Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Breaking News

    Wednesday, May 18, 2016

    PIKNIK SEJARAH DI TULUNGAGUNG



    INI benar benar menjalani waktu singkat nanging padat berisi. Dalam 3 jam berhasil mengunjungi 4 destinasi wisata sejarah terkenal di Tulungagung. Mulai museum wajakensis Tulungagung, candi Boyolangu, candi Sanggrahan, dan situs Goa Pasir. Semuanya berada di wilayah Tulungagung selatan.

    Kami berdua, saya dan Tjut Zakiyah Anshari, dari Sanggar kepenulisan Pena Ananda Club Tulungagung sekaligus Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi [RTIK] Tulungagung, berkesempatan menjadi Guide mendampingi dua orang dari Kementrian Komunikasi dan Informatika [Kemkominfo] RI, mbak Intan dan mbak Alief. Keduanya bersama rombongan Kemkominfo kebetulan sedang ada acara di Pondok Pesantren Al Azhaar Tulungagung terkait Agen Perubahan Informatika [API] dan pemanfaatan Internet CAKAP [Cerdas, Kreatif, dan Produktif].

    “Ini kita ke mana dulu?”

    “Waktu jalan jalan kami cuma tiga jam.”

    “Pak Siwi Sang punya ide?”

    “Kita ke Museum dulu. Museum Wajakensis Tulungagung. Selanjutnya ke candi Boyolangu atau Candi Gayatri. Dari sana kita dapat ke candi Sanggrahan atau Goa Selomangleng. Jika cukup waktu, kita menuju situs Goa Pasir. Lalu pulang.”

    Kami berembug sebelum mobil tancap gas. Setelah semua sepakat, kami segera berangkat dari arah Ponpes Al Azhaar Tulungagung menuju Museum Wajakensis Tulungagung yang terletak di selatan kota sejauh sekitar 4 km saja. Kami berangkat jam 08.15. Sekitar seperempat menit kemudian kami tiba di Museum.
    Prasasti Padlegan II di Museum Wajakensis Tulungagung


    Sabtu pagi, 7/5/2016. Museum Wajakensis Tulungagung pagi itu sepi. Tidak ada orang di pos penjaga. Hanya terlihat tiga orang tukang bangunan sedang bekerja mengecat dinding Museum. Pintu museum tutup terkunci.

    “Pak Andi belum datang?” tanya saya kepada seorang tukang bangunan. Pak Andi adalah salah seorang petugas museum. Dalam pikiran saya, museum pagi itu buka seperti hari biasa dan pak Andi tugas jaga.

    “Belum datang mas.”

    Kami berembug, apakah melanjutkan perjalanan menuju candi Boyolangu ataukah sementara di Museum. Kami memutuskan sementara waktu di museum melihat lihat koleksi di luar museum berupa jejeran 5 batu prasasti dan benda benda lainnya.

    Sembari melihat lihat, Tjut Zakiyah Anshari atau Bunda Zakyzahra Tuga menghubungi pak Haryadi pengelola Museum Wajakensis Tulungagung.

    “Pak Haryadi ternyata sedang kurang sehat dan sedang periksa ke dokter. Jadi tidak dapat ke museum,” kata Bunda Zakyzahra Tuga setelah menutup telepun.

    Saya pernah mendapat pesan dari pak Haryadi, jika ada tamu dari luar daerah yang ingin ke museum tapi museum tutup, supaya menghubungi beliau. Jika tidak sedang ada kegiatan penting, pak Haryadi bersedia membuka museum sebagai bentuk pelayanan di luar jam buka.

    Tapi pak Haryadi pagi itu sedang berhalangan. Ahirnya kami tidak berkesempatan melihat lihat koleksi di dalam ruangan museum Wajakensis Tulungagung. Ruangan yang sempit dengan koleksi melimpah. Kami sementara bertahan melihat lihat koleksi di luar saja. Kami ke pojok barat laut melihat batu prasasti Padlegan II.

    Prasasti Padlegan II merupakan salah satu koleksi Museum Wajakensis yang selama ini, menurut pak Haryadi, kerap dikunjungi para peneliti termasuk dari Universitas Indonesia. Prasasti ini masih terbaca meski ada sebagian yang sudah aus. Prasasti Padlegan II bertarikh 1081C/ 1159M. Prasasti Padlegan II belum banyak dikaji terutama para sejarawan Tulungagung. Padahal ini merupakan prasasti yang cukup penting bagi sejarah Tulungagung.

    Saya pernah membaca transkrip asli Prasasti Padlegan II. Saya juga sudah menuliskannya sekilas di www.siwisangnusantara.web.id. Karena itu saya sedikit ingat dan dapat menjelaskan sekilas ketika mbak Alief dan mbak Intan bertanya soal Prasasti Padlegan II.

    Saya sempat keliru mengatakan Prasasti Padlegan II dikeluarkan raja Sri Bameswara. Yang betul Sri Sarweswara. Dua nama maharaja Panjalu Kediri ini memang hampir sama. Ketika membahas sejarah, nama nama pararaja sangat penting. Jangan sampai keliru. Tapi kalau keliru ya segera diperbaiki.

    Prasasti Padlegan II 1081C/1159M dikeluarkan oleh maharaja Panjalu Kediri Sri Sarweswara. Berisi anugerah tambahan atau Pamuwuh dari Sri Sarweswara kepada penduduk Padlegan. Jauh sebelumnya, daerah Padlegan sudah ditetapkan sebagai desa Sima Perdikan yang memiliki beberapa hak istimewa di kerajaan Panjalu Kediri. Pada tahun 1038C/1116M, daerah Padlegan pernah mendapat anugerah dari seorang maharaja Panjalu Kediri yaitu Sri Bameswara. Prasasti yang dikeluarkan Sri Bameswara untuk wilayah Padlegan dikenal sebagai Prasasti Padlegan I. Sedang yang dikeluarkan maharaja Sri Sarwesswara dikenal sebagai Prasasti Padlegan II.

    Pada waktu penemuan di jaman kolonial Belanda, Prasasti Padlegan II dilaporkan berada di desa Pinggirsari distrik Tulungagung. Sekarang desa Pinggirsari berada di kecamatan Ngantru, Tulungagung. Karena itu, menurut saya, Prasasti Padlegan II sangat berkaitan dengan sejarah local Tulungagung, dapat menjadi bahan memperkaya kesejarahan Tulungagung. Dalam Prasasti Padlegan II menyebutkan nama nama daerah yang sama dengan yang tercantum dalam Prasasti Padlegan I.

    Saya dan Bunda Zakyzahra Tuga juga cerita kalau di Tulungagung sangat banyak situs dan peninggalan sejarah. Kami berdua sempat menyinggung soal Prasasti Lawadan yang penanggalannya menjadi landasan penentuan Hari Jadi Tulungagung.

    Dari selasar atau emperan, kami sempatkan mengintipi aneka koleksi di dalam ruangan Museum Wajakensis Tulungagung. Sekali lagi, ruangan museum terlalu sempit untuk menampung kekayaan Cagar Budaya Tulungagung. Pemerintah daerah harus secepatnya memertimbangkan pembangunan Museum Tulungagung yang lebih luas, lebih megah, ada perpustakaannya, ada wifi, dan tentu saja harus ada tempat untuk ngopi.

    Kami berada di Museum Wajakensis Tulungagung sekitar 25 menit saja. Kami potrat potret di sana. Sebelum meninggalkan lokasi, kami berempat melakukan satu upacara kusus, narsis poto dengan latar belakang tulisan Museum Wajakensis Tulungagung.

    di depan Museum Wajakensis Tulungagung

    Selanjutnya tempat kedua yang kami kunjungi adalah candi Boyolangu di dusun Dadapan desa Boyolangu kecamatan Boyolangu Tulungagung. Terletak di arah selatan Museum Wajakensis Tulungagung sekitar 6 km.

    Mobil carteran yang kami tumpaki melaju mulus di atas jalan mulus.

    Di tepi jalan raya Boyolangu atau sebelum perempatan pasar Boyolangu, terdapat pintu gerbang di barat atau kanan jalan bertuliskan CANDI GAYATRI.

    Mobil pengangkut kami belok kanan masuk gerbang melaju dengan kecepatan rendah karena masuk dusun. Sekitar 600 meter kemudian kami tiba di candi Boyolangu Tulungagung.

    Di candi Boyolangu kami bertemu dua orang yang selama ini dikenal suka blusukan ke berbagai situs sejarah. Namanya mas Widjatmiko dari Komunitas Peduli peninggalan Sejarah Kediri dan Majapahit di Tulungagung dan kang Gareng Penamas dari Komunitas Tapak Jejak Kerajaan.

    Kami ngobrol asik seputar candi Boyolangu dan latar belakang sejarahnya. Candi Boyolangu merupakan tempat pendharmaan Rajapatni dyah Gayatri, salah seorang permaisuri maharaja sekaligus pendiri kerajaan Majapahit Raden Wijaya.
    di Candi Boyolangu Tulungagung


    Kang Gareng Penamas dan kang Widjatmiko secara bergiliran menunjukkan dan menerangkan seputar candi Boyolangu seperti keberadaan dua angka tahun yang terukir di dua umpak batu di atas candi Boyolangu, latar belakang sejarah pembangunan Candi Boyolangu, sampai soal Arca Prajnaparamita yang kini berada di atas candi induk.

    Bagaimana penjelasan soal candi Boyolangu yang pada jaman Majapahit, berdasarkan naskah Kakawin Negarakertagama, menjadi satu tempat paling keramat dan terhormat di kerajaan Majapahit? Simak kisah selanjutnya.

    ====================
    SIWI SANG

    No comments:

    Post a Comment

    Literatur

    Taktik Menulis

    Banjarnegara