Sebelum mahakarya Atlas Wali Songo, sejarawan Islam Agus Sunyoto menulis buku sejarah berjudul ‘Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan’. Buku ini berakhir di halaman 282, memiliki daftar pustaka 15 halaman. Sungguh daftar pustaka yang bukan main. Menurut penerbit, ini buku ilmiah tentang Wali Songo dengan pendekatan multi disiplin: histories-arkeologis-aetilogis-etnohistoris dan kajian budaya.
Dalam pengantar, Said Aqil Siraj bilang bahwa memang, untuk menjadi sejarawan Islam Nusantara
dibutuhkan kemampuan lebih; selain menguasai bahasa kitab kuning juga menguasai
bahasa Jawa Kuno. Dengan demikian, sumber-sumber sejarah bisa diambil dari
naskah dan bahasa aslinya, bukan mengais-ngais berbagai opini yang dibuat para
orientalis, yang tentunya banyak yang mengyimpang dari pengertian dan maksud
sebenarnya dari naskah dan sejarah yang ada. Kemampuan membaca dan kemampuan
menafsirkan secara kreatif itulah yang dimiliki oleh sejarawan Agus Sunyoto,
sehingga mampu menghadirkan Wali Songo sebagai tokoh sejarah yang layak
diteladani perilaku pribadinya, semangat juangnya, serta strategi dakwahnya.
Saya sepakat bahwa sumber sejarah yang sahih atau terkokoh adalah prasasti-prasasti,
yaitu sumber sejarah tertulis di atas batu atau tembaga maupun perunggu. Beritanya sangat dapat dipercaya, asalkan tidak
keliru pembacaannya. Selain prasasti-prasasti, sumber sejarah yang banyak
membantu penyusunan dan penulisan sejarah Nusantara adalah catatan para musafir
asing, utamanya Tiongkok, Arab, dan Eropah. Berita-berita asing itu merupakan
sumber sejarah yang dapat dipercaya lantaran kaum musafir menyaksikan secara
langsung keadaan negeri-negeri di Nusantara. Uraian-uraian mereka boleh
dikatakan sumber berita dari saksi mata pertama.
Sementara saya juga sepakat bahwa cerita-cerita rakyat seperti hikayat, babad, dan karya
sastra lainnya, merupakan sumber sejarah kurang kuat, lantaran banyak dicampuri
dongeng mitos. Kebenarannya masih harus
disangkut tandingkan dengan sumber sejarah yang lebih kuat. Meski demikian,
cerita-cerita rakyat itu tetap merupakan sumber sejarah. Hakikatnya
cerita-cerita rakyat itu disusun berdasarkan peristiwa sejarah yang pernah
terjadi. Tugas menyaring mana bukti sejarah dan mana yang mitos, serahkan saja
pada ahlinya, yaitu mereka para pakar sejarah.
Tetapi dalam buku Walisongo ini, Agus Sunyoto
belum secara utuh memisahkan sejarah dengan mitos, utamanya terkait Walisanga.
Bahkan buku ini belum tegas membedakan antara kedatangan Islam, perkembangan Islam, dan kemunculan
kekuasaan Islam di Nusantara.
Selama ini sebagian sejarawan masih berpendapat
bahwa tokoh Walisanga dipandang sebagai penyebar pertama agama Islam di tanah
Jawa. Adanya agama Islam di tanah Jawa berkat perjuangan tokoh Walisanga, bukan
lainnya. Artinya jika tidak ada Walisanga, maka tidak ada Islam di tanah Jawa.
Abdul Mun’im, editor buku yang sedang kita
bicarakan ini, menyebutkan kalau langkah yang dilakukan Agus Sunyoto untuk
mementaskan para wali dalam panggung sedjarah Nusantara ini berhasil, maka
pelan-pelan cara pandang ahistoris dan diskriminatif terhadap para wali akan
hilang. Tetapi sekali lagi, tugas ini berat sebelum ada revolusi historiografi
lanjutan yang mengubah orientasi istana sentries menjadi rakyat sentries. Sebab
sejarah wali adalah bagian dari sejarah rakyat. Dengan langkah yang
ditempuhnya, menurut editor, sebenarnya Agus Sunyoto sendiri telah melangkah
menuju revolusi histotiografi lanjutan, karena memang revolusi historiografi
ternyata belum selesai, cara pandang colonial masih sangat dominant. Terhadap
dominasi itulah, Agus Sunyoto melakukan revolusi dan pemberontakan.
Tetapi Siwi Sang menilai buku Walisongo sedikit sekali upaya perevolusian sejarah atau
perekonstruksian sejarah Islam Walisanga.
Padahal editor sudah mewanti-wanti bahwa
pemikiran revolusioner terhadap sejarah memang diperlukan, dan buku sejenis ini
perlu terus disebarluaskan untuk membebaskan masyarakat dari kesesatan sejarah
yang sengaja disebarluaskan oleh kolonialisme purba maupun kolonialisme
moderen. Dan celakanya, masih menurut Abdul Mun’im, sekolah dan universitas yang
semestinya menjadi forum emansipasi bangsa dari kesesatan colonial, malah
menjadi agen penjajahan bangsa, hanya karena kehilangan daya kritis terhadap
realitas sejarah bangsanya.
Karena revolusi historiografi merupakan
kelanjutan dari revolusi politik, maka revolusi historiografi ini juga
merupakan bagian dari emansipasi social dari cengkeraman penjajahan pemikiran
yang tgernyata hingga kini masih membelenggu kesadaran dan pemikiran kita. Di
sinilah letak dan arti strategi penerbitan buku ini, demikian pungkas editor
dalam pengantarnya.
Kedatangan Islam di Nusantara
Pada halaman 35, Agus Sunyoto menulis:
”Fakta sejarah terkait belum dianutnya agama
Islam oleh penduduk pribumi Nusantara, terlihat pada bukti factual pada
dasawarsa akhir abad ke-13, sewaktu Marcopolo kembali ke Italia lewat laut dan
sempat singgah di negeri Perlak. Saat itu Marcopolo mencatat bahwa penduduk
Perlak terbagi atas tiga golongan masyarakat sebagai pemukim yaitu kaum muslim Cina,
kaum muslim Persia-Arab, dan peduduk pribumi yang masih memuja roh-roh dan
kanibal. Bahkan dua pelabuhan dagang di dekatnya, yaitu Basma dan Samara,
menurut Marcopolo, bukanlah kota Islam.”
Kalimat ‘belum dianutnya agama Islam oleh
penduduk pribumi Nusantara pada akhir abad ke-13’ sangat patut direvolusi.
Jelas Perlak adalah kerajaan atau kesultanan
Islam. Memang benar, beberapa kota banyak yang menganut agama bukan Islam,
seperti Budha dan Trimurti. Sumatera adalah bekas kekuasaan Sriwijaya yang
menganut Budha Mahayana. Tetapi sangat keliru jika Agus Sunyoto menulis agama
Islam belum dianut penduduk pribumi Nusantara. Meski perkembangan Islam di
Perlak atau tanah Malayu disebarkan kaum pedagang Arab atau Persia, juga muslim
Cina, penduduk pribumi utamanya Perlak jelas sudah banyak yang menganut Islam.
Berdirinya kekuasaan Perlak menjadi fakta sejarah tak terbantahkan.
Maulana Malik Ibrahim
Pada hal. 51, Agus Sunyoto, mengutip tulisan
G.W.J. Drewes dalam New Light on the coming of Islam to Indonesia, menyebutkan
bahwa Maulana Malik Ibrahim dianggap sebagai salah seorang tokoh yang
pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa dan merupakan wali senior di
antara para wali lainnya.
Menurut Babad ing Gresik, yang awal datang ke
Gresik adalah dua bersaudara keturunan Arab, Maulana Mahpur dan Maulana Malik
Ibrahim dengan tetuanya Sayyid Yusuf Mahrabi beserta 40 orang pengiring.
Maulana Mahpur dan Maulana Malik Ibrahim masih bersaudara dengan raja Gedah.
Mereka berlayar ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam sambil berdagang. Mereka
berlabuh di Gerwarasi atau Gresik pada tahjun saka 1293 atau 1371M. Rombongan menghadap raja Majapait Brawijaya,
menyampaikan kebenaran Islam. Sang raja menyambut baik kedatangan mereka tetapi
belum berkenan memeluk Islam. Lalu Maulana Malik Ibrahim diangkat oleh raja
Majapait sebagai sahbandar atau pemimpin pelabuhan di Gresik dan diperbolehkan
menyebarkan agama Islam kepada orang Jawa dengan catatan tidak ada pemaksaan.
Sementara sumber cerita local menuturkan bahwa
daerah yang pertama kali dituju Maulana Malik Ibrahim adalah desa Sembalo, dekat
desa Leran kecamatan Manyar, sekitar 9 km utara Gresik, tidak jauh dari makam
Fatimah binti Maimun yang sohor itu. Maulana Malik Ibrahim kemudian menyiarkan
agama Islam dengan mendirikan masjid pertama di desa Pasucian, Manyar. Kegiatan
yang dirintisnya adalah berdagang di dekat pelabuhan., mendirikan pasar di desa
Rumo, yang menurut cerita setempat berkaitan dengan kata Rum [Persia], kediaman
orang Rum. Setelah dakwahnya berhasil di Sembalo, Maulana Malik Ibrahim pindah
ke kota Gresik tinggal di desa Sawo. Setelah itu datang ke kutaraja Majapait,
menghadap raja dan mendakwahkan agama Islam kepada raja. Namun raja Majapait
belum berkenan tetapi menerima kedatangan maulana Malik Ibrahim sangat baik dan
bahkan sang raja menganugerahi sebidang tanah di pinggir kota Gresik yang kelak
dikenal sebagai desa Gapura. Di desa Gapura itulah Maulana Malik Ibrahim
mendirikan pesantren mendidik kader-kader pemimpin umat dan penyebar Islam yang
diharapkan melanjutkan misi perjuangannya, menyampaikan kebenaran Islam kepada
masyarakat di wilayah Majapait yang sedang ditimpa kemerosotan akibat perang
saudara.
Syaikh Maulana Malik Ibrahim makamnya terletak di
kampung Gapura di dalam kota Gresik, Jawatimur, tidak jauh dari pelabuhan.
Inskripsi makamnya menunjuk angka 882H/1419M. Berdasarkan tahun wafatnya itu,
Agus Sunyoto menempatkan Maulana Malik Ibrahim sebagai salah seorang tokoh
penyebar Islam tertua di Jawa. [hal.49].
Maulana Malik Ibrahin sebagai wali senior di
antara para wali sanga, memang benar. Beliau tergolong yang pertama datang ke
tanah Jawa, ini jika dibanding dengan anggota wali sanga lainnya.
Tetapi jika dibanding dengan orang muslim
lainnya, jelas beliau bukanlah yang pertama. Jauh sebelumnya telah
berbondong-bondong kaum pedagang Arab, Persia, India, Tiongkok, Campa, datang
ke Jawa, tentu saja sembari menyebarkan ajaran Islam. Dalam ajaran Islam,
setiap muslim berkewajiban menyampaikan kebenaran Islam walau satu ayat.
Jika mengikuti pemikiran Agus Sunyoto ini,
berarti masa sebelum kedatangan Maulana Malik Ibrahim, agama Islam belum muncul
di tanah Jawa. Ini bertentangan dengan bukti
sejarah lain dan beberapa sumber berita dari Cina yang menyatakan bahwa pada
masa Panjalu, Islam sudah berkembang di tanah Jawa. Bahkan Sri Jayabhaya
memiliki seorang guru bernama Seh Ali Samsuddin. Maulana Malik Ibrahim jelas
kalah tua ketimbang Seh Ali Samsuddin yang makamnya ada di kota Kadiri atau
Setana gedong. Bahkan kalah tua ketimbang Fatimah binti Maimun yang makamnya ada di
Leran bertarikh 1082M.
S.Q Fatimi dalam Islam come to Malaysia mencatat
pada abad 10M terjadi migrasi besar-besaran keluarga-keluarga Persia ke
Nusantara. Yang terbesar di antaranya: Keluarga Lor yang datang pada jaman raja
Nasiruddin bin Badr, memerintah wilayah Lor di Persia tahun 300H/912M. Keluarga
ini tinggal di Jawa dan mendirikan kampung bernama Loran atau Leran, artinya
kediaman orang-orang Lor.
Agus Sunyoto belum selesai merekonstruksi Perang
Demak-Majapahit
Agus Sunyoto memiliki keberanian yang patut
mendapat acungan jempol, yaitu ketika menampilkan teori baru tentang riwayat
Arya Damar dan Raden Patah. Sosok Raden Patah memang merupakan salah satu kunci
membuka sejarah Islam Jawa Nusantara, membersihkan propaganda kaum orientalis
Belanda.
Tetapi di sini Agus Sunyoto belum utuh
merekonstruksi sejarah Demak dan keruntuhan Majapait. Agus Sunyoto belum
menyadari bahwa kisah keruntuhan Majapahit pada 1478M atau tahun saka 1400 atau
yang dalam berita serat dan babad terkenal sebagai sirna ilang kertaning bhumi,
adalah bentuk propaganda sejarah kaum orientalis colonial Belanda yang tujuan utamanya menanamkan pemahaman kepada orang
Nusantara bahwa Islam datang ke tanah Jawa dengan Pedang, bahwa Majapahit runtuh
akibat serbuan Islam Demak. Bahwa Islam penghancur peradaban Majapahit. Bahwa Islam penghancur peradaban Jawa. Inilah
upaya orientalis colonial Belanda memecah belah Nusantara melalui penyesatan
sejarah keruntuhan Majapahit.
Dalam buku Walisongo, Agus Sunyoto belum mantap
merekonstruksi sejarah akhir Majapahit. Beliau masih bersetia dengan analisa
pakar sejarawan seperti Hasan Jafar, yang menyimpulkan Majapahit runtuh pada
tahun 1478M. Sesungguhnya tidak demikian. Perang antara Majapahit dengan Demak
juga berlangsung beberapa kali, setidaknya setelah Majapahit mengadakan
kerjasama dengan Portugis di Malaka.
Dan jika ingin merevolusi sejarah Walisanga, Agus
Sunyoto harus merevolusi pula Babad Tanah Jawa dan turunannya yaitu beberapa sumber
sejarah berbentuk karya sastra, seperti Babad Daha-Kadiri yang menjadi babon
penulisan Serat Darmagandul.
Sunan Bonang Takluk Melawan Buta Locaya
Terkait sejarah Walisanga, Babad Daha-Kadiri dan Serat Darmagandul jangan dilupakan, tetapi dibaca
secara cerdas dan arif, memahami makna siningit atau yang tersembunyi dalam
narasi sejarah dua karya sastra itu.
Sekali lagi, jika ingin merekonstruksi sejarah
para Walisanga, seharusnya sejarawan Islam berani membongkar atau merevolusi Serat
Darmagandul dan Babad Daha Kadiri. Dalam dua karya sastra ini jelas terdapat narasi-narasi sejarah yang tujuan utamanya
menghina menistakan dua tokoh besar Walisanga, Sunan Bonang dan Sunan Giri.
Dalam Serat Darmagandul yang berpedoman pada
Babad Daha-Kadiri jelas menampilkan hinanya sunan Bonang dan sunan Giri.
Sunan Bonang, satu tokoh mashur Walisanga, digambarkan derajatnya jauh dibawah
derajat raja Demit Buta Locaya. Seorang wali mulia kalah ‘adu rasa dan kawruh’
dengan raja demit Buta Locaya. Sunan
Bonang kalah sakti dengan bangsa demit.
Tetapi Agus Sunyoto mendukung penulisan
riwayat Sunan Bonang dalam Babad Daha-Kadiri maupun Serat Darmagandul.
Menurutnya, itulah bentuk keunggulan seorang tokoh Walisanga.
Agus Sunyoto menafsirkan Babad Daha-Kadiri yang menggambarkan
bagaimana sunan Bonang dengan pengetahuannya yang luar biasa bisa mengubah
aliran sungai Brantas, sehingga menjadikan daerah yang enggan menerima dakwah
Islam di sepanjang aliran sungai menjadi kekurangan air, bahkan sebagian yang
lain mengalami banjir.
”Sepanjang perdebatan dengan tokoh Buta Locaya
yang selalu mengecam tindakan dakwah sunan Bonang, terlihat sekali bahwa tokoh
Buta Locaya itu tidak kuasa menghadapi kesaktian yang dimiliki sunan Bonang. Demikian
juga dengan tokoh Nyai Plecing, yang kiranya seorang bhairawi, penerus ajaran
ilmu hitam Calon Arang, yang dapat dikalahkan oleh sunan Bonang,” tulis Agus
Sunyoto di hal. 132.
Bahwa cerita kesaktian sunan Bonang yang
mampu mengubah aliran sungai Brantas yang membikin kering daerah yang menolak
dakwah Islamnya, sesungguhnya upaya para kaum pendengki yang secara semena-mena
menghina Islam berbungkus kesaktian dan kehebatan tokoh Walisanga sunan Bonang.
Dalam ajaran Islam tidak ada yang namanya
pemaksaan dalam menganut agama Islam. Semua wali mulia pastinya sangat mengerti.
Islam adalah lemah lembut penuh kasih sayang antar sesama manusia.
Sementara sikap sunan Bonang yang dendam kepada
daerah yang membangkangi dakwahnya, jelas perbuatan sangat biadab. Ini yang
secara jahat dipropagandakan penulis Serat Darmagandhul maupun Babad
Daha-Kadiri. Salah seorang tokoh Walisanga yang mulia itu disifati sebagai
biadab jahat! Perbuatan sunan Bonang itu jelas bukan perbuatan arif seorang
Wali Islam. Inilah salah satu upaya kaum orientalis colonial dan pendengki
Islam menghina tokoh Walisanga melalui cerita dan kisah legenda rakyat.
Berikut ini cuplikan Serat Darmagandhul
peninggalan KRT. Tandanagara, cetakan keempat tahun 1959, terbitan Sadu Budi
Sala, saat Sunan Bonang berdakwah di Kadiri.
Dhek nalika samana Sunan Bonang sumêdya tindak
marang Kadhiri, kang ndherekake mung sakabat loro. Satêkane lor Kadhiri, iya
iku ing tanah Kêrtasana, kêpalangan banyu, kali Brantas pinuju banjir. Sunan Bonang
sarta sakabate loro padha nyabrang, satêkane wetan kali banjur niti-niti
agamane wong kono apa wis Islam, apa isih agama Budi.
Ature Ki Bandar wong ing kono agamane Kalang,
sarak Buddha mung sawatara, dene kang agama Rasul lagi bribik-bribik, wong ing
kono akeh padha agama Kalang, mulyakake Bandung Bandawasa. Bandung dianggêp
Nabine, yen pinuji dina Riyadi, wong-wong padha bêbarêngan mangan enak, padha
sênêng-sênêng ana ing omah.
Sunan Bonang ngandika: "Yen ngono wong kene
kabeh padha agama Gêdhah, Gêdhah iku ora irêng ora putih, tanah kene patut
diarani Kutha Gêdhah".
Ki Bandar matur: "Dhawuh pangandika
panjênêngan, kula ingkang nêkseni". Tanah saloring kutha kadhiri banjur
jênêng Kutha Gêdhah, nganti têkane saiki isih karan Kutha Gêdhah, nanging kang
mangkono mau arang kang padha ngrêti mula-bukane.
Sunan Bonang ngandika marang sakabate: "Kowe
goleka banyu imbon mênyang padesan, kali iki isih banjir, banyune isih buthêk,
yen diombe nglarani wêtêng, lan maneh iki wancine luhur, aku arêp wudhu, arêp
salat".
Di sini penulis Serat Darmagandhul ingin
menunjukkan betapa Sunan Bonang tidak memahami hukum wudhu. Bagaimanapun
seorang wali sangat memahami bahwa air sungai, sekeruh dan sekotor apapun,
dapat digunakan untuk bersuci atau berwudhu. Perintah Sunan Bonang supaya
mencari air imbon atau air tampungan, jelas mengesankan bahwa beliau tidak
memahami hukum berwudhu.
Sakabate siji banjur lunga mênyang padesan arêp
golek banyu, têkan ing desa Pathuk ana omah katone suwung ora ana wonge lanang,
kang ana mung bocah prawan siji, wajah lagi arêp mêpêg birahi, ing wêktu iku
lagi nênun. Sakabat têka sarta alon calathune: "Mbok Nganten, kula nêdha
toya imbon bêning rêsik".
Mbok Prawan kaget krungu swarane wong lanang,
barêng noleh wêruh lanang sajak kaya santri, Mbok Prawan salah cipta,
pangrasane wong lanang arêp njêjawat, mêjanani marang dheweke, mula ênggone
mangsuli nganggo têmbung saru: "Ndika mêntas liwat kali têka ngangge
ngarani njaluk banyu imbon, ngriki botên entên carane wong ngimbu banyu, kajaba
uyuh kula niki imbon bêning, yen sampeyan ajêng ngombe".
Santri krungu têtêmbungan mangkono banjur lunga
tanpa pamit lakune dirikatake sarta garundêlan turut dalan. Satêkane ngarsane
Sunan Bonang banjur ngaturake lêlakone nalika golek banyu.
Sunan Bonang mirêng ature sakabate, bangêt
dukane, nganti kawêtu pangandikane nyupatani, ing panggonan kono disabdakake
larang banyu, prawane aja laki yen durung tuwa, sarta jakane aja rabi yen
durung dadi jaka tuwa.
Barêng kêna dayaning pangandika mau, ing sanalika
kali Brantas iline dadi cilik. Iline banyu kang gêdhe nyimpang nrabas desa alas
sawah lan patêgalan. Akeh desa kang padharusak, awit katrajang ilining banyu
kali kang ngalih iline. Kali kang maune iline gêdhe sanalika dadi asat. Nganti
tumêka saprene tanah Gêdhah iku larang banyu. Jaka lan prawane iya nganti kasep
ênggone omah-omah. Sunan Bonang têrus tindak mênyang Kadhiri.
Itulah kesaktian Sunan Bonang yang menurut Agus
Sunyoto sangat menakjubkan. Semoga Agus Sunyoto yang saya kagumi, dapat secara
arif merevolusinya.
Ing wêktu iki ana dhêmit jênênge Nyai Plêncing,
iya iku dhêmit ing sumur Tanjungtani, tansah digubêl anak putune, padha wadul
yen ana wong arane Sunan Bonang, gawene nyikara marang para lêlêmbut,
ngêndêl-êndêlake kaprawirane.
Kali kang saka Kadhiri disotake banjur asat
sanalika. Iline banjur salin dalan kang dudu mêsthine, mula akeh desa, alas,
sawah sarta patêgalan, kang padha rusak, iya iku saka panggawene Sunan Bonang,
kang uga ngêsotake wong ing kono, lanang wadon ngantiya kasep ênggone
omah-omah, sarta kono disotake larang banyu sarta diêlih jênênge tanah aran
Kutha Gêdhah. Sunan Bonang dhêmêne salah gawe. Anak putune Nyai Plêncing padha
ngajak supaya Nyai Plêncing gêlêma nêluh sarta ngrêridhu Sunan Bonang, bisaa
tumêka ing pati, dadi ora tansahganggu gawe.
Nyai Plêncing krungu wadule anak putune mangkono mau,
enggal mangkat mêthukake lakune Sunan Bonang. Nanging dhêmit-dhêmit mau ora
bisa nyêdhaki Sunan Bonang, amarga rasane awake padha panas bangêt kaya
diobong. Dhêmit-dhêmit mau banjur padha mlayu marang Kadhiri.
Memang Nyai Plêncing kalah, tetapi tidak untuk
Buta Locaya. Serat Darmagandhul jelas memenangkan Buta Locaya. Simak saja.
Satêkane ing Kadhiri, matur marang ratune,
ngaturake kahanane kabeh. Ratune manggon ing Selabale. Jênênge Buta Locaya. Dene
Selabale iku dununge ana sukune gunung Wilis. Buta Locaya iku patihe Sri
Jayabaya, maune jênênge kiyai Daha, duwe adhi jênênge kiyai Daka. Kiyai Daha
iki cikal-bakal ing Kadhiri. Barêng Sri Jayabaya rawuh, jênênge kiyai Daha dipundhut
kanggo jênênge nagara. Dheweke diparingi Buta Locaya, sarta banjur didadekake
patihe Sang Prabu Jayabaya.
Padahal nama Daha sudah dipakai bahkan sebelum
Erlangga pindah dari Kahuripan pada 1041M.
Ing wêktu iku kiyai Buta Locaya lagi lênggah ana
ing kursi kêncana kang dilemeki kasur babut isi sari, sarta kinêbutan êlaring
mêrak, diadhêp patihe aran Megamêndhung, lan putrane kakung loro uga padha
ngadhêp. Kang tuwa arane Panji Sêktidiguna, kang anom aran panji Sarilaut.
Buta Locaya lagi ngandikan karo kang padha
ngadhêp, kaget kasaru têkane Nyai Plêncing, ngrungkêbi pangkone, matur bab
rusake tanah lor Kadhiri, sarta ngaturake yen kang gawe rusak iku, wong saka
Tuban kang sumêdya lêlana mênyang Kadhiri, arane Sunan Bonang. Nyai Plêncing
ngaturake susahe para lêlêmbut sarta para manusa.
Buta Locaya krungu wadule Nyai Plêncing mangkono
mau bangêt dukane. Sarirane nganti kaya gêni. Sanalika banjur nimbali
putra-wayahe sarta para jin pêri parajangan, didhawuhi nglawan Sunan Bonang.
Para lêlêmbut mau padha sikêp gêgaman pêrang,
sarta lakune barêng karo angina. Ora antara suwe lêlêmbut wis têkan ing
saêloring desa Kukum [Tukum]. Ing kono Buta Locaya banjur maujud manusa aran
kiyai Sumbre. Dene para lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha ora ngaton. Kiyai
Sumbre banjur ngadêg ana ing têngah dalan sangisoring wit sambi, ngadhang
lakune Sunan Bonang kang saka êlor.
Ora antara suwe têkane Sunan Bonang saka lor,
Sunan Bonang wis ora kasamaran yen kang ngadêg ana sangisoring wit sambi iku
ratuning dhêmit, sumêdya ganggu gawe, katitik saka awake panas kaya mawa. Dene
lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha sumingkir adoh, ora bêtah kêna
prabawane Sunan Bonang.
Mangkono uga Sunan Bonang uga ora bêtah cêdhak
karo kiyai Sumbre, amarga kaya dene cêdhak mawa, kiyai Sumbre mangkono uga.
Sakabat loro kang maune padha sumaput, banjur
padha katisên, amarga kêna daya prabawane kiyai Sumbre.
Sunan Bonang andangu marang kiyai Sumbre:
"Buta Locaya! kowe kok mêthukake lakuku, sarta nganggo jênêng Sumbre. Kowe
apa padha slamêt?"
Buta Locaya kaget bangêt dene Sunan Bonang
ngrêtos jênênge dheweke, dadi dheweke kawanguran karêpe. Wusana banjur matur
marang Sunan Bonang: "Kados pundi dene paduka sagêd mangrêtos manawi kula
punika Buta Locaya?".
Sunan Bonang ngandika: "Aku ora kasamaran,
aku ngrêti yen kowe ratuning dhêmit Kadhiri, jênêngmu Buta Locaya".
Kiyai Sumbre matur marang Sunan Bonang:
"Paduka punika tiyang punapa, dene mangangge pating gêdhabyah, dede
pangagêm Jawi. Kados wangun walang kadung?"
Sunan Bonang ngandika maneh: "Aku bangsa
'Arab, jênêngku Sayid Kramat, dene omahku ing Bonang tanah Tuban, mungguh kang
dadi sêdyaku arêp mênyang Kadhiri, pêrlu nonton patilasan kadhatone Sang Prabu
Jayabaya, iku prênahe ana ing ngêndi?"
Buta Locaya banjur matur: "Wetan punika
wastanipun dhusun Mênang, sadaya patilasan sampun sami sirna, kraton sarta
pasanggrahanipun inggih sampun botên wontên, kraton utawi patamanan
Bagendhawati ingkang kagungan Ni Mas Ratu Pagêdhongan inggih sampun sirna,
pasanggrahan Wanacatur ugi sampun sirna, namung kantun namaning dhusun, sadaya
wau sirnanipun kaurugan siti pasir sarta lahar saking rêdi Kêlut.
Kula badhe pitaken, paduka gêndhak sikara dhatêng
anak putu Adam, nyabdakakên ingkang botên patut, prawan tuwa jaka tuwa, sarta
ngêlih nami Kutha Gêdhah, ngêlih lepen, lajêng nyabdakakên ing ngriki awis
toya, punika namanipun siya-siya botên surup, sikara tanpa dosa, saiba
susahipun tiyang gêsang laki rabi sampun lungse, lajêng botên gampil pêncaripun
titahing Latawalhujwa. Makatên wau saking sabda paduka. Sêpintên susahipun
tiyang ingkang sami kêbênan, lepen Kadhiri ngalih panggenan mili nrajang
dhusun, wana, sabin, pintên-pintên sami risak, ngriki paduka-sotakên,
sêlaminipun awis toya, lepenipun asat, paduka sikara botên surup, nyikara tanpa
prakara".
Sunan Bonang ngandika: "Mula ing kene
tak-êlih jênêng Kutha Gêdhah, amarga wonge kene agamane ora irêng ora putih,
têtêpe agama biru, sabab agama Kalang, mula tak-sotake larang banyu, aku njaluk
banyu ora oleh, mula kaline banjur tak-êlih iline, kene kabeh tak sotake larang
banyu, dene ênggonku ngêsotake prawan tuwa jaka tuwa, amarga kang tak jaluki
banyu ora oleh iku, prawan baleg.".
Buta Locaya matur maneh: "Punika namanipun
botên timbang kaliyan sot panjênêngan, botên sapintên lêpatipun, tur namung
tiyang satunggal ingkang lêpat, nanging ingkang susah kok tiyang kathah sangêt,
botên timbang kaliyan kukumipun, paduka punika namanipun damêl mlaratipun
tiyang kathah, saupami konjuk Ingkang Kagungan Nagari, paduka inggih dipunukum
mlarat ingkang langkung awrat, amargi ngrisakakên tanah, lah sapunika mugi
panjênêngan-sotakên wangsulipun malih, ing ngriki sagêda mirah toya malih,
sagêd dados asil panggêsangan laki rabi taksih alit lajêng mêncarakên titahipun
Hyang Manon. Panjênêngan sanes Narendra têka ngarubiru agami, punika namanipun
tiyang dahwen".
Sunan Bonang ngandika: "Sanadyan kok aturake
Ratu Majalêngka aku ora wêdi".
Buta Locaya barêng krungu têmbung ora wêdi marang
Ratu Majalêngka banjur mêtu nêpsune, calathune sêngol: "Rêmbag paduka niki
dede rêmbage wong ahli praja, patute rêmbage tiyang entên ing bambon,
ngêndêlake dumeh tiyang digdaya, mbok sampun sumakehan dumeh dipunkasihi Hyang
Widdhi, sugih sanak malaekat, lajêng tumindak sakarsa-karsa botên toleh
kalêpatan, siya dahwen sikara botên ngangge prakara, sanadyan ing tanah Jawi
rak inggih wontên ingkang nglangkungi kaprawiran paduka, nanging sami ahli budi
sarta ajrih sêsikuning Dewa, têbih saking ahli budi yen ngantos siya dhatêng
sêsami nyikara tanpa prakara, punapa paduka punika tiyang tunggilipun Aji Saka,
muride Ijajil. Aji Saka dados Ratu tanah Jawi namung tigang taun lajêng minggat
saking tanah Jawi, sumbêr toya ing Mêdhang saurutipun dipunbêkta minggat
sadaya, Aji Saka tiyang saka Hindhu, paduka tiyang saking 'Arab, mila sami
siya-siya dhatêng sêsami, sami damêl awising toya, paduka ngakên Sunan rak
kêdah simpên budi luhur, damêl wilujêng dhatêng tiyang kathah, nanging kok
jêbul botên makatên, wujud paduka niki jajil bêlis katingal, botên tahan
digodha lare, lajêng mubal nêpsune gêlis duka, niku Sunan napa? Yen pancen
Sunaning jalma yêktos, mêsthi simpên budi luhur. Paduka niksa wong tanpa dosa,
nggih niki margi paduka cilaka, tandhane paduka sapunika sampun jasa naraka
jahanam, yen sampun dados, lajêng paduka-ênggeni piyambak, siram salêbêting
kawah wedang ingkang umob mumpal-mumpal. Kula niki bangsaning lêlêmbut, sanes
alam kaliyan manusa, ewadene kula taksih engêt dhatêng wilujêngipun manusa.
Inggih sampun ta, sapunika sadaya ingkang risak kula-aturi mangsulakên malih,
lepen ingkang asat lan panggenan ingkang sami katrajang toya kula-aturi
mangsulakên kados sawaunipun, manawi panjênêngan botên karsa mangsulakên,
sadaya manusa Jawi ingkang Islam badhe sami kula-têluh kajêngipun pêjah sadaya,
kula tamtu nyuwun bantu wadya bala dhatêng Kanjêng Ratu Ayu Anginangin ingkang
wontên samodra kidul".
Ini kekalahan pertama Sunan Bonang atas Buta
Locaya. Ketika penulis Serat Darmagandhul menulis Sunan Bonang mengakui
kesalahannya.
Sunan Bonang barêng mirêng nêpsune Buta Locaya
rumaos lupute, dene gawe kasusahan warna-warna, nyikara wong kang ora dosa,
mula banjur ngandika: "Buta Locaya! aku iki bangsa Sunan, ora kêna mbaleni
caturku kang wus kawêtu, besuk yen wus limang atus taun, kali iki bisa bali
kaya mau-maune".
Buta Locaya barêng krungu kêsagahane Sunan Bonang,
banjur nêpsu maneh, nuli matur marang
Sunan Bonang: "Kêdah paduka wangsulna sapunika, yen botên sagêd, paduka
kula-banda".
Sunan Bonang ngandika marang Buta Locaya:
"Wis kowe ora kêna mangsuli, aku
pamit nyimpang mangetan, woh sambi iki tak jênêngake cacil. Dene kok kaya bocah
cilik padha tukaran, dhêmit lan wong pêcicilan rêbut bênêr ngadu kawruh prakara
rusaking tanah, sarta susahe jalma lan dhêmit, dak suwun marang Rabbana, woh sambi
dadi warna loro kanggone, daginge dadiya asêm, wijine mêtuwa lêngane, asêm dadi
pasêmoning ulat kêcut. Dene dhêmit padu lan manusa, lênga têgêse dhêmit mlêlêng
jalma lunga. Ing besuk dadiya pasêksen, yen aku padu karo kowe, lan wiwit saiki
panggonan têtêmon iki, kang lor jênênge desa Singkal, ing kene desa ing Sumbre.
Dene panggonane balamu kang ana ing kidul iku jênênge desa Kawanguran".
Kekalahan Sunan Bonang dilukiskan dengan
meloncatnya beliau ke timur sungai Brantas meninggalkan Buta Locaya.
Sunan Bonang sawuse ngandika mangkono banjur
mlumpat marang wetan kali, katêlah nganti tumêka saprene ing tanah Kutha Gêdhah
ana desa aran Kawanguran, Sumbre sarta Singkal, Kawanguran têgêse kawruhan,
Singkal têgêse sêngkêl banjur nêmu akal.
Buta Locaya nututi tindake Sunan Bonang. Sunan Bonang
tindake têkan ing desa Bogêm, ana ing kono Sunan Bonang mriksani rêca jaran,
rêca mau awak siji êndhase loro, dene prênahe ana sangisoring wit trênggulun,
wohe trênggulun mau akeh bangêt kang padha tiba nganti amblasah, Sunan Bonang
ngasta kudhi, rêca jaran êndhase digêmpal.
Buta Locaya barêng wêruh patrape Sunan Bonang
anggêmpal êndhasing rêca jaran, saya wuwuh nêpsune sarta mangkene wuwuse:
"Punika yasanipun sang Prabu Jayabaya, kangge pralambang ing tekadipun wanita
Jawi, benjing jaman Nusa Srênggi, sintên ingkang sumêrêp rêca punika, lajêng
sami mangrêtos tekadipun para wanita Jawi".
Sunan Bonang ngandika: "Kowe iku bangsa
dhêmit kok wani padu karo manusa, jênênge dhêmit kêmênthus".
Buta Locaya mangsuli: "Inggih kaot punapa,
ngriku Sunan, kula Ratu".
Sunan Bonang ngandika: "Woh trênggulun iki
tak-jênêngake kênthos, dadiya pangeling-eling ing besuk, yen aku kêrêngan karo
dhêmit kumênthus, prakara rusaking rêca".
Ini kesaktian Sunan Bonang yang sangat tidak masuk
akal, menggulingkan sumur hanya karena sulit mencari air wudhu. Ini secara
tersirat menunjukkan bahwa dakwah Sunan Bonang di daerah Kadiri memang menemui
beberapa hambatan, diibaratkan beberapa kali kesulitan mencari air wudhu.
Sunan Bonang banjur tindak mangalor, barêng wis
wanci asar, kêrsane arêp salat, sajabane desa kono ana sumur nanging ora ana
timbane, sumure banjur digolingake, dene Sunan Bonang sawise, nuli sagêd
mundhut banyu kagêm wudhu banjur salat.
Sunan Bonang sawise salat banjur nêrusake tindake.
Satêkane desa Nyahen ing kona ana rêca buta wadon, prênahe ana sangisoring wit
dhadhap, wêktu iku dhadhape pinuju akeh bangêt kêmbange, sarta akeh kang tiba
kanan keringe rêca buta mau, nganti katon abang mbêranang, saka akehe kêmbange
kang tiba, Sunan Bonang priksa rêca mau gumun bangêt, dene ana madhêp mangulon,
dhuwure ana 16 kaki, ubênge bangkekane 10 kaki, saupama diêlih saka panggonane,
yen dijunjung wong wolung atus ora kangkat, kajaba yen nganggo piranti, baune têngên
rêca mau disêmpal dening Sunan Bonang, bathuke dikrowak.
Buta Locaya wêruh yen Sunan Bonang ngrusak rêca,
dheweke nêpsu maneh, calathune: "Panjênêngan nyata tiyang dahwen, rêca
buta bêcik-bêcik dirusak tanpa prakara, sa-niki awon warnine, ing mangka punika
yasanipun Sang Prabu Jayabaya, lah asilipun punapa panjênêngan ngrisak
rêca?"
Pangandikane Sunan Bonang: "Mulane rêca iki
tak rusak, supaya aja dipundhi-pundhi dening wong akeh, aja tansah disajeni
dikutugi, yen wong muji brahala iku jênênge kapir kupur lair batine
kêsasar."
Buta Locaya calathu maneh: "Wong Jawa rak
sampun ngrêtos, yen punika rêca sela, botên gadhah daya, botên kuwasa, sanes
Hyang Labawalhujwa, mila sami dipunladosi, dipunkutugi, dipunsajeni, supados
para lêlêmbut sampun sami manggen wontên ing siti utawi kajêng, amargi siti
utawi kajêng punika wontên asilipun, dados têdhanipun manusa, mila para
lêlêmbut sami dipunsukani panggenan wontên ing rêca, panjênêngan-tundhung
dhatêng pundi? Sampun jamakipun brêkasakan manggen ing guwa, wontên ing rêca,
sarta nêdha ganda wangi, dhêmit manawi nêdha ganda wangi badanipun kraos
sumyah, langkung sênêng malih manawi manggen wontên ing rêca wêtah ing
panggenan ingkang sêpi edhum utawi wontên ngandhap kajêng ingkang agêng, sampun
sami ngraos yen alamipun dhêmit punika sanes kalayan alamipun manusa, manggen
wontên ing rêca têka panjênêngan-sikara, dados panjênêngan punika têtêp tiyang
jail gêndhak sikara siya-siya dhatêng sasamining tumitah, makluking Pangeran.
Aluwung manusa Jawa ngurmati wujud rêca ingkang pantês simpên budi nyawa,
wangsul tiyang bangsa 'Arab sami sojah Ka'batu'llah, wujude nggih tugu sela,
punika inggih langkung sasar".
Pangandikane Sunan Bonang: Ka'batu'llah iku kang
jasa Kangjêng Nabi Ibrahim, ing kono pusêring bumi, didelehi tugu watu disujudi
wong akeh, sing sapa sujud marang Ka'batu'llah, Gusti Allah paring pangapura
lupute kabeh salawase urip ana ing 'alam pangumbaran".
Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: "Tandhane
napa yen angsal sihe Pangeran, angsal pangapuntên sadaya kalêpatanipun, punapa
sampun angsal saking Pangeran Kang Maha Agung tapak asta mawi cap abrit?
Sunan Bonang ngandika maneh: "Kang kasêbut
ing kitabku, besuk yen mati oleh kamulyan".
Buta Locaya mangsuli karo mbêkos: "Pêjah
malih yen sumêrêpa, kamulyan sanyata wontên ing dunya kemawon sampun korup,
sasar nyêmbah tugu sela, manawi sampun nrimah nêmbah curi, prayogi dhatêng rêdi
Kêlut kathah sela agêng-agêng yasanipun Pangeran, sami maujud piyambak saking
sabda kun, punika wajib dipunsujudi. Saking dhawuhipun Ingkang Maha Kuwaos,
manusa sadaya kêdah sumêrêp ing Batu'llahipun, badanipun manusa punika
Baitu'llah ingkang sayêktos, sayêktos yen yasanipun Ingkang Maha Kuwaos, punika
kêdah dipunrêksa, sintên sumêrêp asalipun badanipun, sumêrêp budi hawanipun,
inggih punika ingkang kenging kangge tuladha.
Sanadyan rintên dalu nglampahi salat, manawi
panggenanipun raga pêtêng, kawruhipun sasar-susur, sasar nêmbah tugu sela, tugu
damêlan Nabi, Nabi punika rak inggih manusa kêkasihipun Gusti Allah, ta,
pinaringan wahyu nyata pintêr sugih engêtan, sidik paningalipun têrus, sumêrêp
cipta sasmita ingkang dereng kalampahan.
Dene ingkang yasa rêca punika Prabu Jayabaya,
inggih kêkasihipun Ingkang Kuwaos, pinaringan wahyu mulya, inggih pintêr sugih
engêtan sidik paningalipun têrus, sumêrêp saderengipun kalampahan, paduka
pathokan tulis, tiyang Jawi pathokan sastra, bêtuwah saking lêluhuripun.
sami-sami nyungkêmi kabar, aluwung nyungkêmi kabar sastra saking lêluhuripun
piyambak, ingkang patilasanipun taksih kenging dipuntingali. Tiyang nyungkêmi
kabar 'Arab, dereng ngrêtos kawontênanipun ngrika, punapa dora punapa yêktos,
anggêga ujaripun tiyang nglêmpara.
Mila panjênêngan anganjawi, nyade umuk, nyade
mulyaning nagari Mêkah, kula sumêrêp nagari Mêkah, sitinipun panas, awis toya,
tanêm-tanêm tuwuh botên sagêd mêdal, bênteripun bantêr awis jawah, manawi
tiyang ingkang ahli nalar, mastani Mêkah punika nagari cilaka, malah kathah
tiyang sade tinumbas tiyang, kangge rencang tumbasan.
Panjênêngan tiyang duraka, kula-aturi kesah
saking ngriki, nagari Jawi ngriki nagari suci lan mulya, asrêp lan bênteripun
cêkapan, tanah pasir mirah toya, punapa ingkang dipuntanêm sagêd tuwuh,
tiyangipun jalêr bagus, wanitanipun ayu, madya luwês wicaranipun. Rêmbag panjênêngan
badhe priksa pusêring jagad, inggih ing ngriki ingkang kula-linggihi punika,
sapunika panjênêngan ukur, manawi kula lêpat panjênêngan jotos.
Rêmbag panjênêngan punika mblasar, tandha kirang
nalar, kirang nêdha kawruh budi, rêmên niksa ing sanes. Ingkang yasa rêca
punika Maha Prabu Jayabaya, digdayanipun ngungkuli panjênêngan, panjênêngan
punapa sagêd ngêpal lampahing jaman? Sampun ta, kula-aturi kesah kemawon saking
ngriki, manawi botên purun kesah sapunika, badhe kula-undhangakên adhi-kula
ingkang wontên ing rêdi Kêlut, panjênêngan kula-kroyok punapa sagêd mênang,
lajêng kula bêkta mlêbêt dhatêng kawahipun rêdi Kêlut, panjênêngan punapa botên
badhe susah, punapa panjênêngan kêpengin manggen ing sela kados kula? Mangga
dhatêng Selabale, dados murid kula!".
Sunan Bonang ngandika: "Ora arêp manut
rêmbugmu, kowe setan brêkasakan".
Buta Locaya mangsuli: "Sanadyan kula dhêmit,
nanging dhêmit raja, mulya langgêng salamine, panjênêngan dereng tampu mulya
kados kula, tekad panjênêngan rusuh, rêmên nyikara niaya, mila panjênêngan
dhatêng tanah Jawi, wontên ing 'Arab nakal kalêbêt tiyang awon, yen panjênêngan
mulya tamtu botên kesah saking 'Arab, mila minggat, saking lêpat,
tandhanipunwontên ing ngriki taksih krejaban, maoni adating uwong, maoni agama,
damêl risak barang sae, ngarubiru agamane lêluhur kina, Ratu wajib niksa,
mbucal dhatêng Mênadhu".
Inilah kekalahan telak Sunan Bonang atas Buta
Locaya. Ketika penulis Serat Darmagandhul menyebut Sunan Bonang mengaku
kalah kawruh dan nalar ketika berdebat alias beradu kesaktian secara batin
melawan Buta Locaya, Ratu Demit tanah Kadiri.
Sunan Bonang ngandika: "Dhadhap iki kêmbange
tak jênêngake celung, uwohe kledhung, sabab aku kêcelung nalar lan kêledhung
rêmbag. Dadiya pasêksen yen aku padu lan ratu dhêmit, kalah kawruh kalah
nalar".
Sunan Bonang banjur pamitan: "Wis aku arêp
mulih mênyang Bonang".
Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: "Inggih
sampun, panjênêngan enggala kesah, wontên ing ngriki mindhak damêl sangar,
manawi kadangon wontên ing ngriki mindhak damêl susah, murugakên awis wos,
nambahi bênter, nyudakakên toya".
Sunan Bonang banjur tindak, dene Buta Locaya
sawadya-balane uga banjur mulih.
Sampai di sini tidak terlihat kemenangan
atau keunggulan Sunan Bonang atas Buta Locaya.
Dalam dua sumber karya sastra itu, sunan Giri juga
disifati sebagai tokoh walisanga yang memiliki kemampuan memenung alias
menyantet. Inilah cuplikan paska perang Majapahit dan
Demak, setelah Raden Patah sowan ke Nyi Ageng Ampel.
Sunan Bonang mêthukake kondure Sang Prabu Jimbun.
Sang Nata banjur matur marang Sunan Bonang yen Majapahit wis kêlakon bêdhah.
Layang-layang Buddha iya wis diobongi kabeh. Sarta ngaturake yen ingkang rama
lan Raden Gugur lolos. Patih Majapahit mati ana samadyaning papêrangan. Putri
Cêmpa wis diaturi ngungsi mênyang Bonang. Wadya Majapahit sing wis têluk banjur
padha dikon Islam.
Sunan Bonang mirêngake ature Sang Prabu Jimbun,
gumujêng karomanthuk-manthuk, sarta ngandika yen wis cocog karo panawange.
Sang Prabu matur, yen kondure uga mampir ing
Ngampeldênta, sowan ingkang eyang Nyai Agêng Ngampel, ngaturake yen mêntas saka
Majapahit, sarta nyuwun idi ênggone jumênêng Nata, nanging ana ing Ngampel
malah didukani sarta diuman-uman, ênggone ora ngrêti marang kabêcikane Sang
Prabu Brawijaya, nanging sawise, banjur didhawuhi ngupaya ingkang rama, apa
sapangandikane Nyai Agêng Ngampel diaturake kabeh marang Sunan Bonang.
Sunan Bonang sawise mirêngake ature Sang Nata ing
batos iya kêduwung, rumaos lupute, dene ora ngelingi marang kabêcikane Sang
Prabu Brawijaya. Nanging rasa kang mangkono mau banjur dislamur ing pangandika,
samudanane nyalahake Sang Prabu Brawijaya lan Patih, ênggone ora karsa salin
agama Islam.
Sunan Bonang banjur ngandika, yen dhawuhe Nyai
Agêng Ngampel ora pêrlu dipanggalih, amarga panimbange wanita iku mêsthi kurang
sampurna, luwih bêcik ênggone ngrusak Majapahit dibanjurake, yen Prabu Jimbun
mituhu dhawuhe Nyai Ngampeldênta, Sunan Bonang arêp kondur mênyang 'Arab,
wusana Prabu Jimbun banjur matur marang Sunan Bonang, yen ora nglakoni dhawuhe
Nyai Ngampel, mêsthine bakal oleh sabda kang ora bêcik, mula iya wêdi.
Sunan Bonang paring dhawuh marang Sang Prabu, yen
ingkang rama mêksa kondur mênyang Majapahit, Sang Prabu didhawuhi sowan nyuwun
pangapura kabeh kaluputane, dene yen arêp ngaturi jumênêng Nata maneh, aja ana
ing tanah Jawa, amarga mêsthi bakal ngribêdi lakune wong kang padha arêp salin
agama Islam, supaya dijumênêngake ana seje nagara ing sajabaning tanah Jawa.
Sunan Giri banjur nyambungi pangandika, mungguh
prayoganing laku supaya ora ngrusakake bala, Sang Prabu Brawijaya sarta putrane
bêcik ditênung bae, awit yen mateni wong kapir ora ana dosane.
Sunan Bonang sarta Prabu Jimbun wis nayogyani
panêmune Sunan Giri kang mangkono mau.
Bahwa keinginan Sunan Giri menenung alias meneluh
sang prabhu Brawijaya dan para putranya, yang kemudian didukung Sunan Bonang
dan Raden Patah, adalah upaya penulis Serat Darmagandhul untuk menanamkan
pemahaman bahwa para Walisanga adalah pakar ilmu tenung.
Ini seharusnya direvolusi oleh Agus Sunyoto.
Saya percaya bahwa Agus Sunyoto yang saya
hormati, sejatinya sangat mampu merevolusi sejarah Islam Nusantara.
Mari membaca sejarah secara arif kritis dan kreatif.
___________
Mari membaca sejarah secara arif kritis dan kreatif.
___________
SIWI SANG
Sebaiknya anda saja yg tulis buku yg nabrak itu
ReplyDeleteSebaiknya anda saja yg tulis buku yg nabrak itu
ReplyDeletesinrijala. terimakasih. Buku GIRINDRA:Pararaja Tumapel-Majapahit karya saya, salah satunya bertujuan merekonstruksi sejarah riwayat Walisanga. GIRINDRA jilid dua lebih dalam bicara sejarah Walisanga dan keruntuhan Majapahit.
DeleteTerimakasih Ivan Verys. Semoga benar bermanfaat. Mari baca sejarah secara kreatif kritis logis. Nuwun. Salam kenal.
ReplyDeleteSaling melengkapi saja Bung. Dengan demikian, semakin tertutup usaha Salaf imitasi produksi Saudi untuk mendistorsi atau menghapus sejarah Wali Songo
ReplyDeleteSaling melengkapi saja Bung. Dengan demikian, usaha-usaha Salaf imitasi produksi Saudi semakin kesulitan mendistorsi atau menghapus sejarah Wali Songo. Salam kenal Bung, mampirlah ke blog saya.
ReplyDeletehttp://fajarinlander.blogspot.com
Betul. Saling melengkapi saja Bung. Dengan demikian, usaha-usaha Salaf imitasi produksi Saudi semakin kesulitan mendistorsi atau menghapus sejarah Wali Songo.
ReplyDeletekenapa baru sekarang ya saya ketemu blog ini....., saya senang membacanya jadi tambah wawasan..., senyum sendiri saat membaca percakapan sunan bonang dan ratu buto, terlepas dari pembunuhan karakter sunan bonang oleh sang ratu buto, ada pesan yg dapat dipahami bahwa kita juga harus menghormati sesama makhluk dan manusia lain..banyak bukti kan saat ini, dimana orang saling mengaku benar, mengkafirkan orang lain, ..., mas siwi pernah ga berdiskusi dengan kyai agus sunyoto? kira2 jika diajak berdiskusi beliau mau menerima pendapat orang lain atau egois?? atau seperti naskah darmo gandul diatas ...hehe..maaf mas bukan saya gimana, saya juga pengkoleksi juga pembaca buku2 karya KH. Agus Sunyoto dan penyimak diskusi beliau di yutub juga...
ReplyDeletembak @Tika. terimakasih sudah kunjung dan membaca baca catatan di blog ini. setelah mengunggah tulisan ini, saya ketemu beliau pak Agus Sunyoto dalam satu sarasehan sejarah jatim. diskusi seputar ini juga. dan alhamdulillah, beliau sudah memiliki pandangan baru terkait ini. bahkan dalam sarasehan itu ketika tampil sebagai narasumber, kyai Agus Sunyoto terang benderang menyampaikan bahwa berita darmogandul di atas merupakan hasil propaganda kolonial belanda. balau sempat beda pendapat, kagum saya pada Agus Sunyoto tidak habis. beliau salah satu penulis sejarah islam nusantara yang patut dapat jempol.
ReplyDeletemas @Yasir Isnan. betul. dan sepakat sekali.
ReplyDeleteMasya Allah... sepakat sekali apabila semua memiliki tujuan yang sama dalam membuka tabir sejarah perjalanan Islam Nusantara. Wajib bagi kita, meluruskan yang menyimpang, menghapus yang palsu, mengisi yang hilang... sehingga bangsa kita bisa memahami secara utuh.
ReplyDeleteWalaupun tidak gampang, Sejarawan Islam Nusantara harus segera mengungkap semua rekam jejak hingga tidak ada celah lagi untuk 'kebohongan'yang mendeskreditkan Islam Nusantara... Karena upaya 'mereka' (musuh Islam) sesungguhnya tidak pernah berhenti menebar fitnah dan kebencian, hingga hari ini...
Sejarah Islam Nusantara sesungguhnya akan menjadi 'perekat' (pemersatu) yang sangat kuat bagi bangsa Indonesia terutama umat Muslimin Indonesia yang menjadi 'benteng' pertahanan Islam di bumi pertiwi sejak ratusan tahun lalu... Insya Allah...
Mr Siwi Sang, Coba deh anda ikuti bedah bukunya Atlas Walisongo langsung dengan pengarangnya atau anda bisa via youtube, walaupun Agus Sunyoto bukanlah pengarang sempurna mengenai sejarah islam tapi beliau telah menggandeng para professor arkeolog baik dari UI maupun dari luar negeri dan buku tersebut sedang diterjemahkan ke berbagai bahasa salah satunya bahasa persia. menurut saya, alangkah lebih baiknya jika pengetahuan sejarah islam anda dipadukan dengan Agus Sunyoto atau setidaknya berikan masukan kepada beliau hal-hal yang menurut anda bertentangan dengan pengetahuan anda sehingga akan menjadi mendekati sempurna dalam memberikan khasanah sejarah islam di Indonesia,..
ReplyDeleteBung sohid. terimakasih sarannya. saya menikmati karya karya atau jalan pemikiran kyai Agus Sunyoto melalui grup lesbumi Nu dan web. meski belum lagi ketemu langsung, saya sudah melihat ada perbedaan arau perubahan sudut pandang Kyai Agus Sunyoto soal Islam Nusantara, antara dalam buku Wali Songo dengan sekarang. termauk soal bagaimana di beberapa kesempatan sekarang kyai Agus Sunyoto kerap mengritisi riwayat sekitar Wali Songo yang banyak mitos. Bandingkan misalnya dengan yang tercantum dalam buku Wali Songo, misal soal yang sudsah saya tampilkan di atas.
ReplyDeleteSaya sedang menyusun draf buku soal masa awal Demak. Ini akan menjadi buku GIRINDRA jilid II. Semoga kelak menambah warna historiografi Islam Nusantara.
Bagaimana pendapat bang Sohit soal ketokohan sunan Bonang dalam serat Darmogandul? barangkali ada koreksi atas pendapat saya. terimakasih.
lalu soal Maulana Malik Ibrahim yang dalam buku WaliSongo dianggap sebagai tokoh yang pertama menyebar Islam di tanah Jawa. benarkah demikian? Saya yakin tidak demikian.
ReplyDeleteTerima kasih atas informasinya...
ReplyDeleteSaya sepakat dengan Bung Siwi Sang, bahwa Maulana Malik Ibrahim bukanlah yang pertama menyebarkan islam di tanah Jawa..
sebelumnya ada ulama-ulama besar yang sudah ada Seperti Maulana Jumadil Kubro yang datang sekitar tahun 1250 M.
Hanya saja, para walisongo lebih dikenal karena metode dakwahnya yang berhasil mengajak masyarakat untuk memeluk Islam secara masif. Belum lagi ada Fatimah Binti Maimun yang wafat tahun 1082 M
sama sama terimakasih pak Muhammad Janissary@. para anggota Dewan Wali Sanga atau Walisongo itu bukan yang pertama menyebarkan Islam di Jawa dan Nusantara. Dewan Walisongo lebih pada peran mengembangkan secara masif. kalau yang menyebarkan ya awalnya para pedagang Islam jauh sebenul era Walisongo. bahkan kalau menurut Buya Hamka, Islam sudah datang sejak kedatangan rombongan dari negeri TASHI [arab] ke Shepo jawa kalingga tahun 674M. saat itu Arab dalam pemerintahan baginda Muawwiyah. Dalam catatan Tiongkok, jaman Panjalu Kadiri juga sudah ada komunitas Islam di Jawa. Jadi sekali lagi, tidak tepat jika Dewan Walisongo sebagai penyebar pertama Islam di Jawa dan Nusantara.terimakasih.
ReplyDelete