Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Breaking News

    Friday, July 11, 2014

    Polemiki Sejarah Tulungagung Dan Trenggalek





    Perbedaan pendapat dan penafsiran dalam suatu penulisan sejarah itu wajar dan hampir semua kajian sejarah terjadi demikian. Saya sudah terang menulis dalam pengantar buku sejarah Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit terbitan Pena Ananda Indie Publishing, Desember 2013, bahwa dalam sejarah tidak ada tanda titik, masih berkemungkinan muncul penafsiran-penafsiran baru, seturut perkembangan ilmu sejarah atau penemuan-penemuan sumber terbaru. 


    Dalam menafsirkan sejarah terutama dalam hal ini sejarah Tulungagung, saya membuka pintu adanya penafsiran ulang. Dan karena menurut saya tafsir sejarah Tanah Tulungagung adalah hasil pekerjaan ilmiah, maka untuk membedahnya dan mengritisinya juga harus melalui pisau anailsa ilmiah bukannya subyektif emosional sebagaimana terbaca dari artikel sanggahan Teguh Budiharso yang sudah cukup tersinggung lantaran Trenggalek sudah saya singgung dalam sejarah Tanah Tulungagung. Yang saya baca dan cermati ternyata Teguh Budiharso dalam blog pribadinya, budiharsoteguh.blogspot.com, salah tafsir atau salah tangkap dengan menyatakan bahwa antaralain saya telah menulis jika Trenggalek adalah hasil pemberian Tulungagung. Padahal tidak.  

    Saya hanya menulis dan menyampaikan bahwa beberapa daerah atau desa yang sekarang masuk kabupaten Trenggalek, dulu pernah menjadi bagian kekuasaan Brang Kidul Tulungagung. Bahwa Tulungagung saya tafsirkan sebagai daerah yang banyak memberikan pertolongan agung itu bukan ditujukan kepada Trenggalek melainkan Tulungagung memberikan pertolongan agung kepada beberapa raja di masa yang berbeda seperti kepada dyah Balitung, mpu Sindok, Erlangga, dan Kertajaya. Bahwa dulu Brang Kidul Tulungagung pernah bertegak pemerintahan bernama kerajaan Lodoyong, Lawadan, kadipaten amancanegara Wajak, kadipaten Ngrawa, kadipaten Kalangbret, juga kabupaten Ngrawa dan terakhir kabupaten Tulungagung.

    Teguh Budiharso bahkan lebih meyakini hasil kajian sejarah yang saya tulis berjudul ‘Sejarah Tanah Tulungagung’ sebagai karya fiksi sejarah hanya lantaran saya berasal dari dunia sastra atau pengarang fiksi. Betapa ini terlalu meremehkan dan sudah berprinsip memandang siapa yang menulis bukannya apa yang ditulis. Seorang penulis novel dilarang nulis dan mengaji sejarah! Begitu kira kira yang ada dalam alam pikiran Teguh Budiharso. Menurut saya, penulisan sejarah bukan monopoli para ahli sejarah akademik. Kita semua sangat boleh melakukan kajian sejarah.

    Dan saya lebih cenderung melakukan penulisan sejarah atau penyajian sejarah yang berbeda dengan yang dilakukan banyak penulis sejarah akademik. Saya lebih menggunakan penulisan gaya sastra. Ini terutama untuk lebih mendekatkan para pembaca generasi muda kepada sejarah. Akan tetapi metoda yang saya gunakan tetap menganuti sebagaimana penelitian sejarah secara ilmiah. Jadi saya menggunakan data sumber sejarah primer, sekunder, dan tersier.  Yang lebih terasa berbeda adalah saya memberdayakan kekuatan imajinasi. Tapi itu harus saya lakukan sebab penulisan apapun harus menggunakan itu termasuk penulisan sejarah.

    Sejarawan akademik macam Teguh Budiharso juga antaralain salah fatal menyebut menantu Hayam Wuruk sebagai prabu Kertawardhana. Kesalahan ini diulang sampai tiga kali. Jika hanya sekali mungkin suatu salah ketik, tapi Teguh Budiharso melakukan kesalahan itu empat-lima kali. Yang benar adalah sri Wikramawardhana. Sedangkan kertawardhana adalah suami maharani Tribhuwanatunggadewi atau ayah Hayam Wuruk. Dalam sejarah pararaja Majapahit, hanya ada satu tokoh bergelar Kertawardhana ini.

    Tapi itu bukan alasan bagi saya yang bukan sejarawan akademik  melakukan pemakluman seumpama melakukan kesalahan itu. Siapapun, jika salah penulisan apalagi menulis tokoh, ya harus direvisi.  Dalam artikel Sejarah Tanah Tulungagung, yang saya akui harus direvisi adalah terkait tokoh bernama rakai Pangkaja dyah Tumabong. Itu memang bukan gelar untuk ratu dyah Tulodong. Itu gelar bagi adik ipar Erlangga yaitu mapanji Tumanggala. Mapanji Tumanggala adalah adik kandung istri selir Erlangga. Dan saya sudah merevisinya dalam buku sejarah Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit yang diterbitkan Pena Ananda Indie Publishing Tulungagung, Desember 2013.

    Pada kesempatan ini saya akan menunaikan kewajiban menyampaikan tanggapan atas sanggahan dan kritik Teguh Budiharso terkait sejarah Tulungagung dan Trenggalek. Ini sebagai tanggungjawab ilmiah saya sekaligus penghormatan tanda persahabatan. Semoga ini tidak dipandang sebagai suatu persengketaan. Saya lebih menganggap sebagai bagian dari diskusi sejarah Tulungagung dan Trenggalek dengan harapan semakin memperkaya dan semakin menguak sejarah keduanya. Sebagaimana terhadap Tulungagung, saya juga sangat berharap sejarah Trenggalek lebih banyak dikuak dan dikaji. Berikut ini saya tampilkan tulisan Teguh Budiharso lalu saya tanggapi.

    _____________



    Teguh Budiharso menulis:

    Trenggalek dibanggakan sebagai daerah yang cukup tua dalam sejarah tetapi para penulis menjadi tidak kritis ketika Trenggalek disebut sebagai daerah “di bawah naungan” wilayah lain.  Penulis yang dengan bangga menyebut Trenggalek sebagai bagian Tulungagung ialah yang menyebut dirinya Siwi Sang.  Penulis lain akhirnya cukup mengamini saja bahwa sejarah Trenggalek “tidak mandiri” tetapi menjadi bagian dari Tulungagung. 

    Sejauh ini, kaberadaan Trenggalek telah dianggap sebagai hadiah dari Tulungagung sebagai “kemurahan hati” melalui “pitulungan agung” sesuai makna Tulungagung sebagai “murah hati dan memberi pertolongan yang maha luas.”   

    Klaim tersebut nampaknya diterima saja secara aklamasi dan tidak ada upaya pembuktian benar salahnya klaim tersebut.  Tulisan ini telah membuktikan penelusuran sejarah sejak Mataram Kuno sampai Surakarta bahwa Trenggalek sepenuhnya ialah daerah otonom.  Bahkan belum ada kota atau wilayah lain yang mendapat status sima-parasima atau daerah otonom untuk seluruh daerah yang merupakan wilayah kota.  Daerah Trenggalek 100% sejak zaman sejarah kuno memperoleh status daerah bebas pajak atau daerah otonom.  Sebaliknya, sejarah membuktikan bahwa Tulungagung sekarang sebagian wilayahnya ialah pemberian dari Trenggalek, Blitar, dan Nganjuk. 


    Tanggapan Siwi Sang:

    Terkait Trenggalek sebagai daerah di bawah naungan daerah lain. Dalam artikel berjudul ‘Sejarah Tanah Tulungagung’ yang termuat dalam web Tulungagung dan Kompasiana, juga sebagaimana narasi sejarah dalam buku sejarah Girindra : Pararaja Tumapel Majapahit terbitan Pena Ananda Indie Publishing Tulungagung, saya, Siwi Sang, tidak pernah menyebut Trenggalek berada dalam naungan wilayah lain, Tulungagung. Saya tidak pernah menulis Trenggalek sebagai bagian Tulungagung. Saya hanya menulis bahwa daerah daerah yang sekarang masuk wilayah kabupaten Trenggalek, dulu pernah menjadi bagian Brang Kidul Tulungagung klasik. Saya tidak menampik kenyataan sejarah bahwa sekarang daerah daerah itu menjadi bagian kabupaten Trenggalek. Saya menyatakan Kampak, Baru, dan Kamulan dulu pernah masuk wilayah kekuasaan Brang Kidul atau Tulungagung klasik tentu berdasarkan data sejarah bentuk prasasti yang saya tafsirkan bukan sebatas saya baca. Sejarah harus ditafsirkan seperti keberadaan daerah Baru yang sekarang bernama desa Baruharjo kecamatan Durenan Trenggalek. Juga kamulan yang sekarang masuk Trenggalek. Berdasarkan pembacaan prasasti Kamulan 1194M, latarbelakang penganugerahan sima perdikan Kamulan berawal dari permohonan para samya haji Katandan Sakapat yang sebelumnya pernah mendapat anugerah raja sebelum Kertajaya namun masih tertulis dalam rontal sehingga parasamya haji di Katandan Sakapat memohon Kertajaya untuk mengukuhkan dalam bentuk prasasti kerajaan. Perkembangannya Kertajaya memenuhi permohonan itu bahkan memberi anugerah tambahan lantaran para penduduk Katandan Sakapat telah ikut berjuang membantu raja mengusir musuh dari timur atau Jenggala. Dimana Katandan Sakapat? Katandan sekarang menjadi dusun Ketandan, Kalangbret, Tulungagung. Dari sini sudah jelas bahwa kamulan dan sewilayahnya yang termuat dalam prasasti 1194M adalah bagian dari wilayah Katandan Sakapat Kalangbret Tulungagung klasik. Ini hanya sebagian contoh untuk membuka pemahaman bahwa suatu daerah atau desa berkemungkinan pada masa berbeda pindah ke wilayah lain. Dan kenyataannya sekarang Baru dan Kamulan masuk Trenggalek. Tapi kita juga harus kaji sejarahnya secara arif. Kita harus sepakat bahwa sejarah Tulungagung bakal bersinggungan dengan sejarah Trenggalek. Ini juga untuk menanggapi paragraph lain sejenis yang ditulis Teguh Budiharso dalam artikel atau makalahnya yang ditampilkan di blog pribadinya.

    Terkait Kalangbret pada bagian lain Teguh Budiharso menulis bahwa Kalang Bret zaman Singosari ialah bagian dari wilayah Doho Kadiri dan disebut Kalang Barat.  Secara geografis, Kalang Barat dan Trenggalek menjadi satu wilayah dilihat dari lereng Wilis bagian Barat dan Selatan, mulai dari Gunung Rajeg Wesi sampai Bendungan dan Palung Ponorogo.  Kalang Barat dimasukkan menjadi wilayah Tulungagung pada 1885 ketika Belanda menetapkan batas wilayah Trenggalek, Toloeng Ahoeng, Nganjoek, dan Kertosono.  Itulah sebabnya Prasasti Penampihan diidentifikasi sebagai Prasasti yang ditemukan di Kediri, bukan Tulunagung walaupun sekarang lokasi candi Penampihan masuk dalam wilayah Tulungagung. 

    Tanggapan Siwi Sang adalah bahwa benar jaman Singasari Kalangbrat masuk wilayah Panjalu Daha Kediri. Benar bahwa daerah brang kidul Tulungagung dan Trenggalek pada jaman kerajaan Tumapel Singasari masuk kekuasaan keraton Daha Kediri. Ini dibuktikan adanya prasasti Penampihan atau prasasti Gunung Wilis 1269M yang dikeluarkan Kertanegara raja Panjalu Daha. Seorang raja mengeluarkan anugerah sima perdikan tentu kepada daerah yang masuk wilayah kekuasaannya. Wilayah Kalangbret dan Trenggalek menjadi bagian dari kekuasaan keraton Daha ini bahkan berlanjut sampai jaman Majapahit. Ini terbukti dengan temuan prasasti Bendosari bertarikh 1360M di desa Jambu. Dalam prasasti ini keputusan sang raja Majapahit harus mendapat keijinan dari ratu Daha dyah Wiyat. Ini menunjukkan bahwa daerah yang ketempatan prasasti itu berada di wilayah kekuasaan Daha. Dalam prasasti ini tidak muncul nama Trenggalek. Lengkapnya silakan baca buku Girindra yang memuat daerah daerah perdikan sima swatantra di brang kidul Tulungagung seperti kalangbret, Boyolangu, Baru [Baruharjo], Thanibala [desa Bala, Bolo, Bolorejo], dan lainnya. Jadi memang Kalangbret Tulungagung dan Trenggalek masa itu bagian Daha Kediri.

    Tapi keliru jika Teguh Budiharso bilang Kalangbret baru masuk Tulungagung pada tahun 1885. Jauh sebelum itu ada Negeri Rawa Dalem, kadipaten amancanegara Kalangbret dan Ngrawa yang lalu digabung jadi satu nama kabupaten Ngrawa beribukota di Kalangbret, sampai kemudian kabupaten Ngrawa pindah ibukota di Tulungagung alun alun sekarang. 


    Dan jika Teguh Budiharso mengakui bahwa secara geografis Kalangbret dan Trenggalek menjadi satu wilayah dilihat dari lereng gunung Wilis, hal yang lebih masuk akal adalah wilayah kadipaten Kalangbret atau Brang Kidul Tulungagung baik masa Singasari sampai Mataram Islam juga meliputi sebagian wilayah yang sekarang menjadi bagian kabupaten Trenggalek. Saya dapat menjelaskan lebih jauh terkait Kalangbret ini. Tapi mungkin dikesempatan lain yang lebih pas.

    Dan saya meyakini pada masa Kertanegara raja Singasari, Tulungagung adalah daerah setingkat kadipaten bukan kabupaten. Kadipaten dipimpin seorang adipati berada langsung dibawah raja Negara sementara kabupaten dipimpin bupati berada di bawah raja daerah. Prasasti Penampihan yang dikeluarkan Sri Kertanagara tahun 1269M menyebutkan daerah Sarwwadharma sejak saat itu merdeka tidak lagi berada dalam wilayah Thani Bala. Thani Bala sekarang bernama desa Bolorejo. Kemungkinan besar Thani Bala pada jaman Singasari atau jaman Sri Kertanagara merupakan bagian dari wilayah yang lebih luas di Brang Kidul. Jika benar, berarti wilayah kepemerintahan di Brang Kidul ini menjangkau sampai puncak Wilis di penampihan. Apakah Thani Bala pada waktu itu berada di suatu wilayah kepemerintahan yang lebih luas semisal Kalangbret? Sangat mungkin jika merujuk pada pendapat bahwa wilayah kalangbret sejak jaman Kertajaya sudah menjangkau sampai daerah yang sekarang bernama desa kamulan di Durenan Trenggalek. Nama Kalangbrat jaman Singasari termuat lebih jelas dalam prasasti Mula Malurung 1255M.

    Yang pasti, nama Trenggalek tidak pernah ditampilkan bersamaan dengan nama Kalangbret masa Tumapel Singasari. Nama Trenggalek waktu itu belum muncul. Jadi sekali lagi kalau secara geografis antara Kalangbret dan Trenggalek jadi satu wilayah, maka yang lebih tepat adalah Trenggalek menjadi bagian Kalangbret, bukan sebaliknya.

    Kemudian terkait prasasti Penampihan yang dibilang Teguh Budiharso dianggap sebagai prasasti yang ditemukan di Kediri. Menurut saya itu adalah pendapat keliru. Contoh masa terdekat, pada masa Mataram Islam, kadipaten amancanegara Kalangbret meliputi darah kecamatan Sendang atau Penampihan. Ketika Tulungagung dikenal sebagai kabupaten Ngrawa beribukota di Tulungagung pada tahun 1901M, Sendang masih masuk distrik Kalangbret. Berdasarkan surat keputusan Gupermen atau beslit kekancingan GG. 14/1-1901 no 8, distrik Kalangbret meliputi Kauman, Gondang, Karangrejo, Pagerwojo, dan Sendang. Kesimpulannya situs dan prasasti Penampihan tidak ditemukan di Kediri melainkan di wilayah administrative Tulungagung.


    ___________________


    Teguh Budiharso menulis:

    Bagaimanakah asal-usul kata Trenggalek?  Kata Trenggalek sejauh ini dianggap berasal dari kata “terang” dan “gale”, diartikan sebagai terang ing galih.  Trenggalek dianggap sebagai daerah yang memperoleh karunia melalui hati yang jernih, dan Tulungagung dianggap sebagai orang yang “memberi pertolongan besar”. Menurut manuskrip Kraton Kasunanan Surakarta, kata Trenggalek sudah muncul pada zaman Raja Mataram sebelum Mpu Sindok, yaitu Rakai Dyah Wawa (924-928).  Kata Trenggalek digunakan untuk menunjukkan daerah penghasil gaplek, telela pohon yang dikeringkan.  Gaplek pada zaman itu merupakan makanan khusus para kerabat kraton.  Gaplek diolah menjadi karak, dimasak seperti masak beras dan dihidangkan bersama-sama dengan air gula merah.  Jenis gaplek yang digunakan ialah gaplek yang “terang” berwarna putih bersih.  Daerah penghasil gaplek jenis ini ialah kecamatan Bendungan, Kampak, Munjungan, Panggul, Pule, dan Watulimo. Di antara daerah tersebut, gaplek dari Bendungan di lereng gunung Wilis dianggap yang paling unggul. Dari sebutan gaplek yang berasal dari ketela yang “terang” lama-lama berubah menjadi “Trenggalek”.  Kata Trenggalek kemudian dipopulerkan dalam tembang dan wangsalan, seperti: “Pohung garing, ayo mampir menyang Trenggalek.” Pohong garing artinya gaplek (Purwadi, 2009:23). 

    Sri Susuhunan Pakubuwana II adalah raja terakhir Kasunanan Kartasura yang memerintah tahun 17261742 dan menjadi raja pertama Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 17451749. Beliau ialah yang berjasa menggunakan nama Trenggalek secara resmi dalam administrasi pemerintahan.  Selain itu, hidangan karak gaplek ini hingga zaman Sinuwun Paku Buwono II masih terus ditradisikan. Pada 2014 ini, menu karak gaplek Bendungan juga masih digunakan dalam jamuan khusus, disertai dengan kopi asli Bendungan dan gula kelapa dari Watulimo. 

    Asal-usul kata Trenggalek yang lain diperoleh melalui cerita tutur. Pertama, cerita tutur ketika Penembahan Batoro Katong menjadi Adipati Ponorogo pada 1489-1532, juga menyebutkan Trenggalek sebagai daerah penghasil gaplek.  Dikisahkan, Menak Sopal melakukan kesalahan dan mendapat hukuman agar bermukim di daerah penghasil gaplek mengabdi pada Ki Ageng Joko Lengkoro di daerah Bagong Kecamatan Ngantru Trenggalek kota sekarang.

    Kedua, versi lain mengenai asal-usul kota Trenggalek diperoleh dari cerita tutur dari pinisepuh yang tinggal di Trenggalek.  Menurut pinisepuh tersebut, kata Trenggalek berasal dari kata “sugal” yang berarti kasar dan “elek”.  Sugal-elek menghasilkan kata galek; yang berkonotasi masyarakat Trenggalek suka berperilaku “kurang baik” atau jelek.  Sejak zaman raja-raja, Trenggalek ialah bagian dari Wengker bagian Timur, yang terkenal sebagai tempat para pertapa, dan kumpulan black magic.  Daerah Kampak, Munjungan, Panggul, Prigi, Bendungan dianggap representasi makna tersebut walaupun sekarang mengalami penurunan makna.

    Uraian di atas menunjukkan bahwa kata Trenggalek, yang lebih dekat diartikan dengan daerah penghasil gaplek.  Asal-usul nama atau toponimi biasanya diperoleh secara praktis.  Contoh lain, ketika Sinuwun Paku Buwono II (1726-1749) dikejar pasukan Sunan Kuning beliau melarikan diri ke arah Ponorogo.  Ketika sampai di suatu tempat, beliau merasa haus dan minta air kepada seorang penduduk.  Setelah minum air tersebut, beliau berkenan dan menanyakan kepada si pemberi: “Air apa ini kok rasanya segar?”.  “Ini air badeg Gusti” jawab penduduk tersebut. “Kalau begitu, daerah ini saya beri nama Badegan”, lanjut Sinuwun.  Badegan ialah daerah kecamatan di wilayah Sumoroto Ponorogo barat perbatasan dengan Purwantoro Wonogiri.

    Makna kata Trenggalek menurut penelusuran sejarah ini juga mengingatkan bahwa sejak semula Trenggalek ialah penghasil gaplek. Artinya daerah berbasis pertanian ketela.  Karena itu, ada baiknya Trenggalek merevitalisasi lagi potensi ekonomi gaplek tersebut.  Mengenai makna yang dikaitkan dengan terange penggalih,  begitu juga “sugal dan elek” karena tidak memiliki akar sejarah, cukup dijadikan penjelasan tambahan mengenai cerita asal-usul kata Trenggalek.  


    Tanggapan Siwi Sang:

    Makna kata Trenggalek sebagai daerah Gaplek sebagaimana yang disampaikan Teguh Budiharso lebih berdasarkan pandangan ekonomis bukan historis. Jika menampilkan asal usul kata Trenggalek berdasarkan kisah batoro Katong itu, seharusnya Teguh Budiharso melakukan kritik sumber dan bertanya pada masa apa kisah batoro Katong dan menak Sopal dibuat? Saya yakin itu berdasarkan naskah dan cerita yang berkembang pada masa Mataram Islam era Pakubuwono. Jadi kata Trenggalek belum muncul mada masa mpu Sindok. Jika sudah muncul, kita lihat masa Majapahit, adakah nama Trenggalek dalam berita prasasti, atau kakawin Negarakertagama? Tidak. Yang ada adalah beberapa daerah atau desa kuna yang sekarang masuk kabupaten Trenggalek.

    Terkait makna nama Trenggalek, saya lebih cenderung pada versi Padepokan Dewandaru. Itu lebih bermakna filosofis dan jika dikembangkan akan mengandung makna historisnya. Trenggalek sebagai terange penggalih, tempat para orang mulia. Kampak ketika mendapat anugerah mpu Sindok merupakan daerah tempat orang mulia. Dalam prasasti Kampak, anugerah diberikan kepada sang hyang prasadha kabaktian I pangarumbing I kampak. Dari nama sebutan, nyata bahwa tokoh itu pemuka suatu tempat peribadatan semacam karesian.



    ______________


    Teguh Budiharso menulis:

    Status Trenggalek sebagai daerah bebas pajak, atau sima swatantra, diperoleh mulai zaman Raja Sindok (929-947) yang dikukuhkan dalam Prasasti Kamsyaka atau Prasasti Kampak (929), zaman Raja Airlangga (1019-1045) melalui Prasasti Baru (1030), zaman Raja Kediri Prabu Srenggo (1182-1222) dalam Prasasti Kamulan (1194), dan zaman raja Majapahit Prabu Wikramawardhana (1390-1428) melalui lempeng di arca di Bendungan, Prasasti Surondakan dan Candi Brongkah di Kedunglurah sekarang. 

    Prasasti Kamsyaka atau Prasasti Kampak yang dikeluarkan Raja Sindok pada 929 menetapkan daerah Kampak sebagai daerah sima swatantra. Wilayah daerah perdikan Kampak meliputi: Dongko, Munjungan, Panggul, Watulimo, Prigi dengan pusat pemerintahan di Desa Gandusari Sekarang. Selain wilayah Kampak merupakan tempat peribadatan memuja Dewa karena berdekatan dengan Laut Selatan, wilayah Kampak juga disebut sebagai daerah penghasil gaplek.

    Dr. Brandes antara lain mengatakan bahwa prasasti ini merupakan batu besar ujung atasnya bulat, kemudian kiri kanannya melebar, berwarna abu-abu dari batu andesit dan sangat rusak. Prasasti ini berhurup Jawa Kuno langgam Jawa Timur. Pada bagian depan terdapat 15 baris, pada bagian belakang terdapat 13 baris 1 baris dengan hurup yang tinggal separo. Pada bagian kiri terdapat 3 baris yang tidak dapat dibaca lagi, sedangkam di bagian kanan hanya terdapat 2 baris sebagai penutup dari prasasti itu. Tinggi prasati itu 89 cm tebal 22 cm dan lebar 93 cm.

    Prasasti ini merupakan tanda pemberian hadiah dan mendapatkan hak istimewa bagi tanah yang diberikan tadi. Tanah yang sangat dimuliakan ialah tanah dari Bharata i Sang Hyang Prasada Kabhaktian i Pangarumbing yang i Kampak. Pada prasasti ini terdapat kata-kata mangraksa kadatuan Cri Maharaja i Ndang i Bhumi Mataram. Sehingga dapat diperkirakan bahwa prasasti itu ditulis pada tahun 851 caka atau 929 Masehi. Ada baiknya  bila beberapa kata pada bagian dari prasasti itu dikemukakan, antara lain baris ke 6-9 dan baris ke 13 yang berbunyi:


    6.      (ring ra) hina ring wngi addenge a ---------------- samaya sapatha sumpah pamangmang mami ri kita hiyang kabeh. Yawat ika nang ngwangduracara, tan magam tanmakmit i
    7.      Rikang saptha si hatan sa-----t kudur ----- hadyan hulun matuharare, laki-laki wadwan, wiku grahastha muang patih wahuta rama, nayaka parttaya
    8.      --------- lahu(aha) ikeng lmah sawah ------ i kampak simainarpanakan dapungku i manapunjanma, i bhatara i sang hyang prasada kabhaktiyan i pangurumbigyan i
    9.      Kampak wabakataya nguniweh da ---------- ta –sa(ng)hyang watu sima tasmat kabuataknanya, patyanantaya kamung hyang deyantatpatiya tattanoliha i wuntat
    13.  ----- wuk k(i)dul kuluan waitan, wuangakan ringasalambitakan ing (h)yang kabaih, tibakan ri(ng) mahasamudra, klamakan ring dawuhan, alapan sang hyang ja 15



    Tanggapan Siwi Sang:

    Terkait Prasasti Surodakan. Prasasti bertarikh 1447M yang dikeluarkan maharaja Majapahit Wijaya Parakrama Wardhana dyah Kertawijaya ini memang ditemukan di Surodakan Trenggalek dan karena itu dikenal pula sebagai prasasti Surodakan. Tapi ketika prasasti ini dibuat sebenarnya lebih dikenal sebagai prasasti Waringin Sapta atau Waringin Pitu karena diberikan kepada daerah Waringin Pitu. Dan daerah Waringin Pitu sekarang ada di Tulungagung. Waringin Pitu sekarang menjadi nama desa Ringin Pitu, kecamatan Kedungwaru, Tulungagung, berada tidak jauh di selatan sungai Brantas. Dalam prasasti ini jelas menyebutkan satu batas Waringin Sapta sebelah selatan adalah Boyolangu. Sementara di Trenggalek tidak ada daerah bernama Boyolangu. Nama nama desa atau daerah yang disebutkan dalam prasasti ini lebih banyak berada di Tulungagung. Jadi prasasti ini meskipun ditemukan di Trenggalek tetapi bukan bahan rujukan utama bagi sejarah Trenggalek. Prasasti ini lebih cocok tambahan rujukan utama Tulungagung masa Majapahit. Prasasti ini menyebutkan pula bahwa ayah Hayam Wuruk yaitu Bhre Tumapel I Kertawardhana didarmakan di Waringin Pitu. Karena itu daerah ini ditetapkan sebagai sima perdikan kerajaan yang kedudukannya berada langsung di bawah kekuasaan raja Majapahit. Lebih lengkapnya tentang penafsiran prasasti ini dapat dibaca dalam buku Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit.

    Sekali lagi prasasti Surodakan atau Waringin Pitu tidak cocok untuk bahan kajian sejarah Trenggalek. Teguh Budiharso sebaiknya menggunakan prasasti Bendosari jika ingin mengaji sejarah Trenggalek masa Majapahit. Prasasti ini dikeluarkan sri Hayam Wuruk pada tahun 1360M. Ditemukan di  dukuh Bendosari, desa Jambu, Trenggalek pada 1896M. Prasasti ini merupakan suatu keputusan hakim, oleh karena itu dinamai Jayapatra atau Jayasong. Menyebutkan nama Rake mapatih Pu Mada dan Ayam Wuruk.

    Menurut Prasasti ini keputusan-keputusan pengadilan ditetapkan dan disiarkan tidak oleh dewan hakim yang berwenang menjalankan hukum, melainkan segala pertimbangan dan penyelidikan hakim dilimpahkan kepada badan lain yaitu dewan rakryan paratanda. Di sini ada pemisahan peradilan, tetapi tidak boleh menghilangkan hubungan tatapraja ketiga jawatan kerajaan tersebut.

    Anjuran keputusan peradilan dimajukan oleh mahkamah yang beranggotakan tujuh orang hakim pamegat. Cara kerja dewan hakim dan hukum mana yang dipakai untuk mengambil putusan atas perkara yang dihadapi, juga memerhatikan dan meninjau bersama-sama bagian pasal lain.

    Perintah kerajaan itu teriring perintah Cri Tribhuwanottunggarajadewi Jayawisnuwardhani yang menyamai dewi laksmi yang menjadi jimat manggala segala raja, yang dihiasi kemolekan indah, bijak dan giat, yang seolah bersatu luhur dengan sri paduka Kertawardhana [baginda Tumapel I] dikelilingi segenap raja bawahan yang tunduk takluk.

    Perintah itu teriring pula oleh keijinan sri paduka Wijayadewi [ratu Daha Dyah Wiyat] yang dihiasi tenaga yang tiada cacatnya, berhubungan dengan intan permata kepada para raja, yang seolah membentuk kesatuan luhur dengan sri paduka bhattara Wijayarajasa [baginda Wengker I] yang termashur karena keberaniannya di medan pertempuran.

    Sudah saya paparkan sebelumnya bahwa adanya penyebutan atau campurtangan ratu Daha, disimpulkan ketika itu daerah Bendosari dan sekitarnya atau Trenggalek sekarang berada dalam wilayah keraton Daha. Sudah saya paparkan pula bahwa pada waktu itu daerah Brang Kidul Tulungagung juga masuk kekuasaan keraton Daha Kediri. 

    Lalu pada masa Majapahit, adalah pemerintahan resmi di Brang Kidul Tulungagung dan Trenggalek? Kakawin Negarakertagama menulis pada waktu Hayam Wuruk akan membangun candi pendarmaan maharajapatni dyah Gayatri di Boyolangu Tulungagung, sebelumnya telah mendapat keijinan dari seorang tokoh bernama Demung Bhoja. Apakah tokoh ini merupakan kerabat atau salah satu paman sri Hayam Wuruk yang ditempatkan sebagai penguasa daerah Brang Kidul Tulungagung? Perlu dikaji lanjut. Yang jelas dari pembacaan Negarakertagama kuat dugaan Demung Bhoja adalah penguasa wilayah Brang Kidul yang mengijinkan daerah Bhoyolangu tanahnya diambil Negara sebagai tempat pendarmaan kerajaan. Kembali ke pertanyaan awal, dalam saat bersamaan, apakah Trenggalek ada suatu pemerintahan seperti Tulungagung? Kiranya perlu dikaji lanjut. Yang jelas baik nama Trenggalek maupun nama Tulungagung pada masa Majapahit belum muncul.

    Nama Trenggalek memang muncul lebih dahulu dari nama Tulungagung sebagai nama suatu pemerintahan resmi. Akan tetapi hakikatnya, wilayah Tulungagung lebih dulu dikenal berpemerintahan resmi. Satu contoh terdekat, ketika Brang Kidul Tulungagung bertegak nagari Rawa Dalem atau kadipaten amancanegara Wajak, Trenggalek belum dikenal memiliki pemerintahan sebagaimana yang dipimpin Tumenggung Kyai Surontani senapati Mataram Sultan Agung. Ketika Tulungagung memiliki dua kadipaten amancanegara yaitu Ngrawa dan Kalangbret, nama Trenggalek belum resmi sebagai suatu pemerintahan. Baru pada era Pakubuwana II muncul kabupaten bernama Trenggalek.

    Terkait prasasti Kampak yang oleh Teguh Budiharso diperkirakan bertahun 929M. Menurut saya, prasasti Kampak tidak jelas kapan tahun keluarnya. Kalimat mangraksa kadatuan cri maharaja I Mdang I bhumi Mataram, tidak dapat dijadikan rujukan sebagai tahun bertahtanya mpu Sindok pada tahun 929M. Pada tahun itu mpu Sindok sudah membangun ibukota di Tembelang sebagaimana berita prasasti Turyyan 929M.

    Saya menafsirkan bahwa prasasti Kampak dikeluarkan hampir berbarengan dengan keluarnya prasasti Anjukladang. Ini menurut analisa saya, terkait penyerbuan Sriwijaya terhadap mpu Sindok. Bahwa para penduduk Kampak telah berjasa membantu perjuangan mpu Sindok menghalau musuh. Di sini sejarah Kampak berpeluang digali lebih dalam. Apakah Sriwijaya ketika itu selain melakukan perjalanan darat dan dicegat di daerah Anjukladang, mereka juga melakukan perjalanan laut dan mendarat di pantai Parigi sehingga disini Kampak berperan besar ikut menghalau mereka? Dugaan awal saya demikian. Kiranya kita harus lebih mengaji prasasti Kampak dan prasasti prasasti lain yang berhubungan dengan masa awal keberadaan mpu Sindok di Jawatimur, merajut keping keping sejarah yang tercecer.

    Terkait identifikasi kalimat mangraksa kadatuan itu bukan merupakan tahun bertahtanya mpu Sindok, saya punya bahan perbandingan yaitu dalam prasasti Penampihan Kubu Kubu yang dikeluarkan haji Balitung pada tanggal 17 Oktober 905M, diakhiri dengan penyebutan kalimat sri dharmodaya rakryan watukura haji balitung umunggah ring kadatwan. Tahun 905 bukan tahun bertahtanya Haji Balitung. Haji Balitung naik tahta atau umunggah ring kadatwan pada tahun 898M.

    Lalu baris ke 6-9 dan 13 prasasti Kampak yang ditampilkan Teguh Budiharso itu merupakan bagian akhir isi prasasti yang terutama memuat sumpah kutukan atau sapatha kepada siapa saja yang bakal mengganggu berlakunya anugerah. Hampir semua prasasti menyantumkan kalimat sumpah atau kutukan pada akhir penulisan.


    __________________


    Teguh Budiharso menulis:

    Mataram Kuno mengalami zaman keemasan ketika Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910) bertahta dengan pusat pemerintahan di Begelen, Purworejo, Daerah Kedu, Jawa Tengah. Wilayah kerajaan meliputi seluruh Jawa Tengah, seluruh Jawa Timur dan Bali.  Setelah Dyah Balitung mangkat, tahta diserahkan kepada putra mahkota Rakai Mpu Daksa (910-919).  Nah, pada zaman pemerintahan Mpu Daksa inilah intrik mulai terjadi. Menantu Mpu Daksa, Rakai Layang Dyah Tulodong (919-921) yang menikah dengan putri mahkota, berseteru dengan adik putra mahkota, yaitu Dyah Wawa.  Dyah Wawa dibantu Mpu Sindok yang waktu itu menjabat Rakai Halu berhasil menggulingkan Dyah Tulodong dan akhirnya Dyah Wawa berhasil naik tahta pada 924-928.  Prasasti Kinawe (928) yang ditemukan di daerah Kandangan Kediri menyebutkan raja yang memerintah Mataram ialah Rakai Dyah Wawa dan Empu Sindok disebut sebagai Mahapatih atau Rakai Hino. Prasasti Kniawe (928) ini hanya selisih satu tahun ketika Raja Sindok bertahta di Tembalang, Jombang (929) dan dikeluarkannya Prasasti Kampak (929).  Jadi sebelum mendirikan keraton di Jombang, raja-raja Mataram yang berkedudukan di Kedu dan Yogjakarta sudah mengetahui daerah Kampak dan sekitarnya.

    Sejak pemerintahan Dyah Balitung, pengembangan wilayah ke Jawa Timur bahkan Bali sudah dilakukan. Jadi, identifikasi daerah Kampak sebagai daerah penting dan kemudian dijadikan daerah perdikan bukanlah hal yang aneh.  Kiranya, ketika terjadi alih kekuasaan dari Rakai Layang Dyah Tulodong ke tangan Dyah Wawa telah terjadi perebutan kekuasaan sehingga pusat kerajaan perlu dipindahkan ke Jawa Timur.  Waktu migrasi ke Jawa Timur itu Dyah Wawa mungkin terbunuh sehingga kekuasaan dilanjutkan oleh Empu Sindok yang maktu itu menjabat sebagai rakai hino, orang kedua di bawah raja dan berhak menggantikan raja. 

    Patut dicermati juga, pada saat pemerintahan Rakai Layang Dyah Tulodong yang hanya 4 tahun itu, yang menjabat Rakai Hino ialah Mpu Kettuwijaya.  Nama ini terkait dengan Raja Wengker yang menggulingkan Teguh Darmawangsa pada peristiwa mahapralaya (1016) yang menyebabkan Airlangga melarikan diri ke Gunung Wonogiri menjalani hidup bersama pertapa. Kiranya, Mpu Kettuwijaya melarikan diri ke Wengker Ponorogo sekarang bersamaan saat Mpu Sindok memindahkan kerajaan ke Tembalang di Jombang Jawa Timur. 


    Tanggapan Siwi Sang:

    Bahwa sejak masa Haji Balitung [898M-910M] Jawatimur menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Medang di Jawatengah. Tentu Kampak dan daerah lain di Brang Kidul Tulungagung juga dikenal akrab oleh raja raja Medang setelah masa itu. Penemuan beberapa prasasti di Jawatimur atasnama pararaja Medang Jawatengah cukup untuk menunjukkan bahwa mereka berkuasa atas Jawatimur. Suatu prasasti dikeluarkan seorang raja kepada daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya. Tidak mungkin seorang raja menanam prasasti batu atau memberikan anugerah sima perdikan di daerah yang bukan atau yang tidak diakui sebagai bagian kekuasaannya.

    Haji Balitung pernah mengeluarkan beberapa prasasti di Jawatimur seperti di Brang Kidul  Tulungagung. Di halaman candi Penampihan desa Geger, Sendang, lereng gunung Wilis, Tulungagung terdapat prasasti batu berangka tahun 820C/898M. Ini bertepatan dengan tahun ketika Haji Balitung naik tahta di kerajaan Medang Poh Pitu. Kemudian Haji Balitung juga mengeluarkan prasasti lagi di Tulungagung yang dikenal sebagai prasasti Kubu Kubu bertarikh 905M. Menurut Damais dan Buchori, prasasti Kubu Kubu ditemukan di situs candi Penampihan. Ini berarti bahwa daerah Penampihan dan sewilayahnya lebih dulu dipandang penting ketimbang Kampak. Ini kalau ingin menjawab apakah Kampak satu satunya tempat yang dipandang penting oleh raja keturunan Medang. Terkait tafsir baru kepindahan mpu Sindok ke Jawatimur, silakan baca buku Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit.

    Kemudian terkait mpu Kettuwijaya. Berdasarkan prasasti Lintakan 919M, pada masa pemerintahan sri maharaja rakai Layang dyah Tlodong atau Tulodong, Kettuwijaya menjabat sebagai rakryan mapatih hino bergelar sri ketudara manimantaprabha prabhusakti. Sedang yang menjabat sebagai rakryan halu adalah mpu Sindok.

    Mapatih hino bukan seorang mahapatih seperti jaman Majapahit. Tetapi jabatan itu diperuntukan bagi seorang putra mahkota. Termasuk mpu Sindok. Mahamentri hino, sirikan dan halu adalah tiga jabatan dalam kelompok mahamentri katrini.

    Kettuwujaya sangat beda dengan raja Wijaya Wengker bawahan Darmawangsa yang berdasarkan prasasti Pucangan 1041M pernah memberontak lalu dihancurkan Erlangga tahun 1035M dan gugur tahun 1037M. Teguh Budiharso dalam hal identifikasi tokoh ini hidup pada masa mpu Sindok dan darmawangsa jelas sangat tidak masuk akal. Rentang hidupnya terpaut sangat lama. Kettuwijaya sudah tampil sebagai mahamentri hino pada tahun 919M sementara raja Wijaya Wengker hidup sampai tahun 1037M. Meski pada masa dulu seorang dapat saja berusia panjang namun identifikasi Kettuwijaya dengan raja Wengker Wijayawarman sangat berlebihan.

    Bahwa ada dua tokoh memiliki nama sama dalam waktu berbeda itu hal lumrah. Unsur nama Wijaya juga digunakan oleh beberapa tokoh macam putri Erlangga dan pendiri Majapahit. Putri Erlangga Sanggramawijaya punya unsur nama gelar pendiri Majapahit raden Wijaya atau nararya Sanggramawijaya.

    Demikian pula ratu Tulodong yang saya sebut sebagai penguasa kerajaan lodoyong juga sama dengan nama seorang raja Medang Mataram dyah Tulodong. Ratu Tulodong raja Lodoyong yang saya maksud jelas beda dengan dyah Tulodong raja Medang Mataram. Ini terkait nama sama untuk dua tokoh beda. Terkait nama ratu Tulodong dan kerajaan Lodoyong, saya menggunakan hasil kajian Kus Indarto dalam buku Katuturanira Maharaja Erlangga terbitan dinas Pariwisata Jawatimur atau yang sekarang sudah diterbitkan ulang oleh penerbit Prestasi Pustaka Karya 2008. Silakan Teguh Budiharso baca buku itu dimana Koes Indarto mengidentifikasi di Brang Kidul Tulungagung pernah ada kerajaan bernama Lodoyong dipimpin raja perempuan ratu diah Tulodong yang berhasil menghancurkan Erlangga sebagaimana yang saya tulis dalam ‘Sejarah Tanah Tulungagung’ dan buku sejarah Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit.

    __________________________


    Teguh Budiharso menulis:

    Kembali ke Trenggalek sebagai daerah perdikan. Periode kedua wilayah Trenggalek diberi kedudukan daerah sima swatantra ialah pada zaman Raja Airlangga. Pemberian ini tercatat dalam Prasasti Baru (1030).  Desa Baruharjo, kecamatan Durenan Trenggalek diberi status sima karena masyarakat telah memberi penginapan dan membantu raja dan pasukannya ketika akan menyerang raja Hasin. Hasin sekarang ialah Ngasinan, Desa Kelutan Kabupaten Trenggalek. 

    Perdikan ketiga diberikan oleh Raja Srenggo dari Kediri yang memberi status perdikan desa Kamulan (1194).  Dalam prasasti itu jelas disebutkan wilayah Kamulan meliputi lereng gunung Wilis mulai dari lereng Kalang Barat (Kalangbret), Semarum, Durenan, bukit Tumpak Uyel, Setono, desa Parakan, Pogalan, Bendo, Ngetal, Tugu, Tenggaran Pule, dan Tangkil kecamatan Dongko.  Prasasti ini menjelaskan bahwa perbukitan di wilayah Tulungagung yang dijadikan makam para Bupati Tulungagung ialah wilayah perdikan Kamulan. Jika digabung dengan wilayah dalam prasasti Kampak, hampir seluruh wilayah Kabupaten Trenggalek tahun 2014 saat tulisan ini dibuat sudah merupakan wilayah perdikan Trenggalek.


    Tanggapan Siwi Sang:

    Saya sudah menafsirkan bahwa Trenggalek jaman klasik adalah kerajaan Hasin. Pada tahun 1030M, desa Baru bukan daerah kekuasaan Hasin. Artinya pula bukan wilayah Trenggalek. Penjelasannya adalah bahwa Erlangga berkubu di daerah perbatasan atau di menjelang masuk wilayah Hasin. Dan daerah Baru berada di luar kerajaan Hasin. Baru merupakan daerah di timur Hasin atau daerah perbatasan yang masuk wilayah kerajaan Brang Kidul Lodoyong atau Tulungagung. Sangat mungkin antara Baru dengan Hasin terpisah oleh batas alam berupa sungai yang sekarang bernama sungai Ngasinan. Erlangga sebelum menyeberangi sungai itu berkubu di daerah Baru.

    Siwi Sang dalam buku Girindra menulis bahwa Erlangga membidik kerajaan Hasin yang tepat berbatasan dengan Lodoyong. Penaklukan Erlangga atas kerajaan Hasin di baratdaya gunung Wilis kelak menerbitkan prasasti Baru, 28 April 1030M. Isi prasasti itu adalah pemberian anugerah perdikan kepada Desa Baru yang telah membantu Erlangga ketika menggempur Hasin. Mendengar pasukan Erlangga menaklukkan Hasin, ratu Tulodong  tersodok. Hasin berada tepat di barat Lodoyong dan Erlangga melibatkan penduduk Baru. Pemberian anugerah Erlangga kepada desa Baru sama artinya meleceh kekuasaan ratu Tulodong. Daerah Baru merupakan kekuasaan Lodoyong. Lembah selatan gunung Wilis kekuasaan Lodoyong. Baru berada di lembah ini. Tak pakai lama, setelah keluarnya prasasti Baru atau masih dalam tahun 1030M, ratu Tulodong menderapkan pasukan tempur menuju lereng Penanggungan atau gunung Arjuna, menuju istana Erlangga di Watanmas.

    Jadi menjelang penyerbuan terhadap Hasin, Erlangga berkubu di daerah perbatasan atau menjelang masuk Hasin. Daerah Baru bukan wilayah Hasin. Jika merupakan wilayah Hasin, tentulah para penduduk Baru yang setia pada Hasin akan melawan Erlangga. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Baru membantu Erlangga menyerbu Hasin di kota Trenggalek sekarang.

    Intinya adalah bahwa di suatu masa berbeda, suatu wilayah dapat saja mengalami perubahan baik penciutan maupun perluasan wilayah. Satu daerah yang awalnya masuk wilayan A pada suatu ketika kelak masuk wilayah B dan sebaliknya. Demikian halnya dengan Kampak, Kamulan, juga Baru yang akhirnya sekarang masuk wilayah kabupaten Trenggalek.

    Saya berharap banyak kepada Teguh Budiharso dan terutama para sejarawan Trenggalek untuk mengaji lebih lanjut keberadaan sejarah kerajaan Hasin. Masih sangat sedikit reverensi terkait Hasin. Padahal Hasin merupakan Trenggalek klasik. Keberadaannya sudah muncul sejak jaman Erlangga dan kembali muncul pada jaman Kertajaya sebagaimana berita Pararaton. Negarakertagama juga menyebut ada tempat bernama Bala Masin. Kitab Tantu Panggelaran juga menulis ada daerah bernama Macin.

    _________________________

    Teguh Budiharso menulis:

    Ketika Prabu Kertawardhana, menantu Prabu Hayam Wuruk dari Tumapel memerintah, terjadi perang Paregreg (1401-1406).  Perang ini terjadi melawan Prabu Wirabumi di Blambangan, anak Hayam Wuruk dari selir. Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) memiliki dua anak: Kusumawardhani putri mahkota menikah dengan Wikramawardhana dari Tumapel.  Putra kedua ialah Wirabumi dari istri selir dijadikan raja di Blambangan Banyuwangi.  Wikramawardhana memerintah bersama-sama dengan Kusumawardani.  Namun Kusumawardhani wafat sehingga tahta Majapahit dipegang oleh Wikramawardhana. Wirabumi tidak terima Wikramawardhana diangkat menjadi raja karena Wikramawardhana ialah menantu. Menurut Wurabumi, dialah yang berhak menggantikan Hayam Wuruk karena dia ialah anak raja meskipun dari istri selir.  Persengketaan ini akhirnya menjadi perang yang meluas dan disebut Perang Paregreg, perang diam-diam antarkeluarga yang semakin meluas.


    Tanggapan Siwi Sang:

    Teguh Budiharso keliru mengidentifikasi menantu Hayam Wuruk sebagai Prabu Kertawardhana. Yang benar adalah maharaja Wikramawardhana. Kertawardhana adalah ayah Hayam Wuruk. Kusumawardhani berdasarkan Pararaton juga tidak wafat sebelum Paregreg Agung melainkan pada tahun 1429M. terkait tafsir terbaru Paregreg Agung dan tokoh tokohnya, silakan baca buku sejarah Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit.


    ________________



    Teguh Budiharso menulis:

    Jika prasasti Kampak, prasasti Baru, prasasti Kamulan, prasasti Surodakan, dan lempeng arca di Bendungan digabungkan, maka seluruh wilayah Trenggalek sekarang ialah wilayah daerah perdikan sejak zaman Raja sindok.  Daerah sima parasima diberikan oleh raja bersifat turun-temurun dan hanya bisa dibatalkan apabila daerah tersebut memberontak kepada raja.  Daerah sima yang pernah diberikan oleh raja sebelumnya, dihormati sekali oleh raja berikutnya walaupun berbeda dinasti sehingga status sima swatantra, atau daerah otonom melekat terus. 


    Tanggapan Siwi Sang:

    Kiranya Teguh Budiharso harus baca dan mencermati isi prasasti Surodakan 1477M. Prasasti ini tidak memuat daerah daerah yang sekarang ada di Trenggalek. Prasasti ini aslinya bernama prasasti Waringin Sapta atau Waringin Pitu, yang dikeluarkan sri maharaja Wijaya Parakrama Wardhana dyah Kertawijaya kepada daerah waringin Sapta Brang Kidul Tulungagung. Prasasti ini tidak banyak mengandung data dan informasi terkait kesejarahan Trenggalek.

    Dan berdasarkan paparan saya sejak awal terutama terkait prasasti Kamulan yang kronologisnya bermula dari permohonan parasamya haji di Katandan Sakapat Kalangbret Tulungagung,, rasanya kurang tepat jika Teguh Budiharso bilang seluruh wilayah Trenggalek sekarang ialah wilayah perdikan sejak jaman mpu Sindok.

    Terkait hak istimewa suatu daerah perdikan memang benar berlaku sepanjang masa selama matahari dan bumi berputar. Artinya prasasti untuk sima perdikan dikeluarkan dan berlaku sepanjang jaman. Buku Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit menulis bahwa daerah sima perdikan kerajaan adalah daerah merdeka mandiri yang berhak mengadakan pemerintahan sendiri, berhak memberlakukan hukum sendiri. Jika suatu daerah perdikan berada dalam wilayah suatu kadipaten atau keraton bawahan, daerah perdikan tetap tidak boleh mendapat campurtangan dalam persoalan apapun dari adipati maupun raja daerah. Boleh dibilang, meski dari segi kewilayahan hanya seluas desa atau dusun, tetapi daerah sima perdikan memiliki kedudukan hukum yang setara dengan kadipaten atau keraton bawahan, karena berada langsung di bawah kekuasaan raja. Dalam sejarah, daerah atau desa perdikan kerajaan memang mendapat perlakuan istimewa dan sangat dihormati raja yang berkuasa. Kedudukan itu berlaku untuk selamanya atau selama matahari dan rembulan menyinari dunia.

    Akan tetapi kerap terjadi suatu upaya penghancuran atau pengabaian isi prasasti oleh suatu raja pemenang. Peperangan juga berkemungkinan memunculkan pengrusakan symbol symbol kekuasaan raja yang kalah. Prasasti merupakan salah satu symbol kekuasaan seorang raja pada suatu daerah. Banyak prasasti batu yang kelak hancur atau terhapus secara sengaja oleh pihak pemenang. Hak yang melekat dalam sima perdikan juga sewaktu waktu dapat dicabut oleh raja lain yang menjadi musuh raja pemberi anugerah. Ada banyak contoh menjelaskan perkara ini.

    Kesimpulannya, tidak selalu hak otonom  sima perdikan itu melekat terus. Ini juga menjadi pertanyaan mengapa jaman Majapahit nama Kampak tidak termuat dalam kakawin Negarakertagama sebagai salah satu daerah perdikan atau semacam karesian yang sudah lama berprasasti. Yang muncul dalam kitab ini antaralain daerah Baru, thani Bala, Bala Masin, Kalangbret, Panampihan, Boyolangu, Panjer, Pasir atau Pacira. Hampir sebagian besar tempat tempat ini berada di kabupaten Tulungagung sekarang.

    ______________________________


    Teguh Budiharso menulis:

    Trenggalek sebagai daerah Kabupaten yang dipimpin oleh seorang Bupati, secara resmi digunakan pada zaman Sinuwun Paku Buwono II.  Saat itu, Sinuwun Baku Buwono II mengangkat Kanjeng Raden Tumenggung Sumotaruna sebagai Bupati Trenggalek pertama pada 1743. Sejak perjanjian Giyanti 1755 ketika Pangeran Mangkubumi memberontak wilayah kerajaan dibagi dua: wilayah kerajaan Surakarta di bawah pemerintahan Sunan Pakuwono dan wilayah kasultanan Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono. Akibatnya, Kabupaten Trenggalek dihapuskan dan wilayahnya digabungkan dengan Ponorogo, Pacitan, dan Tulungagung.  Inilah kiranya penyebab munculnya spekulasi bahwa Trenggalek diklaim sebagai bagian dari daerah Tulungagung.

    Sejauh ini, kaberadaan Trenggalek telah dianggap sebagai hadiah dari Tulungagung sebagai “kemurahan hati” melalui “pitulungan agung” sesuai makna Tulungagung sebagai “murah hati dan memberi pertolongan yang maha luas.”

    Klaim tersebut nampaknya diterima saja secara aklamasi dan tidak ada upaya pembuktian benar salahnya klaim tersebut. Tulisan ini telah membuktikan penelusuran sejarah sejak Mataram Kuno sampai Surakarta bahwa Trenggalek sepenuhnya ialah daerah otonom.  Bahkan belum ada kota atau wilayah lain yang mendapat status sima-parasima atau daerah otonom untuk seluruh daerah yang merupakan wilayah kota. Daerah Trenggalek 100% sejak zaman sejarah kuno memperoleh status daerah bebas pajak atau daerah otonom. Sebaliknya, sejarah membuktikan bahwa Tulungagung sekarang sebagian wilayahnya ialah pemberian dari Trenggalek, Blitar, dan Nganjuk. 

    Dalam sejarah Indonesia, status otonom untuk suatu desa atau daerah diberikan oleh raja karena masyarakat daerah tersebut telah berjasa luar biasa kepada raja.  Daerah otonom diberikan secara turun temurun dan tidak bisa dibatalkan kecuali daerah tersebut melawan raja.  Fungsi daerah otonom pada umumnya ialah daerah yang terkait dengan pemujaan para dewa, pertahanan, dan memuliakan leluhur raja.  Daerah sima diberi kewenangan mengelola sendiri pajak bumi, pajak perdagangan, dan pajak lain untuk digunakan oleh masyarakat di wilayah daerah otonom tersebut.  Dengan demikian, Trenggalek telah menjadi daerah merdeka dan mandiri sejak zaman Raja Sindok. 

    Fakta ini membuktikan bahwa Trenggalek sudah mandiri sejak zaman Kuno, sehingga tidak benar bahwa Trenggalek merupakan wilayah pemberian daerah lain. Justru wilayah Trenggalek tetap bersatu utuh walaupun dalam politik telah dipecah-pecah beberapa kali.  Barangkali tuah daerah sima-parasima yang diberikan raja-raja besar antara lain: Raja Sindok, Raja Airlangga, Raja Srenggo, Raja Wikramawardana dan Raja-Raja Surakarta tetap menjadi pengikat yang amat kuat.


    Tanggapan Siwi Sang:

    Teguh Budiharso rupanya salah tafsir atau salah tangkap dari tulisan saya berjudul Sejarah Tanah Tulungagung. Sangat jelas saya tidak pernah menyebut Trenggalek merupakan pemberian Tulungagung. Bahwa Tulungagung saya tafsirkan sebagai daerah yang banyak memberikan pertolongan agung itu bukan ditujukan kepada Trenggalek melainkan Tulungagung memberikan pertolongan agung kepada beberapa raja di masa yang berbeda seperti kepada dyah Balitung, mpu Sindok, Erlangga, dan Kertajaya.

    ___________________


    Teguh Budiharso menulis:

    Penelusuran Prasasti sejak Raja Sindok, Raja Airlangga, Raja Srenggo, dan Raja Kertawardana dengan tegas menunjukkan bahwa secara yuridis formal, wilayah Trenggalek seluruhnya seperti yang ada sekarang ini ialah wilayah sima parasima,  daerah bebas pajak yang dipimpin oleh Mentri Ketandan. Raja Sindok (929) memberi status Perdikan Kampak, Raja Airlangga (1032) memberi daerah Perdikan Baruharjo kecamatan Durenan, Raja Srenggo (1194) memberi status perdikan Kamulan, dan Raja Wikramawardhana (1406) memberi status Perdikan Bendungan.

    Zaman Raja Sindok menegaskan bahwa wilayah Trenggalek sudah diperhitungkan sejak zaman Mataram Kuno berpusat di Kedu dan Yogyakarta sebagai bagian dari Wengker Ponorogo.  Zaman Airlangga sebagai generasi terakhir Raja Sindok, menegaskan wilayah Trenggalek sebagai daerah penting.  Zaman Raja Srenggo di Kediri, menegaskan bahwa Trenggalek ialah wilayah penting Kediri sehingga daerah sepanjang lereng Gunung Wilis mulai lereng gunung Kalang Barat, Kamulan, Semarum, Pogalan, Ngetal, Karangan, dan daerah kota Trenggalek merupakan daerah otonom.  Prabu Kertawardhana raja Majapahit setelah Prabu Hayam Wuruk mangkat melanjutkan kebijakan ini dengan memberi hak otonomi bagi daerah Bendungan lereng Gunung Wilis bagian Barat yang perbatasan dengan Kecamatan Palung, Wengker, Ponorogo. Wilayahnya meliputi: kecamatan Tugu, Kecamatan Pule, dan Tangkil perbatasan dengan Pacitan.  Data empiris ini menegaskan bahwa wilayah Trenggalek telah ada secara terus-menerus dari pemerintahan Mataram, Kahuripan, Kediri, Singasari, Majapahit, Mataram, Pajang, dan Surakarta.  Wilayah itu memiliki keunggulan penghasil gaplek, sehingga disebut Galek atau Trenggalek.  Sebutan itu sudah ada sejak Raja Sindok menjadi Raja Medang yang berkedudukan di Jombang (929).

    Status dan wilayah Trenggalek mengalami pemisahan dan penggabungan. Karena itu, Trenggalek dianggap lebih muda dari Tulungagung. Pernyataan itu tidak tepat, karena Trenggalek sudah ada jauh sebelum Tulungagung tercatat dalam prasasti. Namun secara politik, Trenggalek mengalami pasang surut bahkan sempat dimasukkan dalam wilayah Tulungagung dan wilayah Pacitan. 

    Pada 1743, ketika KRT Sumotaruno diangkat Bupati Pertama di Trenggalek, wilayah Trenggalek meliputi wilayah yang sekarang.  Namun, pada 1755, ketika perjanjian Giyanti ditandatangani oleh Sunan Pakubuwono II, VOC dan Pangeran Mangkubumi, Trenggalek dihapuskan dan wilayahnya sebagian diberikan ke Kabupaten Ngrowo, Pacitan, dan Ponorogo.  Dalam penentuan wilayah mancanegara untuk pembagian wilayah Kasunanan Solo dan Kasultanan Yogjakarta, Trenggalek juga tidak disebutkan. Yang ada ialah Ponorogo karena Trenggalek dianggap sebagai bagian dari Ponorogo.

    Ternyata penggabungan tersebut belum berakhir. Pada masa RT Partowidjojo (1896-1901) menjabat Bupati Tulungagung, dilakukan penggabungan dan penghapusan Trenggalek. Pertimbangan geografis dan kondisi alam menjadi alasan utama penggabungan tersebut.  Saat itu Tulungagung sering dilanda banjir. Belanda memerintahkan agar Kabupaten Blitar menyumbang daerah Ngunut untuk dimasukkan ke wilayah Tulungagung, Kabupaten Ponorogo menyumbangkan daerah Trenggalek, dan Kabupaten Pacitan menyumbangkan daerah pantai di antaranya Ngrayun, Panggul dan Jombok. 

    Kebijakan ini menyebabkan Trenggalek dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Tulungagung. Setelah Bupati Trenggalek KRT Poesponegoro wafat pada 1934 kabupaten Trenggalek dihapus lagi dan  wilayahnya diberikan ke kabupaten Tulungagung dan Pacitan.  Jika konteks ini dirujuk, definisi “pitulungan agung” (pertolongan besar) justru diberikan untuk Tulungagung, bukan Tulungagung yang pemurah dan memberi pertolongan.


    Tanggapan Siwi Sang:

    Sudah saya paparkan bahwa Katandan Sakapat sekarang menjadi dusun Ketandan, Kalangbret, Tulungagung. 


    Jika Teguh Budiharso berpendapat bahwa seluruh wilayah Trenggalek sebagaimana termuat dalam prasasti Kamulan berada di bawak pimpinan menteri Katandan, ini menguatkan penafsiran saya bahwa Kamulan masa itu masuk wilayan Brang Kidul Tulungagung. 



    Berdasarkan pembacaan prasasti Kamulan 1194M, latarbelakang penganugerahan sima perdikan Kamulan berawal dari permohonan para samya haji Katandan Sakapat yang sebelumnya pernah mendapat anugerah raja sebelum Kertajaya namun masih tertulis dalam rontal sehingga parasamya haji di Katandan Sakapat memohon Kertajaya untuk mengukuhkan dalam bentuk prasasti kerajaan. 



    Perkembangannya Kertajaya memenuhi permohonan itu bahkan memberi anugerah tambahan lantaran para penduduk Katandan Sakapat telah ikut berjuang membantu raja mengusir musuh dari timur atau Jenggala. 



    Dimana Katandan Sakapat? Katandan sekarang menjadi dusun Ketandan, Kalangbret, Tulungagung. 



    Dari sini sudah jelas bahwa kamulan dan sewilayahnya yang termuat dalam prasasti 1194M adalah bagian dari wilayah Katandan Sakapat Kalangbret Tulungagung klasik. 



    Ini hanya sebagian contoh untuk membuka pemahaman bahwa suatu daerah atau desa berkemungkinan pada masa berbeda pindah ke wilayah lain. Dan kenyataannya sekarang Baru dan Kamulan masuk Trenggalek.

    Terkait pemaknaan Tulungagung sebagai daerah yang mendapat pertolongan agung karena mendapat wilayah dari kabupaten lain masa Belanda, saya justru berupaya mengubah paradigma pemikiran nederlando sentries yang mengidentikan Tulungagung sebagai obyek. 


    Devinisi Tulungagung sebagai daerah yang banyak menerima pertolongan agung dari daerah lain itu pemahaman yang keliru. Itu merupakan pemahaman nederlando sentries. Selama ini memang itu yang banyak dipahami orang Tulungagung.

    Naskah saya berjudul ‘Sejarah Tanah Tulungagung’ salah satunya untuk menunjukkan bahwa Tulungagung bukan sebagai obyek yang menerima, melainkan sebagai subyek yang memberi pertolongan agung.

    Pertolongan agung yang dimaksud bukan diberikan kepada Trenggalek sebagaimana yang disangka Teguh Budiharso, melainkan Tulungagung memberikan pertolongan agung kepada beberapa raja di masa yang berbeda.

    Ini sekilas penafsiran Tulungagung sebagai subyek yang memberikan pertolongan agung sebagaimana juga termuat dalam buku Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit terbitan Pena Ananda Indie Publishung Tulungagung, Desember 2013:

    Raja Kertajaya menetapkan daerah Kamulan sewilayahnya sebagai daerah perdikan atau swatantra, daerah istimewa yang dibebaskan dari segala pungutan pajak, daerah merdeka berpemerintahan sendiri yang kedudukannya langsung di bawah kekuasaan raja. Penganugerahan itu tertuang dalam piagam kerajaan yang kelak bernama prasasti Kamulan, 31 Agustus 1194M. Tanggal prasasti ini menjadi pedoman hari jadi kabupaten Trenggalek. Pada waktu dikeluarkannya prasasti oleh Kertajaya, daerah Kamulan dan sekitarnya masih termasuk wilayah Lawadan Tulungagung. Daerah Kamulan masuk Trenggalek pada masa Mataram Islam [Girindra hal. 49]

    Pada 20 April 1200M, Kertajaya memberi anugerah sima perdikan kepada desa Panjer, termuat dalam piagam kerajaan bernama prasasti Galungung. Desa Panjer sekarang bernama Panjerejo, kecamatan Rejotangan, Tulungagung [Girindra hal. 50]

    Kertajaya kembali mengeluarkan anugerah sima perdikan kepada daerah di wilayah selatan sungai Brantas, dengan keluarnya prasasti Biri pada 29 Agustus 1202M. Sekarang daerah Biri dikenal sebagai Cuwiri, dekat Kalangbret, Tulungagung. 


    Pada tanggal 4 April 1204M, raja Kertajaya kembali mengeluarkan prasasti untuk menetapkan daerah Sumberingin Kidul sebagai tanah perdikan. Desa Sumberingin Kidul sekarang terletak di kecamatan Ngunut, Tulungagung [Girindra hal. 57]

    Beberapa bulan kemudian, masih pada 1205M, Ranggah Rajasa melancarkan serangan pertama ke Panjalu Daha. Raja Kertajaya yang tidak menduga serangan itu terpaksa menyingkir ke selatan sungai Brantas, mendapat perlindungan seluruh penduduk bhumi Lawadhan, Tulungagung. Sampai akhirnya Sri Kertajaya berhasil menduduki singgasana di istana Daha setelah penduduk Lawadan memukul pasukan Ranggah Rajasa. Sebagai balas jasa atas segala pertolongan agung itu, raja Kertajaya menganugerahi desa atau thani Lawadan sebagai sima perdikan kerajaan Panjalu Daha.

    Bahwa penganugerahan tanah sima perdikan atau daerah merdeka mandiri berpemerintahan sendiri yang dikeluarkan raja Kertajaya kepada lima daerah atau desa di selatan Brantas atau sekarang kabupaten Tulungagung, yaitu desa Kamulan, Panjerejo, Cuwiri, Sumberingin Kidul, dan Lawadan, merupakan balas jasa kerajaan Panjalu Daha kepada para penduduk di lima daerah tersebut yang telah berjuang memberikan pertolongan agung [Girindra hal. 58]

    Lima prasasti Kertajaya yang ditemukan di Tulungagung, terutama sekali keberadaan prasasti Lawadan, menjadi bukti sejarah yang sangat kuat untuk menunjukkan bahwa Tulungagung adalah subyek atau pihak yang memberikan pertolongan agung pada daerah lain, dalam hal ini berjasa besar mengembalikan tahta raja Kertajaya ke istana Panjalu  di Daha. Jadi posisi Tulungagung bukan sebagai pihak yang menerima pertolongan agung sebagaimana pemahaman selama ini.

    Sementara itu sejak 2003 penanggalan prasasti Lawadan 18 Nopember 1205 menjadi pedoman hari jadi kabupaten Tulungagung.

    SIWI SANG

    Reverensi Tanggapan:

    Buku Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit terbitan Pena Ananda Indie Publishing Tulungagung, Desember 2013

    __________

    11 comments:

    1. Ulasan yang panjang lebar Pak Siwi.. Saya menyimak dulu..

      ReplyDelete
    2. Iya mas fathoni. Sebenarnya tanggapan atas artikel Teguh Budiharso masih ada sambungannya. Tapi ini sudah terlalu panjang.

      Dan jika ingin menengok sejarah Tulungagung, sampeyan juga dapat lihat di catatan ini:
      http://siwisangnusantara.blogspot.com/2014/07/tafsir-baru-sejarah-tulungagung.html

      tentu nanti masih ada beberapa revisi. masih ada beberapa data.

      Maturnuwun mas. Salam kenal.

      ReplyDelete
    3. Aneh n heran juga dengan kengototan sdr teguh budiharjo....penjelasannya terkesan subyektif dengan analisanya tentang asal kata trenggalek dan letak kampak yang katanya desa gandusari...nyata2 dukuh kampak ada di desa karangrejo kecamatan kampak,trs darimana dia ngotot ada di desa gandusari yang jaraknya sekitar 7km dr kampak....prasasti kampak pun ditemukan di sendang ngudalan dibawah gunung manik oro yg bersebelahan dengan dukuh kampak....salam kenal mas siwi sang,penjelasan lbh ilmiah dan masuk akal...saya penulis sejarah kampak dan asal usul trenggalek di padepokan dewandaru

      ReplyDelete
    4. Saya punya hipotesa baru tentang letak kerajaan raja hasin.....batasnya candi brongkah sampai sungai Ngasinan....dasarnya,candi brongkah menurut saya adalah situs peninggalan Airlangga dan diperbarui masa masa raja2 selanjutnya...mgkn semacam batas kerajaan raja hasin sebelah timur....logikanya kenapa Airlangga hrs bermalam di Baruharjo klo letak kerajaan masih jauh....di Baruharjo Airlangga mempersiapkan segala keperluan perang dibantu penduduk setempat dan kemudian melakukan penyerangan ke kerajaan raja hasin yg letaknya tinggal bbrp kilo dr Baruharjo,ini masuk akal sampai2 dibuatkan prasasti utk warga Baruharjo....artinya tempat ini punya makna yg dangat penting bg Airlangga.....jk letak kerajaan itu di sekitar kelutan trenggalek,perjalanan tentu msh memakan waktu dan di baruharjo cm bermalam dan ini tentu tak ada maknanya bagi perjuangan Airlangga blm lg hrs menyeberangi sungai Ngasinan ini tentu membutuhkan tempat istirahat lg.....ini cm hipotesa dan perlu penelitian lbh dlm apakah benar hipotesa saya candi brongkah situs dr Airlangga....situs ini klo bukan batas kerajaan mgkn Tugu kemenangan Airlangga stlh bertempur di Brongkah.....tlg mas siwi yg msh di tulungagung,ditleliti lg candi brongkah krn skrg saya sdh tdk di trenggalek

      ReplyDelete
    5. Tambahan: ada desa di kampak yg namanya Bogoran....Bogoran adalah kata dr kata Bogor yg berarti Pertapaan,letaknya antara dusun Njarsari atau mgkn dl bernama Banjarsari dgn dusun Setono...dr 3 nama ini menunjukkan bahasa2 lama....mgkn di sekitar sinilah dl pemukiman kuno jaman mpu sindok...letaknya dr dukuh kampak n sendang ngudalan sekitar 2-3km...mgkn data2 ini bs jd bahan mengungkap sejarah peradaban di trenggalek dan tulungagung yg menurut saya tidak bs dipisahkan....beda dengan ponorogo yg punya peradaban sendiri dgn kerajaan wengker nya....Tambahan lg: Medang Kamulan lama mmg letaknya di Kamulan Durenan terbukti banyak situs di sekitar Kamulan....Peradaban di Kamulan berawal dari masa Prabu Dewata Cengkar yg bertahta di Kamulan dan sekitarnya....bukti lain gunung rajegwesi sudah sering dimuat dlm sastra2 kuno jawa,artinya peradaban awal jawa mgkn sekitar Kamulan dan kemudian berpindah-pindah krn pd masa lalu hal yg lumrah berpindah ibukota kerajaan krn entah krn bencana atau perang.....dr situ disebut kerajaan jawa kuno dinamakan Medang Kamulan...cb telaah legenda aji saka yg menenggelamkan dewata cengkar di laut selatan,tentunya kerajaan dewata cengkar tidak jauh dr laut selatan....beda dgn pendapat selama ini yg mengatakan ada di tengah2 Jawa Tengah....jaman dahulu gemuruh ombak laut selatan bs terdengar sampai Kamulan,soalnya nenek saya yg di kampak pnh cerita suaranya terdengar sampai kampak,itu taun2 1900an apalagi klo jaman kuno....ini bs jg jd pertimbangan semua hipotesa kita yg jg blm tentu kebenarannya, ttp setidaknya kita sdh berusaha menggali semua kebenaran leluhur kita yg sampai skrg jg msh samar....

      ReplyDelete
    6. terimakasih kang @Dewandaru atas masukan dan pendapatnya. soal hasin, saya sependapat dengan sampeyan. maksudnya daerah hasin atau pusat kerajaan hasin yang mau digempur erlangga berada di depan desa baru yang sekarang bernama baru harjo. soal candi brongkah, saya dulu pernah dapat info, pernah ada temuan lempeng tembaga yang dibawa ke surabaya. jika benar, sangat mungkin itu lempeng prasasti baru. karena berdasarkan isi prasasti baru 1030M, anugera erlangga untuk desa baru tertulis dalam lempeng tembaga atau tamra prasasti. menjadi pertanyaan, ketika di surabaya ditemukan prasasti baru bentuk lingopala atau prasasti batu.

      ReplyDelete
    7. This comment has been removed by the author.

      ReplyDelete
    8. Selamat siang, saya anggita mau tanya tentang bagaimana cerita asal usul kabupaten tulungagung dan bagaimana karakteristik setiap tokoh pada cerita tersebut
      terimakasih

      ReplyDelete
    9. Selamat siang, saya anggita mau tanya tentang bagaimana cerita asal usul kabupaten tulungagung dan bagaimana karakteristik setiap tokoh pada cerita tersebut
      terimakasih

      ReplyDelete
    10. mbak Anggita Erry@ soal asal usul kabupaten Tulungagung silakan tengok catatan saya di http://www.siwisangnusantara.web.id/2014/07/tafsir-baru-sejarah-tulungagung.html

      Barangkali yang dimasud sampeyan itu asal usul Tulungagung berdasarkan Babad Tulungagung yang memunculkan tokoh tokoh seperti Kyai Kasan Besari, Kyai Pacet, Adipati Bedalem, Adipati Kalang, Roro Kembangsore, Menak Sopal Trenggalek murid Kyai Pacet, dan seterusnya. kalo ini versi Babad yang tidak menggunakan rujukan data dari sumber akurat, bentuk naskah atau prasasti. versi ini harus dibenahi karena tidak sesuai dengan catatan sejarah. seperti episode adipati kalang soal asal usul nama KALANGBRET yang menurut Babad Tulungagung berasal dari kisah Adipati Kalang disembret sembret atau dibukuh kejam oleh Gajah Mada. itu jelas tidak benar. Nama KALANGBRET sudah muncul jauh jaman kerajaan Tumapel Singasari, pertama muncul dalam prasasti MULA MALURUNG 1255M. Nama KALANGBRET juga muncul dalam kakawin Negarakertagama. Kalau ingin tau lebih detil soal para tokoh itu, silakan ke blog Dinas Pariwisata Tulungagung. Di sana ada unggahan tulisan Babad Tulungagung. demikian.

      ReplyDelete
    11. kalau asal usul atau sejarah hari jadi kabupaten Tulungagung, berdasarkan prasasti Lawadan 1205M. Nama Tulungagung sendiri baru muncul resmi sebagai nama kabupaten pada tanggal 1 April 1901M.

      Sementara dalam prasasti Padlegan II, ada muncul nama TULUNG MOLIH.

      Prasasti Pikatan II/Padlegan II 1081C/23 September 1159M
      Sri maharaja Rakai Sirikan Sri Sarwweswara Janarddhanawatara Wijayagrajasama Singhanadaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewanama mengeluarkan prasasti pada tahun saka 1081 atau 23 September 1159M yang dikenal sebagai Prasasti Pikatan atau Prasasti Padlegan II.

      Prasasti batu dan berbahasa Jawa Kuna ini, berdasarkan laporan pertama ditemukan di desa Pinggir Sari, distrik Tulungagung. Sekarang Prasasti Padlegan II berada di Museum Wajakensis Tulungagung.http://www.siwisangnusantara.web.id/2015/08/daftar-lengkap-prasasti-prasasti-di.html

      ReplyDelete

    Literatur

    Taktik Menulis

    Banjarnegara