Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Breaking News

    Thursday, April 7, 2016

    Widji Paminto Rahayu Tokoh Seni Rupa Tulungagung



    salah satu Karya Widji Paminto Rahayu
    Dalam dunia seni Tulungagung, sosok Widji Paminto Rahayu cukup menonjol. Selain memiliki hubungan sangat dekat dengan berbagai kalangan seniman Tulungagung,  pelukis sekaligus penyair ini merupakan pendiri komunitas Seni Rupa BONOROWO, yang dalam perkembangannya mampu menjadi wadah serta sarana komunikasi mempersatukan seniman Tulungagung kususnya Seni Rupa/Lukis. Widji Paminto Rahayu baca sajak lihat :NANG KENE


       

    Ayahnya dulu  bertugas di Departemen Penerangan. Sebagai pegawai di departemen yang menjadi corong masarakat, ayahnya kerap bikin sepanduk. Ayahnya juga menguasai beberapa kesenian seperti ketoprak, ludruk, teater, batik. Barangkali itu darah seni yang sekarang memengaruhi sosok Widji Paminto Rahayu sebagai salah satu seniman berpengaruh di Tulungagung.

    Widji Paminto Rahayu lahir di Tulungagung tahun 1956. Kini tinggal bersama keluarga menempati rumah yang menjadi Galeri Lukis di RT 8 RW 1 Desa dan kecamatan Boyolangu, Tulungagung.

    Galerinya yang bernama Wi-dji Fine Art GALLERY, selama ini kerap menjadi tempat kumpul para seniman Tulungagung bukan hanya kalangan seni rupa tetapi juga dari kalangan sastra, tradisi, musik, fotografi, film, dan lainnya. 

    Wi-dji Fine Art GALLERY
    Selain memajang karya karya Widji Paminto Rahayu, galeri ini terdapat berbagai rupa barang barang antik seperti perahu kayu, kentongan, aneka alat pertanian dan alat menangkap ikan, dan lainnya. Dapat dikatakan, selain berfungsi sebagai galeri lukis, rumah Widji Paminto Rahayu punya potensi dikembangkan sebagai museum desa Boyolangu. Wi-dji Fine Art GALLERY sangat layak menjadi tujuan wisata seni dan budaya di Tulungagung. 

    Widji Paminto Rahayu menikah dengan Indriyati yang berasal dari desa Sumberringin Kidul kecamatan Ngunut Tulungagung. Dari pernikahan itu, Widji Paminto Rahayu memiliki tiga anak, satu perempuan dan dua laki laki. Kini Indriyati menjadi guru TK Wajak Kidul sekaligus sebagai ketua PGTK kecamatan Boyolangu.

    Widji Paminto Rahayu dan lampu Gunawan, lampu legendaris Boyolangu
     
    Tiga anak hasil pernikahannya dengan Indriyati, ternyata tidak ada seorang pun yang mengikuti jejak Widji Paminto Rahayu sebagai seorang seniman. Seluruhnya lebih cenderung menekuni dunia keagamaan atau pesantren. Semua anaknya lulusan pondok pesantren. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang berasal dari jalur seni.


    Widji Paminto Rahayu bersama Istri
    Widji Paminto Rahayu bersama Bunda Zakyzahra Tuga

    Pulang Kampung Mendirikan Komunitas Lukis BONOROWO

    Widji Pamunto Rahayu lulus kuliah ISI Yogyakarta tahun 1985 dengan mengambil skripsi tentang seni batik Tulungagung. Ia langsung bekerja sesuai bidang kesenian yang digeluti. Tercatat menjadi tenaga pengajar di STSR Sekolah Tinggi Seni Rupa WILWATIKTA Surabaya. Dalam waktu bersamaan bekerja sebagai Ilustrator di harian JAWA POS dan majalah Bahasa Jawa JAYABHAYA.

    Meski dari pekerjaan sebagai dosen dan illustrator dapat mengaplikasikan kemampuan seninya secara leluasa dan menghasilkan keuntungan dari sisi materi, Widji Paminto Rahayu merasa kurang nyaman karena harus tinggal berjauhan dengan istri yang tugas sebagai guru TK di Trenggalek.

    Selain itu, setelah menikah, ibunya berpesan supaya jangan meninggalkan rumah. Widji Paminto Rahayu dalam keluarga adalah anak tunggal. Jadi wajar jika ibunya merasa khawatir jika suatu saat hidup berjauhan dengannya. 

    Aku aja mbok tinggal. Demikian pesan ibunya. Pesan ibunya ketika itu sangat berkesan dan cukup membuat Widji Paminto Rahayu banyak merenung. Ia segera mencari jalan bagaimana dapat mengikuti pesan ibunya sekaligus tetap berkarya.  

    Sampai akhirnya pulang memenuhi harapan ibunya dan bertekad untuk tetap berkesenian. Widji Paminto Rahayu memutuskan pulang ke Boyolangu, Tulungagung, mengembangkan Seni Rupa di tanah kelahirannya.

    Waktu tiba di Tulungagung, ia melihat tidak adanya komunitas seni rupa yang berkembang di Tulungagung. Sementara tanpa komunitas, ia merasa akan sulit berkembang. Seni Rupa dan seni lainnya sangat membutuhkan komunitas sebagai tempat komunikasi saling berbagi dan berdiskusi seputar karya karyanya. Jika tidak ada komunitas, maka tidak ada dialog seni, tidak ada kritik yang membangun seni serta mendorong proses kreatif berkesenian.

     Ia kemudian punya inisiatif mengumpulkan teman teman alumni dari berbagai perguruan Seni Rupa seperti IKIP, ISI, dan lainnya termasuk pelukis otodidak yang berdomisili atau asli Tulungagung. Tujuannya ingin membangun komunitas. Widji  Paminto Rahayu mendatangi beberapa pelukis Tulungagung seperti mas Giok, dan lainnya. Hingga setelah melalui berbagai pertemuan dan diskusi, terbentuklah satu komunitas kesenian Tulungagung bernama BONOROWO.

    Ternyata gagasan itu mendapat sambutan bagus. Beberapa tempat segera membangun komunitas seni. Mereka menjadi memiliki pandangan baru betapa pentingnya suatu komunitas seni. Di Boyolangu segera muncul komunitas seni rupa bernama MINTOROGO. Ketika itu hampir semua pemuda di desanya melakukan aktifitas menggambar atau melukis.

    Hingga akhirnya seleksi alam tetap berlaku. Mereka yang cenderung pada seni tetap berkesenian, dan yang kurang meminati seni rupa beralih profesi lain yang diminatinya. Salah satu pelukis yang sejak awal sampai sekarang tetap berkesenian adalah Mas Giok. 


    Pada waktu Widji Paminto Rahayu memutuskan pulang kampung mengembangkan seni rupa di Boyolangu, anak anaknya masih pendidikan di pondok pesantren. Ketika mereka pulang ke rumah misal saat liburan hari raya atau bulan puasa, mereka berdebat ramai dengan ayahnya. Karena didikan pondok pesantren yang cukup berbeda dengan dunia seni rupa, mereka menilai apa yang dilakukan ayahnya sebagai haram. Yaitu menggambar bentuk seperti manusia utuh.

    Terjadilah pergolakan pemikiran kritis antara Widji Paminto Rahayu yang tidak punya latar belakang pendidikan agama dengan anak anaknya yang sedang semangat mendalami ilmu agama di pondok pesantren. Terjadi pergolakan pemikiran antara produk seni rupa yang sangat bebas liberal dengan produk pondok pesantren yang selalu mendasarkan pada tuntunan ajaran agama Islam.

    Untuk mengatasi keadaan itu, Widji Paminto Rahayu selalu memberikan pemahaman kepada anak anaknya bahwa mereka memiliki dunia yang berbeda. Dalam perbedaan itu, Widji Paminto menekankan kepada mereka pula untuk saling menghargai.

    Jatuh Cinta di Udara karya Widji Paminto Rahayu yang dipampang di beranda depan galerinya
    Hingga akhirnya anak anak Widji Paminto Rahayu dapat memahami bahwa dunia seni memiliki tradisi dan sudut pandang yang berbeda dengan dunia pondok pesantren. Tapi mereka berpesan kepada Widji Paminto Rahayu supaya jangan menggambar manusia utuh, sebab hal itu dalam ajaran agama Islam tidak dibenarkan.

    Itulah yang antaranya peran keluarga terutama anak anaknya dalam memengaruhi gaya atau aliran seni rupa Widji Paminto Rahayu. Jika pada awalnya banyak menampilkan karya karya realis, sejak saat itu hingga sekarang Widji Paminto Rahayu lebih cenderung menampilkan karya karya simbolik. Jika menampilkan bentuk manusia, maka itu sudah dilakukan deformasi atau stirilisasi sehingga tidak menyerupai manusia utuh atau nyata.


    Karya Widji Paminto Rahayu

    Awalnya karya karya Widji Paminto Rahayu cenderung beraliran Abstrak. Tahun 1982, karyanya pernah terpilih atau mendapat penghargaan dari Affandi Adhikarya, suatu penghargaan yang diberikan oleh Sekolah Tinggi Seni Rupa  di Yogyakarta kepada karya karya yang dianggap berkualitas baik. Pencapaian itu menunjukkan Widji Paminto Rahayu punya prestasi atau kemampuan lebih dalam dunia Seni Rupa. Karya itulah yang sampai sekarang disimpan oleh Widji Paminto Rahayu sebagai motivasi atau dorongan untuk terus menghasilkan karya bernilai seni tinggi.



    Namun demikian Widji Paminto Rahayu tidak ingin terjebak pada pemahaman dirinya harus tetap setia menghasilkan karya Abstrak. Ia harus mengembangkan kemampuan lainnya. Ia punya kemampuan bidang Seni Kartun, kemudian mengembangkan diri menjadi illustrator di Jawa Pos. Karya karya Kartunnya juga menyebar di berbagai media baik local maupun nasional. Sampai sekarang masih aktif menghasilkan karya Kartun di majalah mingguan Bahasa Jawa Jayabhaya.



    Dalam Seni Lukis ada unsur warna, garis, bidang, ruang, dan komposisi. itu yang ingin dibongkar Widji Paminto Rahayu. Bagaimana memaksimalkan penggunaan garis, sehingga tidak terjebak pada karya Abstrak. Ia juga mengembangkan media media seperti kanvas dan kertas. Karyanya beberapa waktu terakhir ini sudah memunculkan figurative. Sekarang bahkan masih mengembangkan teknik satu warna monokrom melalui media kertas. Walaupun tetap berkarya menampilkan eksplorasi warna warni melalui media kanvas.



    Pameran

    Dalam pandangan Widji Paminto Rahayu, pameran seni lukis bagi para Perupa Tulungagung kususnya terasa sangat vital dan harus kerap diikuti. Tujuannya supaya banyak yang mengapresiasi karya karya mereka. Mengapresiasi dan mengritik sangat penting dalam perkembangan proses kreatif karya Seni Rupa.

    Ia berharap kepada para seniman  Lukis Tulungagung untuk rajin ikut pameran atau acara di luar daerah sebagai sarana menjajal kemampuan. Meski tidak lolos tidak masalah, nanti ada seleksi. Itu sebagai jalan supaya karya para seniman Tulungagung lebih diakui di luar daerahnya.

    Widji Paminto Rahayu tampil baca sajak di panggung utama Ngrowo Culture Festival 2015 Tulungagung bersama Pece seniman perkusi dari Tulungagung

    Widji Paminto Rahayu tampil membaca sajak karyanya judul GARUDAKU di panggung utama Festival Bonorowo Menulis 2015 Tulungagung diiringi musik perkusi oleh seniman Bayu Kriswantoro dari Cawang Segawe Perkusi Tulungagung



    Seniman yang sangat hormat pada tamu

    Filosofinya ketika sedang berproses, ia tidak terlalu hanyut pada proses itu. Misal kedatangan tamu, maka saat berproses segera menghentikan sementara utnuk menghormati tamu. Setelah itu melanjutkan kembali tanpa kawatir ide yang sudah setengah jalan terputus. Demikian pula ketika waktu salat, ia harus memutus ide yang sedang dituang dalam kanvas. Juga untuk kegiatan lain. Widji Paminto Rahayu tidak kawatir idenya hilang gara gara menghentikan sementara proses ketika melukis.

    Ia tidak memiliki waktu kusus untuk melukis. Tetapi jika ada waktu luang yang sangat mendukung proses penciptaan karya, ia akan memanfaatkan betul.

    Ia merasa tidak dapat hidup dengan orang lain. Karena itu ia beranggapan dan berprinsip untuk selalu menghormati tamu atau orang lain yang datang ke rumahnya.

    Widji Paminto Rahayu bersama Siwi Sang

    ----------

    SIWI SANG

    Catatan ini hasil wawancara Siwi Sang dan Bunda Zakyzahra Tuga dari Sanggar Pena Ananda Tulungagung dengan Wiji Paminto Rahayu tahun 2015. Catatan ini mengambil sebagian dari draf buku tokoh seni budaya Tulungagung yang rencana diterbitkan. Semoga segera terbit. Amien!

    No comments:

    Post a Comment

    Literatur

    Taktik Menulis

    Banjarnegara