Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Breaking News

    Sunday, September 1, 2013

    Rangah Rajasa Ken Arok Sang Putra Girindra



    Penyebutan Ken Arok sebagai putra Dewa Brahma dalam Pararaton dan penyebutan Putra Girinata atau sang girindratmasunu dalam kakawin Decawarnanna memiliki kesamaan makna bahwa keduanya ingin mengatakan jika Ken Arok berdarah luhur atau berdarah raja penganut Siwa yaitu raja Jenggala Sri Maharaja Girindra. 
     

    pada tahun Saka Lautan Dasa Bulan, 1104 saka, ada raja perwira yuda, Putera Girinata. Konon kabarnya, lahir di dunia tanpa ibu. Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda bakti. Rangga Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan bijak. Daerah luas sebelah timur Gunung Kawi terkenal subur makmur. Di situlah tempat putera sang Girinata menunaikan darmanya. Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat, meneguhkan Negara. Ibu Negara bernama Kutaraja, penduduknya sangat terganggu. Tahun Saka Lautan Dadu Siwa, 1144 saka, beliau melawan raja Panjalu. Sang adiperwira Kretajaya, putus sastra serta tatwopadesa. Kalah ketakutan, melarikan diri ke dalam biara kecil. Semua pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati terbunuh. Setelah kalah narapati Kediri, Jawa di dalam ketakutan. Semua raja datang menyembah membawa tanda bakti hasil tanah. Bersatu Janggala Panjalu dibawah kuasa satu raja sakti. Cikal bakal para raja agung yang akan memerintah Pulau Jawa. Makin bertambah besar kuasa dan megah putera sang Girinata. Terjamin keselamatan Pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun Saka Muka Lautan Rudra, 1149 saka, beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usaha bagai Budha.  [Terjemahan Slamet Muljana PUPUH 40 kakawin Negarakertagama bait 1-5]

    Sementara Pararaton meriwayatkan Ken Arok sebagai putra Dewa Brahma. Penulis Pararaton sesungguhnya ingin mengatakan bahwa Ken Arok merupakan putra raja yang lahir dari rahim jelata. Karena itu menulis riwayat hubungan badan antara Dewa Brahma dengan Ken Endog. Bahwa raja itu adalah Sri Maharaja Girindra penguasa Jenggala yang tersingkir dari Kutaraja setelah penggempuran balik Panjalu pimpinan Senapati Tunggul Ametung pada 1194M sebagaimana dipaparkan di awal. Sri Maharaja Girindra juga termasuk ayah Sasi Kirana, permaisuri Sri Kameswara.

    Pararaton menuturkan bahwa Ken Angrok titisan pemuda Desa Jiput, anak janda Jiput, berperilaku buruk, doyan melanggar norma kesusilaan, yang setelah pergi ke desa Bulalak, mengabdi kepada kepala desa bernama Mpu Topowangkeng, bersedia menjadi korban pembangunan pintu gerbang asrama Mpu Topowangkeng, dengan harapan dapat kembali ke sorganya dewa Wisnu dan menjelma kembali atau menitis di dalam kelahiran mulia, hidup kembali ke alam tengah, menikmati tujuh turunan, dan meminta dijelmakan di sebelah timur gunung Kawi. Keinginan pemuda Jiput itu terwujud ketika Dewa Brahma menitipkan endog kepada istri Gajah Para bernama Ken Endok. Setelah genap bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki dari rahim Ken Endog. Anak itu kemudian dibuang di kuburan oleh Ken Endog. Seterusnya ada seorang pencuri bernama Lembong yang tersesat dikuburan dan melihat ada benda menyala dan setelah didekati ternyata sesosok bayi —jaman dahulu, bayi hebat, bayi berdarah luhur, selalu dilambangkan dengan keluarnya cahaya menyala. Kemudian bayi itu dibawa Lembong dan sejak saat itu hubungan antara Ken Arok dengan ibu kandungnya terpisah.

    Terpisahnya Ken Arok dengan ibu kandungnya, yang dalam Pararaton dikisahkan dengan sikap Ken Endog membuang bayi ke kuburan lalu ditemukan dan diasuh pencuri Lembong, haruslah dimaknai bahwa semasa bocah, Ken Arok meninggalkan ibunya berkelana karena ingin mencari bapak kandungnya, yang menurut cerita adalah raja Jenggala.

    Tetapi ketika hendak ke Jenggala, terjadi peristiwa besar yaitu penyerbuan pasukan Panjalu pada1194M. Pada waktu itu Ken Arok berusia sekitar 12 tahun. Nasib Ken Arok menjadi sangat sengsara, mengembara dari satu tempat ke tempat lain, mencari perlindungan beberapa tokoh lantaran diburu pihak kerajaan. Pararaton mengisahkan perburuan atas Ken Arok lantaran ia bertingkah onar di Tumapel.

    Sesungguhnya perburuan itu terjadi lantaran pihak kerajaan Panjalu mengetahui bahwa Ken Arok keturunan raja Jenggala yang dikhawatirkan bakal menjadi ancaman di kelak kemudian hari, sehingga perlu ditangkap.

    Kisah perburuan berakhir setelah Ken Arok mendapat perlindungan Pendeta Lohgawe. Sang pendeta Siwa itu kemudian datang menemui Tunggul Ametung, meminta supaya menerima Ken Arok sebagai salah satu abdinya. Tunggul Ametung mengiyakan keinginan itu, mengampuni Ken Arok, menempatkannya sebagai pemimpin pasukan pengawal.

    Sementara Prapanca menulis bahwa pada tahun saka lautan dasa bulan, ada raja perwira yudha, Sang Putra Girinata. Konon kabarnya lahir tanpa ibu. Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki sebagai tanda bakti. Ranggah Rajasa namanya, penggempur musuh pahlawan bijak.

    Kiranya yang dimaksud ‘konon kabarnya lahir tanpa seorang ibu’ dalam Negarakertagama sebagaimana ditulis Prapanca adalah kenyataan bahwa Ken Arok lahir tanpa diasuh ibu kandung sendiri mirip kelahiran Basukarna yang dilarung Kunti dan terpaksa disusui dan diasuh istri sang Radeya. 

    Meski demikian Prapanca juga mengetahui riwayat Ken Arok sebagai keturunan raja Jenggala yang menganut Siwa. Raja Jenggala menganut agama Siwa dan dikenal juga sebagai sang Girinata. Karena itu Prapanca menyebut Ken Arok alias Ranggah Rajasa sebagai putra Girinata. Ini menunjukkan kenyataan sejarah bahwa Ken Arok adalah putra raja Jenggala.

    Dugaan bahwa Ken Arok berdarah raja semakin menguat oleh berita Pararaton yang menyebut Ken Arok putra Dewa Brahma yang diambil anak oleh Dewa Siwa dan akhirnya pada dirinya menitis Dewa Wisnu.

    Dalam tubuh Ken Arok bersemayam tiga Dewa utama, Brahma, Siwa, dan Wisnu. Tetapi ia lebih dikenal sebagai putra Girinata atau putra Dewa Siwa. Tidak sembarangan sebutan mulia itu disematkan kepada seseorang.

    Sekali lagi penyebutan Ken Arok sebagai putra Dewa Brahma dalam Pararaton dan penyebutan Putra Girinata atau sang girindratmasunu dalam kakawin Decawarnanna memiliki kesamaan makna bahwa keduanya ingin mengatakan jika Ken Arok berdarah luhur atau berdarah raja penganut Siwa yaitu raja Jenggala Sri Maharaja Girindra. 

    Sampai kemudian Ken Arok berupaya mengembalikan kejayaan darah leluhurnya. Rencana besar itu dimulai dengan merebut tahta Tumapel dari Tunggul Ametung.

    Tekad kuat Ken Arok membangkitkan kekuatan Jenggala ditulis Pararaton sebagai keinginan kuat memiliki Ken Dedes, perempuan yang menurut pendeta Lohgawe dianggap sebagai sosok ardanareswari, sosok yang bakal menurunkan raja-raja besar tanah Jawa. Siapapun lelaki yang menikahinya pasti mendapat kemuliaan hidup menjadi raja besar tanah Jawa.

    Menurut Pararaton, setelah menjadi permaisuri Tunggul Ametung, Ken Dedes hamil. Saat kehamilannya berusia tiga bulan, Ken Dedes pelesir bersama Tunggul Ametung ke suatu taman. Ketika turun dari kereta kencana, tanpa sengaja kain bagian bawah yang dikenakan Ken Dedes berkibar disibak angin taman, tanpa sengaja terkuak betis pahanya, tersingkap bagian terlarang Ken Dedes. Pemandangan itu terlihat Ken Arok, pemimpin pasukan pengawal yang kebetulan mengiringi perjalanan Ken Dedes dan Tunggul Ametung. Ken Arok melihat cahaya mencorong megah dari bagian terlarang Ken Dedes. Sekembalinya rombongan ke Tumapel, Ken Arok segera menemui gurunya, Mpu Lohgawe, menceritakan pengalamannya kepada pendeta Siwa dari tanah Hindu itu.

    Sang Pendeta Siwa Mpu Lohgawe menerjemahkan cahaya yang dilihat muridnya sebagai cahaya yang hanya khusus dimiliki sesosok perempuan Ardhanareswari. ”Ia perempuan paling utama, meskipun orang berdosa. Siapapun yang menikahi perempuan Ardanareswari, akan menjadi maharaja.”

    Ken Arok diam memikir sesuatu hingga kemudian kembali berkata, ”Bapa guru, perempuan yang menyala rahasianya itu adalah istri sang akuwu Tunggul Ametung. Jika demikian, saya akan melenyapkan sang akuwu dan mengambil istrinya itu. Saya sanggup membunuhnya jika guru merestui.” 

    Keinginan Ken Arok untuk merebut Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung sebenarnya bukan tujuan utama. Tujuan utamanya adalah merebut kekuasaan dari tangan Tunggul Ametung. Jika penguasa Tumapel terbunuh, dengan sendirinya Ken Dedes menjanda. Karena Ken Dedes berparas jelita, sudah barang tentu Ken Arok berniat menjadikannya sebagai permaisuri jika kelak berhasil menyingkirkan Tunggul Ametung. Penulis Pararaton seakan menutup rencana perebutan kekuasaan itu dengan menampilkan kisah tergodanya Ken Arok pada Ken Dedes. Ini merupakan watak sebuah prosa lama atau penulisan cerita Jawakuna seperti legenda rakyat yang selalu menampilkan kisah percintaan. 

    Akan tetapi itu tidak menghapus kenyataan sejarah bahwa tokoh Ken Arok, Tunggul Ametung dan Ken Dedes benar-benar ada meski tidak tertutup kemungkinan tiga tokoh itu memiliki nama lain. Kenyataan sejarah lainnya adalah rencana Ken Arok menguasai Tumapel dengan membunuh Tunggul Ametung. Rencana itu disampaikan kepada Pendeta Lohgawe. 

    ”Ya,” jawab sang pendeta Lohgawe. ”tentu matilah Tunggul Ametung olehmu. Hanya aku tak pantas memberi restu atau mengijinkanmu, karena hal itu bukan sikap dan tindakan seorang pendeta. Segalanya terserah padamu. Batasnya adalah kehendakmu sendiri.” 

    Jawaban pandita Lohgawe itu mengandung makna merestui atau mendukung rencana Ken Arok merebut tahta dari tangan Tunggul Ametung yang menganut agama Wisnu demi membangkitkan kembali kekuatan Jenggala yang menganut agama Siwa.  

    Dalam kehidupan masyarakat pada waktu itu, kaum pendeta merupakan perwujudan dari kekuatan rakyat. Dukungan kaum pendeta yang merupakan kasta tertinggi sama artinya sebagai dukungan rakyat. Pertemuan antara Ken Arok dengan Pendeta Lohgawe yang membicarakan rencana penggulingan Tunggul Ametung harus dimaknai upaya Ken Arok sang putra Brahma untuk mendapat dukungan kaum pendeta Siwa sebagai simbol mendapat dukungan rakyat Jenggala yang menganut Siwa. Itu dilakukan Ken Arok setelah dirinya mengabdi di Tumapel menjadi pemimpin pasukan pengawal, setelah merasa memiliki pengaruh cukup besar dalam kesatuan keprajuritan Tumapel. Yang pertama menyarankan Ken Arok mengabdi ke Tumapel sebagai prajurit Tunggul Ametung adalah pendeta Lohgawe juga. Sejak awal sesungguhnya pendeta Lohgawe mengetahui rencana besar Ken Arok membangkitkan kembali kejayaan Jenggala, membangkitkan kembali kejayaan agama Siwa. Siasat yang pertama kali dijalankan adalah menanamkan pengaruh dalam lingkungan keprajuritan Tumapel yang kelak digunakan sebagai kekuatan pendukung utama untuk menjalankan rencana utamanya yaitu menggempur Panjalu yang menganut agama Wisnu. Maka sekali lagi pendeta Lohgawe merestui keinginan Ken Arok untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dari Tumapel karena melihat saatnya sudah tiba bagi sang Putra Dewa Brahma. 

    Hanya Pararaton sepertinya ingin menyelamatkan nama baik kaum pendeta Siwa dengan menyisipkan cerita tentang keinginan Ken Arok untuk merebut Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung. Pararaton ingin mengatakan bahwa merebut istri orang dilarang ajaran agama Siwa. Karena itu Pendeta Lohgawe tidak merestui keinginan Ken Arok merebut Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung.  

    Jadi yang tidak diresui sang pendeta bukan rencana perebutan kekuasaan di Tumapel, melainkan perbuatan merebut istri orang, yang dalam pandangan agama Pendeta Lohgawe sangat tercela, sehingga tidak pantas bagi seorang pendeta merestui sikap perbuatan itu.

    Adapun Pendeta Lohgawe merestui rencana Ken Arok membunuh Tunggul Ametung karena di matanya sang putra Dewa Brahma sangat layak melakukan itu lantaran mengambil apa yang menjadi hak miliknya yaitu tahta Jenggala. Hal itu dihalalkan menurut pandangan kaum pendeta meski dengan cara membunuh orang lain.

    Terdorong keinginan kuat memiliki sang ardanareswari supaya kelak menjadi maharaja tanah Jawa, setelah menemui sang guru, Ken Arok pamit menuju desa Gebang Karuman, menemui ayah angkatnya, Blandar Samparan yang pekerjaannya tukang judi. Setiba di Gebang Karuman, Ken Arok menceritakan segala rencananya kepada ayah angkatnya itu. 

    ”Bapa Bango,” katanya. ”saya ingin menjadi maharaja. Tunggul Ametung akan saya lenyapkan. Istrinya akan saya ambil. Saya ke sini minta dukungan persetujuan Bapa Bango. Saya telah meminta persetujuan bapa pendeta Lohgawe tapi beliau malah tidak merestui dan menyerahkan sepenuhnya kepada saja. Bapa Lohgawe mengatakan bahwa seorang brahmana tidak dapat memberi persetujuan kepada orang yang berniat merebut paksa istri orang lain. Itulah sebab mengapa saya ke sini menemui Bapa Bango.  Tunggul Ametung akan saya bunuh secara rahasia. Saya yakin dia mati ditangan saya.” 

    Bango Samparan sangat sayang dan cinta pada Ken Arok. Pertama kali ketemu dengan Ken Arok ketika dirinya sedang ditimpa kesusahan, kalah besar dalam taruhan dengan seorang bandar judi dari desanya. Ia ditagih supaya membayar semua uang taruhan dan meski sudah dikeluarkan semua duitnya, masih banyak yang belum terbayar. Bango Samparan harus menanggung utang pada bandar judi itu, membikin malu dan susah hatinya. Setelah hari kekalahan itu Bango Samparan pergi ke suatu tempat keramat di Rabut Jalu dan setelah beberapa hari bertapa, ia menerima wangsit gaib supaya pulang ke Gebang Karuman karena sebentar lagi bakal datang seorang pemuda bernama Ken Arok yang bakal sanggup mengubah nasib hidupnya, menjadi jagoan di setiap medan perjudian. Dan benarlah segala petunjuk dewa itu. Bango Samparan bertemu Ken Arok, lalu mengajaknya ke setiap medan perjudian. Ken Arok selalu membawa keberuntungan di setiap perjudian yang dihadapi Bango Samparan. Nasibnya berputar cepat dan sangat baik. Utang-utangnya dapat dilunasi. Hidupnya berkelimpahan. Di saat-saat bahagia itu mendadak Ken Arok pergi tanpa alasan jelas, membikin nasib bango Samparan menukik jatuh, kembali melarat, selalu kalah judi. Demi melihat kedatangan Ken Arok yang sudah dianggap sebagai anak sendiri, giranglah hati Bango Samparan. Maka demi mendengar penuturan Ken Arok yang meminta persetujuan pada niatnya menghabisi Tunggul Ametung, serentak Bango samparan merestui. Kemudian Bango Samparan yang juga kerap dipanggil Blandar Samparan menyarankan supaya Ken Arok segera saja menemui seorang empu sakti di desa Lulukambang bernama Empu Gandring.  

    ”Tunggul Ametung sangat sakti, kebal tusuk segala senjata. Harus menggunakan senjata sakti untuk membunuh penguasa Tumapel itu. Satu-satunya jalan adalah menggunakan keris tempaan  Empu Gandring.” 

    Ken Arok mengikuti segala saran ayah angkatnya. Menemui Empu Gandring, memesan sebilah keris paling ampuh. Harus cepat selesai. Sebelum pergi dari hadapan sang empu, Ken Arok bilang bakal datang ke Lulukambang lima bulan lagi mengambil keris pesanannya. 

    ”Jangan lima bulan,” Empu Gandring keberatan. ”Jika kamu mengingini keris seperti itu, kira-kira setahun baru selesai menempanya.” 

    ”Pokoknya aku menghendaki keris pesananku selesai lima bulan!” Ken Arok kemudian pergi meninggalkan Empu Gandring dan kembali lagi tepat lima bulan kemudian. Terkejut demi melihat keris pesanannya masih setengah jadi. Serta-merta Ken Arok menghunus keris lalu menikam sang empu. Sebelum hembusan napas terakhir Empu Gandring mengeluarkan kutukan bahwa kelak Ken Arok setujuh turunannya bakal tewas termakan keris gandring.

    Sampai disini penulis Pararaton sedang menyampaikan perihal hukum karma. Bahwa setiap perbuatan pasti mendapat balasan. 

    Setelah segala siasat dirancang matang, setelah mendapat hari baik, Ken Arok segera saja melancarkan aksinya, menyingkirkan batu sandungan pertama, memusnahkan pemegang kekuasaan di Tumapel, Adipati Tunggul Ametung.

    Pararaton menulis ketika Ken Arok mengawal Tunggul Ametung dan permaisurinya pelesir ke taman, usia kehamilan Ken Dedes tiga bulan. Jika ditambah masa Ken Arok membunuh Empu Gandring, tentu saja usia kehamilan itu 8 bulan lebih. Tetapi ketika pada akhirnya Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes, Pararaton menyebut usia kehamilan Ken Dedes masih 3 bulan. 

    Meski demikian Pararaton menyampaikan kenyataan sejarah bahwa Ken Arok berhasil menduduki Tumapel setelah membunuh Tunggul Ametung pada sekitar 1203M. Ken Arok menikahi Ken Dedes dan kelak menobatkan diri sebagai raja Tumapel, kerajaan baru yang lepas dari kekuasaan Panjalu Daha dengan mengambil nama abhiseka Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi dan menjadikan Kutaraja sebagai ibukota resmi kerajaan Tumapel. Kenyataan sejarah lainnya yaitu Ken Dedes memiliki seorang putra hasil perkawinan dengan Tunggul Ametung bernama Sang Panji Anengah Anusapati.  

    =============
     SIWI SANG

    No comments:

    Post a Comment

    Literatur

    Taktik Menulis

    Banjarnegara