Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Breaking News

    Saturday, August 24, 2013

    Erlangga Penerus Wangsa Isana

    VAN BEMMELEN berteori bahwa perpindahan keraton Medang dari bhumi Mataram ke Jawatimur tersebab bencana besar letusan gunung Merapi. Sebagian puncak Merapi hancur. Tanahnya bergeser ke baratdaya, membentuk gunung Gendol dan pegunungan Menoreh. Bhumi Mataram diguncang gempa besar, dihujani abu vulkanik dan batu. Keraton Medang di bhumi Mataram hancur. Bhumi Mataram tenggelam. Akan tetapi Van Bemmel tidak mampu menerangkan nasib Raja Medang Mataram Rakai Sumba Dyah Wawa, apakah gugur dalam bencana besar itu atau jauh sebelumnya. Van Bemmelen hanya mampu menerangkan bahwa kerajaan Medang kemudian dimaharajai Mpu Sindok bergelar Sri Maharaja Isana Wikramottunggadewa.



    Mpu Sindok, yang ketika di Medang bhumi Mataram menjabat Mahamentri i Hino, membangun keraton baru di Tamwlang dan kemudian pindah ke Watugaluh, Jawatimur -Tamwlang sekarang bernama Tembelang, sementara Watugaluh menjadi Megaluh, keduanya di Jombang. Pada prasasti Anjukladang, 937M, dengan tegas Mpu Sindok menyebut kerajaannya sebagai penerus kerajaan Medang bhumi Mataram yang berkeraton di Watugaluh. “Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i bhumi Mataram ing watu galuh”.  Meski memproklamasikan sebagai penerus kerajaan Medang Mataram, meski sebelumnya bersetatus putra mahkota dari kerajaan yang dibangun wangsa Sanjaya, Mpu Sindok memutus hubungan darah dengan wangsa Sanjaya, membangun wangsa baru bernama Isanawangsa.

    Sudah barang tentu ada alasan yang dapat menjelaskan mengapa Mpu Sindok melakukan itu. Pembentukan wangsa baru memunculkan dugaan Mpu Sindok tidak berdarah wangsa Sanjaya yang berhaluan Siwa. Kedudukannya sebagai Mahamentri I Hino atau putra mahkota Medang Mataram, bukan sebagai putra kandung sang raja, melainkan putra menantu. Prasasti Pucangan bertarikh 1041M mengisahkan ketika menjadi raja, Mpu Sindok sangat memerhatikan agama Boddha, kerap memberi anugerah hadiah kepada para pemuka agama Boddha serta kepada yang dipuja dalam agama Boddha. Babad Tanah Jawi juga menyebut Mpu Sindok sebagai pelindung agama Boddha. Dari gambaran itu sangat mungkin Mpu Sindok menganut Boddha. Kelak tempat pendarmaannya juga kesohor sebagai kabajraan atau tempat suci agama Boddha. Kiranya Mpu Sindok yang menganut Boddha memiliki permaisuri putri raja penganut Siwa. Untuk menghormati kebesaran keluarga permaisurinya, Mpu Sindok kemudian menegaskan kerajaan barunya sebagai kelanjutan kerajaan yang pernah dirajai leluhur permaisurinya, wangsa Sanjaya. Sementara untuk menegaskan kerajaan Medang di Jawatimur berbeda haluan negaranya dengan Medang Jawatengah, Mpu Sindok membentuk wangsa baru bernama Isanawangsa, wangsa berhaluan Boddha. Wangsa ini berlanjut sampai ketika pada 991M Dharmawangsa bertahta di Watan, daerah Madiun.

    Mpu Sindok memang patut menegaskan kerajaannya sebagai kelanjutan Medang Mataram. Pada waktu itu kebesaran Medang Mataram masih kuat menancap dalam kesadaran orang Jawa, baik ketika dikuasai wangsa Sanjaya maupun wangsa Selendra. Dua-duanya juga membangun candi sepetakuler, Sambhara Budhara atau Borobudur dan Siwagraha atau Prambanan. Perkara Mpu Sindok menganut Boddha, itu bukan perkara genting bagi orang Jawa. Sejak Rakai Pikatan, agama resmi Medang Jawatengah sesungguhnya Siwa Boddha, kedua agama besar itu hidup rukun berdampingan. Dan bukankah Majapahit juga menegaskan sebagai kelanjutan Singasari, Raden Patah, Jaka Tingkir, Panembahan Senapati, Sultan Agung sebagai berdarah Majapahit, Banten berdarah Pajajaran? Banyak raja atau penguasa suatu Negara, kadipaten, mengaitkan dengan pemerintahan sebelumnya yang masih harum namanya, meski kerap beda haluan negaranya.

    Tapi benarkah pada 929M terjadi bencana besar letusan gunung Merapi yang menenggelamkan keraton Mataram, menewaskan Rakai Sumba Dyah Wawa, sehingga Mpu Sindok terpaksa membangun pusat pemerintahan baru di Jawatimur?
    Kiranya Van Bemmel lupa bahwa pada kurun itu Medang Mataram memiliki beberapa keraton bawahan di Jawatengah. Daerah Dieng, Pekalongan, Jepara, Banjarnegara, Cilacap, adalah beberapa daerah bawahan Medang. Jika memang keraton Mataram terkena letusan itu, mengapa Mpu Sindok tidak membangun kembali keraton Medang di daerah-daerah tersebut yang tentunya tidak tersentuh letusan gunung Merapi dan bertanah subur pula?
    Di Jawatengah Mpu Sindok sulit mencari tempat setrategis sebagai pelabuhan, karenanya Mpu Sindok membangun keraton di dekat muara sungai Brantas. Ini bukan alasan bagus bagi Mpu Sindok. Sementara muara sungai Brantas atau Hujung Galuh juga bukan tempat setrategis sebagai pelabuhan, seperti ibukota Sriwijaya di Palembang, karena tidak menghadap langsung laut lepas, yang setrategis adalah ibukota Malayu di Jambi. Bersimaharajanya Sriwijaya di Sumatera bukan lantaran ibukotanya setrategis melainkan karena berhasil mendominasi Malayu dan daerah-daerah pelabuhan di selat Malaka. Di Jawatimur, Tuban, Lamongan paling cocok sebagai ibukota pelabuhan Mpu Sindok. Jadi sekali lagi kepergian Mpu Sindok ke Jawatimur bukan lantaran kesulitan mencari tempat setrategis sebagai pelabuhan. Daerah Pekalongan, Batang, atau Rembang pada kurun itu sudah menjadi kota pelabuhan.
    Teori yang menyatakan perpindahan keraton Medang Mataram ke Jawatimur akibat bencana besar letusan gunung Merapi, terasa kurang mengena.
    Prasasti Canggal bertarikh 732M menyebutkan Ratu Sanjaya, putra Maharaja Sanna, berhasil memerintah seluruh tanah Jawa. Selain memuja-muji keutamaan dan kebijaksanaannya, prasasti ini juga menulis bahwa Ratu Sanjaya membangun Siwalingga sebagai penolak bala supaya negerinya aman sentosa jauh dari marabahaya. Ratu Sanjaya sekaligus membangun pusat pemerintahan baru, memindah ibukota Kalingga ke Bhumi Mataram, dan bahkan mengubah nama kerajaan Kalingga menjadi Medang i Bhumi Mataram, artinya kerajaan Medang yang beribukota di Mataram. Itu dilakukan Sanjaya setelah Raja Sanna, ayahnya, wafat lantaran istana Kalingga diserang musuh. 

    Sangat mungkin Kalingga diserang Sriwijaya.
    Ujung abad tujuh, Maharaja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa mengadakan ekspansi besar-besaran ke sepenjuru Sumatera, menaklukan Lampung, Bangka, Malayu, daerah sekitar selat Malaka sampai Muangthai. Prasasti Kota kapur Bangka mengabarkan pada 686M, pasukan besar Sriwijaya juga menggempur Jawa, menundukkan Jawabarat, bekas kerajaan Tarumanegara, dibuktikan dengan adanya prasasti berbahasa Malayu di Bogor. Raja Jawa maupun Sunda tidak mungkin mengeluarkan prasasti berbahasa Melayu. Raja Jawa suka mengeluarkan prasasti berbahasa kerajaannya dan raja Sunda pun demikian. Sangat aneh ketika ada raja Sunda mengeluarkan prasasti berbahasa Jawakuna. Mendadak terlintas tokoh bernama Sri jayabhupati raja Sunda yang mengeluarkan prasasti pada tahun 1030M.Prasasti Sojomerto menyebut Dapunta Selendra, pendiri wangsa Selendra. 

    Prasasti yang ditemukan di daerah Batang ini penulisannya diduga sekitar 700M, menulis nama Dapunta Selendra, nama ayahnya, Sentanu, nama ibunya, Bhadrawati, dan nama permaisurinya, Sampula. “…dapunta selendra namah santanu nama nda bapa nda bhadrawati nama nda aya nda sampula nama nda…” nama Dapunta Selendra berhubungan dekat dengan Dapunta Hyang, pendiri Sriwijaya —tokoh Dapunta Hyang mirip pula dengan tokoh pandawa bernama Puntadewa, Hyang sama artinya dengan dewa.
    Tampilnya wangsa Selendra pada abad 8 di bhumi Mataram, sudah barang tentu melalui penaklukan sebagaimana dikabarkan prasasti Kota Kapur. Wangsa Selendra dari Sriwijaya, menganut Boddha Mahayana. Pada 702M sampai 728M, yang berkuasa di Sriwijaya adalah Sri Indrawarman. Kiranya pada kurun ini Maharani Shima wafat, diganti Maharaja sanna, tujuh tahun kemudian Kalingga diserbu Sriwijaya dan sangat mungkin setelah Jawatengah sepenuhnya diduduki, Dapunta Selendra yang ditempatkan sebagai penguasa tanah Jawatengah. Sangat mungkin Dapunta Selendra salah seorang keturunan Dapunta Hyang yang mendapat kekuasaan di Jawatengah. 
    Kemudian Sanjaya berhasil mengusir wangsa Selendra dari Kalingga, kemungkinan pada sekitar 728M. Setelah itu Sanjaya memindah keraton Kalingga ke Bhumi Mataram,  pada 732M menobatkan sebagai Ratu Medang i Bhumi Mataram, sebagaimana tercatat pada prasasti Canggal. Antara 728M sampai 732M, tentu menjadi masa berat bagi Sanjaya. Selain merebut kembali Kalingga, mesti berjuang mengusir Sriwijaya dari tanah Sunda. Sebelumnya Sanjaya penguasa Sunda. Setelah Jawatengah dan Jawabarat sepenuhnya dikuasai, Sanjaya menempatkan dua putranya di Sunda dan Galuh. Boleh dibilang Sanjaya berkuasa atas Jawatengah dan Jawabarat. Maka pantas jika prasasti Canggal menyebut Ratu Sanjaya berhasil memerintah seluruh tanah Jawa, meski sesungguhnya sangat berlebihan lantaran pada kurun itu di Jawatimur berdiri kerajaan merdeka bernama Kanjuruhan.
    Pada 752M kekuatan Sriwijaya kembali bergerak ke Jawa, menaklukkan wangsa Sanjaya di tanah Sunda dan bhumi Mataram. Candi Borobudur adalah bukti kejayaan wangsa Selendra di bhumi Mataram. Ketika pada 847M Rakai Pikatan Dyah Saladu, keturunan wangsa Sanjaya berhasil mengusir wangsa Selendra dari bhumi Mataram, memulangkan Balaputradewa ke tanah moyangnya, suami Sri Pramodyawardhani itu bertahta di Jawatengah menggantikan Rakai Garung Samaratungga, ibukota kerajaannya pindah ke Mamrati, tidak menempati keraton yang pernah diduduki Samaratungga, tidak pula balik ke Mataram, keraton yang dibangun Sanjaya. 
    Keputusan Sanjaya dan Rakai Pikatan memindah keratonnya berhubungan erat dengan pemahaman dan keyakinan yang berkembang kuat dalam kehidupan masyarakat Jawa bahwa keraton yang pernah diserbu lalu diduduki musuh, menjadikan keraton itu memiliki peruntungan buruk, bakal menciptakan kesialan jika tetap ditempati raja, sehingga harus pindah membangun istana baru.
    Raja Medang di Mamrati setelah Rakai Pikatan adalah Rakai Kayuwangi dan Rakai Watuhumalang. Setelah Dyah Balitung naik tahta menggantikan Rakai Watuhumalang, keraton Medang pindah ke Poh Pitu di daerah Kedu. Raja Medang di Poh Pitu selanjutnya adalah Mpu Daksa dan Rakai Layang Dyah Tulodong. Keraton Medang kembali ke bhumi Mataram ketika Rakai Sumba Dyah Wawa naik tahta mengkudeta pemerintahan Dyah Tulodong. Setelah Rakai Pikatan kerajaan Medang diterpa persengketaan keluarga, penuh pemberontakan dari dalam, terjadi pergantian tahta secara paksa.  
    Perpindahan keraton Medang pada masa Dyah Balitung dan Dyah Wawa terpaksa dilakukan karena kedua raja itu mengganggap penguasa sebelumnya sebagai musuh, sebagai yang mengotori singgasana, karena itu keduanya harus pindah membangun keraton baru. Dyah Wawa berupaya mengembalikan pusat pemerintahan Medang ke bhumi Mataram, tujuannya menghilangkan segala malapetaka. Tetapi takdir Tuhan di atas segalanya. Raja Wawa tetap di terjang malapetaka. Tetapi keyakinan bahwa keraton yang pernah diduduki musuh beralamat buruk bagi seorang raja tetap berkembang dalam kesadaran masyarakat Jawa, kelak sampai pada Majapahit dan Mataram Islam.
    Majapahit beberapa kali memindah keratonnya. Pada awal berdirinya Majapahit, Raden Wijaya membangun keraton di Tarik, dekat Canggu, bukan di Trawulan. Situasi keraton Majapahit yang digambarkan Prapanca dalam Negarakertagama adalah keraton Trawulan, bukan Tarik. Pada 1319M, istana Majapahit di Alas Tarik digempur dan diduduki Dharmaputra Rakuti. Setelah Raja Jayanagara kembali bertahta, keraton Majapahit dipindah ke Trawulan lantaran singgasana atau keraton Tarik telah dikotori Dharmaputra durhaka bernama Rakuti. Kelak sekitar 1478M, ibukota Majapahit di Trawulan pindah ke Daha. Itu juga karena para putra Sang Sinagara menganggap Singawikramawardhana Dyah Suprabhawa, sang paman, sebagai musuh, sebagai pengotor tahta Majapahit di Trawulan.
    Uraian di atas, mulai prasasti Canggal sampai Majapahit, bertujuan mengantar pada kesimpulan bahwa masyarakat Jawa masasilam sangat meyakini keraton yang pernah diserbu lalu diduduki musuh, mengandung kesialan besar bagi seorang raja. Keraton atau kursi tahta yang pernah diduduki musuh sama artinya telah kotor, tidak baik ditempati lagi, karenanya harus membangun keraton baru, bukan sekadar diruwat untuk menghilangkan sengkala atau kesialan. Pemahaman ini terasa sangat tidak masuk akal bagi orang jaman sekarang. Tetapi begitulah, pemahaman jaman sekarang sangat beda dengan jaman silam. Ini perkara sosiologi antropologi manusia Jawa. Sejarah masasilam tidak cukup ditelisik menggunakan ilmu arkeologi maupun geologi.
    Sebagai manusia Jawa, Mpu Sindok memiliki pemahaman dan keyakinan itu pula. Kepergian Mpu Sindok ke Jawatimur bukan lantaran bencana besar letusan gunung Merapi, melainkan keraton Medang di bhumi Mataram diduduki musuh. Mengapa tidak membangun di Jawatengah? Pertanyaan ini akan terjawab dengan sendirinya jika meyakini bahwa wangsa Selendra berhasil menguasai kembali sepenjuru Jawatengah. Tiada tempat lagi bagi Mpu Sindok di bhumi Mataram dan Jawatengah.
    Pada waktu itu yang berkuasa di Sriwijaya adalah keturunan Balaputradewa. Kiranya cucu-cucu Balaputradewa berupaya membalas kekalahan moyangnya. Rakai Sumba Dyah Wawa gugur setelah keraton Medang Mataram diserang Sriwijaya. Kelak setelah mendengar kerajaan Medang ternyata tumbuh di Jawatimur, kekuatan wangsa Selendra di Jawatengah berderap berupaya menghancurkan Mpu Sindok. Terjadi pertempuran di Anjukladang atau Nganjuk. Mpu Sindok berhasil memukul mundur pasukan musuh. Kemenangan Mpu Sindok itu besar kemungkinan atas dukungan kerajaan Kanjuruhan di Malang pula. Menjadi pertanyaan mengapa peran besar Kanjuruhan tenggelam begitu saja -kelak bekas wilayah Kanjuruhan di timur gunung Kawi menjadi wilayah kerajaan Jenggala.
    Meski Mpu Sindok berhasil memukul mundur kekuatan wangsa Selendra, permusuhan antar dua negara terus terjaga sampai masa kemudian. Dari beberapa sumber sejarah seperti prasasti dan catatan dari negeri Tiongkok menunjukkan adanya perseteruan turun temurun antara wangsa Selendra dengan wangsa Sanjaya atau antara Sriwijaya dengan Medang Mataram yang itu berlanjut perseteruan antara wangsa Selendra dengan wangsa Isana lantaran Sriwijaya juga menganggap Medang Jawatimur kelanjutan Medang Mataram.
    Mpu Sindok memiliki seorang putri bernama Sri Isana Tunggadewi, permaisuri Sri Lokapala. Setelah wafat, Mpu Sindok digantikan Sri Lokapala. Sri Lokapala digantikan putranya, Sri Makutawangsawardhana. Cucu Mpu Sindok ini menurunkan Dharmawangsa Teguh dan Mahendratta Gunapriya. Sri Makutawangsawardhana digantikan Dharmawangsa Teguh. 
    Pada masa Sri Dharmawangsa, wangsa Selendra yang masih bercokol di Jawatengah terus mendesak ke timur. Tetapi Sri Dharmawangsa benar-benar teguh sebagai penguasa besar di tanah Jawa. Kekuatan wangsa Isana giat menggempur Jawatengah sampai akhirnya wangsa Selendra kembali ke tanah moyangnya di Sumatera. Wangsa Isana berdaulat di Jawatimur dan Jawatengah. Karena kekuatan wangsa Selendra berkembang di Palembang, Dharmawangsa segera membangun armada laut demi memburu musuh di tanah seberang. Dharmawangsa mulai berpikir meluaskan kekuasaannya ke sepenjuru nusantara. Sangat mungkin bahwa wawasan dwipantara atau nusantara yang kelak diperjuangkan Kertanagara dan Gajahmada, telah dilakukan Sri Maharaja Dharmawangsa. Tercatat beberapa kali Dharmawangsa melayarkan armada lautnya menyerbu Sriwijaya di Palembang. Sayang, kerajaan Medang adalah kerajaan agraris, bukan maritim seperti Sriwijaya yang pada waktu itu diakui dunia sebagai kerajaan maritim tertangguh di asia tenggara.
    Pada 1006M dengan bantuan sekutunya, Aji Wura-Wari dari Lwaram, Sriwijaya berhasil menghancurkan Dharmawangsa. Pada kurun itu Sriwijaya dipimpin Sri Culamaniwarmadewa yang bertahta sejak 988M sampai 1006M, digantikan Sri Marawijayattunggawarman. Berdasarkan Piagam Leiden, pada 1006M, raja Sriwijaya bernama Sri Marawijayattunggawarman, putra Sri Cundamaniwarman dari wangsa Selendra. Raja ini keturunan Balaputradewa. Hancurnya Sri Maharaja Dharmawangsa termuat pada prasasti Pucangan bertarikh 1041M, dikeluarkan Erlangga, menantu sekaligus keponakannya.
    Prasasti Pucangan menulis: 

    rikalaning pralaya ring yawadwipa i rikang sakalala 928 ri prahara haji wurawari maso mijil sangke lwaram ekarnawa rupanikang sayawadwipa rikangkala

    Ketika terjadi pralaya di pulau Jawa pada 928 saka, prahara yang didatangkan Raja Wurawari dari Lwaram, pulau Jawa pada waktu itu bagaikan hamparan lautan.
    Maharaja Dharmawangsa Teguh memiliki sepasang putri, yang tertua bernama Dewi Laksmi dan, menurut Carita Parahiyangan, yang bungsu kelak menjadi permaisuri Sri Jayabhupati. Kabar Carita Parahiyangan yang mengatakan bahwa putri bungsu Dharmawangsa menjadi permaisuri Sri Jayabhupati, kiranya patut diselidiki lagi. Kapan keduanya menikah? Ketika pralaya di istana Watan, yang menikah adalah putri sulung Dharmawangsa dengan Erlangga.
    Erlangga adalah putra sulung Raja Bali Sri Dharmadayana Warmadewa dengan permaisuri Mahendratta Gunapriya Dharmapatni, adik kandung Dharmawangsa. Erlangga memiliki adik kandung bernama Marakata Pangkaja. Slamet Muljana menduga Marakata Pangkaja adalah nama lain dari Erlangga, karena melihat kemiripan gelar keduanya. Menurut beliau, adik Erlangga adalah Anak Wungsu. 
    Prasasti Batuan bertarikh 1022M, mengabarkan sepeninggal Sri Dharmodayana Warmadewa, Marakata Pangkaja memanjat tahta sebagai raja Bali bergelar Sri Dharmawangsawardhana Marakata Pangkaja Sthana Uttunggadewa. Memang nama ini mirip gelar abhiseka Erlangga pada prasasti Pamwatan yaitu Sri Lokeswara Dharmawangsa Erlangga Uttunggadewa, mirip pula dengan gelar pada prasasti Cane dan Kamalagyan yaitu Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Erlangganama Prasadottunggadewa.
    Tetapi saya memiliki alasan kuat untuk mengatakan bahwa Marakata Pangkaja dan Erlangga dua tokoh beda. Adanya unsur nama ‘Dharmawangsawardhana’ dan ‘Uttunggadewa’, karena Marakata Pangkaja ingin menunjukkan bahwa dirinya keturunan wangsa Isana. Ibu Marakata Pangkaja adalah putri bungsu Sri Maharaja Makutawangsawardhana. Sebagaimana telah diuraikan, dari jalur ini Marakata Pangkaja jelas keturunan Mpu Sindok, berdarah wangsa Isana. Unsur nama ‘Dharmawangsawardhana’ dari uwa dan kakeknya. Unsur nama ‘Uttunggadewa’ dari Mpu Sindok. Ayah Marakata tidak menggunakan nama Uttunggadewa karena bukan keturunan Mpu Sindok. Kelak semua raja Panjalu keturunan Erlangga dari permaisuri, mulai Sri Samarawijaya sampai Sri Kertajaya menggunakan nama Uttunggadewa. Sementara keturunan Erlangga dari selir yang berkuasa di Jenggala tidak ada yang menggunakan gelar Uttunggadewa, karena, meski keturunan Erlangga, tetapi tidak memiliki darah murni wangsa Isana. Ada dua raja Panjalu yang tidak menggunakan nama Uttunggadewa yaitu Sri Jayawarsa dan Sri Aryeswara. Sementara sejak masa Erlangga, darah wangsa Isana hanya diturunkan dari permaisuri Erlangga, putri sulung Sri Maharaja Dharmawangsa Teguh. Siapakah Sri Jayawarsa dan Sri Aryeswara itu? Akan dipaparkan di belakang.
    Tapi mengapa Raja Sunda Sri Jayabhupati Samarawijaya —yang diyakini para sejarawan tidak berdarah wangsa Isana— menggunakan gelar kerajaan berunsur wangsa Isana? Dalam sejarah Sunda, Sri Jayabhupati adalah satu-satunya raja yang mengeluarkan prasasti berbahasa Jawakuna. Gelar abhiseka raja Sunda ini pada prasasti bertarikh 11 Oktober 1030M terbilang panjang yaitu Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurtti Samarawijaya Shakalabhuwana Mandaleswara nindita Haragawardhana Wikramottunggadewa. Raja ini jelas menganut agama Wisnu seperti Erlangga. Seluruh isi prasasti menggunakan bahasa Jawakuna, baik isi, huruf, bahasa, dan gaya penulisan, kembar siam dengan prasasti-prasasti yang dikeluarkan raja Jawatimur pada waktu itu. Gelarnya sebahasa dengan yang biasa digunakan raja-raja keturunan wangsa Isana pula.
    Prasasti  ini menulis: “O. swasti shakalawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadasi suklapaksa. Ha. Ka. Ra. Wara tambir. Irika diwasha nira prahajyan sunda maharaja shri jayabhupati jayamanahen wisnumurti samarawijaya shakalabhuwana mandaleswara nindita haragawardhana wikramottunggadewa, magaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken prasasti pagepageh. mangmang sapatha. sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan…” 
    Menurut Kitab Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa III sargha 1, Sri Jayabhupati memerintah pada 1030M sampai 1042M. Sebagai catatan tambahan, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sargha 3, menyebutkan bahwa Dyah Lembu Tal atau Dyah Singamurti adalah putri Mahisa Cempaka Narashingamurti. Dyah Lembu Tal yang juga dikenal sebagai cucu Mahisa Wonga Teleng atau buyut Ken Arok menjadi permaisuri rakryan Jayadharma, putra mahkota Prabhu Guru Dharmasiksa, raja Sunda Galuh yang memerintah sejak satu satu tujuh lima masehi sampai satu dua Sembilan tujuh masehi. Pernikahan itu menurunkan Raden Wijaya. Tetapi suami Dyah Lembu Tal gugur sebelum naik tahta. Lalu sang putri meninggalkan Sunda, menetap di Singasari bersama Raden Wijaya. Kitab ini lupa bahwa di Singasari dan Majapahit, nama ‘Dyah’ biasa dipakai bangsawan perempuan dan lelaki dan nama Lembu, Mahisa, Kebo, kusus bagi bangsawan lelaki. Kitab Rajyarajya I Bhumi Nusantara sesungguhnya ingin mengatakan bahwa Majapahit berasal dari keturunan Pajajaran. Ingin menunjukkan bahwa Pajajaran adalah saudara tua Majapahit, adalah moyang yang pantas dihormati. Apa ini juga berlaku ketika mengabarkan riwayat Sri Jayabhupati? Pada Carita Parahiyangan, Sri Jayabhupati dikenal sebagai Prabhu Detya Maharaja, raja Sunda keduapuluh, menantu raja Medang Watan Sri Maharaja Dharmawangsa Teguh Uttunggadewa.

    Unsur nama ‘Wardhana’ pada gelar raja Sunda ini berasal dari Sri Makutawangsawardhana, cucu Mpu Sindok. Unsur nama ‘Wikramottunggadewa’ sangat jelas dari Mpu Sindok yang ketika bersimaharaja di Jawatimur bergelar Sri Isana Wikramadharmottunggadewa. Unsur nama ‘Samarawijaya’ identik dengan putra bungsu Erlangga dari permaisuri yaitu Sri Maharaja Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa.
    Sekali lagi pada masa pemerintahan Sri Maharaja Erlangga maupun masa kemudian, unsur nama ‘Wikramottunggadewa’ atau ‘Uttunggadewa’ hanya dipakai raja-raja berdarah Erlangga dari permaisuri, sebagai penanda berdarah wangsa Isana.
    Siapa berani menyimpulkan Maharaja Sunda Sri Jayabhupati keturunan Sri Maharaja Erlangga dari permaisuri, karena dalam gelar itu terdapat unsur nama Samarawijaya, Wardhana, Wikramottunggadewa, nama-nama yang pada masa itu khusus digunakan raja-raja Medang Jawatimur dan raja lain berdarah wangsa Isana seperti Maharaja Bali Marakata Pangkaja? 
    Benarkah Maharaja Sunda Sri Jayabhupati keturunan Sri Maharaja Erlangga dari permaisuri, karena dalam gelar itu terdapat unsur nama Samarawijaya, Wardhana, Wikramottunggadewa, nama-nama yang pada masa itu khusus digunakan raja-raja Medang Jawatimur dan raja lain berdarah wangsa Isana seperti Maharaja Bali Marakata Pangkaja?
    *     *     *
    PRASASTI PUCANGAN bertarikh 1041M menegaskan Erlangga sebagai keturunan Mpu Sindok. Mpu Sindok menurunkan Sri Isana Tunggawijaya menurunkan Sri Makutawangsawardhana menurunkan Dharmawangsa Teguh dan Mahendrata Gunapriya Dharmapatni. Dengan demikian Erlangga adalah keturunan keempat Mpu Sindok. Dapat dikatakan pula bahwa Erlangga berdarah Medang dan Bali. 
    Ketika masih di Bali, saat usia 16 tahun, Erlangga dipanggil Maharaja Dharmawangsa supaya ke Watan menjadi penerus kejayaan wangsa Isyana, menikahi Dewi Laksmi. Sementara pada waktu itu Erlangga adalah putra mahkota Bali. Atas dukungan ibunya, Erlangga pada akhirnya datang ke Jawa diiringi Narottama.
    Menurut uraian Prasasti Bebetin bertarikh 989M, Narottama adalah guru dari Sri Dharmadayana Warmadewa, ayah Erlangga, raja Bali. Ketika Erlangga berangkat ke Jawa, Narottama ikut menyertainya sebagai pengawal. Setelah kelak Erlangga Berjaya menguasai pulau Jawa dan menjadi maharaja di Jawatimur, Narottama diangkat sebagai Rakryan Kanuruhan bergelar Rakryan Kanuruhan Mpu Dharmamurti Narottama Danasura. Namanya tercantum dihampir semua prasasti yang dikeluarkan raja Erlangga. Sampai tahun 1041M, ketika Erlangga mengeluarkan Prasasti Pucangan yang menguraikan riwayat hidup dan silsilahnya, Narottama masih memegang jabatan Rakryan Kanuruhan. Pada Prasasti Gandakuti bertarikh 1042M, nama Narottama tidak disebut. Kiranya pada tahun itu Narottama sudah wafat. Ini Pula yang barangkali menjadi alasan Erlangga mengundurkan diri dari istana.
    Pada 1006M Erlangga menikah dengan kakak sepupunya. Perayaan pesta pernikahan itu dilangsungkan sangat meriah di Istana Watan, berlangsung sampai malam.
    Akan tetapi itulah malam pesta yang menjadi malam terakhir bagi Erlangga di istana Watan. Malam pesta yang seharusnya berujung indah berubah menjadi malam pesta darah, menjadi malam amuk ketika mendadak pasukan Raja Wurawari dari Lwaram mengosakasik istana Watan. Kedua mertuanya gugur bersama sebagian besar prajurit Medang Watan. Dalam kawalan Narottama dan beberapa prajurit, Erlangga berhasil keluar dari balapetaka. Dan ketika meninggalkan istana Watan, yang paling tertanam dalam bayangan Erlangga adalah  kenyataan bahwa dirinya harus menerima nasib terlunta-lunta. Apalagi ketika dari jauh melihat kobaran api menjilati menciumi langit di atas istana sang maratuwa, sejak saat itu Erlangga menyadari dirinya tidak memiliki kemungkinan pulang ke Watan, membikin sementara waktu menunda acara malam pertama bersama Dewi Laksmi, membikin segalanya seperti hancur kalau saja Narottama tidak segera menguatkan dada, mengobarkan semangat dan meninggikan harapannya. Sampai kemudian masih dalam kawalan Narottama,  Erlangga dan permaisurinya mengungsi ke barat menuju sebuah asrama Pandita di Wanagiri tepatnya di desa Cane, bergolak kesadarannya demi mengetahui balatentara Lwaram merajalela menjadikan Medang lautan api.
    Setelah beberapa bulan tinggal di Wanagiri, Erlangga berkelana bersama Narottama. Sang permaisuri terpaksa ditinggal di kediaman Pandita Cane, sebab hari-hari yang akan dihadapi penuh duri batu, penuh ancaman. Seluruh perhiasan berharga yang sempat dibawa dari Watan, ditimbun di sekitar Cane, ditempat paling rahasia. Kelak, harta kekayaan ini diambil kembali untuk membangun istana Watanmas di Penanggungan.
    Erlangga dan Narottama mulai mencari asam garam kehidupan, bertemu banyak orang bijak mulia hingga akhirnya menuju desa Terep di kaki gunung Penanggungan, berlindung dan berguru kepada pandita wibawa penganut agama Siwa. Erlangga kemudian menyunting putri sulung pandita Wibawa sebagai istri selir. Istri selir Erlangga memiliki adik kandung bernama Mapanji Tumanggala —yang kelak ikut berjuang menjayakan kerajaan Medang. Perkawinannya dengan putri pandita Siwa itu merupakan setrategi Erlangga dalam upaya mengumpulkan dukungan kekuatan dari kaum pandita Siwa di sekitar gunung Penanggungan. Erlangga penganut Wisnu, tetapi sangat menghormati kehidupan beragama dan dikenal berhubungan baik dengan para penganut agama lain. Maka tidak aneh ketika kelak Erlangga memiliki mahaguru bernama Mpu Bharada, pandita Boddha Mahayana.
    Ketika Medang i Bhumi Watan runtuh, beberapa kerajaan bawahannya  seperti Wengker, Hasin, Wuratan, Lewa, dan Lodoyong segera memerdekakan diri. Beberapa menjadi bagian kekuasaan Wura-Wari. Lodoyong kelak menorehkan sejarah besar dalam masa pemerintahan Erlangga. Lodoyong berdaulat di selatan sungai Brantas mulai dari alas Lodaya di timur, hingga daerah Kamulan Parahyangan di kaki gunung Wilis, batas Hasin. Dipimpin perempuan perkasa bernama Ratu Tulodong dengan balatentara yang semuanya perempuan. Pada masa itu keraton Lodoyong merupakan benteng pertahanan kokoh di selatan sungai Brantas yang hampir hayal ditembus musuh.
    Sebagaimana termuat dalam Prasasti Pucangan, pada 1009M, datang beberapa pandita dan beberapa kesatria setia -bekas pengikut setia Maharaja Dharmawangsa- ke Terep menemui Erlangga, meminta supaya menjayakan kembali kerajaan Medang. Maka ketika Erlangga menyanggupinya, segenap yang hadir di halaman asrama Pandita Wibawa, dengan hikmat duduk menyembah menjadi saksi tampilnya raja baru. Narottama yang perkasa bijaksana dinobatkan sebagai mahapatih Medang.
    Pada pertama dinobatkan sebagai raja Medang, Erlangga belum mengambil gelar abhiseka. Belum mengambil gelar maharaja karena memang masih belum pantas menyandangnya. Erlangga mulai berjuang menjadikan dirinya sebagai penguasa tanah Jawa, sebagai maharaja Medang, membangkitkan kembali kejayaan wangsa Isana.
    Perlahan Medang berkumandang di kaki gunung Penanggungan, menaklukkan desa-desa kecil lalu bergerak menguasai kerajaan-kerajaan di sekitar Penanggungan, sambil mulai membangun istana baru di Watan Mas.  Istana ini terletak di kaki gunung Penanggungan, tetapi agak jauh dari Desa Terep. Istana Watan di Maospati yang pernah diduduki musuh tidak ditempati lagi. Erlangga membangun istana baru dibekas keraton kakeknya.
    Sampai suatu ketika terkenang permaisuri Dewi Laksmi yang ditinggal di Cane. Meski sudah memiliki selir yang sangat dikasihinya dan melahirkan bayi lelaki bernama Mapanji Garasakan, sang prabu tetap terkenang-kenang Dewi Laksmi. Erlangga bukan ciri lelaki yang suka mengingkari janji, apalagi pada istri yang sudah sekian lama bergelut dengan kerinduan ganas. Bakal dikutuk dunia andai durhaka kepada istri setia yang selalu sepanjang waktu tabah tawakal berdoa demi keberhasilannya.
    Maka berangkatlah Erlangga menjemput sang permaisuri, memboyongnya ke Watan Mas. Dua istri Erlangga hidup rukun di dalam istana.  Keduanya sama-sama dicintai Erlangga. Sekitar dua tahun kemudian, Dewi Laksmi melahirkan putri pertamanya yang kelak bergelar Rakryan Mahamentri i Hino Sri Sanggramawijaya Dharmaprasaddha Uttunggadewi.
    Meski berdarah Mpu Sindok, Erlangga bukan keturunan langsung maharaja Dharmawangsa Teguh. Sementara Erlangga telah diangkat sebagai penguasa dari negeri yang sebelumnya dipimpin Dharmawangsa. Erlangga disarankan sang permaisurinya untuk mengambil nama gelar dari wangsa Isana, untuk menunjukkan bahwa pemerintahannya merupakan kelanjutan dari Dharmawangsa. Maka setelah mengadakan serangkaian upacara penghormatan kepada leluhur wangsa Isana di Isanabajra, pada 1019M Erlangga melakukan pengukuhan sebagai maharaja Medang dengan mengambil gelar abhiseka Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Erlangganama Prasadottungadewa. Dari nama gelar itu jelas mengandung unsur nama wangsa Isana. Sang Narottama mendapat gelar Rakyan Kanuruhan Mpu Dharmmamantri Narottamajanasura.
    Dua tahun kemudian atau pada 1021M, Erlangga berkunjung langsung ke Wanagiri, memberikan anugerah sima kepada desa Cane, dikukuhkan dalam prasasti kerajaan yang kelak bernama Prasasti Cane. Latar belakang penganugerahan itu karena Erlangga  berhutang budi kepada para penduduk Cane, utamanya pandita asrama Wanagiri yang teguh melindunginya, ketika Aji Wura-Wari menghancurkan istana Watan. Erlangga juga wajib membalas kebaikan pandita Cane yang telah menjaga keselamatan permaisurinya selama ditinggal berkelana bersama Narottama. Putri mahkota Sanggramawijaya Uttunggadewi tercantum namanya dalam prasasti ini sebagai Mahamentri i Hino.
    Hingga pada 1025M tersiar kabar bahwa Sriwijaya, musuh besar wangsa Isana, ditaklukan Colamandala dari India. Karena tekanan dari Sriwijaya surut, Erlangga leluasa melebarkan sayap kekuasaannya. Dari Watan Mas, pasukan Erlangga semakin gigih menyerbu kerajaan-kerajaan bekas bawahan Dharmawangsa. Rakyan Kanuruhan Mpu Narottama, menyarankan supaya tidak tergesa menggempur Lodoyong yang pada waktu itu memiliki balatentara ngedab-edabi. Saran Narottama sangat bijaksana dan Erlangga mengiyakannya.
    Maka, balatentara Medang merayap bergerilya begitu ulet dan perjuangan itu berbuah lebat, satu-satu kerajaan kecil ditaklukan, seperti Lewa, Wuratan, dan Hasin. Penaklukan Erlangga atas kerajaan Hasin di baratdaya gunung Wilis kelak menerbitkan prasasti Baru bertarikh 1030M. Isi prasasti itu adalah pemberian anugerah perdikan kepada Desa Baru yang telah membantu Erlangga ketika menggempur Hasin.
    Mendengar kerajaan Medang berhasil menaklukkan Hasin yang terletak di barat tlatah Lodoyong, Ratu Tulodong tidak tinggal diam, berupaya menahan laju kekuatan Erlangga. Hingga kemudian Ratu Tulodong menderapkan pasukan perempuannya, menggempur kotaraja Medang di Penanggungan dan berhasil menggusur Erlangga dari tahta. Watan Mas jatuh ke tangan Ratu Tulodong. Erlangga dan keluarganya dilarikan Narottama ke utara ke sebuah daerah bernama Patakan. 
    Peristiwa tersingkirnya Erlangga dari istana Watan Mas akibat serbuan kekuatan dari selatan termuat dalam Prasasti Terep yang menyebutkan bahwa ibukota Watan Mas digempur dan diduduki balatentara yang dipimpin ratu perempuan perkasa sehingga Erlangga dan sisa kekuatannya menyingkir ke utara bertahan di desa Patakan. 

    “…cri maharaja katalayah sangke wwatan mas mara i patakan”.   

    Meski dalam Prasasti Terep tidak menyebut nama perempuan perkasa yang berhasil mengalahkan Erlangga, ada beberapa catatan [buku Katuturanira Maharaja Erlangga] yang menyebutkan bahwa sang penakluk itu adalah Ratu Dyah Tulodong dari kerajaan Lodoyong yang berpusat di selatan sungai Brantas.  

    Prasasti Terep dan Prasasti Pucangan menulis bahwa ratu itu bertubuh serupa raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Banyak ahli sejarah menelan mentah ungkapan Ratu Tulodong sebagai seorang raksasi. Sebenarnya ini hanya kiasan, bukan berarti bentuk tubuh ratu itu adalah raksasi atau raksasa perempuan, tidak, ungkapan itu adalah simbolisasi bahwa perempuan penakluk dari daerah selatan itu memiliki kekuatan serupa raksasa. Dikabarkan dalam cerita babad bahwa Ratu Tulodong adalah sosok yang sangat cantik dan gagah. Tentunya penulis Prasasti memiliki alasan mengapa menyebut ratu Tulodong bertubuh raksasa. Prasasti yang tulisannya berbentuk kidung ini memang bertujuan untuk memuji sosok Erlangga sebagai maharaja titisan Wisnu. Sementara Ratu Tulodong adalah pemuja Durga. Di selatan sungai Brantas atau di sekitar Sumberjati banyak ditemukan arca dewi Durga dan arca Ganeca serta arca berwujud katak. Arca-arca itu banyak dimiliki oleh para pemuja Dewi Durga. Kelak pada tahun 1042M, Ratu Tulodong menjadi sosok yang menyebabkan tidak sempurnanya tugas Mpu Bharada ketika membelah kerajaan Erlangga. Akan diceritakan di belakang.

    Di Desa Patakan, Erlangga belum hilang rasa penasarannya dengan kedigdayaan Ratu Tulodong dan  balatentara perempuannya.

    Tetapi Erlangga adalah titisan Wisnu yang tidak pernah berhenti berjuang menciptakan ketentraman tanah Jawa. Prasasti Pucangan menggambarkan Erlangga sebagai pemeluk agama Wisnu yang tawakal dan teguh. Bahwa selama tinggal di asrama, para pandita memberitakan jika Erlangga titisan Wisnu yang masih harus menyelesaikan tugasnya menyelamatkan dunia dari ancaman bahaya. Dewa Wisnu tidak pernah gagal menunaikan tugas. Erlangga percaya dan itu semakin menambah keteguhan hatinya untuk merebut kembali kerajaannya yang telah diduduki musuh.

    Maka Erlangga mengumpulkan kekuatan, merencanakan serangan balasan.  Erlangga mengirim pesan ke Bali. Adik kandungnya, Marakata Pangkaja sudah naik tahta menggantikan ayahnya sejak 1022M. Pasukan bantuan dari Bali pun berderap ke Patakan. Erlangga juga meminta dukungan dari para pandita Boddha yang dipimpin Mpu Bharada. Tidak ketinggalan para pemuka agama Siwa yang dipimpin Pandita Terep, mertua Erlangga.
    Hari pembalasan tiba. Pada penghujung 1032M, Sri Maharaja Erlangga, Mpu Narottama, Mpu Niti, dan Mapanji Tumanggala memimpin pasukan gabungan berderap menuju selatan. 
    Benteng Lodoyong terkenal kokoh tangguh, dilingkungi pagar tinggi yang hampir hayal ditembus. Tetapi Rakryan Kanuruhan Narottama sangat jitu merancang siasat tempur. Dalam suramnya kabut pagi, balatentara Medang menyeburi dinginnya arus Brantas, merajalela di benteng Lodoyong.  Ratu Tulodong akhirnya menekuk lutut. Benteng Lodoyong jatuh. 
    Sri Erlangga sohor sebagai maharaja bijaksana titisan Batara Wisnu. Ratu Lodoyong diampuni, tetap bersemat pangkat, tetap memegang kekuasaan di brang kidul. Dalam pandangan Sri Erlangga, kekuatan besar Lodoyong sangat dibutuhkan untuk membantu menaklukkan Raja Wurawari di Lwaram dan Wengker. 

    Prasasti Pucangan menceritakan ketika Sri Maharaja Erlangga menggempur dan memusnahkan Aji Wura-Wari. Setelah menundukkan Lodoyong dibrang kidul, balatentara Medang tidak langsung berderap ke Wengker melainkan menyerbu Lwaram. Maka pasukan gabungan Medang dan Lodoyong  merajalela di Lwaram. Lwaram lautan api, Raja Wurawari tamat riwayatnya.

    Kemudian Erlangga meninggalkan Patakan dan membangun ibukota baru di Kahuripan. Setelah Desa Terep ditetapkan sebagai daerah sima, balatentara Medang berderap menggempur Wengker.

    Prasasti Pucangan Bait 26, 27, 28 menulis penaklukan Erlangga atas Lodoyong pada 1032M yang dilanjutkan menyerbu Wengker pada 1035M.
    Bait 26: ”Maka terdapatlah di dalam negeri seorang perempuan yang memiliki tenaga perkasa, serupa seorang raksasi. Dengan tak gentar apa-apa, pergilah beliau memasuki daerah yang hampir tak dapat dimasuki itu. Peristiwa itu terjadi pada tahun saka 954, pada waktu itulah raja mendapat kenamaan lantaran menaklukan dan membakar Jawa bagian selatan…”
    Bait 27: “…bagai seekor naga api dengan lidahnya, menjilat kekiri kekanan, maka dinyatakanlah dengan tegas daerah selatan yang paling mengerikan itu sebagai daerah taklukan. Setelah mendapat banyak harta rampasan yang kemudian dihadiahkan kepada para hambanya, maka kemasyuran yang diraih sang raja, setara para brahmana dan petapa.”
    Bait 28: ”Terdorong keinginan mencari nama, maka pergilah beliau sesudah itu menuju ke Barat, dalam tahun 957 Saka tanggal 13 paroterang, bulan Badrapada, pada hari baik-baik, hari Rabu, membawa balatentara yang tak terhitung banyaknya lengkap dengan prajurit bertenaga kuat dan yang ingin berperang. Dengan tepuk gemuruh dunia, beliau berhasil memetik kemenangan mengalahkan raja bernama Wijaya -raja Wengker Wijayawarman.”
    Setelah berhasil menaklukkan Lodoyong, Wura-Wari, juga Wengker, Erlangga dapat dikatakan berhasil menjadi seorang maharaja Medang. Semua kerajaan di Jawatimur dan Jawatengah berada dalam kekuasaannya. Suasana tenteram mendukung pembangunan Negara. Dibidang kesusasteraan, Mpu Kanwa menulis kitab Arjunawiwaha, menceritakan perjuangan Arjuna melawan Niwatakawaca sebagai penggambaran kemenangan Erlangga atas musuh-musuhnya. Kegemilangan Sri Maharaja Erlangga juga tercetak pada Prasasti Turun Hyang I bertarikh 1036M yang bertepatan dengan penganugerahan sima pada penduduk Turun Hyang atas segala jasanya menjaga pertapaan Sriwijayasrama serta tempat-tempat suci lainnya di gunung Pugawat.
    Medang Kahuripan merupakan negara yang tangguh dibidang pertanian, bukan negara lautan seperti Sriwijaya. Bidang pertanian menjadi paling utama. Prabu Erlangga terpacu untuk bagaimana negaranya menjadi jujugan kaum pedagang dari negara-negara seberang seperti Arabia, Syangka, Hindia, Siam, Champa, Tiongkok, Jepun, yang suka sekali mengangkut beras, palawija, bumbu-bumbuan, dan hasil bumi lainnya. Maka Prabu Erlangga disokong Rakyan Kanuruhan Mpu Dharmmamantri Narottamajana dan segenap punggawa Negara, memacu segala hasil tanam, membangun saluran air, tanggul, waduk supaya bencana banjir tidak memberangus pesawahan, perladangan, dan tempat-tempat penting lain, pelabuhan-pelabuhan penyeberangan sungai dibangun.
    Hingga suatu ketika utusan Lodoyong menghadap Prabu Erlangga menyampaikan berita bahwa banjir sungai Brantas selalu menjebol tanggul di Waringin Sapta atau Ringin Pitu, merusak sawah-sawah penduduk, membikin pajak bumi yang diangkut ke Kahuripan berkurang. Bukan sekali dua kali tanggul rontok, tetapi banyak kali, berlangsung bertahun-tahun. Setiap jebol, tanggul selalu ditambal, tetapi setiap datang musim hujan, banjir sungai Brantas selalu menjebol tanggul Waringin Sapta.
    Lodoyong bagian barat daya, di utara gunung Indrakila pada kurun itu merupakan daerah rendah berhutan dan di Bayalangu tanahnya cekung. Jika musim banjir tiba, air itu mengalir ke barat laut, mengisi setiap palungan, menenggelamkan sepertiga tlatah Lodoyong, menyentuh daerah Kamulan -Durenan Trenggalek di selatan gunung Wilis. Daerah-daerah sima di barat Waringin Sapta seperti Kalang, Kalagyan, Thani Jumput, biara-biara, bangsal-bangsal tempat para petapa di Kamulan, bangunan suci tempat pemujaan dewa, dan petapaan-petapaan daerah labapura bagi sang Hyang Dharmma ring Isanabhawana di Surapura, tidak luput dari sentuhan banjir Brantas. 
    Prasasti Kamalagyan bait 7-10 menulis:”...kalagyan ranu rin dharmma, kewalanemwa drabyahaji in sima dawuhan i kamalagyan rin tambak rin warinin sapta juga paranahaya kalih, sambandha, cri maharaja madamel dawuhan rin warinin sapta lmahaikan anak thani kamalagyan punyahetu tan swartha, kahaywaknanin thani sapasuk liir lasun palinjwan, sijanatyesan panjigantin, talan, decapankah, panlaja, ika rin sima parasima, Kala, Kalagyan, thani jumput, wihara cala, Kamulan parhyanan, parapatapan, makamukya bhuktyan, ran hyan dharmma rinicanbhawana manaran i surapura, samankana brehnikan thani katahan kadedetan cariknya denikan kanten tmahan benawan amgat ri warinin sapta, dumadyakan unanikan drabyahaji mwan hilanakan carik kabeh, apan durllabha kawnanani katambakanikan banawan amgat de parasamya makabehan tan pisan pindwa tinambak parasamya”.

    Melihat ada penyebutan nama Kamalagyan, Warin(g)in Pitu, Kakalan(g)an, Kala, Kalagyan, dan Kamulan Parhyanan, dalam Prasasti Kamalagyan, dapat menjadi petunjuk awal bahwa pembangunan bendungan Waringin Pitu memang dilakukan di selatan sungai Brantas atau yang pada 1037M dipimpin Ratu Tulodong. Semua tempat itu terletak di Tulungagung. Nama Kamulan Parhyanan termuat pula dalam Prasasti Baru bertarikh 1030M. Kamulan Parhyanan kelak berubah menjadi Desa Kamulan, berbatasan dengan Desa Baru atau Baruharjo, letaknya di kecamatan Durenan, Trenggalek, berbatasan langsung dengan Tulungagung.  Kakalan(g)an, Kala, sangat mungkin nama kuna dari Desa Kalangbret atau dalam Negarakertagama disebut Kalangbrat atau Kalang saja. Kalagyan, sangat mungkin nama kuna dari dusun Kelagen, Kecamatan Karangrejo, Tulungagung. Terletak di tepinya sungai Ngrowo, dekat sungai Brantas, dan dekat Desa Wringin Pitu. Nama Wringin Pitu atau Waringin Sapta termuat pula dalam Prasasti Wijaya Parakrama Wardhana bertarikh 1447M, dalam prasasti itu disebutkan berbatasan dengan Bhayalangu.

    Dari uraian tersebut, kiranya dapat dilanjutkan cerita pembangunan bendungan Waringin Pitu di selatan sungai Brantas atau di wilayah Lodoyong. Prasasti Kamalagyan merupakan prasasti Batu. Meski demikian, sangat mungkin terjadi pemindahan. Beberapa prasasti batu yang ditemukan sekarang, bukan berada pada letak semula melainkan merupakan pindahan dari tempat lain seperti Prasasti Kembangsore atau Mojojejer, juga Prasasti Jiyu. Persoalan bahwa Prasasti Kamalagyan sekarang berada di Dukuh Klagen, Tropodo, Krian, Sidoarjo, penting mendapat kajian lebih lanjut di lain kesempatan.

    Kembali kepada sikap Sri Maharaja Erlangga setelah mendengar laporan utusan Lodoyong terkait bencana banjir yang beberapa tahun menerpa brang kidul. Setelah dengan saksama meninjau daerah bencana, atas nama kesejahteraan dan ketenteraman negeri dan memandang bakti besar Ratu Tulodong, maka Sri Maharaja Erlangga berkenan memerbaiki dan mengokohkan tanggul di Waringin Sapta.
     
    Menjelang pembangunan bendungan Waringin Sapta selesai, Raja Wijayawarmma yang pernah ditaklukkan Sri Maharaja Erlangga, berbalik haluan, mengadakan kraman. Maka begitu etelah Wijayawarmma, ta rampungringin Sapta rampung,  Raja Wijayawarma dan Raja Wengkertaangga. pembangunan bendungan Waringin Sapta rampung, atasnama kemuliaan Wangsa Isana, balatentara Medang berderap menuju Wengker, naga api menjilat kembali. Raja Wijayawarmma melarikan diri. Sementara patih Wengker bersama sebagian prajurit setianya mendapat ampunan Sri Maharaja Erlangga karena secara sadar menandatangani surat penyerahan hidup dan mati. Sebagai tanda bakti pada negara, patih Wengker bersedia menunaikan titah Sri Maharaja Erlangga, menghukum Raja Wijayawarma, dan janji itu terbukti, Raja Wikjayawarmma gugur terpancung bekas patihnya sendiri. 
    Di istana Kahuripan, pada bulan kartika tahun saka 959 atau 1037M, Sri Maharaja Erlangga mengeluarkan prasasti berisi pemberian anugerah berupa pengurangan -bukan pembebasan- pajak-pajak hasil bumi yang seharusnya disetor ke istana dari desa Kamalagyan dan sewilayahnya, tepian sungai dan rerawanya, dari Kalagyan, serta dari Kakalangan. Anugerah itu dikeluarkan sebagai imbalan kepada penduduk Kamalagyan dan sekitar Kakalangan yang telah berjasa besar menyelesaikan pembangunan bendungan Waringin Sapta. Anugerah ini sekaligus kewajiban penerima anugerah untuk menjaga sepenuhnya keamanan bendungan.di
    Prasasti Pucangan menulis Sri Maharaja Erlangga sudah menempati Kahuripan sebagai ibukota kerajaannya pada 1035M. Sementara sebelumnya, berdasarkan Prasasti Cane, beribukota di Watan Mas. Ini terjadi karena Watan Mas pernah diduduki musuh yaitu kekuatan Lodoyong. Meski berhasil merebutnya kembali, Sri Maharaja Erlangga tidak menempati istananya di gunung Penanggungan itu, melainkan membangun keraton baru yang kemudian dinamakan Kahuripan, artinya kehidupan. Nama Kahuripan mengandung doa dan harapan semoga kehidupan kerajaan Medang terjamin keberlangsungannya, dijauhkan dari malapetaka sebagaimana peristiwa penyerbuan yang dilakukan Ratu Tulodong. Kiranya pembangunan Kahuripan berlangsung mulai 1033M sampai 1035M.
    Prasasti Kamalagyan bertarikh 1037M juga menyebutkan Erlangga bertegak sebagai maharaja di keraton Kahuripan. “thani jumput, wihara cala, Kamulan, palyanan para patapan kabeh, makateweka pandiri cri maharaja makadatwan i kahuripan…” 

    Nama Kahuripan inilah yang kemudian banyak dipakai sebagai nama kerajaan Erlangga. Senasib dengan nama Singhasari yang sebenarnya nama ibu kota dari kerajaan Tumapel pada masa Sri Kertanagara, lebih dikenal sebagai nama kerajaan, menenggelamkan nama Tumapel. Seperti pula nama Mataram yang sesungguhnya merupakan ibukota kerajaan Medang. Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Erlangga.

    Pada sekitar 1041M, beberapa bulan setelah mengeluarkan prasasti Pucangan, Erlangga meninggalkan Kahuripan menuju Daha. Kota yang sudah dengan susah payah dibangun, mendadak ditinggalkan begitu saja. Dalam Prasasti Pamwatan bertarikh 20 Nopember 1042M menyebutkan bahwa ibukota kerajaan Erlangga sudah di Dahana atau Daha, bukan lagi Kahuripan, sebagaimana tercantum dalam Prasasti Kamalagyan. Negarakertagama juga menyebut Erlangga sebagai raja Panjalu di Daha. Serat calonarang bertarikh 1540M juga menyebut istana terahir Erlangga berada di Daha. Dapat disimpulkan, pada akhir pemerintahannya Erlangga bertahta di Daha.
    Mengapa Erlangga memindah keratonnya? Keputusan Erlangga memindah pusat pemerintahan dari Kahuripan ke Daha, kiranya sama alasannya dengan yang pernah dilakukan Mpu Sindok. Sangat berkaitan dengan pemahaman masyarakat Jawa yang meyakini bahwa keraton yang pernah pralaya, diserang, kalah lalu diduduki musuh, menjadikan keraton itu bakal menciptakan kesialan jika tetap ditempati raja. 

    Pada 1032M, Erlangga juga terpaksa meninggalkan istana Watanmas di Penanggungan lalu membangun istana baru di Kahuripan, akibat pasukan Ratu Tulodong dari selatan sungai Brantas menggempur dan menduduki Watanmas. Itu juga memiliki alasan yang sama dengan kepindahan Erlangga dari Kahuripan ke Daha beberapa bulan setelah mengeluarkan prasasti Pucangan. 

    Bahwa keraton Erlangga di Kahuripan digempur dan diduduki musuh. Demi perkembangan ilmu sejarah, dugaan ini patut dikaji lebih lanjut pula.
    Lalu siapa yang menggempur Kahuripan pada sekitar 1041M? Sejarah ini begitu gelap. Para sejarawan tidak mengetahui pasti mengapa Sri Maharaja Erlangga meninggalkan Kahuripan. Di kesempatan lain akan penulis kemukakan berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada. 

    ==============
    SIWI SANG
     
    BAHAN BACAAN:
    Muhammad Yamin, Tatanegara Majapahit, yayasan Prapanca, Jakarta, 1962.
    Mangkudimedja. R.M. Serat Pararaton. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.  1979.
    Slamet Muljana. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara. 1979.
    ____________Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, Yogyakarta, LKIS, cetakan pertama. 2005.
    ____________Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya kerajaan Islam, Yogyakarta: LKIS. 2005. 
    Vlekke Bernard H.M. Nusantara: Sejarah Indonesia, Jakarta, Gramedia, cetakan keempat, Penerjemah Samsudin Berlin. 2008. 

    Koes Indarto, Katuturanira Maharaja Erlangga



    No comments:

    Post a Comment

    Literatur

    Taktik Menulis

    Banjarnegara