salah satu Karya Widji Paminto Rahayu |
Ayahnya
dulu bertugas di Departemen Penerangan.
Sebagai pegawai di departemen yang menjadi corong masarakat, ayahnya kerap
bikin sepanduk. Ayahnya juga menguasai beberapa kesenian seperti ketoprak,
ludruk, teater, batik. Barangkali itu darah seni yang sekarang memengaruhi
sosok Widji Paminto Rahayu sebagai salah satu seniman berpengaruh di
Tulungagung.
Widji Paminto
Rahayu lahir di Tulungagung tahun 1956. Kini tinggal bersama keluarga menempati
rumah yang menjadi Galeri Lukis di RT 8 RW 1 Desa dan kecamatan Boyolangu,
Tulungagung.
Galerinya yang bernama Wi-dji Fine Art GALLERY, selama ini kerap menjadi tempat kumpul para seniman Tulungagung bukan hanya kalangan seni rupa tetapi juga dari kalangan sastra, tradisi, musik, fotografi, film, dan lainnya.
Wi-dji Fine Art GALLERY |
Widji Paminto Rahayu menikah dengan Indriyati yang berasal dari desa Sumberringin Kidul kecamatan Ngunut Tulungagung. Dari pernikahan itu, Widji Paminto Rahayu memiliki tiga anak, satu perempuan dan dua laki laki. Kini Indriyati menjadi guru TK Wajak Kidul sekaligus sebagai ketua PGTK kecamatan Boyolangu.
Widji Paminto Rahayu dan lampu Gunawan, lampu legendaris Boyolangu |
Tiga anak hasil
pernikahannya dengan Indriyati, ternyata tidak ada seorang pun yang mengikuti
jejak Widji Paminto Rahayu sebagai seorang seniman. Seluruhnya lebih cenderung
menekuni dunia keagamaan atau pesantren. Semua anaknya lulusan
pondok pesantren. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang berasal dari jalur
seni.
Widji Paminto Rahayu bersama Istri |
Widji Paminto Rahayu bersama Bunda Zakyzahra Tuga |
Pulang Kampung
Mendirikan Komunitas Lukis BONOROWO
Widji Pamunto
Rahayu lulus kuliah ISI Yogyakarta tahun 1985 dengan mengambil skripsi tentang
seni batik Tulungagung. Ia langsung bekerja sesuai bidang kesenian yang
digeluti. Tercatat menjadi tenaga pengajar di STSR Sekolah Tinggi Seni Rupa
WILWATIKTA Surabaya. Dalam waktu bersamaan bekerja sebagai Ilustrator di harian
JAWA POS dan majalah Bahasa Jawa JAYABHAYA.
Meski dari
pekerjaan sebagai dosen dan illustrator dapat mengaplikasikan kemampuan seninya
secara leluasa dan menghasilkan keuntungan dari sisi materi, Widji Paminto
Rahayu merasa kurang nyaman karena harus tinggal berjauhan dengan istri yang
tugas sebagai guru TK di Trenggalek.
Selain itu,
setelah menikah, ibunya berpesan supaya jangan meninggalkan rumah. Widji Paminto
Rahayu dalam keluarga adalah anak tunggal. Jadi wajar jika ibunya merasa
khawatir jika suatu saat hidup berjauhan dengannya.
Aku aja mbok tinggal. Demikian pesan ibunya. Pesan ibunya ketika itu sangat berkesan dan cukup membuat Widji Paminto Rahayu banyak merenung. Ia segera mencari jalan bagaimana dapat mengikuti pesan ibunya sekaligus tetap berkarya.
Sampai akhirnya pulang memenuhi harapan ibunya dan bertekad untuk tetap berkesenian. Widji Paminto Rahayu memutuskan pulang ke Boyolangu, Tulungagung, mengembangkan Seni Rupa di tanah kelahirannya.
Aku aja mbok tinggal. Demikian pesan ibunya. Pesan ibunya ketika itu sangat berkesan dan cukup membuat Widji Paminto Rahayu banyak merenung. Ia segera mencari jalan bagaimana dapat mengikuti pesan ibunya sekaligus tetap berkarya.
Sampai akhirnya pulang memenuhi harapan ibunya dan bertekad untuk tetap berkesenian. Widji Paminto Rahayu memutuskan pulang ke Boyolangu, Tulungagung, mengembangkan Seni Rupa di tanah kelahirannya.
Waktu tiba di
Tulungagung, ia melihat tidak adanya komunitas seni rupa yang berkembang di
Tulungagung. Sementara tanpa komunitas, ia merasa akan sulit berkembang. Seni
Rupa dan seni lainnya sangat membutuhkan komunitas sebagai tempat komunikasi
saling berbagi dan berdiskusi seputar karya karyanya. Jika tidak ada komunitas,
maka tidak ada dialog seni, tidak ada kritik yang membangun seni serta
mendorong proses kreatif berkesenian.
Ia kemudian punya inisiatif mengumpulkan teman teman alumni dari berbagai perguruan Seni Rupa seperti IKIP, ISI, dan lainnya termasuk pelukis otodidak yang berdomisili atau asli Tulungagung. Tujuannya ingin membangun komunitas. Widji Paminto Rahayu mendatangi beberapa pelukis Tulungagung seperti mas Giok, dan lainnya. Hingga setelah melalui berbagai pertemuan dan diskusi, terbentuklah satu komunitas kesenian Tulungagung bernama BONOROWO.
Ia kemudian punya inisiatif mengumpulkan teman teman alumni dari berbagai perguruan Seni Rupa seperti IKIP, ISI, dan lainnya termasuk pelukis otodidak yang berdomisili atau asli Tulungagung. Tujuannya ingin membangun komunitas. Widji Paminto Rahayu mendatangi beberapa pelukis Tulungagung seperti mas Giok, dan lainnya. Hingga setelah melalui berbagai pertemuan dan diskusi, terbentuklah satu komunitas kesenian Tulungagung bernama BONOROWO.
Ternyata gagasan
itu mendapat sambutan bagus. Beberapa tempat segera membangun komunitas seni.
Mereka menjadi memiliki pandangan baru betapa pentingnya suatu komunitas seni.
Di Boyolangu segera muncul komunitas seni rupa bernama MINTOROGO. Ketika itu
hampir semua pemuda di desanya melakukan aktifitas menggambar atau melukis.
Hingga akhirnya
seleksi alam tetap berlaku. Mereka yang cenderung pada seni tetap berkesenian,
dan yang kurang meminati seni rupa beralih profesi lain yang diminatinya. Salah
satu pelukis yang sejak awal sampai sekarang tetap berkesenian adalah Mas Giok.
Pada waktu Widji
Paminto Rahayu memutuskan pulang kampung mengembangkan seni rupa di Boyolangu,
anak anaknya masih pendidikan di pondok pesantren. Ketika mereka pulang ke
rumah misal saat liburan hari raya atau bulan puasa, mereka berdebat ramai
dengan ayahnya. Karena didikan pondok pesantren yang cukup berbeda dengan dunia
seni rupa, mereka menilai apa yang dilakukan ayahnya sebagai haram. Yaitu
menggambar bentuk seperti manusia utuh.
Terjadilah
pergolakan pemikiran kritis antara Widji Paminto Rahayu yang tidak punya latar
belakang pendidikan agama dengan anak anaknya yang sedang semangat mendalami
ilmu agama di pondok pesantren. Terjadi pergolakan pemikiran antara produk seni
rupa yang sangat bebas liberal dengan produk pondok pesantren yang selalu
mendasarkan pada tuntunan ajaran agama Islam.
Untuk mengatasi
keadaan itu, Widji Paminto Rahayu selalu memberikan pemahaman kepada anak
anaknya bahwa mereka memiliki dunia yang berbeda. Dalam perbedaan itu, Widji
Paminto menekankan kepada mereka pula untuk saling menghargai.
Jatuh Cinta di Udara karya Widji Paminto Rahayu yang dipampang di beranda depan galerinya |
Itulah yang
antaranya peran keluarga terutama anak anaknya dalam memengaruhi gaya atau
aliran seni rupa Widji Paminto Rahayu. Jika pada awalnya banyak menampilkan
karya karya realis, sejak saat itu hingga sekarang Widji Paminto Rahayu lebih
cenderung menampilkan karya karya simbolik. Jika menampilkan bentuk manusia,
maka itu sudah dilakukan deformasi atau stirilisasi sehingga tidak menyerupai
manusia utuh atau nyata.
Karya Widji
Paminto Rahayu
Awalnya karya
karya Widji Paminto Rahayu cenderung beraliran Abstrak. Tahun 1982, karyanya
pernah terpilih atau mendapat penghargaan dari Affandi Adhikarya, suatu
penghargaan yang diberikan oleh Sekolah Tinggi Seni Rupa di Yogyakarta kepada karya karya yang
dianggap berkualitas baik. Pencapaian itu menunjukkan Widji Paminto Rahayu punya
prestasi atau kemampuan lebih dalam dunia Seni Rupa. Karya itulah yang sampai sekarang
disimpan oleh Widji Paminto Rahayu sebagai motivasi atau dorongan untuk terus
menghasilkan karya bernilai seni tinggi.
Namun demikian
Widji Paminto Rahayu tidak ingin terjebak pada pemahaman dirinya harus tetap
setia menghasilkan karya Abstrak. Ia harus mengembangkan kemampuan lainnya. Ia
punya kemampuan bidang Seni Kartun, kemudian mengembangkan diri menjadi
illustrator di Jawa Pos. Karya karya Kartunnya juga menyebar di berbagai media
baik local maupun nasional. Sampai sekarang masih aktif menghasilkan karya
Kartun di majalah mingguan Bahasa Jawa Jayabhaya.
Dalam Seni Lukis
ada unsur warna, garis, bidang, ruang, dan komposisi. itu yang ingin dibongkar
Widji Paminto Rahayu. Bagaimana memaksimalkan penggunaan garis, sehingga tidak
terjebak pada karya Abstrak. Ia juga mengembangkan media media seperti kanvas
dan kertas. Karyanya beberapa waktu terakhir ini sudah memunculkan figurative.
Sekarang bahkan masih mengembangkan teknik satu warna monokrom melalui media
kertas. Walaupun tetap berkarya menampilkan eksplorasi warna warni melalui
media kanvas.
Pameran
Dalam pandangan
Widji Paminto Rahayu, pameran seni lukis bagi para Perupa Tulungagung kususnya
terasa sangat vital dan harus kerap diikuti. Tujuannya supaya banyak yang
mengapresiasi karya karya mereka. Mengapresiasi dan mengritik sangat penting
dalam perkembangan proses kreatif karya Seni Rupa.
Ia berharap
kepada para seniman Lukis Tulungagung
untuk rajin ikut pameran atau acara di luar daerah sebagai sarana menjajal
kemampuan. Meski tidak lolos tidak masalah, nanti ada seleksi. Itu sebagai
jalan supaya karya para seniman Tulungagung lebih diakui di luar daerahnya.
Widji Paminto Rahayu tampil baca sajak di panggung utama Ngrowo Culture Festival 2015 Tulungagung bersama Pece seniman perkusi dari Tulungagung |
Seniman yang
sangat hormat pada tamu
Filosofinya
ketika sedang berproses, ia tidak terlalu hanyut pada proses itu. Misal
kedatangan tamu, maka saat berproses segera menghentikan sementara utnuk
menghormati tamu. Setelah itu melanjutkan kembali tanpa kawatir ide yang sudah
setengah jalan terputus. Demikian pula ketika waktu salat, ia harus memutus ide
yang sedang dituang dalam kanvas. Juga untuk kegiatan lain. Widji Paminto Rahayu
tidak kawatir idenya hilang gara gara menghentikan sementara proses ketika
melukis.
Ia tidak
memiliki waktu kusus untuk melukis. Tetapi jika ada waktu luang yang sangat
mendukung proses penciptaan karya, ia akan memanfaatkan betul.
Ia merasa tidak
dapat hidup dengan orang lain. Karena itu ia beranggapan dan berprinsip untuk
selalu menghormati tamu atau orang lain yang datang ke rumahnya.
----------
SIWI SANG
Catatan ini hasil wawancara Siwi Sang dan Bunda Zakyzahra Tuga dari Sanggar Pena Ananda Tulungagung dengan Wiji Paminto Rahayu tahun 2015. Catatan ini mengambil sebagian dari draf buku tokoh seni budaya Tulungagung yang rencana diterbitkan. Semoga segera terbit. Amien!
No comments:
Post a Comment