Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Breaking News

    Saturday, September 21, 2013

    Boyolangu


    PEMBELAHAN kerajaan Erlangga yang disimbolkan dengan kisah pengucuran air kendi Mpu Bharada juga termuat dalam kakawin Negarakertagama pupuh 68. Sebelumnya pada pupuh 67, Prapanca menulis pesta srada yang diselenggarakan keraton Majapahit serba meriah dan hikmat penuh penghormatan kepada mendiang Sang Rajapatni Dyah Gayatri. Perayaan yang membikin girang jiwa sri Rajapadni yang sudah mangkat. Semoga arwah Sang Rajapatni melimpahkan berkat kepada Sri Nata Rajasanagara supaya tetap jaya menghadapi para musuh selama masih ada bulan dan surya. Lodang lega rasa Baginda Prabu Rajasanagara menyaksikan perayaan berlangsung lancar tiada halangan. Tinggal menunggu karya yang belum rampung yaitu menyempurnakan candi makam Sri Rajapatni Dyah Gayatri di Kamal Pandak. 




    candi Wisesapura atau candi pendarmaan Rajapatni dyah Gayatri di Boyolangu Tulungagung


    Terjemahan  Prof. Slamet Mulyana atas Pupuh 68 kakawin Negarakertagama:
    Demikianlah sejarah Kamal Pandak menurut tutur yang dapat dipercaya. Suatu ketika Sri Nata Panjalu Daha Maharaja Erlangga berkehendak membelah tanah Jawa lantaran cinta pada kedua putranya. Tersebutlah seorang pendeta Boddha Mahayana yang putus dalam kitab tantra dan yoga, bermukim di tengah kuburan Lemah Tulis, sosok yang senantiasa menjadi pelindung rakyat, ketika mengunjungi pulau Bali hanya berjalan kaki, tenang menapak permukaan lautan. Mpu Bharada namanya, sosok yang paham tiga jaman. Girang beliau menyambut permohonan Maharaja Erlangga supaya membelah Negara. Maka perbatasan Negara ditandai dengan air kendi yang mancur dari angkasa. Dari barat ke timur sampai lautan. Lalu dari utara ke selatan. Daerah selatan yang jaraknya tidak begitu jauh bagaikan terpisah samudera besar. Di daerah selatan itu sang pendeta turun dari angkasa, berhenti di atas pohon Kamal, berniat menaruh kendi suci di Desa Palungan untuk mengakhiri penentuan garis batas kerajaan. Tetapi sebelum menginjak tanah, sang pendeta murka lantaran jubahnya terkait puncak pohon kamal yang tumbuh menjulang tinggi. Mpu Barada terbang ke angkasa lagi lalu mengutuk pohon Kamal menjadi pandak atau kerdil. Itulah tugu batas gaib yang tidak boleh dimasuki kekuasaan Panjalu dan Janggala. Itulah sebab mengapa sekarang dibangun candi. Tujuannya supaya menyatukan tanah Jawa kembali atau menyatukan Panjalu dan Janggala. Dengan demikian semoga baginda prabu serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada, Berjaya memimpin Negara yang kini sudah kembali bersatu-padu.
    Dalam pupuh selanjutnya Prapanca menyebut candi yang dibangun di Kamal Pandak bernama candi Prajnaparamitapuri atau candi Wisesapura, candi makam bagi Sang Rajapatni Dyah Gayatri. Candi makam di Bayalangu ini sohor sebagai tempat keramat, tiap bulan badrapada disekar para pembesar kerajaan dan para pendeta. 

    Dongeng pembelahan negara sebagaimana dalam kakawin Negarakertagama mengandung makna pralambang. Perikehidupan orang Jawa masalampau kental dengan ibarat dan lambang. Ketika bermaksud menyampaikan sesuatu perkara atau masalah yang sekiranya bersinggungan dengan pihak penguasa atau negara, orang Jawa selalu menyampaikannya dengan bahasa lambang atau ibarat. Kejadian-kejadian sejarah yang benar-benar terjadi pada masasilam diterangkan pada para anak keturunannya melalui kisah ibarat, bukan menyampaikan secara apa adanya. 
    Ketika membaca beberapa hasil karya sastra para pujangga Jawa baik tulisan maupun lisan, seyogyanya harus memahami watak asli tersebut. Peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi kerap kemudian kelihatan seperti dongengan tidak masuk akal lantaran sudah banyak dibumbui perkara-perkara gaib, diselimuti kejadian-kejadian gaib tidak masuk akal yang bertujuan meluhurkan atau membesarkan para tokoh yang sedang diceritakan atau diungkapkan. Salah sebuah contoh yaitu kisah terbangnya Mpu Bharada saat bertugas membelah negara, sosok yang juga diriwayatkan sanggup mengunjungi pulau Bali hanya dengan menapak di atas permukaan laut.
    Kiranya tidak begitu kehebatan Mpu Bharada. Meski orang jaman dahulu dikenal sakti-sakti, kucuran air kendi tidak bakal menjadi aliran sungai Leksa di timur gunung Kelud. Tanpa perahu, Mpu Barada juga sulit mengunjungi pulau Bali. Sekali lagi watak tabiat penulisan atau pengisahan babad, legenda, dongengan Jawakuna banyak makna tersiratnya, banyak lambang dan ibaratnya.
    Mpu Barada mengutuki pohon asem yang menyangkuti jubahnya sebagaimana dikisahkan Prapanca dalam kakawin Decawarnnana, bukan benar-benar terjadi penyangkutan jubah sang pandita pada ujung pohon asem atau kamal di daerah palungan. Bukan benar-benar terjadi pengutukan supaya pohon kamal menjadi pandak hingga kelak daerah itu dinamakan Kamal Pandak, pohon kamal kerdil. Bukan pula benar-benar terjadi peristiwa pengucuran air kendi dari angkasa oleh Mpu Barada sebagai garis pemisah Panjalu dan Janggala.
    Dongeng tersangkutnya jubah Mpu Barada pada pohon asem alas atau pohon kamal mengandung arti bahwa Mpu Barada mendapat rintangan besar ketika melakukan pembelahan Negara, sehingga tugasnya tidak sempurna. Ada sebuah daerah yang tidak berhasil dijangkau atau tidak mau tunduk pada kekuasaan Panjalu maupun Janggala.

    Karena itu Mpu Bharada yang hampir selesai menentukan daerah-daerah mana saja yang masuk kekuasaan Panjalu dan daerah-daerah mana yang menjadi bawahan Janggala, menjadi murka pada penolakan penguasa daerah brang kidul yang ingin menjadi wilayah merdeka.

    Padahal daerah itu digolongkan sebagai daerah berkedudukan lebih rendah dari daerah sekitar. Di sini maksud daerah palungan sesungguhnya daerah yang memiliki derajat atau menganut agama lebih rendah ketimbang Panjalu dan Janggala. Daerah itu memutuskan berdiri sendiri melawan kekuatan atau kehendak Mpu Barada.

    Sikap itu dapat diartikan melawan kekuasaan kerajaan. Melawan kekuasaan kerajaan sama artinya bertindak kraman dan hukumannya sangat berat. Tetapi Mpu Barada tidak sanggup menaklukkan kekuatan brang kidul. Meski demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan kesepakatan dua belah pihak.

    Hasil kesepakatannya bahwa sejak saat itu brang kidul menjadi daerah bebas merdeka, bukan bawahan Panjalu maupun Janggala, dengan syarat brang kidul harus pula menghormati kekuasaan Panjalu dan Janggala. Sang pandita mengabarkan kemerdekaan brang kidul ibarat tugu gaib ujung batas sebelah selatan yang tidak boleh dilintasi Panjalu dan Janggala.

    Kutukan Mpu Barada kepada pohon kamal supaya berubah kecil atau pandak mengandung makna supaya ketinggian dan kekokohan brang kidul mengecil lalu lenyap sehingga yang berkuasa di tanah Jawa hanya Panjalu dan Janggala, kerajaan yang dibangun Maharaja Erlangga.

    Maka ketika Panjalu dan Janggala saling serang, keduanya tidak menyerang daerah Kamal Pandak atau selatan sungai Brantas yang dikuasai Ratu Dyah Tulodong. Kedua putra Erlangga setia  menghormati dan meyakini kekeramatan sumpah Mpu Bharada.

    Kelak daerah Kamal Pandak dikenal sebagai Bayalangu atau Boyolangu yang menjadi tempat pendarmaan Sang Rajapatni Dyah Gayatri dan cucunya, Sri Wikramawardhana. Sejak dulu sampai sekarang, daerah ini tetap berada di Tulungagung.

    Tetapi banyak sejarawan yang menyangkal keberadaan Boyolangu di Tulungagung sebagai tempat pendarmaan Sang Rajapatni Dyah Gayatri. Mereka meyakini Boyolangu terletak di dekat muara sungai Porong. Ini sesungguhnya kekeliruan penafsiran yang berpangkal dari keliru tafsir Berg dan Slamet Muljana.
    Pakar filologi Slamet Muljana dalam buku Negarakertagama dan tafsir sejarahnya, menyinggung Bayalangu yang menjadi tugu batas kerajaan Jenggala dengan Panjalu. Ia menyimpulkan bahwa Bayalangu tempat pendarmaan Sang Rajapatni Dyah Gayatri bukan di Tulungagung, melainkan di utara Pasuruan atau seberang selatan sungai Porong.

    Bahwa pendapat itu sebenarnya berpedoman pada terjemahan Berg dalam karyanya Herkomst, Vorm en Functie. Slamet Muljana menulis terjemahannya: “Pembelahan itu dilakukan oleh Mpu Bharada dengan memancurkan air dari kendi dari arah barat ke timur sampai laut, membagi pulau Jawa menjadi dua, sebagian terletak di seberang utara, sebagian di seberang selatan. Sebenarnya kedua kerajaan itu tidak jauh satu sama lain, tetapi kelihatannya seolah-olah jauh terpisah oleh laut. Jawa lalu diperintah oleh dua raja.”

    Berdasarkan terjemahan itu, Berg menetapkan batas Jenggala dan Panjalu yaitu sungai Widas dan Porong yang mengalir dari barat ke timur menuju selat Madura. Ini berarti letak Kamal Pandak tempat candi makam Rajapatni yang bernama Prajnyaparamitapuri serta Desa Bayalangu tempat candi pemujaannya yang bernama Wisesapura berada di dekat muara atau di seberang selatan sungai Porong. Menurut Slamet Muljana, Desa Bayalangu disebut dalam kakawin Negarakertagama pupuh 19 bait pertama.

    Pupuh 19 bait 1: Paginya berangkat lagi menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam. Dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa, Rame, Menuju Lampes, Times. Serta biara pendeta di Pogara mengikuti jalan pasir lemak – lembut. Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih terus lari.

    Bait 2: Tersebut dukuh Kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah. Tanahnya anugerah Sri Baginda kepada Gadjah Mada, teratur indah. Disitulah Baginda menempati pasanggrahan yang terhias sangat bergas. Sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandibakti.

    Menurut Slamet Muljana, Desa Bayalangu harus terletak antara Gangan Asem dan Kedung Dawa di seberang kidul sungai Porong. Maksud kunjungan Sang Prabu Hayam Wuruk di Bayalangu, menurut tafsiran Berg yaitu untuk mengecek tempat yang akan digunakan untuk mendirikan candi makam dan candi pemujaan Sri Rajapatni.

    Atas dasar uraian tersebut, Slamet Muljana menyimpulkan bahwa candi  pendarmaan Rajapatni Dyah Gayatri juga berada di sana. Prajnyaparamitapuri dan Wisesapura yang terletak di Desa Bayalangu di sebelah selatan Tulungagung —Slamet Muljana menyebut Bayalangu di sebelah barat Tulungagung dan ini keliru— tidak dapat diterima, meskipun di desa itu terdapat puing-puing bangunan lama dan arca Pradjnaparamita yang telah rusak. Begitu kesimpulan Slamet Muljana terkait Bayalangu.

    Tetapi Berg maupun Slamet Muljana lupa bahwa dalam pupuh 19 bait 1, Prapanca tidak menyebut desa Bayalangu melainkan desa Baya. Bayalangu selalu ditulis lengkap dalam Negarakertagama, dalam pupun 69 dan 74. Selain dalam kakawin Negarakertagama, nama Bayalangu juga ditemukan pada Prasasti Waringin Pitu, 1447M yang dikeluarkan raja Majapahit ketujuh Sri Wijaya Parakrama Wardhana Dyah Kertawijaya.

    Seumpama mengiyakan pendapat Berg dan Prof Slamet Muljana, maka sungai Porong sebagai garis batas dari barat ke timur bakal menempatkan Jenggala di utara dan Panjalu di selatan sungai.

    Karena sungai Porong bermula dari Mojokerto sampai Porong dan di Mojokerto bertemu dengan Brantas, maka supaya wilayah Jenggala setara dengan luas wilayah Panjalu, garis batas itu harus berlanjut mengikuti sungai Brantas ke arah hulu, bergerak ke baratdaya ke arah hulu sungai Brantas, terus ke selatan ke arah Kediri, di Tulungagung belok timur, terus dan sebelum Turen belok utara sampai Malang.

    Dengan demikian, seperti Lamongan, Bojonegoro, Madiun, gunung Wilis, Trenggalek, Tulungagung, termasuk wilayah Jenggala. Sementara daerah Daha, gunung Kelud, Anjasmoro, Penanggungan, Kawi, Semeru, sampai Blambangan masuk Panjalu.

    Dugaan bahwa Jenggala di utara sungai Porong memang bertambah kuat dengan ditemukan kenyataan bahwa Raja Garasakan dari Jenggala mengeluarkan prasasti Turun Hyang II pada 1044M di Desa Truneng di timur laut Pamotan atau di seberang utara sungai Porong.

    Tetapi keyakinan itu bakal gugur melihat kenyataan bahwa raja Panjalu Daha Sri Kertajaya pada 1194M mengeluarkan dua prasasti yaitu di daerah Kamulan, Trenggalek dan Prasasti Galungun yang dulu ada di desa Panjerrejo Tulungagung. Kemudian pada 1205M raja Panjalu Sri Kertajaya mengeluarkan prasasti di Lawadan, Tulungagung. Tiga prasasti raja Panjalu ini berada di selatan sungai Brantas, bukan selatan sungai Porong.

    Bahwa seorang raja selalu mengeluarkan anugerah tanah swatantra yang tertulis dalam piagam kerajaan khusus kepada desa-desa yang menjadi wilayah kekuasaannya, bukan kepada daerah di Negara lain.

    Melihat kenyataan itu maka dipastikan daerah Trenggalek dan Tulungagung bukan wilayah Jenggala. Dengan demikian kesimpulan Berg dan Slamet Muljana yang menyatakan kerajaan Jenggala dan Panjalu dibatasi aliran sungai Brantas tidak berlaku. Apalagi Kertajaya juga mengeluarkan Prasasti di Palah pada 1197M, di utara sungai Brantas atau di lereng gunung Kelud. Ini juga mengandung arti bahwa kekuasaan Panjalu meliputi lembah gunung Kelud.

    Jadi di mana sesungguhnya batas Panjalu dan Jenggala?

    Berdasarkan simbolisasi pengucuran air kendi yang meriwayatkan saat menentukan batas negara, ternyata Mpu Bharada bukan cuma membuat garis batas dari barat ke timur atau menetapkan sungai Porong sebagai batas Negara, tetapi juga menambahkan dari utara ke selatan.

    Bahkan yang ditetapkan sebagai batas pertama bukan sungai Porong melainkan sungai Kencana atau sungai Mas yang bermuara di Hujung Galuh, Kahuripan, bekas ibukota Erlangga sebelum pindah ke Daha.

    Penetapan sungai Kencana atau sungai Mas adalah langkah pertama yang dilakukan Mpu Bharada, tujuannya menentukan daerah pesisir utara yang bakal menjadi bagian Panjalu dan Jenggala. Negarakertagama menyebut Mpu Bharada pertama kali bergerak dari barat ke timur sampai selat Madura. Muara sungai Kencana tepat benar di selat Madura.

    Jika meyakini bahwa sungai Kencana menjadi batas pertama, maka titik pertama ada di muara sungai Kencana, bukan sungai Porong.

    Sampai di sini Prasasti Turun Hyang II yang dikeluarkan Mapanji Garasakan dari Jenggala mengandung makna bahwa daerah pesisir mulai dari muara itu ke arah Porong terus Pasuruan, sampai Situbondo merupakan wilayah kekuasaan Jenggala. Sementara Gresik, Tuban dan seterusnya menjadi milik Panjalu.

    Lalu Mpu Bharada masih melanjutkan pekerjaannya dan yang dilakukan adalah membuat garis batas mulai dari bekas ibukota Erlangga di Kahuripan, bukan dari muara sungai Porong. Mpu Barada  bergerak ke selatan dan jika terbang tentu melayang di atas gunung Welirang, ke selatan menuju gunung Kawi, lalu sedikit serong baratdaya, menyeberangi sungai Brantas dan ketika sampai di daerah kekuasaan Ratu Dyah Tulodong penguasa Lodoyong, di sekitar Simping atau agak ke barat sedikit di gunung Cemenung atau Wajak Bayalangu, Mpu Bharada mendapat halangan yang dalam kakawin Negarakertagama disimbolkan dengan cerita tersangkutnya jubah sang pandita boddha ini.

    Dengan demikian tugu batas terakhir adalah tepat benar di selatan sungai Brantas yang pada waktu itu merupakan daerah kekuasaan Ratu Dyah Tulodong. Pada sekitar 1031M, Penguasa perempuan ini berhasil menaklukkan raja Erlangga di istana Watanmas, Penanggungan. Peristiwa ini pula yang menjadi sebab pemindahan ibukota Erlangga ke Kahuripan.

    Maka dapat ditetapkan setelah masa pemerintahan Erlangga, kerajaan Panjalu terletak di barat gunung Kawi dan kerajaan Jenggala di timur gunung Kawi. Ini sesungguhnya sesuai dengan berita dalam serat Calonarang yang ditulis pada 1540M.

    Selain itu dikuatkan dengan bukti peninggalan sejarah di Bayalangu Tulungagung berupa candi makam Rajapatni dan arca sang rani yang disebut sebagai arca Pradjnaparamita. Wisesapura juga terletak di Bhayalangu. Berdasarkan berita serat Pararaton, raja Majapahit keempat Sri Wikramawardhana dimakamkan di Wisesapura. Wikramawardhana adalah cucu Sang Rajapatni Dyah Gayatri. Ditambah lagi nama Bayalangu atau Boyolangu termuat dalam prasasti Wijaya Parakrama Wardhana.

    Berdasarkan isi prasasti Wijaya Parakrama Wardhana, luas daerah tanah tempat sang hyang perdikan dharma di Waringin Pitu adalah sebagai berikut: Di sebelah timur berbatasan dengan Kamalagen, keselatan dari arah timur itu sejauh 81 depa, kemudian lagi menuju ketenggara sejauh 230 depa. Dari perbatasan timur itu ke kanan keselatan sampai tumang 336 depa. Dari tumang kebarat sampai pinggir Kali Musan sepanjang 21 depa. Sesudah itu ke barat daya 101 depa, lalu ke barat menuju tumang 280 depa. Di sisi kanan tumang keutara  sampai tepian Kembang Rawa sepanjang 145 depa. Di kanan menuju ke barat sepanjang 166 depa, keselatan menuju tumang sepanjang 64 depa. Dari perwatasan selatan, dari tumang ke selatan sampai tepian Paberan sepanjang 169 depa. Di sebelah kanan keselatan sepanjang 15 depa. di sebelah kanan ke timur menuju tumang sepanjang 168 depa. Dari tumang ke selatan lalu ke tenggara sampai tepi Klagen sepanjang 102 depa. Ke barat sejak dari tenggara menurutkan arah tumang  sejauh 280 depa. dari tumang ke utara sampai ke daerah sima bernama Tanjung, sejauh 103 depa. di sebelah kanan menurutkan tumang menuju barat sejauh 310 depa. dari tumang ke baratdaya sampai Lagada sejauh 10 depa.

    Selain penyebutan Waringin Pitu, Kamalagen, Klagen, Tanjung, prasasti ini juga menyebut nama Bhayalangu: Mangalor amner anuju tumang dpa 565. Mangetan amner anuju tumang muwah sapakliran lawan Bhayalangu dpa 218. Terus dari sisi utara ke timur menuju tumang sejauh 565 depa, dari sisi timur itu menuju tumang lagi sampai berbatasan dengan Bhayalangu sepanjang 218 depa.

    Prasasti yang dikeluarkan maharaja Majapahit Wijaya Parakrama Wardhana Dyah Kertawijaya pada 1447M ini menyebut nama Kamalagen dan Klagen bersama nama Waringin Pitu dan Bhayalangu. Sementara telah dipaparkan bahwa nama Kamalagen, Klagen, dan Waringin Pitu juga terdapat dalam prasasti Kamalagyan yang dikeluarkan Erlangga pada 1037M yang antara lain berisi anugerah pengurangan pajak kepada daerah kamalagyan dan sekitarnya. Dengan disimpulkannya daerah Bhayalangu berada di Tulungagung, maka semakin menguatkan bahwa prasasti Kamalagyan juga diberikan Erlangga kepada daerah di Tulungagung.

    Dengan demikian pendapat sarjana Belanda C.C Berg, dan professor Slamet Muljana yang menyimpulkan daerah Bhayalangu tempat pendarmaan Rajapatni Gayatri di dekat sungai Porong Sidoarjo dianggap tidak berlaku. Bhayalangu atau sekarang Boyolangu terletak di Tulungagung.

    *     *     *
    Siwi Sang

    4 comments:

    1. wah manteb bahasannya, kulo tiyang jawi tapi mboten njawani

      ReplyDelete
      Replies
      1. Pak Juragan ry. Maturnuwun sudah menyempatkan baca catatan ini. Nggih niki catatan untuk menguatkan bahwa pendarmaan rajapatni dyah gayatri di Boyolangu Tulungagung. Nuwun.

        Delete
    2. Mohon maaf, saya baru mendengar ada penguasa bernama Ratu Dyah Tulodhong di kawasan Tulungagung. Atas dasar sumber apakah penulis menyebut adanya tokoh ini?? Mohon petunjuknya.

      ReplyDelete
    3. kang @Lintang Wetan. ratu tulodong penguasa kerajaan lodoyong di selatan brantas saya merujuk kajian koes indarto dalam buku katuturanira maharaja erlanga. tentunya terkait keberadaannya sudah saya lengkapi dengan sumber lainnya. tapi pada popoknya saya sepakat bahwa kerajaan yang pernah menghancurkan erlangga tahun 1030M berada di selatan brantas.

      ReplyDelete

    Literatur

    Taktik Menulis

    Banjarnegara