Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Breaking News

    Saturday, July 19, 2014

    Prapanca


    Ketika merampungkan Decawarnanna, pada 1365M, Prapanca sudah menjadi petapa, bukan lagi sebagai Dharmmadhaksa ring kasogatan. Prapanca sendiri merupakan nama samaran atau paraban. Ia memiliki nama asli Pancaksara. Sementara dalam catatan resmi keraton bergelar Dang acarya Kanakamuni sang Arya Adhiraja. Sebelumnya yang menjadi dharmadhaksa ring kasogatan, ayahnya, Samenaka, dan setelah Prapanca jabatan dipegang Rengkanadi.



    Nama Prapanca dipakai ketika ia meninggalkan keraton menuju desa Kamalasana. Pada waktu itu yang menjadi dharmadhaksa ring kasaiwan adalah Sang hyang Brahmaraja. Prapanca meninggalkan keraton karena ia beragama Buddha dan pada waktu itu terjadi perselisihan antara agama Siwa dan Budha. Perselisihan itu kemudian diungkapkan Prapanca dengan menulis tentang hilangnya arca aksobya dalam serat negarakertagama. 



    Dua paragraf kutipan buku Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, Yogyakarta, LKIS, cetakan pertama. 2005 karya professor Slamet Muljana di atas patut mendapat sorotan. Paragraf kedua tentang perselisihan antara agama Siwa dan Boddha akan kita bicarakan lain kesempatan. Pada kesempatan ini kita sementara menyoroti penyebutan Prapanca sebagai Dharmadhaksa Kasogatan atau pemuka agama Boddha Majapahit, nama asli Prapanca, nama ayahnya, dan pengganti Prapanca. 



    Dalam buku Negarakertagama dan tafsir Sejarahnya, Slamet Muljana mengidentifikasi Dang Acarya Nadendra sebagai nama asli Prapanca dan menjabat sebagai Dharmadaksa Kasogatan mengganti kedudukan ayahnya, Dang Acarya Kanakamuni.



    Benarkah Sang Pujangga  Prapanca pernah menjabat sebagai Dharmadhaksa Kasogatan atau pemimpin agama Boddha kerajaan Majapahit?



    Dan apa nama gelar resmi yang dimiliki Prapanca ketika menjabat sebagai salah seorang pembesar agama kerajaan Majapahit?



    Berikut penafsiran Siwi Sang terkait Prapanca. 



    Para Pemuka dan Pembesar Agama Majapahit Jaman Pemerintahan Raden Wijaya Sri Kertarajasa Jayawardhana



    Ketika Sri Kertarajasa merajai Majapahit, 1294-1309M, agama Siwa dan Boddha sama-sama memiliki pemimpin, Dharmadaksa Kasaiwan untuk agama Siwa, dan Dharmadaksa Kasogatan untuk agama Boddha.



    Tapi hanya agama Siwa sajalah yang memiliki upapati atau hakim agama atau pembantu Dharmadaksa. Ketika itu agama Siwa dipimpin Dharmadaksa ring Kasaiwan Dang Acarya Agraja dibantu 3 upapati, Pamegat Tirwan Mapanji Paragata, Pamegat Pamwatan Dang Acarya Hanggareksa dan Pamegat Jambi Dang Acarya Rudra.



    Sementara agama Boddha hanya dipemukai Dharmadaksa Kasogatan Dang Acarya Ginantaka.



    Para pembesar agama itu termuat dalam prasasti Kudadu bertarikh 1294M.



    Dalam prasasti Penanggungan, 1296M, agama Siwa mendapat tambahan dua Upapati, Pamegat Pamwatan Dang Acarya Ragawijaya, dan Pamegat Kandamuhi Dang Acarya Mahanata.



    Sementara agama Boddha masih satu pembesar yaitu Dharmadaksa Kasogatan Dang Acarya Ginantaka.



    Melihat perbandingan jumlah yang tidak seimbang, dapatlah kita simpulkan bahwa pada jaman awal Majapahit, agama Boddha yang sebelumnya pernah besar pada masa Kertanagara, berubah sangat kecil atau dikecilkan masa awal Majapahit.



    Inilah barangkali yang menyebabkan Majapahit kelak lebih sohor sebagai kerajaan berhaluan Hindu —lebih tepatnya Siwa.



    Jaman Pemerintahan Sri Jayanagara



    Ketika Sri Jayanagara berkuasa, 1309-1328M, agama Boddha belum juga berupapati, masih dipemukai seorang Dharmadhaksa Kasogatan yaitu Dang Acarya Kanakamuni yang menggantikan kedudukan  Dang Acarya Ginantaka.



    Sementara agama Siwa tetap memiliki 5 hakim agama dipimpin Dharmadaksa Kasaiwan Dang Acarya SMARANATHA.



    Prapanca Baru Muncul Jaman Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi



    Prapanca baru muncul dalam Prasasti Berumbung yang dikeluarkan maharani Tribhuwanatunggadewi bertarikh 1329M.  Dalam prasasti ini muncul seorang tokoh yang menjadi upapati atau hakim agama Boddha yaitu Sang Pamegat Kandangan Rarai [muda] Dang Acarya Munindra.



    Menurut penafsiran Siwi Sang, Sang Pamegat Kandangan Rarai DANG ACARYA MUNINDRA yang tercantum dalam prasasti Berumbung adalah nama asli PRAPANCA.



    Dang Acarya Munindra  digambarkan dalam prasasti sebagai sosok yang mahir dalam pengetahuan kitab sastra Bodha. Tentu itu dapat dipahami karena merupakan putra dari seorang Pemuka agama Boddha kerajaan Majapahit atau putra Dharmadaksa Kasogatan Dang Acarya Kanakamuni.



    Perkembangan agama Boddha di Kerajaan Majapahit masa pemerintahan Hayam Wuruk



    Pada 1355-1359M, agama Boddha memiliki dua hakim agama, dengan diangkatnya Sang Pamegat Kandangan Atuha Dang Acarya Kartaraja.



    Prasasti Nglawang, 1355M, di Bangil, mencatat tiga pembesar agama Boddha, yaitu Dharmadaksa Kasogatan Sang Arya Adiraja Dang Acarya Kanakamuni dibantu Sang Pamegat Kandangan Atuha Dang Acarya Kartaraja dan Sang Pamegat Kandangan Rarai DANG ACARYA  SAMANTABHADRA.



    Menurut Slamet Muljana, sejak awal, Raja Hayam Wuruk bercita-cita menghidupkan agama Tripaksa di kerajaan Majapahit, yaitu Siwa, Boddha, dan Brahma.



    Tapi memang pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, agama Siwa tetap menjadi agama negara yang terkemuka. Itu dapat dibuktikan dengan adanya 5 upapati dalam agama Siwa.



    Pada prasasti Trawulan, 1358M, Darmadaksa Kasogatan Kanakamuni ditulis  dengan nama Rungkawi Padelegan Dang Acarya Nadendra. Upapati Kandangan Atuha Kartaraja ditulis dengan nama Dang Acarya Srighna. Sementara Upapati Kandangan Rarai ditulis dengan nama DANG ACARYA SAMANTABHADRA.



    Kemudian pada prasasti Bendosari, 1360M, ayah Prapanca kembali ditulis sebagai Sang Arya Adiraja Dang Acarya Kanakamuni.



    Dharmadaksa Kasogatan kerajaan Majapahit  tahun 1358M adalah Rungkawi Padelegan Dang Acarya Nadendra.



    Sementara pada tahun 1360M, Dharmadaksa Kasogatan kerajaan Majapahit bernama Sang Arya Adiraja Dang Acarya Kanakamuni.



    Sebagai catatan, nama Dang Acarya KANAKAMUNI sudah muncul pada tahun 1355M dalam prasasti Nglawang.



    Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa Dang Acarya Nadendra, Sang Arya Adiraja, dan Dang Acarya Kanakamuni merupakan satu tokoh yang sampai tahun 1360M masih menjabat sebagai pemuka atau pemimpin agama Boddha kerajaan Majapahit atau sebagai seorang Dharmadaksa Kasogatan.



    Begitu pula Dang Acarya Munindra alias Samantabhadra adalah nama asli dan nama gelar yang dimiliki  tokoh yang kelak dalam Kakawin Negarakertagama dikenal sebagai Prapanca.



    Menurut Siwi Sang, Prapanca tidak pernah menjabat sebagai pemimpin atau pemuka agama Boddha kerajaan Majapahit atau tidak pernah menjabat sebagai seorang Dharmadaksa Kasogatan.



    Sementara prof Slamet Muljana menafsirkan bahwa Prapanca pada tahun 1359M atau saat mengikuti raja Hayam Wuruk ke Lumajang telah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai seorang Dharmadaksa Kasogatan kerajaan Majapahit.



    Padahal, pada tahun 1360M, yang menjabat sebagai Dharmadaksa Kasogatan atau pemimpin agama Boddha kerajaan Majapahit adalah Kanakamuni, ayah Prapanca.



    Kekeliruan menafsir sejarah Prapanca terjadi karena Slamet Muljana tidak dapat membedakan antara PEMBESAR agama dan PEMIMPIN atau PEMUKA agama kerajaan Majapahit.



    Pembesar agama belum tentu pemimpin agama kerajaan. Tetapi pemimpin agama kerajaan sudah pasti pembesar agama.



    Prapanca alias Samantabhadra alias Munindra hanya salah satu pembesar agama Boddha,  yaitu menjadi Sang Pamegat Kandangan Rarai, 1329-1360M. Penulis Kakawin Nagarakertagama ini tidak pernah menjadi pemimpin agama Boddha atau Dharmadhaksa ring Kasogatan.



    Kiranya Slamet Muljana telah kurang cermat dalam menafsirkan  Kakawin Nagarakertagama pupuh 17 bait 7-9 tentang awal perjalanan Hayam Wuruk ke Lumajang  1359M yang diikuti Prapanca.



    Dalam pupuh itu meriwayatkan bahwa  keberadaan Prapanca mengikuti perjalanan raja Hayam Wuruk karena menggantikan kedudukan ayahnya.



    Prof. Slamet Muljana menafsirkan bahwa itu sebagai pergantian jabatan Dharmadaksa Kasogatan dari Kanakamuni kepada Prapanca atau Samantabhadra.



    Padahal tidak demikian adanya.



    Maksud sebenarnya adalah Sri Baginda Hayam Wuruk memilih atau mengijinkan Prapanca sebagai salah satu pembesar agama kerajaan Majapahit yang ikut rombongan mengganti tugas Dharmadaksa Kasogatan Kanakamuni.



    Pergantian peran itu bukan dalam arti pergantian jabatan, melainkan pergantian tugas mengiringi raja.



    Sebagai seorang Dharmadaksa Kasogatan atau pemimpin agama Boddha kerajaan Majapahit, sudah seharusnya selalu mengiringi perjalanan penting yang dilakukan raja Hayam Wuruk.



    Tetapi, sebagaimana riwayat dalam Kakawin Negarakertagama, jelang keberangkatan raja Hayam Wuruk ke Lumajang tahun 1359M,  Prapanca  punya keinginan yang sangat besar untuk berkesempatan melakukan perjalanan keliling negeri. Hal itu karena Prapanca sedang menyusun suatu naskah yang berkaitan dengan desa desa di Majapahit. 



    Prapanca kemudian merayu supaya diperkenankan raja, dengan alasan mencari bahan penulisan kakawin tentang desa desa.



    Sebagaimana termuat dalam bait 9, raja Hayam Wuruk pada ahirnya merestui Prapanca mengganti tugas ayahnya, mengiringi rombongan bersama para pembesar agama lainnya.



    Prapanca pada tahun 1359M atau saat mengikuti rombongan raja Hayam Wuruk ke Lumajang tidak menjabat sebagai Dharmadaksa Kasogatan menggantikan ayahnya, diperkuat data dan fakta sejarah bahwa nama Kanakamuni masih tertulis sebagai Dharmadaksa Kasogatan dalam Prasasti Bendosari bertarikh 1360M atau setahun setelah perjalanan ke Lumajang.



    Jika ayah Prapanca, tidak lagi menjabat Dharmadaksa Kasogatan karena sudah digantikan Prapanca, maka nama Kanakamuni tidak muncul dalam prasasti bertarikh 1360M.



    Jadi kesimpulan ini sangat kuat didukung sumber prasasti, bahwa pada 1359M, saat mengiringi raja Hayam Wuruk ke Lumajang, Prapanca masih sebagai Sang Pamegat Kandangan Rarai dan Dang Acarya Kanakamuni masih sebagai Dharmadaksa Kasogatan kerajaan Majapahit.



    Pada waktu raja Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling negeri menuju Lumajang, Sang Pamegat Kandangan Atuha masih dijabat Dang Acarya Kartaraja. Tokoh itu digambarkan dalam Kakawin Nagarakertagama sebagai sahabat karib Prapanca.



    Hubungan Prapanca dengan Kartaraja adalah sahabat kerja, sama-sama pembantu Dharmadaksa Kasogatan. Ketika rombongan tiba di Keta, Kartaraja wafat. Prapanca sangat berduka karenanya. Peristiwa ini kelak ditulis secara kusus oleh Prapanca dalam kakawin Decawarnana atau Negarakertagama Pupuh 29 bait 1-3. 



    Hayam Wuruk tidak segera mengangkat pengganti Kartaraja. Agama Boddha kembali satu upapati dan satu Dharmadaksa, hanya Samantabadra dan Kanakamuni.



    Sementara agama Siwa tetap lima upapati dan satu Dharmadaksa.



    Prapanca meninggalkan istana Majapahit



    Prasasti Sekar 1366M mencatat dua pembesar agama Boddha yaitu Dang Acarya Nadendra Sang Arya Adiraja Kanakamuni sebagai Dharmadaksa Kasogatan, Dang Acarya Samatajana Sang Arya Samadiraja sebagai Pamegat Kandangan Atuha.



    Nama Pamegat Kandangan Rarai tidak tampil pada Prasasti 1366M.



    Dengan kata lain, Prapanca tidak muncul dalam prasasti 1366M.



    Hilangnya nama Sang Pamegat Kandangan rarai yang dijabat oleh Samantabhadra atau Prapanca dapat dijelaskan dengan menautkan sumber berita dari Kakawin Nagarakertagama. Bahwa sejak tahun 1365M, Prapanca telah neinggalkan istana kerajaan Majapahit. Saat merampungkan penyusunan Kakawin Nagarakertagama tahun 1365M, Prapanca sudah berada di luar istana yaitu di suatu daerah bernama Kamalasana.



    Penafsiran Slamet Muljana, pada sekitar awal 1365M, terjadi pergolakan antara pemuka Siwa dengan Boddha. Dang acarya Munindra alias dang acarya Samantabadra tersingkir dari keraton menuju desa Kamalasana menjadi petapa, menggubah kakawin Decawarnanna atau Negarakertagama, dan mengambil nama samaran: Prapanca.



    Sepeninggal Kartaraja dan Prapanca, juga Gajahmada, Majapahit hanya memiliki Dharmadaksa Kasogatan dan satu hakim agama. Dua pembesar itu adalah Dang acarya Nadendra Sang Arya Adiraja alias Kanakamuni dan Sang Pamegat Kandangan Atuha Dang Acarya Samantajana Sang Arya Samadiraja.



    Jadi, sampai pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, perkembangan agama Siwa  di kerajaan Majapahit lebih diutamakan daripada agama Boddha, terbukti dengan adanya perbedaan jumlah pembesar dua agama negara tersebut.



    Bagaimanapun kerajaan Majapahit dibangun oleh Raden Wijaya yang masih keturuna  asli Sang Putra Girindra Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi Ken Arok yang menurut pemberitaan Serat Pararaton mengaku sebagai titisan Bhatara Siwa.

    ============

    SIWI SANG


    penulisan sejarah tidak berahir tanda titik

    3 comments:

    1. apa betul mas, Gajahmada putra dari istri selir R. Wijaya ?, bahkan Cak Nun dalam salah satu ceramahnya menyampaikan, bawa Gajahmada itu ayahnya Prabu Hayam Wuruk, dia Islam, meninggal diusia sangat sepuh dll

      ReplyDelete
      Replies
      1. menurut penafsiran saya, Gajah Mada masih berdarah keluarga raja Majapahit yaitu merupakan putra Raden Wijaya dari isteri selir.

        Kalau Cak Nun berpendapat bahwa Gajah Mada ayahnya raja Hayam Wuruk, saya tidak sepakat. Karena berdasarkan sumber prasasti dan kakawin Nagarakertagama, dan Serat Pararaton, disimpulkan bahwa Hayam Wuruk itu putra sulung pasangan Sri Tribhuwanatunggadewi dan raja Tumapel I Sri Kertawardhana. Hayam Wuruk punya seorang adik kandung perempuan yaitu ratu Pajang Dyah Nertaja [ibu dari Sri Wikram,awardhana]

        Delete
    2. menurut penafsiran saya, Gajah Mada masih berdarah keluarga raja Majapahit yaitu merupakan putra Raden Wijaya dari isteri selir.

      Kalau Cak Nun berpendapat bahwa Gajah Mada ayahnya raja Hayam Wuruk, saya tidak sepakat. Karena berdasarkan sumber prasasti dan kakawin Nagarakertagama, dan Serat Pararaton, disimpulkan bahwa Hayam Wuruk itu putra sulung pasangan Sri Tribhuwanatunggadewi dan raja Tumapel I Sri Kertawardhana. Hayam Wuruk punya seorang adik kandung perempuan yaitu ratu Pajang Dyah Nertaja [ibu dari Sri Wikram,awardhana]

      ReplyDelete

    Literatur

    Taktik Menulis

    Banjarnegara