Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Breaking News

    Thursday, July 9, 2015

    Mbok Gimah Dalang Kentrung Tulungagung [3]

    Tak perlu sekolah. Kamu dapat membaca tapi tanpa tulisan dan dapat menulis tapi tanpa papan. Begitu yang disampaikan ayahnya kepada mbok Gimah.

     

    Ayahnya bernama Giran, menikah tahun 1951. Saat mbok Gimah umur 36 hari, ibunya meninggal. Ia kemudian diasuh ayahnya yang duda. Ayah tidak mau menikah lagi sampai ahir hayat. Jadi mbok Gimah dapat dikatakan sebagai anak yatim, ontang anting kebanting tidak memiliki saudara kandung. 

    Karena keluarga duda, mbok Gimah dan ayahnya selalu makan di warung makan mbah Ponah, langganannya. Suatu ketika ayahnya punya utang banyak yang belum terbayar di warung mbah Ponah. Mau ngamen tidak ada teman. Terpaksa bapaknya mengajak mbok Gimah pergi ngamen berdua cari uang untuk melunasi utang. 

    Sebenarnya seni Kentrung harus dimainkan 4 orang. Tidak akan berjalan baik jika tidak dimainkan 4 orang. Sebab tabuhannya ada 4 jenis. Apa yang dilakukan mbok Gimah dan ayahnya lebih karena pada waktu itu ayahnya tidak memiliki teman main Kentrung untuk ngamen. Sementara kebutuhan ekonomi mendesak terus. Terpaksa mereka memainkan Kentrung berdua. Ayahnya menabuh kendang, mbok Gimah bagian nyanyi. 

    Dari kegiatan ngamen itu, mereka berhasil mengumpulkan uang melunasi utang di warung mbah Ponah. Beberapa waktu kemudian ada tambahan satu teman main yaitu budenya atau kakak perempuan dari ibu. Itu berlanjut sampai mbok Gimah menikah.



    Setelah ayahnya meninggal, mbok Gimah ngamen Kentrung bersama suami. Cara ngamennya tidak lagi mendatangi tiap pintu rumah, melainkan memainkannya di beberapa tempat keramaian seperti perempatan desa lalu ditonton banyak orang. Atau menuju rumah orang tertentu yang ingin nanggap Kentrung. Berbeda ketika tampil di panggung sekarang, dulu ketika ngamen, mbok Gimah hanya menampilkan beberapa babak lakon pendek kemudian pindah tempat lain.

    Sampai sekarang Mbok Gimah ternyata tidak dapat membaca dan menulis. Ketika kecil dulu, mbok Gimah pernah menyampaikan keinginannya untuk sekolah. Mbok Gimah menyadari jika tidak sekolah maka tidak dapat membaca dan menulis. Tetapi ayahnya malah mengatakan jika dirinya akan dapat membaca dan menulis meski tidak sekolah.

    “Tak perlu sekolah. Kamu dapat membaca tapi tanpa tulisan dan dapat menulis tapi tanpa papan,” Begitu yang disampaikan ayahnya kepada mbok Gimah.

    Meski sampai sekarang mbok Gimah tidak dapat membaca dan menulis, ia tetap bersukur karena memiliki kelebihan daya ingat. Meski tidak pernah membaca beberapa naskah babad atau cerita rakyat yang selalu ditampilkan dalam pentas Kentrung, mbok Gimah mampu menghapal lakon lakon atau cerita yang sebelumnya pernah disampaikan ayahnya maupun orang lain. Barangkali itu yang dinamakan bahwa mbok Gimah dapat membaca tanpa tulisan dan dapat menulis tanpa papan.




    -------
    BERSAMBUNG
    SIWI SANG

    No comments:

    Post a Comment

    Literatur

    Taktik Menulis

    Banjarnegara