penulisan sejarah tidak berahir tanda titik |
SIWI
SANG dalam buku GIRINDRA:Pararaja Tumapel-Majapahit menafsirkan bahwa
kepindahan Mpu Sindok dari Medang Jateng ke Jatim karena kerajaan Medang Mataram mendapat serbuan
armada pasukan kerajaan SRIWIJAYA yang berhasil menguasai seluruh Jateng. Jadi Mpu Sindok ke Jatim bukan karena
kerajaannya tenggelam oleh bencana letusan gunung Merapi.
Siwi
Sang dalam buku Girindra:Pararaja Tumapel-Majapahit halaman 3 menulis
bahwa sesungguhnya karya sastra Jawa kuna banyak menggunakan pralambang dalam
penulisannya. Seperti serat Pararaton yang banyak menulis peristiwa letusan
gunung berapi untuk melambangkan peristiwa besar dalam negara seperti kelahiran
dan wafatnya raja, serbuan musuh atau pemberontakan yang mengakibatkan
goncangan besar dalam kerajaan.
Peristiwa
letusan gunung berapi pada masa akhir pemerintahan Rake Sumba Dyah Wawa di
Medang Mataram sebagaimana berita dalam Babad Tanah Jawa maupun serat dan babad
lainnya, mengandung arti pada saat itu terjadi peristiwa besar, yaitu serbuan
musuh yang berhasil menguasai keraton Medang Mataram dan menewaskan sang
maharaja Rake Sumba Dyah Wawa.
Siapa yang menghancurkan kejayaan Medang Mataram pada sekitar 928M?
Kajian sejarawati Nia Kurnia Sholihat Irfan atas sejarah Sriwijaya menyebutkan bahwa pada akhir abad tujuh masehi, maharaja pertama Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa berhasil menaklukkan Bangka, Lampung, Malayu, Sumatera Timur, Semenanjung Malaka, Muangthai Selatan. Prasasti Kota Kapur di Bangka menyebutkan pada 686M pasukan besar Sriwijaya berangkat menggempur tanah Jawa.
Ditemukannya beberapa prasasti berbahasa Melayu di Jawabarat dan Jawatengah, menurut Nia Kurnia Sholihat Irfan, dapat disimpulkan Sriwijaya berhasil menaklukkan dua wilayah tersebut.
Raja Jawa maupun Sunda tidak mungkin mengeluarkan prasasti berbahasa Melayu. Raja Jawa suka mengeluarkan prasasti berbahasa kerajaannya dan raja Sunda pun demikian.
Pada 702M sampai 728M, yang berkuasa di Sriwijaya adalah Sri Indrawarman. Pada kurun ini, sekitar 721M, Maharani Shima wafat, diganti Maharaja Sanna.
Tujuh tahun kemudian, 728M, kerajaan Kalingga pimpinan Maharaja Sanna diserbu pasukan Sriwijaya pimpinan Sri Indrawarman. Kalingga takluk, Maharaja Sanna gugur, sementara Sanjaya, keponakan maharaja Sanna, berhasil lolos bersama sisa pasukan Kalingga.
Setelah menguasai Kalingga, Sriwijaya menempatkan Dapunta Selendra sebagai penguasa di Jawatengah. Sejarawati Nia Kurnia Sholihat Irfan berpendapat, sangat mungkin Dapunta Selendra salah seorang keturunan Dapunta Hyang.
Yang pasti berdasarkan berita prasasti Sojomerto, Dapunta Selendra dapat dipandang sebagai pendiri wangsa Selendra di tanah Jawa. Prasasti yang ditemukan di daerah Batang Jawatengah ini memuat nama Dapunta Selendra, nama ayahnya, Sentanu, nama ibunya, Bhadrawati, dan nama permaisurinya, Sampula.
Dalam prasasti Sojomerto terbaca juga bahwa wangsa Selendra menganut agama Siwa, bukan Boddha.
Tetapi setahun kemudian, Sanjaya memimpin pasukan menghancurkan kekuasaan Dapunta Selendra di Kalingga. Peristiwa ini kemungkinan terjadi antara 729M sampai 732M. Inilah masa berat bagi Sanjaya. Selain berjuang merebut Kalingga, cucu Maharani Sima ini mesti berjuang membebaskan tanah Sunda dari cengkeraman Sriwijaya.
Prasasti Canggal, 732M, menyebut Ratu Sanjaya, putra Sannaha atau keponakan Maharaja Sanna, berhasil memerintah seluruh tanah Jawa. Selain memuja-muji keutamaan dan kebijaksanaannya, prasasti ini juga menulis bahwa Ratu Sanjaya membangun Siwalingga baru sebagai penolak bala supaya negerinya aman sentosa jauh dari marabahaya.
Ratu Sanjaya sekaligus membangun pusat pemerintahan baru, memindah ibukota Kalingga ke Mataram [sekarang Jogja], dan bahkan mengubah nama kerajaan Kalingga menjadi Medang Mataram, artinya kerajaan Medang yang beribukota di Mataram.
Setelah Jawatengah dan Jawabarat sepenuhnya dikuasai, Sanjaya menempatkan dua putranya di Sunda dan Galuh. Boleh dibilang Sanjaya berkuasa atas Jawatengah dan Jawabarat.
Maka pantas jika prasasti Canggal menyebut Ratu Sanjaya berhasil memerintah seluruh tanah Jawa —meski sesungguhnya sangat berlebihan lantaran pada kurun itu Jawatimur berdiri kerajaan merdeka bernama Kanjuruhan.
Pada sekitar 752M kekuatan Sriwijaya atau keturunan Dapunta Selendra yang berpusat di Palembang kembali menyerbu Jawa, menaklukkan kekuasaan Ratu Sanjaya di Medang Mataram.
Setelah itu berturut-turut kerajaan Medang dikuasai raja-raja keturunan Dapunta Selendra, yaitu Rake Panangkaran, Rake Panunggalan atau Dharanindra, Rake Warak atau Samaragrawira, dan Rake Garung atau Maharaja Samaratungga.
Rake Garung Samaratungga inilah yang giat membesarkan agama Boddha di tanah Jawa. Salah satu karya hebatnya adalah pembangunan candi Borobudur atau Sambhara Budhara.
Agama Siwa Jawa yang dianut keluarga Sanjaya semakin tenggelam oleh kebesaran wangsa Selendra yang ketika itu sudah berhaluan Boddha Mahayana.
Sampai kemudian pada 847M, Rakai Pikatan Dyah Saladu, keturunan wangsa Sanjaya berhasil mengusir keturunan Selendra dari bhumi Mataram.
Balaputradewa terdesak dan menyingkir ke Swarnadwipa Sumatera.
Rakai Pikatan bertahta di Medang menggantikan Rakai Garung Samaratungga, memindah ibukota Medang ke Mamrati [Dieng], tidak menempati keraton yang pernah diduduki mertuanya.
Raja Medang di Mamrati setelah Rakai Pikatan adalah Rakai Kayuwangi dan Rakai Watuhumalang. Keduanya merupakan keturunan langsung Rakai Pikatan dari permaisuri Sri Pramodawardhani. Rake Watuhumalang memiliki menantu bernama Dyah Balitung. Watuhumalang menobatkan Dyah Balitung sebagai mahamentri i hino atau putra mahkota Medang.
Setelah Watuhumalang wafat, Dyah Balitung naik tahta dan memindak keraton Medang ke Poh Pitu [Kedu]. Raja Medang di Poh Pitu selanjutnya adalah Mpu Daksa dan Rakai Layang Dyah Tulodong.
Kemudian Rake Sumba Dyah Wawa merebut tahta dari tangan Dyah Tulodong dan raja ini memindah ibukota Medang kembali ke kota kuna di bhumi Mataram, lembah selatan gunung Merapi —sangat mungkin kota kuna ini kelak juga menjadi pusat keraton Mataram era Majapahit dan kembali dibabat atau dibuka Ki Ageng Pamanahan, menjadi cikal Mataram Islam.
Pada masa akhir pemerintahan Rake Sumba dyah Wawa inilah kekuatan Sriwijaya wangsa Selendra kembali menggempur tanah Jawa. Penyerbuan pasukan kerajaan berhaluan Boddha itu terjadi sekitar 928M. Sriwijaya adalah satu-satunya musuh bebuyutan wangsa Sanjaya. Pada penyerbuan itu, Rakai Sumba dyah Wawa gugur. Sementara mahamentri halu Mpu Sindok berhasil selamat lalu menyingkir bersama sisa pengikutnya ke Jawatimur. [Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit hal 4]
Sampai akhirnya mahamentri i hino Mpu Sindok membangun kerajaan di Watugaluh, Jombang, dan tegas menyebut kerataan Medang yang berpusat di Watugaluh sebagai penerus kerajaan Medang i bhumi Mataram. Ini artinya kerajaan Medang yang dibangun Ratu Sanjaya masih berkibar di tanah Jawa, persisnya di Jawatimur.
Siwi Sang dalam buku Girindra : Pararaja Tumapel Majapahit menyebutkan bahwa penyerbuan Sriwijaya atas pemerintahan Rake Sumba dyah Wawa itu memang tidak pernah termuat dalam prasasti yang keluar masa kemudian. Tetapi peristiwa besar itu dapat diselusuri melalui sejarah perseteruan antara Sriwijaya dan Medang bumi Mataram, atau wangsa Selendra dengsan wangsa Sanjaya.
Jika benar keraton Medang bhumi Mataram digempur Sriwijaya wangsa Selendra, mengapa Mpu Sindok tidak membangun kembali kerajaannya di daerah lain di Jawatengah?
Pada kurun itu Medang Mataram memiliki beberapa daerah bawahan seperti Kedu, Banjarnegara, Dieng, Pekalongan, Batang, Jepara, atau Cilacap. Daerah-daerah tersebut tentu menerima dengan tangan terbuka seumpama Mpu Sindok menjadikannya sebagai ibukota Medang, mengganti kotaraja Mataram yang dihancur Sriwijaya.
Bahwa alasan kuat Mpu Sindok menyingkir ke Jawatimur karena Jawatengah sepenuhnya dikuasai Sriwijaya wangsa Selendra keturunan Balaputradewa, sehingga tiada tempat lagi bagi Mpu Sindok di Jawatengah.
Analisa kepindahan Mpu Sindok ke Jawatimur ini mendukung pendapat Casparis yang memunculkan teori bahwa Medang Mataram pindah ke Jawatimur akibat serbuan Sriwijaya.
Analisa ini juga menguatkan pendapat Buchari yang menyatakan bahwa keraton yang pernah diduduki musuh menjadi ternoda kotor dan harus dipindah ke tempat lain. Analisa ini sekaligus menyanggah teori Van Bommelen, Schrieke, Antoniete.
==============
SIWI SANG
catatan: Tulisan ini telah diperbarui pada 15/9/2015 [terkait Sanjaya sebagai putra Sannaha atau keponakan maharaja Sanna]
No comments:
Post a Comment