Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Breaking News

    Friday, January 17, 2014

    Sejarah Menulis Buku GIRINDRA



    penulisan sejarah tidak berahir tanda titik

    Awal 2010 saya menulis novel berjudul BANARAWA. Novel silat sejarah nuansa lokal. Saya ingin mengembangkan kekuatan sastra lokal. Novel ini berlatarbelakang sejarah Tulungagung masa Majapahit akhir. Pada pokoknya penulisan BANARAWA menggunakan Babad Tulungagung.



    Kala itu saya sudah beberapa kali menamatkan baca serial novel silat SENOPATI PAMUNGKAS mahakarya Arswendo Atmowiloto juga serial GAJAH MADA mahakarya Langit Kresna Hariyadi. Saya juga baca beberapa karya pengarang Jepang, Eiji Yoshikawa, seperti serial MUSASHI dan  THE HEIKE STORY. Saya juga sejak lama, sejak sekolah dasar, baca banyak cerita silat, komik maupun novel, terutama karya karya Bastian ‘Wiro Sableng’ Tito, SH Mintarja, dan Kho Ping Ho.

    Dari pengalaman baca karya karya fiksi silat sejarah, saya bandingkan serial SENOPATI PAMUNGKAS dan serial GAJAH MADA. Pada pandangan saya, meski berseting sejarah akhir Singhasari dan awal Majapahit, SENOPATI PAMUNGKAS kaya narasi silat, miskin narasi sejarah. Sementara serial GAJAH MADA sebaliknya, lebih kental nuansa sejarah ketimbang silat. Serial GAJAH MADA lebih mengupas setrategi tempur pasukan, bukan pertarungan dahsat para pendekar silat. 

    Kala merancang novel BANARAWA, saya bayangkan kelak novel ini imbang unsur sejarah dan silatnya. Sejarahnya kuat, silatnya juga kuat. Saya ingin bicara atau ungkap sejarah melalui cerita silat atau membungkus sejarah dengan cerita silat. Ini akal akalan atau setrategi saya supaya terutama generasi muda lebih enteng baca cerna kisah sejarah.

    Sebelum menulis BANARAWA, saya tentu saja harus siapkan bahan bahan penulisan berupa catatan catatan sejarah yang ada di Tulungagung. Mengunjungi tempat tempat bersejarah, situs situs sejarah, membaca transkrip prasasti prasasti yang berhubungan dengan sejarah Tulungagung. 

    Karena berkaitan dengan sejarah akhir Majapahit, saya juga memelajari membaca catatan catatan sejarah Majapahit era awal sampai akhir.  Saya sejak sekolah dasar mengenal dan membaca sejarah Majapahit. Ketika hendak menulis novel bersangkut Majapahit, saya harus lebih membaca dan mengenalnya. Saya berusaha melancong ke masa Majapahit, saya memosisikan diri benar benar hidup pada masa Majapahit. Saya ingin mengajak para pembaca novel saya ke dalam cerita sejarah lampau.

    Banyak data reverensi sejarah saya dapatkan dan saya ketika itu semakin menyadari betapa catatan sejarah karya penulis penulis sejarah banyak berselisih dengan nalar logis saya.  Seperti sejarah runtuhnya Majapahit, cukup memusingkan saya. 

    Dari catatan reverensi yang tersebar di dunia maya misalnya dalam beragam blog, ensiklopedia maupun Wikipedia, sebagian banyak menulis angka 1478M sebagai tahun keruntuhan Majapahit. 

    Saya baca pula beberapa karya sastra Jawa terkait era Majapahit Akhir seperti Babad Demak dan Babad Tanah Jawi.

    Saya baca beberapa buku penting karya sejarawan besar seperti Muhammad Yamin, Slamet Muljana, Aris Munandar, Hasan Jafar, juga Agus Sunyoto. 

    Tapi pada pendapat saya, masih belum memuaskan. Sebagian banyak sejarawan seperti yang telah saya sebutkan tadi, belum berhasil atau belum tuntas merekonstruksi sejarah Majapahit. Ada buku sejarah berjudul MELURUSKAN SEJARAH MAJAPAHIT, tapi justru mengarah belok bengkok. Sejudul buku ternyata tidak selalu sesuai dengan isi buku.

    Ternyata pula menulis atau menafsirkan sejarah tidak berkaitan dengan banyaknya sumber data sejarah, melainkan sejauhmana penulis atau sejarawan menggunakan data sejarah secara tepat. 

    Banyak buku sejarah yang memiliki banyak referensi atau banyak halaman daftar pustaka, nyatanya belum mantap menganalisa menafsirkan merekonstruksi sejarah. Kurang apa seorang Slamet Muljana, Hasan Jafar, Aris Munandar. Beliau beliau pakar di dunia sejarah. Tapi mengapa belum berhasil mengidentifikasi siapa sesungguhnya bhre Kertabhumi? Ini satu contoh.

    Ya. terkait keruntuhan Majapahit, paling menggelitik saya adalah nama tokoh Bhre Kertabhumi dan Brawijaya Pamungkas. Siapa tokoh ini? Apakah satu tokoh sama atau beda.

    Itulah sebab, saya akhirnya memutuskan menulis novel berjudul KERTABHUMI: Sunyi Menari Di Atas Bumi. Saya akan menampilkan siapa Bhre Kertabhumi, siapa Brawijaya Pamungkas. Secara khusus Novel KERTABUMI bertujuan merekonstruksi sejarah Majapahit Akhir dan sejarah Walisanga. 

    Sementara nasib novel BANARAWA yang siap terbit pertengahan 2010, saya tahan, saya bongkar besar besaran. BANARAWA saya jadikan buku terakhir KERTABUMI. Saking panjangnya, novel silat klasik sejarah KERTABHUMI saya bikin serial atau trilogi. Buku pertama berseting tahun 1451-1456M, buku kedua 1456-1478M, dan buku ketiga berseting setelah tahun 1478M. 

    Meski menulis sejarah dalam bentuk novel, saya tidak ingin menjadi bahan tertawaan. Saya bukan berlatar akademik sejarah. Tapi saya ingin novel sejarah saya benar benar mengandung data sejarah kokoh logis. Saya sejauh mungkin mengindari kekeliruan dalam penulisan sejarah sebagaimana yang pernah dialami Langit Kresna Hariadi dalam novel GAJAH MADA.

    Saya harus serius membaca meneliti menafsirkan ulang berita berita sejarah. Saya meneguhkan diri pada keyakinan bahwa penulisan sejarah bukan monopoli para ahli sejarah bergelar akademik. 

    Maka dalam saat berbarengan dengan penulisan novel KERTABHUMI, saya menulis tafsir tafsir sejarah yang kelak mengumpul dalam buku GIRINDRA: Pararaja Tumapel-Majapahit.

    Karena pernah menjadi wartawan, ketika meneliti dan menafsirkan sejarah, saya menggunakan naluri seorang wartawan, menggunakan metode 5W dan 1H, dan terutama saya menajamkan pertanyaan ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’. Antara lain saya bertanya:

    Mengapa Raden Wijaya, pendiri Majapahit harus menikahi empat putri Kertanegara. Bagaimana pernikahan itu berlangsung?

    Mengapa Raden Wijaya tidak pernah membicarakan Dyah Lembu Tal, ayahnya.

    Mengapa Prapanca dalam kakawin Negarakertagama menulis Nambi sebagai pemberontak sementara tidak untuk Ranggalawe?

    Saya bertanya siapa ayahnya Gajahmada. Dan mengapa Prapanca tidak menulis Sumpah Palapanya Gajahmada.

    Saya bertanya siapa Bhre Kertabhumi, kapan lahirnya. Mengapa sebagian banyak sejarawan mengidentifikasi Kertabhumi sebagai nama tokoh bukannya nama keraton? Bukankah Bhre Kertabhumi artinya baginda yang bertahta di keraton Kertabhumi? Dengan demikian bukankah ada keraton bernama Kertabhumi? Lalu di mana letak keraton Kertabhumi ini?

    Saya bertanya siapa Brawijaya Pamungkas itu. Mengapa sebagian banyak sejarawan hanya ngerti tahun wafatnya, sementara tidak ngerti sekitar tahun berapa kelahirannya?

    Saya bertanya mengapa pada tahun 1453M-1456M, Majapahit tidak memiliki raja? Bagaimana keadaan pada masa tan hana prabhu itu? Mengapa sebagian banyak sejarawan mengentengkan berita serat Pararaton ini?

    Saya bertanya benarkah Demak menyerbu keraton Majapahit pada tahun 1478M? Benarkah Islam Demak penyebab utama sirnanya Majapahit?

    Dan seterusnya.

    Banyak pertanyaan yang saya lontar kala hadapi data data sejarah dan karya karya sejarah. Saya meyakini, ketika tiada lagi pertanyaan, maka habis sudah pelajaran. 

    Bertanya kunci utama belajar. 

    Saya merasa banyak yang belum saya pahami terkait sejarah, karenanya saya harus banyak bertanya. 

    Saya banyak bertanya karena saya juga meyakini bahwa dalam penulisan sejarah tidak berakhir dengan tanda titik.

    bersambung

    No comments:

    Post a Comment

    Literatur

    Taktik Menulis

    Banjarnegara