarkan prasasti
Waringin Pitu, 1447M, Kertawijaya hanya punya satu permaisuri yaitu ratu Daha
VI Jayawardhani dyah Jayeswari. Dengan demikian dapat disimpulkan, jika benar
ratu Champa istri prabhu Brawijaya V Kertawijaya, tentu yang dimaksud istri selir, bukan
permaisuri.
Sebagaimana arya Damar,
hubungan raden Patah dengan raja Majapahit Brawijaya V tidak tercatat dalam
prasasti, hanya dalam berita Babad dan sumber berita Tiongkok. Ini menguatkan
dugaan ibu raden Patah memang istri selir Brawijaya V Kertawijaya. Jika ibunya
seorang permaisuri, tentu nama raden Patah tercantum dalam prasasti yang
dikeluarkan raja Kertawijaya pada tahun 1447M.
Dari berbagai pemberitaan[x],
dapat disimpulkan raden Patah memiliki hubungan darah dengan raja Majapahit,
memiliki ibu beragama Islam, memiliki hubungan dengan arya Damar dan terakhir
memiliki hubungan dengan raden Rahmat atau Sunan Ampel. Pemberitaan itu dapat
dicari benang merahnya, bahwa setelah ratu Champa wafat pada tahun 1448M, raden
Patah diasuh sang paman, arya Damar, dibawa ke Palembang sampai menjelang
dewasa. Upaya ini sangat mungkin berkat campur tangan raden Rahmat, keponakan
ratu Champa. Di sini sangat wajar jika kelak raden Patah memiliki hubungan
khusus dengan raden Rahmat Sunan Ampel. Meski usianya terpaut jauh, raden Patah
termasuk adik sepupu raden Rahmat. Diperkirakan raden Patah lahir antara
1444M-1448M atau sudah lahir sebelum ratu Champa wafat.
Selama ini banyak sejarawan
menggunakan sumber berita Babad Tanah Jawi dan naskah dari kelenteng Sam Po
Kong Semarang
yang menyebut raden Patah putra raja Majapahit Brawijaya V dari permaisuri
penganut Islam asal Tiongkok yang dibuang ke Palembang.[xii]
Prabhu Brawijaya terpaksa membuang permaisuri asal Tiongkok itu lantaran lebih
menyayangi ratu Champa. Diberitakan, ketika itu putri Tiongkok dalam keadaan
hamil tua. Setelah melahirkan raden Patah, bekas permaisuri Brawijaya itu
menikah dengan arya Damar. Berita Babad Tanah Jawi ini jelas bertentangan
dengan sumber sejarah prasasti Waringin Pitu, 1447M.
Lepas dari tumpang tindih
kekacauan serta tercampuri mitos legenda ketika meriwayatkan sejarah pararaja
Majapahit, Babad Tanah Jawi tetap mengandung berita sejarah penting, asal
pembacaannya dilakukan cermat, arif[xiii],
serta memahami wataknya sebagai karya sastra Jawa yang selalu menggunakan
pralambang, banyak makna siningit atau tersirat, penuh dengan tanda-tanda.
Istilah Brawijaya sebagai
raja Majapahit keturunan Wijaya, ternyata sudah dikenal jauh sebelum penulisan
Babad Tanah Jawi. Ini kuat dugaan karena nama Brawijaya awalnya berkembang
dalam tradisi sastra lisan atau cerita tutur. Ketika pada waktu itu ditanya
siapa raja Majapahit, orang Jawa tentu bilang: Brawijaya. Berdasarkan catatan
Tome Pires, pengembara Portugis yang datang ke Jawatimur pada 1513M dan berdiam
di Malaka, 1512M-1515M, menulis kisah perjalanannya dalam buku Suma Oriental
atau Catatan Dunia Timur. Tome Pires bilang, raja Jawa saat itu adalah Batara
Vigiaya, dan raja sebelumnya adalah Batara Mataram yang menggantikan ayahnya,
Batara Sinagara. Kata Tome Pires, keterangan ini diperoleh dari Pate Vira atau
Patih Wira, penguasa Tuban beragama Islam tetapi sangat setia pada Batara
Vigiaya Majapahit. Tome Pires mengatakan Batara Vigiaya bertahta di Dayo atau
Daha. Menurut Tome Pires, Batara Vigiaya cuma raja simbol, kekuasaan diatur
sang mertua, Guste Pate Amdura. Guste Pate Amdura merupakan terjemahan untuk Gusti Patih
Amangkubumi Udara atau mahapatih Majapahit Mahodra, putra mahapatih Wahan.
Sementara yang dimaksud Batara Vigiaya adalah Batara atau baginda Wijaya atau
Brawijaya. Berdasarkan prasasti Jiyu 1486M, yang menjadi raja Majapahit adalah
Girindrawardhana dyah Ranawijaya, putra bungsu Rajasawardhana dyah Wijayakumara.
Dyah Ranawijaya keturunan keenam raden Wijaya dan Rajapatni dyah Gayatri.
Karenanya dapat dikatakan sebagai Brawijaya. Tokoh inilah yang dimaksud Tome
Pires sebagai Batara Vigiaya. Ranawijaya yang pernah menjadi Brhe Kertabhumi
ini pantas disebut Brawijaya Pamungkas.
===============
SIWI SANG
Sumber catatan: Bab Tiga Hal. 119-129. buku Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit karya Siwi Sang terbitan Pena Ananda Indie Publishing Tulungagung, Desember 2013
[i]Angkawijaya identik dengan Kertawijaya, raja Majapahit
yang bertahta pada 1447M-1451M.
[ii]
http://pasundan.homestead.com/files/sejarah/b22.html#wastukancana
[iii] Damarwulan dan Kencanawungu bukan Ratnapangkaja dan
Suhita karena pasangan ini tidak memiliki keturunan.
[iv] Dalam Serat Dharah, Prabu Brawijaya ditulis memiliki
anak sejumlah 117 dari banyak istri. Ini perlu dicek ulang.
[v] Pada silsilah di pemakaman ratu Kalinyamat di Jepara,
nama Kertawijaya tercatat sebagai ayah raden Patah.
[vi] Gelar anumerta adalah gelar untuk tokoh yang sudah
wafat.
[vii] Wikramawardhana sempat mundur dari keraton tapi
kembali lagi dan memerintah bersama permaisurinya, Kusumawardhani.
[viii] Maka pantas jika kelak, Ratnapangkaja mengutus arya Damar
memadamkan pemberontakan raden Gajah pada 1433M. Arya Damar adalah cucu Brhe
Wirabhumi II Aji Rajanatha. Ratnapangkaja tentu bilang kepada arya Damar bahwa
ketika pecah perang Regreg, kakeknya, Brhe Wirabhumi II, dipenggal kepalanya
oleh Batara Narapati raden Gajah. Tampilnya arya Damar dalam penumpasan
Blambangan Wirabhumi pada 1433M, menguatkan kesimpulan bahwa ibunya adalah ratu
Mataram III dyah Aniswari.
[ix] Menurut kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong,
Semarang, putri Campa yang dimakamkan di Trowulan bukan istri raja Majapahit,
melainkan istri Ma Hong Fu, duta besar Tiongkok untuk Jawa yang datang ke
Majapahit pada masa pemerintahan Suhita.
[x] Menurut kitab Walisana
karya Sunan Giri II, raden Fatah lahir di Palembang dari ibunya bernama Dewi Ni
Endang Sasmitapuri dari Campa, prameswari Prabu Brawijaya I, uwak ipar raden Rahmat.
Raden Fatah lahir ketika raden Rahmat datang ke Majapahit dan sempat singgah di
Palembang. Kelahiran raden Fatah terjadi sekitar tahun 1447-1451M atau pada
masa Brawijayaberkuasa.(Widji Saksono 1995). Menurut Babad Tanah Jawi raden Fatah
putra Prabu Brawijaya dari isteri selir asal Cina, lahir di Palembang. Dari ibu
yang sama dan ayah lain, lahir Husein. Atas perintah ayahnya arya Damar,
keduanya disuruh pergi ke Jawa, raden Fatah ke Ampel belajar ilmu agama kepada
Sunan Ampel dan Husein mengabdi ke Majapahit. Kisah ini agak janggal. Mengapa
raden Fatah yang putra raja justru tidak ke Majapahit sementara yang ke
Majapahit adalah Husein. Setelah cukup ilmu, raden Fatah diperintah Sunan Ampel
membuka Glagah Wangi sebagai pemukiman Islam sekaligus pesantren. Pada waktu
itu Glagah Wangi terletak di tepi sungai Tuntang yang lebar dan dalam,
perahu-perahu besar dari pantai mampu berlayar di sungai ini.
[xii] Dalam Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi dikisahkan Jim
Bun alias raden Patah, anak Kertabhumi dari selirnya yaitu seorang putri
Tiongkok yang menganut agama Islam, menolak menggantikan arya Damar menjadi
bupati Palembang. Ia pergi ke Jawa ditemani raden Kusen. Sesampainya di Jawa,
keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke
Majapahit, sedangkan raden Patah pindah ke Jawatengah membuka hutan Glagahwangi
menjadi sebuah pesantren. Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Raja Brawijaya
di Majapahit khawatir kalau raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang
sudah menjadi Adipati Terung diperintah memanggil raden Patah.
[xiii] Babad Tanah Jawi sememangnya harus dibaca secara arif.
Dalam tradisi penulisan sastra Jawa, ia banyak dianggap sebagai penulisan
sejarah resmi atau dijadikan babon penulisan babad lokal. Sementara
sesungguhnya karya sastra ini banyak disusupi paham kolonial Belanda yang
tujuan utamanya menghantam pihak tertentu melalui sastra, supaya politik devide et Impera kolonial berjalan
sukses. Contoh sepele tapi menggelitik disampaikan Suripan Sadi Hutomo dalam
buku Apa Kabar Sastra, terbitan DKJT, 2002. Dalam artikel berjudul Sastra Daerah
dan Penulisan Sejarah Lokal, Suripan membandingkan penulisan Babad Tanah Jawi
dan Babad Demak Pesisiran. Dalam episode raja Brawijaya dan kisah bersama putri
Wandhan, Babad Tanah Jawi menceritakan raja Brawijaya sakit ‘rajasinga’ atau
sakit kelamin, sementara Babad Demak Pesisiran menceritakan lain, yaitu ‘sakit
lumpuh’. Memang sakit rajasinga dapat menyebabkan kelumpuhan, tetapi dari sudut
penggunaan kata-kata, kata ‘rajasinga’ dan kata ‘lumpuh’ dalam sastra Jawa
memiliki rasa bahasa berbeda yang dapat melahirkan tafsir yang berbeda pula.
Penggunaan kata rajasinga dipandang lebih kasar daripada kata lumpuh. Suripan
bertanya, mengapa penulis Babad Demak Pesisiran lebih suka menggunakan kata
lumpuh ketimbang rajasinga, sementara penulis babad ini orang Islam?
Semestinya, apabila ia menganggap Majapahit sebagai musuh, tentulah menggunakan
kata yang justru lebih kasar lagi, tetapi mengapa justru kata yang kasar itu
digunakan penulis Babad Tanah Jawi yang berasal dari Jawatengah (Mataram)?
Inilah dua kutipan yang dibicarakan Suripan. Babad Tanah Jawi jilid II, 1939,
hal 42 pupuh Dhandanggula: Sri narendra
luwaran tinangkil, pan tumama sireng ngabyantara, widigdeng nata prabhune,
sigra sira macundhuk, lawan putri ing Darawathi, tan kawarnaha sira, akororon
lutut, warnanen manke sang nata, gerah sanget raja singa narpati, alama tan
sinebe. Babad Demak Pasisiran, aksara Arab pegon, tembang Macapat: Kuneng wau carita sang putri, ingkang wonten
negara Palembang, saking Cina pinangkane, kocap malih sang Prabu, berawijaya
ing Majapahit, kalangkung susah manahnya, dene sakit lumpuh, ujare wesi
bujangga, Berawijaya yen tanna ngangge Wandhan Kuning, sakite tan bisa wulya.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletemas Dawud. maaf. komentar yang mana ya? silakan jika ingin mengulang komentarnya.
ReplyDelete