Ketika Sri Wikramawardhana bertahta di keraton Trowulan sebagai maharaja Majapahit, Bhre Wirabhumi II Aji Rajanatha bertahta di Blambangan sebagai maharaja Kedaton Timur, menggantikan sang kakek, Bhatara Parameswara Pamotan Wijayarajasa yang wafat 1388M. Naiknya Wikramawardhana menjadi pembenar bagi Bhre Wirabhumi II untuk secepatnya menduduki tahta Majapahit. Sebagai putra kandung maharaja Majapahit Rajasanegara Hayam Wuruk, bhatara Aji Rajanatha merasa berhak atas tahta.
Maka yang terjadi kemudian
semakin meruncing perseteruan, melunturkan persatuan keluarga Girindra
Majapahit. Ada yang tegas mendukung Kedaton Barat, ada yang sebaliknya, dan ada
pula yang bersikap diam. Seluruh keluarga Wijayarajasa yang tersisa, seperti Ratu Daha IV Indudewi, teguh
setia mendukung perjuangan Aji Rajanatha. Sangat mungkin pula diikuti patih Daha Arya Panular.
Arya Panular menjabat sebagai patih Daha menggantikan Gajahmada. Ia adik
kandung pendiri Kedaton Timur Baginda Wengker Wijayarajasa. Kedudukan patih
Daha Arya Panular sebagai adik kandung Baginda Wengker termuat dalam kakawin
Negarakertagama. Keduanya merupakan putra Arya Bangah, adik Raden Wijaya.
Aji Rajanatha merupakan salah
satu anggota keluarga Girindra yang memiliki hubungan dekat dengan Islam. Pada
waktu itu, Islam masih terbilang agama kecil atau minoritas. Tentunya Kedaton
Timur yang ketika itu berposisi sebagai pemerintahan tandingan atau oposisi
Majapahit, berjuang meraih dukungan dari beberapa kalangan minoritas. Hubungan
ini kelak tersirat dari kunjungan pertama rombongan Laksamana Islam Tiongkok
Cheng Ho ke Kedaton Timur di Blambangan.
.
Berdasarkan penafsiran terhadap
beberapa prasasti seperti Bilululuk II-IV dan prasasti Raden Saleh yang keluar
sebelum 1400M, secara tersirat menggambarkan sengitnya persaingan dua keraton
darah Girindra. Masing-masing seperti berlomba mengeluarkan anugerah prasasti
atau surat pikukuh kepada daerah-daerah yang menjadi pendukungnya.
Masing-masing bersaing memertahankan dan meluaskan wilayah kekuasaannya. Inilah
masa perang dingin dalam keluarga Girindra Majapahit. Isi prasasti Biluluk II
bertarikh 1391M berdasarkan terjemahan Muhammad Yamin:
Ketahuilah para
juru sekalian yang menguasai perdagangan atau segala macam usaha. Bahwa
perkataanku ini untuk meneguhkan perintah sri paduka parameswara sang mokta
ring wisnubhuwana. Terkait kebebasan semua keluarga di Biluluk, mengadakan
usaha serba empat: berdagang membuat arak, memotong, mencuci, mewarna, memutar,
dan membakar kapur, selanjutnya yang menjaga tanah perdikan seluruhnya,
berusaha seba satu yaitu kebebasan dari segala macam pungutan bea cukai yaitu
cukai padadah, pawiwaha, patatar, pasadran, byangkatan, palalandep, palalajer,
pararajeg, pabata, pabale, parahab, pasusuk, mereka juga dibebaskan dari
pungutan cukai pada hasil panen sahang, cabe, kapulaga, wesi, kuali wesi,
pinggan, rotan penjalin, kapas. Maka mereka dibebaskan dari membayar tahil,
mereka tidak dikenakan pungutan dari segala penghasilan itu yang biasanya
tiap-tiap jiwa sebesar 500 setiap orangnya. Makadon anahasi parajuru hanagi
kapepek irehana mareka kepadaku. Sedangkan semua keluarga, keponakan, kemenakan
semua yang memahat di Biluluk dibebaskan juga dari membayar tahil. Meminta
sangu pengisi kandi. Jika piagam raja ini sudah diberi cap dan dibacakan,
semoga dapat dipatuhi segenap keluarga di Biluluk. Tertanggal kaliwon, bulan
kedua tahun saka 1313.
Dalam prasasti Biluluk II
bertarikh 1391M tidak diketahui pasti siapa yang mengeluarkan perintah
pencatatan prasasti. Yang pasti, prasasti ini bertujuan untuk meneguhkan
anugerah dari Sri Paduka Parameswara sang mokta ring Wisnubhawana kepada
penduduk Biluluk, daerah Lamongan. Sri Paduka Parameswara ini adalah baginda
Wengker I Wijayarajasa, raja pertama Kedaton Timur, suami Ratu Daha Rajadewi
Dyah Wiyat. Dalam Pararaton dikenal sebagai Bhatara Parameswara Pamotan yang
wafat pada tahun 1388M, didarmakan di Manar, candi pendarmaannya bernama
Wisnubhawanapura. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa yang mengeluarkan
prasasti Biluluk 1391M adalah raja Kedaton Wetan Bhre Wirabhumi Aji Rajanatha.
Penempatan prasasti di daerah Biluluk atau Lamongan, menunjukkan bahwa Kedaton
Timur berupaya menguasai daerah di sekitar pesisir utara. Lamongan berada di
dekat Tuban. Raja Kedaton Timur Aji Rajanatha masih mengeluarkan prasasti pada
tahun 1395M yang dikenal sebagai prasasti Biluluk III:
Ketahuilah
kepada yang menerima pembayaran tahil dari tukang anda, dari mereka yang
membantu tukang anda, yan dari mereka yang membeli latek, dan dari
bermacam-macam pemungutan bea cukai lainnya, bahwa perintahku adalah supaya
keluarga di Biluluk di Tanggulunan, dibebaskan dari pembayaran uang tahil pada
anananda, hanandanu, lan hatuku latek, bebaskanlah, jauhkanlah dari penagihan
tahil pada anananda, hanandanu, lan hatuku latek di daerah keluargaku di
Biluluk dan di Tanggulunan, menyingkirlah dan datanglah kepadaku, janganlah
dipersulit semua keluargaku di Biluluk dan di Tanggulunan, jika surat dari raja
ini sudah dibaca, patuhilah para keluargaku di Biluluk. Tertanggal bulan jasta.
Tahun saka 1317/1395M.
Raja Kedaton Timur masih
mengeluarkan prasasti Biluluk IV. Ini memunculkan dugaan bahwa daerah Biluluk
di Lamongan dipandang sangat penting oleh Sri Bhatara Rajanatha. Dalam prasasti
ini, raja Kedaton Timur kembali menegaskan sebagai pihak yang paling berwenang
mengeluarkan anugerah perdikan kepada daerah Biluluk, Lamongan. Ditegaskan pula
bahwa segala usaha dagang yang dilakukan para peranakan atau keturunan Tiongkok
di pesisir utara mendapat perlindungan penuh dari raja Kedaton Timur. Para
pejabat mahamentri katrini Majapahit dilarang memungut segala pajak kepada
mereka. Dapat ditarik kesimpulan pihak Kedaton Timur berupaya mendapatkan
dukungan dari daerah pesisir utara, terutama mereka penganut Islam. Pada waktu
itu daerah pesisir utara sekitar Tuban, Lamongan dan Gresik banyak dihuni para
pedagang Islam dari Arab, Campa, maupun Tiongkok.
Dalam beberapa karya sastra Jawa
bernuansa Islam seperti Babad Tanah Jawa, pengabaran masa pertikaian antar
keluarga Girindra, dipadu dengan sejarah awal kedatangan tokoh-tokoh Walisanga
ke tanah Jawa Majapahit. Diberitakan bahwa kedatangan Maulana Malik Ibrahim ke
kotaraja Majapahit bertepatan dengan suasana pertikaian antar keluarga keraton.
Di antara para tokoh Walisanga lainnya yang dikenal dalam sejarah, Maulana
Malik Ibrahim termasuk tokoh Walisanga yang pertama datang ke tanah Jawa.
Menurut Babad Gresik, yang pertama datang ke Gresik adalah dua bersaudara
keturunan Arab, Maulana Mahpur dan Maulana Malik Ibrahim. Keduanya datang
bersama 40 orang pengiring. Rombongan itu dipimpin Sayid Yusuf Maghribi. Mereka
datang ke tanah Jawa untuk berdagang sembari menyebarkan Islam. Berlabuh di
Gresik pada sekitar 1371M. Rombongan itu datang ke keraton Majapahit, menghadap
Prabhu Brawijaya, lalu mengabarkan kebenaran ajaran Islam. Sang raja menyambut
baik kunjungan itu, namun belum berkeinginan menganut Islam. Sampai kemudian
Prabhu Brawijaya mengangkat Maulana Malik Ibrahin sebagai pemimpin pelabuhan di
Gresik dan diperbolehkan menyebarkan ajaran Islam dengan catatan tidak boleh
ada pemaksaan.
Beberapa sejarawan yang menulis
sejarah Walisanga kerap menyimpulkan Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh pertama
yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Analisa itu tentunya bersumber dari
Drewes dalam New Light on the Coming of Islam to Indonesia yang menyimpulkan
Maulana Malik Ibrahim sebagai salah seorang tokoh yang dianggap penyebar Islam
tertua di Jawa. Ini jelas sangat menyesatkan sejarah Islam Nusantara. Mereka
belum dapat membedakan antara kedatangan, perkembangan, dan pertumbuhan
pemerintahan Islam di tanah Jawa. Jika Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang
pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, berarti agama Islam belum
ada di tanah Jawa sebelum kedatangan Maulana Malik Ibrahim. Padahal, Islam
sudah datang dan berkembang bahkan jauh sebelum Majapahit berdiri.
Bahwa para tokoh Walisanga
seperti Maulana Malik Ibrahim memang datang membawa Islam ke tanah Jawa, tetapi
bukan sebagai yang pertama. Para Walisanga hanya melanjutkan segala yang telah
dirintis para para pedagang Islam masa jauh sebelumnya. Beberapa catatan
sejarah terkait Islam Nusantara menunjukkan, pada masa Panjalu dan Jenggala,
Islam sudah berkembang di tanah Jawa. Beberapa makam Islam kuna seperti di
Leran dan Kediri, merupakan bukti tak terbantahkan bahwa Islam tiba di tanah Jawa
sebelum kedatangan para Walisanga.
Sementara lepas dari apakah
Maulana Malik Ibrahim datang ke keraton Majapahit pada 1371M atau setelahnya,
yang dapat dipastikan, tokoh tertua Walisanga ini datang ke tanah Jawa pada
akhir pemerintahan Hayam Wuruk. Dan jika diberitakan datang pada saat Majapahit
terjadi pertikaian antar keluarga keraton, berarti kedatangannya setelah muncul
Kedaton Timur yang dibangun Baginda Wengker I Wijayarajasa Kudamerta pada
sekitar 1376M, berdasarkan berita Pararaton yang menyebut pada tahun ini muncul
‘gunung baru’ yang dapat dimaknai sebagai munculnya pusat pemerintahan baru.
Jika benar datang setelah
Majapahit ada dua keraton, bukan tidak mungkin pula rombongan Maulana Malik
Ibrahim berkunjung ke Keraton Timur di Blambangan Wirabhumi. Pada saat itu
berkembang pemukiman penduduk paranakan, istilah untuk menyebut keturunan
campuran Jawa Tiongkok, di sekitar pesisir utara daerah Biluluk, Lamongan. Pemukiman orang-orang Tiongkok keturunan ini
mendapat perlindungan penuh dari pihak Kedaton Timur. Rombongan armada Islam
Tiongkok pimpinan Laksamana Cheng Ho, datang pertama kali ke Majapahit di
Kedaton Timur. Kemungkinan terjalinnya hubungan Maulana Malik Ibrahim dengan
keraton Timur, berkaitan pula dengan berita kedekatan hubungan antara pihak
Blambangan Wirabhumi dengan Maulana Ishak pada masa pemerintahan Maharani
Suhita.
Lepas dari persoalan keraton mana
yang dikunjungi Maulana Malik Ibrahim, yang pasti setelah wafat pada 8 April
1419M, tokoh tertua Walisanga ini dimakamkan di dusun Gapura, Gresik. Dan
berita bahwa kegiatan penyebaran ajaran Islam yang dilakukan Maulana Malik
Ibrahim bertepatan dengan pertikaian keluarga Majapahit, ternyata masuk akal.
Dapat pula dikatakan berita
cerita babad yang mengabarkan setelah berkunjung ke keraton Majapahit, Maulana
Malik Ibrahim mendapat tanah di sekitar Gresik, mengandung kebenaran. Dan
sangat mungkin yang memberikan anugerah adalah raja Kedaton Timur. Kuatnya
kemungkinan ini, selain tersirat dalam isi prasasti Bululuk II-IV, juga
tersurat dalam prasasti Karang Bogem yang dikeluarkan seorang tokoh yang
memiliki kekuasaan besar pada tahun 1387M atau dua tahun sebelum Hayam Wuruk
Wafat. Pada tahun itu Raja Kedaton Timur, Baginda Wijayarajasa masih hidup.
Suami Ratu Daha Dyah Wiyat ini dikenal juga sebagai Bhatara Parameswara
Pamotan. Kedaton Timur berpusat di Balambangan Wirabhumi. Adanya penyebutan
raja Kedaton Timur sebagai Bhatara Parameswara Pamotan menunjukkan bahwa
Baginda Wijayarajasa ketika itu juga berkuasa di keraton Pamotan. Sebelumnya
tidak dikenal ada keraton Pamotan di Majapahit. Berarti keraton ini dibangun
pertama oleh Baginda Wijayarajasa untuk meluaskan wilayah Kedaton Timur.
Pamotan berada di daerah Bangil, Pasuruan. Sangat mungkin wilayah kekuasaan ini
mendesak ke arah Kahuripan dan Gresik. Kesimpulannya, Baginda Wijayarajasa juga
pernah menguasai keraton Kahuripan. Ini juga dapat untuk menjelaskan mengapa
setelah Ratu Kahuripan Tribhuwanatunggadewi wafat, beberapa tahun kemudian
belum ada pengganti. Ratu Kahuripan Tribhuwanatunggadewi wafat pada tahun
1375M. Dalam tahun ini wafat pula Ratu Daha Dyah Wiyat, permaisuri Baginda
Wijayarajasa. Kekuasaan Baginda Wijayarajasa atas pesisir Kahuripan dan Gresik,
sangat mungkin terjadi lantaran tokoh sepuh yang sangat disegani di Majapahit
yaitu Baginda Tumapel Kertawardhana
sudah wafat pada tahun 1386M. Meski belum tentu langsung menguasai setelah
wafatnya Ratu Kahuripan, berdasarkan pembacaan prasasti bertarikh 1387M,
dipastikan daerah pesisir mulai Pasuruan, Kahuripan Hujung Galuh, Gresik,
sampai Lamongan, berada dalam kekuasaan Kedaton Timur Baginda Wijayarajasa.
==============
SIWI SANG
Reverensi:
Buku Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit
buku Walisongo karya Agus Sunyoto
Buku Tatanegara Madjapahit karya Muhammad Yamin
[i] Keluarga
Girindra Majapahit memiliki beberapa tokoh bergelar anumerta ‘Parameswara’,
antara lain Bhatara Parameswara Aji
Ratnapangkaja, Bhatara Parameswara Kertawardhana, dan Bhatara Parameswara
Pamotan Wijayarajasa.
No comments:
Post a Comment