Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Breaking News

    Sunday, August 25, 2013

    Jenggala Dan Panjalu




    PADA MULANYA pembelahan kerajaan Medang Daha bertujuan mulia, menjaga tanah Jawa dari segala sengketa tahta akibat perselisihan antar keyakinan beragama. Padamulanya sangat mulia begitu. Maharaja Erlangga yang beragama Wisnu dikenal sebagai penguasa besar yang berhubungan baik dengan para penganut berbagai agama seperti Siwa, Brahma, Boddha, juga agama Jawa. Tidak tertutup kemungkinan berhubungan baik pula dengan para pemuka agama Islam yang mukim di tanah Jawa. Erlangga tidak semena-mena menghantam pemeluk agama lain, maharaja yang suka menjaga tata tentrem keamanan negara dan kawulanya. 



    Memang demikianlah sepantasnya sikap yang harus dimiliki penguasa negara, tidak menyemena-menakan kekuasaannya, tidak asal main hukum, karena selain berkuasa atas hukum, bertindak juga sebagai penegak hukum, penegak keadilan, bijak dalam setiap tindak, tidak suka menjahili yang dirajainya. Maharaja Erlangga legawa membagi kerajaannya, Panjalu yang beribukota di Daha ditempati Samarawijaya sementara Janggala yang beribukota di Kutaraja ditempati Mapanji Garasakan.

    Akan tetapi pembelahan kerajaan Erlangga justru menimbulkan sikap saling menaklukkan antara Panjalu dan Janggala. Masing-masing berkeinginan menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Panjalu dan Janggala terlibat perang saudara. Para sejarawan meyakini bahwa yang kemudian unggul dalam perang saudara itu adalah Mapanji Garasakan. Dugaan itu berdasarkan penemuan prasasti-prasasti kerajaan Janggala bertarikh selepas Erlangga lengser keprabon.
    Berdasarkan prasasti, yang berkuasa di Jenggala setelah masa Erlangga adalah Sri Maharaja Mapanji Garasakan, bertahta mulai 1042M sampai 1052M. Sri Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes, bertahta pada 1052M sampai 1059M. Sri Maharaja Rake Halu Pu Juru Samarotsaha Karnnakesana Ratnasangkhana Kirttishinga Jayantaka Tunggadewa, bertahta mulai 1059M. Mapanji Alanjung Ahyes adalah adik kandung Mapanji Garasakan. Keduanya merupakan putra Erlangga dari istri selir. Sementara Sri Samarotsaha adalah putra dari Sri Samarawijaya.  Sri Samarotsaha berkuasa sejak tahun 1059M sampai 1089M dengan pusat pemerintahannya di Jenggala.
    Nama Kerajaan Janggala termuat juga dalam naskah-naskah sastra yang berkembang pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Pranitiradya. Dalam naskah-naskah tersebut, raja pertama Janggala bernama Lembu Amiluhur, putra Resi Gentayu alias Erlangga. Lembu Amiluhur ini juga bergelar Jayanegara. Ia digantikan putranya yang bernama Panji Asmarabangun, yang bergelar Prabu Suryawisesa.  Panji Asmarabangun inilah yang sangat terkenal dalam kisah-kisah Panji. Istrinya bernama Galuh Candrakirana dari Kediri. Dalam pementasan Ketoprak, tokoh Panji setelah menjadi raja Janggala juga sering disebut Sri Kameswara. Hal ini jelas berlawanan dengan berita dalam Smaradahana yang menyebut Sri Kameswara adalah raja Kadiri, dan Kirana adalah putri Janggala. 
    NAMA-NAMA raja yang berkuasa di Panjalu setelah Sri Samarawijaya bertahta pada 1042M, baru muncul kembali pada 1104M yaitu Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu, putra dari Alanjung Ahyes. Raja ini menggantikan kedudukan Sri Samarotsaha. Berkuasa di Panjalu Daha sejak tahun 1089M sampai sekitar 1117M dan setelah wafat digantikan Sri Bameswara Sakalabhuwana Tusthikarana Sarwaniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa berdasarkan prasasti Pikatan yang dikeluarkan atas namanya bertanggal 11 Januari 1117M. Sri Bameswara merupakan putra Sri Samarotsaha atau cucu Sri Samarawijaya. Sri Bameswara juga mengeluarkan prasasti Tangkilan bertanggal 14 Mei 1130M. Sri Bameswara diganti putranya yaitu Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusujanawatara Anindita Suhtrshinga Parakrama Uttunggadewa, berdasarkan prasasti Ngantang bertarikh 1135M. Sri Jayabhaya masih memerintah sampai 1159M sebagaimana namanya termuat dalam kakawin Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.

    Perang saudara antara Panjalu dan Janggala yang pecah setelah pembelahan kerajaan Erlangga berlangsung berlarut-larut. Pada masa Sri Jayabaya, dengan semboyan Panjalu Jayati alias Panjalu Menang, Panjalu unggul atas Jenggala, ibarat keunggulan Pandawa atas Kurawa dalam baratayuda. Itu terjadi pada 1135M berdasarkan prasasti Ngantang yang dikeluarkan Jayabhaya. Berita kemenangan besar itu diceritakan dalam prasasti Ngantang. Dalam prasasti itu, Sri Jayabhaya disebut sebagai titisan Dewa Wisnu atau Madhusujanawatara. Memang semua raja Panjalu menganut agama Wisnu sebagaimana Erlangga. Sementara raja-raja Jenggala lebih dikenal sebagai penganut agama Siwa. Karena itu, raja-raja Jenggala dikenal sebagai sang Girinata atau Girindra.

    Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.  Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178M, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.

    Akan tetapi setelah Jayabaya wafat akibat pemberontakan Rake Sirikan Sri Sarweswara pada tahun 1159M, tanah Jawa yang sebelumnya sempat bersatu, kembali bergolak, Panjalu dan Jenggala kembali berseteru, kembali pecah. Peristiwa perebutan tahta di Panjalu yang dilakukan Rake Sirikan Sri Sarweswara membikin keturunan Jenggala bangkit berupaya melepaskan diri dari kekuasaan Panjalu. Janggala kemudian memusatkan kekuatannya di timur gunung Kawi, di Kutaraja yang kelak menjadi ibukota Tumapel.

    Sri Jayabhaya lahir sekitar tahun 1100M dan wafat sekitar tahun 1159M. memiliki dua putra,  Sri Aryeswara dan Sri Sarweswara. Pada waktu Sri Jayabhaya masih bertahta, Sri Aryeswara menjabat sebagai mahamentri I hino atau sebagai putra mahkota sementara Sri Sarweswara menjabat sebagai mahamentri I Sirikan. Keduanya termasuk kelompok mahamentri Katrini. Dalam kelompok ini, yang berposisi tertinggi atau tepat dibawah raja adalah Rake Hino. Akan tetapi setelah Sri Jayabhaya wafat, Rake Sirikan Sri Sarweswara naik tahta secara tidak sah. Seharusnya yang naik adalah Rake Hino Sri Aryeswara.

    Pada tanggal 23 September 1159M, Sri Sarweswara mengeluarkan prasasti padelegan II dan mengambil nama abhiseka Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Sarweswara Janardhanawatara Wijaya Agrajasama Singhanadani Waryawirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa. Raja ini juga mengeluarkan prasasti Kahyunan bertanggal 23 Pebruari 1161M.

    Kemudian pada tanggal 23 Maret 1171M, berdasarkan prasasti Angin, yang menjadi raja Panjalu adalah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara Madhusujanawatara Arijayamukha. Sangat mungkin pula Sri Aryeswara naik tahta setelah merebut dari Sri Sarweswara.

    Sri Aryeswara menurunkan Sri Kroncaryadhipa sementara Sri Sarweswara menurunkan Sri Kameswara dan Kertajaya. Setelah Sri Aryeswara wafat, yang menjadi raja Panjalu adalah Sri Kroncaryadhipa. Pada tanggal 19 Nopember 1181M, Sri Kroncaryadhipa mengeluarkan prasasti Jaring dan mengambil gelar abhiseka Sri Maharaja Sri Kroncaryadipa Bhuwanapalaka Parakrama Anindita Digjaya Uttunggadewa Sri Gandra. Putra Sri Aryeswara ini hanya bertahta sekitar 4 tahun karena pada tanggal 11 September 1185M, berdasarkan prasasti Ceker, digantikan putra sulung Sri Sarweswara yaitu Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa. 

    Kameswara disebut dalam kakawin Smaradahana disetarakan sebagai Dewa Kama, berpermaisuri Sasi Kirana, putri raja Jenggala. Dapat dikatakan pada tahun 1185M terjadi rekonsiliasi antara Panjalu dengan Jenggala. Itu dibuktikan dengan berita perkawinan antara raja Panjalu Kameswara dengan putri Jenggala Sasi Kirana. Pernikahan itu sama artinya dengan upaya perdamaian. Hanya dalam berita babad Tanah Jawa dan beberapa karya sastra Jawakuna, Sri Kameswara disebut raja Jenggala dan dikenal pula sebagai Panji Asmarabangun, sementara Sasi Kirana disebut sebagai candra Kirana,  putri raja Panjalu. Berita dalam cerita babad ini bertentangan dengan catatan prasasti maupun Kitab Smaradahana yang ditulis Mpu Dharmaja pada masa pemerintahan Sri Kameswara. Hanya kisah percintaan antara Panji Asmarabangun raja Jenggala dengan Candra Kirana, putri raja Panjalu telanjur diyakini banyak orang, bahkan menjadi inspirasi dari cerita panji. Meski demikian dua sumber sejarah yang bertentangan itu tetap mengandung kebenaran sejarah, bahwa Sri Kameswara menikah dengan Sasi Kirana, meski disebut dengan nama lain, kedua tokoh itu benar-benar ada, bukan fiktif. Kiranya yang lebih dipercaya adalah sebagaimana termuat pada Prasasti Ceker maupun kitab Smaradahana.

    PERNIKAHAN antara Sri Kameswara dengan Sasi Kirana rupanya tidak mampu menghentikan permusuhan antara Panjalu dengan Jenggala. Ini dibuktikan ketika Sri Kertajaya naik tahta pada awal 1194M menggantikan Sri Kameswara, peperangan kembali pecah. Sri Kertajaya adalah adik Sri Kameswara. Keduanya merupakan putra Rakai Sirikan Sri Sarweswara. Keduanya juga termasuk cucu Sri Jayabhaya. Sebagaimana telah diuraikan bahwa Sri Kameswara memiliki permaisuri Sasi Kirana, putri Raja Jenggala. Ketika Sri Kameswara wafat, seharusnya yang mendaki tahta di Daha adalah putra mahkota atau putra Sri Kameswara dari Sasi Kirana. Itu artinya darah Jenggala berhak menduduki tahta Daha. Cucu raja Jenggala yang berhak naik tahta Panjalu Kediri, bukannya Sri Kertajaya. Akan tetapi Sri Kertajaya mengambilalih posisi itu dengan naik tahta menggantikan kakaknya. Inilah yang membikin pihak Jenggala di Kutaraja sangat kecewa dan kemudian menggempur Daha karena menganggap Sri Kertajaya telah membuka kembali pintu permusuhan antara Panjalu dengan Jenggala yang sesungguhnya telah mulai ditutup dengan adanya perkawinan antara Sri Kameswara dengan Sasi Kirana. 

    Raja Jenggala yang pada awal tahun 1194M menggempur Panjalu Kediri adalah Sri Maharaja Girindra,  ayah Sasi Kirana.  Raja Jenggala ini disebut pula sebagai Sang Girinata atau Girindra, raja yang menganut agama Siwa. Girindra maupun Girinata artinya raja gunung. Sang Girinata juga sebutan lain bagi Dewa Siwa.

    Selain memiliki putri bernama Sasi Kirana, Sri Maharaja Girindra ini juga memiliki seorang putra dari istri selir yang dikenal Pararaton sebagai Ken Arok. Negarakertagama menyebutnya sebagai Ranggah Rajasa Sang Putra Girinata atau sri girindratmasunu yang lahir ke dunia tanpa ibu. Sudah barang tentu tak ada manusia yang lahir seperti itu, lahir bukan dari rahim seorang ibu. Perihal riwayat Ken Arok akan dipaparkan di belakang. Yang pasti ketika Sri Maharaja Girindra menggempur Panjalu Daha, usia Ken Arok sekitar 12 tahun —berdasarkan berita Negarakertagama yang menyebut kelahiran Ranggah Rajasa pada tahun 1182M.

    Ketika naik tahta Sri Kertajaya mengambil gelar abhiseka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa. Sebagaimana telah dipaparkan bahwa raja Jenggala menginginkan Daha dipegang darah Sasi Kirana, maka mendengar Sri Kertajaya naik tahta, kekuatan Jenggala di Kutaraja berderap ke barat, melintasi pegunungan Kawi, menggempur Panjalu Kadiri. Kekuatan Panjalu Kadiri terdesak dan Raja Kertajaya mengungsi ke barat sungai Brantas bersama sisa pasukan yang dipimpin Senapati Tunggul Ametung, menuju Katandan Sakapat di Kalangbrat, Tulungagung sekarang.

    Pada waktu itu daerah Kalangbrat terletak di barat sungai Ngrawa sampai lereng gunung Wilis, sampai daerah Wonorejo ke selatan sampai Kamulan atau sungai Ngasinan. Daerah itu, terutama Kamulan memang sangat cocok menjadi tempat berkubu, daerah yang dilingkungi benteng alam berupa bukit batu kokoh, cocok sekali jika Sri Kertajaya mengungsi ke sana, apalagi pada waktu itu daerah Kamulan dikenal sebagai Parahyangan atau tempat suci yang dilindungi para pandita. Daerah itu —persisnya Desa Baru— juga pernah dijadikan benteng pertahanan Erlangga pada tahun 1030M menjelang penyerbuannya atas kerajaan Hasin.

    Pecahnya peperangan itu tersirat dalam Prasasti Kamulan bertarikh 31 Agustus 1194M atau bulan Palguna, ketujuh, tahun saka 1116. Disebutkan dalam prasasti bahwa Raja Kertajaya tersingkir dari istananya akibat serbuan musuh dari arah timur —penyerbuan itu terjadi sekitar lima bulan sebelum keluarnya Prasasti Kamulan. 

    Kedatangan musuh dari arah timur sebagaimana tertulis dalam prasasti Kamulan semakin menguatkan dugaan bahwa pusat ibukota Jenggala memang di timur gunung Kawi, tepatnya di Kutaraja, bukan di Kahuripan atau utara gunung Penanggungan. Kahuripan ke arah Daha cenderung mengarah ke selatan. Jadi jika Sri Kertajaya mendapat serangan dari arah Kahuripan, yang tepat mendapat serangan musuh dari utara bukan dari timur.

    Tergusurnya Sri Kertajaya dari keraton Daha menuju Kalangbrat atau Kamulan, lalu membangun kekuatan di tempat lain, menyiapkan serangan balik, mirip dengan kisah yang pernah dialami Erlangga ketika tersingkir dari Watan Mas menuju Patakan di utara Penanggungan akibat serbuan dari Lodoyong pada 1032M. Dan sebagaimana yang pernah dilakukan Erlangga atas Lodoyong, Sri Kertajaya pantang menyerah. Selama dalam pengungsian, Sri Kertajaya menjadikan daerah Kalangbrat sebagai keraton sementara Panjalu. Bersama sisa pasukan dan para pendeta serta segenap penduduk Kamulan, Senopati Tunggul Ametung giat menggalang kekuatan  merencanakan serangan balik.

    Pada waktu itu Sri Kertajaya dipandang sebagai titisan Dewa Wisnu sebagaimana para leluhurnya.  Nama gelar Triwikramawatara yang dimilikinya mengandung arti titisan Wisnu, sebagaimana gelar Madhusujanawatara yang dimiliki Sri Jayabhaya dan Sri Aryeswara, atau Janardhanawatara yang dimiliki Sri Sarweswara. Dewa Wisnu dipercaya selalu menghadirkan ketentraman dunia dan tidak pernah gagal dalam menjalankan tugas di dunia. Sri Kertajaya, karena titisan Dewa Wisnu, percaya bahwa dirinya mampu memenangkan pertempuran melawan musuh. Karena itu keinginan untuk kembali menduduki tahta Daha tak pernah sirna.

    Maka masih dalam 1194M atau menjelang bulan ketujuh tahun saka 1116, setelah kekuatan terbangun kokoh, dengan semangat memberi pertolongan besar kepada Sri Maharaja Kertajaya, Senapati Tunggul Ametung menderapkan pasukannya ke timur, menembus Alas Lodaya menuju Turen atau Turyantapada, terus berderap ke arah Kutaraja, menggempur Kotaraja Jenggala, sampai kemudian berhasil menaklukkan kerajaan yang menganut agama Siwa di timur gunung Kawi itu. Raja Jenggala Sang Girinata tersingkir dari Kutaraja bersama sisa pengikutnya.

    Sri Kertajaya kembali ke keraton Kediri, meneruskan kepemimpinannya sebagai Maharaja Panjalu. Setelah Jenggala di Kutaraja jatuh, Sri Kertajaya dapat dikatakan berkuasa atas wilayah Panjalu dan Jenggala, sebagaimana yang pernah dicapai Sri Jayabhaya pada 1135M. Panjalu dan Jenggala bersatu dengan pusat pemerintahan di Kediri.

    ============= 
    SIWI SANG 

    No comments:

    Post a Comment

    Literatur

    Taktik Menulis

    Banjarnegara