Rajapatni Dyah Gayatri adalah putri bungsu maharaja terahir Singasari Sri Kertanagara dari permaisuri Bajradewi. Bersama 3 kakak kandungnya, Rajapatni Dyah Gayatri menjadi permaisuri raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit.
Dibanding ketiga kakaknya, Rajapatni Dyah Gayatri dikenal sebagai permaisuri raden Wijaya yang paling dikasihi. Hal itu terjadi karena pernikahannya dengan 4 putri Sri Kertanagara, raden Wijaya hanya memiliki keturunan dari Rajapatni Dyah Gayatri, yaitu dua orang putri bernama Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat.
Meski demikian Rajapatni Dyah Gayatri bukan satu satunya permaisuri raden Wijaya yang memiliki keturunan. Raden Wijaya memiliki seorang putra bernama Sri Jayanagara dari perkawinannya dengan putri Malayu bernama Dara Petak.
Setelah raden Wijaya wafat, 1309M, tahta Majapahit diduduki Sri Jayanagara.
Dua putri Rajapatni Dyah Gayatri menjadi ratu di keraton bawahan Majapahit. Dyah Gitarja di Kahuripan dan Dyah Wiyat di Daha Kediri.
Peran besar Rajapatni Dyah Gayatri dalam panggung sejarah Majapahit secara nyata bermula ketika maharaja Majapahit Sri Jayanagara wafat, 1328M, akibat pemberontakan Ratanca. Jayanagara wafat tanpa meninggalkan keturunan. Majapahit tidak memiliki putra mahkota. Majapahit kosong kekuasaan. Dengan cepat Rajapatni Dyah Gayatri mengendalikan pemerintahan meredam segala pergolakan perebutan tahta.
Arca Pradnyaparamita perwujudan Rajapatni dyah gayatri di candi Boyolangu Tulungagung |
Peran besar Rajapatni Dyah Gayatri dalam panggung sejarah Majapahit secara nyata bermula ketika maharaja Majapahit Sri Jayanagara wafat, 1328M, akibat pemberontakan Ratanca. Jayanagara wafat tanpa meninggalkan keturunan. Majapahit tidak memiliki putra mahkota. Majapahit kosong kekuasaan. Dengan cepat Rajapatni Dyah Gayatri mengendalikan pemerintahan meredam segala pergolakan perebutan tahta.
Sebagai mantan permaisuri pendiri Majapahit dan sebagai putri maharaja Singasari Sri Kertanagara, Rajapatni Dyah Gayatri memiliki kedudukan sangat kuat didukung beberapa tokoh terkemuka seperti mahapatih Mpu Krewes dan tokoh muda Gajah Mada. Selain itu mendapat dukungan para pandita terutama Dharmadaksa Kasogatan Dang Acarya Kanakamuni.
Tetapi Rajapatni Dyah Gayatri cukup memahami bahwa dalam tradisi pararaja tanah Jawa, tidak pernah ada seorang Ibu Suri secara resmi naik tahta kerajaan.
Oleh karena itu Rajapatni Dyah Gayatri berniat menobatkan putri sulungnya sebagai maharani Majapahit karena dianggap paling berhak menduduki tahta.
Sebelum penobatan, Rajapatni Dyah Gayatri menggelar pernikahan bagi kedua putrinya. Dyah Gitarja menjadi permaisuri Kertawardhana dan Dyah Wiyat menjadi permaisuri Wijayarajasa.
Setelah menikahan dua putrinya, 1329M, Rajapatni Dyah Gayatri secara resmi menobatkan Dyah Gitarja sebagai maharani Majapahit bergelar Sri Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani.
Rajapatni Dyah Gayatri juga menobatkan dua menantunya sebagai raja di keraton bawahan Majapahit. Kertawardhana sebagai raja di keraton Tumapel dan Wijayarajasa sebagai raja di keraton Wengker.
Setrategi politik perkawinan melalui dua putrinya dengan dua tokoh penting berdarah Singasari dan Majapahit semakin mengukuhkan dirinya sebagai sosok pemersatu.
Tahun 1329M, Tribhuwanatunggadewi mengeluarkan Prasasti Berumbung. Dalam prasasti ini yang menjadi mahapatih Majapahit adalah Mpu Krewes. Gajah Mada belum tercatat sebagai patih Daha.
Sekitar 1330M, Rajapatni Dyah Gayatri meninggalkan keraton Majapahit menuju Mandala Pacira [Goa Pasir desa Junjung Tulungagung] di selatan sungai Brantas karena ingin menjadi seorang Bhiksuni.
Meski demikian, Rajapatni Dyah Gayatri tidak berhenti memikirkan perkembangan Majapahit. Rajapatni Dyah Gayatri ingin Majapahit tumbuh sebagai kemaharajaan besar yang dihormati dunia.
Oleh karena itu, dari mandala Pacira di selatan sungai Brantas, Rajapatni Dyah Gayatri terus membimbing putri sulungnya. Ia senantiasa mencurahkan pikiran dan kebijaksanaannya untuk menjayakan Majapahit.
Kedudukan dan peran penting Rajapatni Dyah Gayatri dalam sejarah Majapahit, tersirat dari pemberitaan kakawin Negarakertagama dimana Prapanca menggambarkannya Bhatara Parama Bhagawati yang menjadi pelindung Majapahit terkemuka. Dalam Prasasti, Rajapatni Dyah Gayatri juga ditulis sebagai pembimbing atau pengawas maharani Tribhuwanatunggadewi Dyah Gitarja.
Berdasarkan Prasasti Palungan 1330M, Gajah Mada tercatat sebagai patih Daha. Berdasarkan Prasasti Tuhanyaru 1323M, yang menjadi patih Daha adalah Dyah Puruseswara. Tahun 1329M, Gajah Mada belum sebagai patih Daha. Dapat ditafsirkan Gajah Mada naik sebagai patih di keraton Daha menggantikan kedudukan Dyah Puruseswara antara tahun 1329M-1330M.
Karena Rajapatni Dyah Gayatri adalah pembimbing maharani Tribhuwanatunggadewi, kuat dugaan naiknya Gajah Mada sebagai patih Daha atas perintahnya.
Kakawin Negarakertagama memberitakan pada tahun 1331M terjadi perang Sadeng dan Keta. Serat Pararaton juga memberitakan perang Sadeng atau Pasadeng.
Kiranya mengetahui kabar kepergian Rajapatni Dyah Gayatri dari keraton, beberapa daerah berupaya melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Sadeng dan Keta melakukan perlawanan.
Tetapi semuanya berhasil dihancurkan pasukan Majapahit yang dipimpin Gajah Mada dan Tuhan Waruju [Adityawarman].
Serat Pararaton mengisahkan cukup panjang perang Sadeng yang juga diikuti Rakryan Kembar.
Berdasarkan Serat Pararaton, semua tokoh yang berjasa besar menghancurkan Sadeng, mendapat penghargaan. Kembar sebagai Menteri Araraman, Gajah Mada sebagai Angabehi, Lembu Peteng [Identik dengan Tuhan Waruju atau Adityawarman] sebagai menteri keraton berpangkat Tumenggung. Jaran Bhaya, Demang Bucang, Gagak Minge, Jenar, Jalu, Arya Rahu, semua mendapat kedudukan tinggi.
Pergolakan yang terjadi di daerah telah mengancam kesatuan Majapahit. Majapahit membutuhkan sosok kuat, berwawasan luas, dan sangat setia pada negara untuk menjaga kesatuan Majapahit dan terutama meneruskan gagasan penyatuan Nusantara yang pernah dilakukan Sri Kertanagara maharaja Singasari.
Berdasarkan pertimbangan itu, kiranya Rajapatni Dyah Gayatri memutuskan untuk mengganti Mahapatih Majapahit Mpu Krewes yang sudah sepuh. Pilihan itu jatuh kepada Gajah Mada. Sangat mungkin Rajapatni Dyah Gayatri mengetahui siapa sebenarnya Gajah Mada.
Terpilihnya Gajah Mada sebagai mahapatih Majapahit karena merupakan putra raden Wijaya dari isteri selir. Gajah Mada putra pendiri Majapahit.
Setelah mendapat amanat Rajapatni Dyah Gayatri, pada 1334M, Gajah Mada dinobatkan sebagai Mahapatih Amangkubhumi Majapahit oleh maharani Sri Tribhuwanatunggadewi.
Dalam upacara penobatan itu, Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa, bertekad menyatukan Nusantara sebagaimana amanat Rajapatni Dyah Gayatri.
Berdasarkan pemberitaan Serat Pararaton, Sumpah Palapa yang dikumandangkan Gajah Mada mendapat hinaan dari beberapa menteri seperti Kembar, Warak, dan Jabung Terewes. Bahkan Lembu Peteng [Adityawarman] ikut meremehkan Gajah Mada.
Rupa rupanya penobatan Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubhumi Majapahit memunculkan pertikaian di kalangan Istana yang menyebabkan gugurnya beberapa tokoh seperti Kembar dan Warak ditangan Gajah Mada.
Meski mendapat halangan, Gajah Mada tetap teguh dalam sumpahnya, tetap berusaha mengemban amanat besar dari Rajapatni Dyah Gayatri untuk menyatukan Nusantara di bawah bendera Majapahit. Bersama Adityawarman, Gajah Mada giat melancarkan penaklukkan ke negeri negeri di Nusantara. Bhumi Malayu diserbu. Meski meraih banyak kemenangan, tetapi pasukan Gajah Mada sempat dipukul mundur pasukan dari kesultanan Samudera Pasai. Gajah Mada pulang ke Majapahit. Selanjutnya menggempur pulau Bali [1343M].
Setelah berhasil menaklukkan pulau Bali, nama Adityawarman semakin mashur karena kepahlawanannya dalam medan perang. Kegagahan Gajah Mada tenggelam oleh kepahlawanan Adityawarman.
Ini yang membuat gundah seorang Gajah Mada. Gajah Mada kawatir suatu saat Adityawarman mengambil alih kekuasaan Majapahit yang sedang dipegang Tribhuwanatunggadewi. Gajah Mada tau jika Adityawarman berdarah Singasari dan Malayu. Ibunya bernama Dara Jingga dan ayahnya adalah mahamentri hino Dyah Adwayabrahma, putra selir Sri Kertanagara.
Atas nama kejayaan Majapahit, Gajah Mada berniat menyingkirkan Adityawarman.
Tapi Gajah Mada tidak dapat secara leluasa menjalankan keinginannya karena di Majapahit masih ada sosok agung bernama Rajapatni Dyah Gayatri.
Gajah Mada kemudian menghadap Rajapatni Dyah Gayatri di Mandala Pacira.
Tetapi Rajapatni Dyah Gayatri berbeda pandangan dengan Gajah Mada soal Adityawarman. Dalam pandangannya, Adityawarman adalah sosok yang sangat setia pada Majapahit dan sudah banyak berkorban untuk membesarkan Majapahit. Rajapatni Dyah Gayatri tidak setuju dengan keinginan Gajah Mada untuk menyingkirkan Adityawarman.
Sampai ahirnya, untuk menyelesaikan konflik antara Gajah Mada dan Adityawarman, Rajapatni Dyah Gayatri memerintahkan kepada maharani Majapahit untuk menobatkan Adityawarman sebagai maharaja di Bhumi Malayu.
Pada tahun 1350M, Rajapatni Dyah Gayatri wafat di Mandala Pacira sebagai seorang biksuni Boddha.
Sebelum wafat, Rajapatni Dyah Gayatri memberi amanat kepada Tribhuwanatunggadewi untuk menyerahkan tahta Majapahit kepada putra mahkota Hayam Wuruk.
Maharani Tribhuwanatunggadewi menjalankan amanat Rajapatni Dyah Gayatri, turun tahta menyerahkan kekuasaan Majapahit kepada Hayam Wuruk yang berusia 16 tahun [ lahir 1334M]. Dia sendiri kembali bersemayam di keraton Kahuripan menjadi pembimbing maharaja Majapahit.
Setelah dinobatkan sebagai maharaja Majapahit, Hayam Wuruk memerintahkan persiapan pembangunan candi pendharmaan untuk Rajapatni Dyah Gayatri. Daerah Boyolangu [Tulungagung] ditetapkan sebagai tempat pendarmaan itu. Tanahnya disucikan oleh pendita Sri Jinana Widhi.
Sebagaimana tercatat dalam Negarakertagama, pada tahun 1362M berlangsung upacara Sraddha mengenang 12 tahun wafatnya Rajapatni Dyah Gayatri. Pada perayaan itu sekaligus dilangsungkan penempatan abu jenazah Rajapatni Dyah Gayatri dan arca perwujudan bernama Pradjnaparamita sebagai penghormatan kepada Rajapatni Dyah Gayatri, perempuan Ardanareswari yang kewibawaan dan kebijaksanaannya mengayomi Majapahit.
===================
SIWI SANG
sudah unggah di :
https://siwisang.wordpress.com/2016/08/09/narasi-sejarah-rajapatni-dyah-gayatri/
SIWI SANG
sudah unggah di :
https://siwisang.wordpress.com/2016/08/09/narasi-sejarah-rajapatni-dyah-gayatri/
Featured Post
Tafsir Sejarah Lumajang Kesultanan Islam Tertua di Jawa Harus Dikaji Ulang
Social Counter