INI benar benar menjalani waktu singkat nanging padat berisi. Dalam 3 jam berhasil mengunjungi 4 destinasi wisata sejarah terkenal di Tulungagung. Mulai museum wajakensis Tulungagung, candi Boyolangu, candi Sanggrahan, dan situs Goa Pasir. Semuanya berada di wilayah Tulungagung selatan.
Kami berdua, saya dan Tjut Zakiyah
Anshari, dari Sanggar kepenulisan Pena Ananda Club Tulungagung sekaligus
Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi [RTIK] Tulungagung,
berkesempatan menjadi Guide mendampingi dua orang dari Kementrian
Komunikasi dan Informatika [Kemkominfo] RI, mbak Intan dan mbak Alief.
Keduanya bersama rombongan Kemkominfo kebetulan sedang ada acara di
Pondok Pesantren Al Azhaar Tulungagung terkait Agen Perubahan
Informatika [API] dan pemanfaatan Internet CAKAP [Cerdas, Kreatif, dan
Produktif].
“Ini kita ke mana dulu?”
“Waktu jalan jalan kami cuma tiga jam.”
“Pak Siwi Sang punya ide?”
“Kita ke Museum dulu. Museum Wajakensis
Tulungagung. Selanjutnya ke candi Boyolangu atau Candi Gayatri. Dari
sana kita dapat ke candi Sanggrahan atau Goa Selomangleng. Jika cukup
waktu, kita menuju situs Goa Pasir. Lalu pulang.”
Kami berembug sebelum mobil tancap gas.
Setelah semua sepakat, kami segera berangkat dari arah Ponpes Al Azhaar
Tulungagung menuju Museum Wajakensis Tulungagung yang terletak di
selatan kota sejauh sekitar 4 km saja. Kami berangkat jam 08.15. Sekitar
seperempat menit kemudian kami tiba di Museum.
Prasasti Padlegan II di Museum Wajakensis Tulungagung |
Sabtu pagi, 7/5/2016. Museum Wajakensis
Tulungagung pagi itu sepi. Tidak ada orang di pos penjaga. Hanya
terlihat tiga orang tukang bangunan sedang bekerja mengecat dinding
Museum. Pintu museum tutup terkunci.
“Pak Andi belum datang?” tanya saya
kepada seorang tukang bangunan. Pak Andi adalah salah seorang petugas
museum. Dalam pikiran saya, museum pagi itu buka seperti hari biasa dan
pak Andi tugas jaga.
“Belum datang mas.”
Kami berembug, apakah melanjutkan
perjalanan menuju candi Boyolangu ataukah sementara di Museum. Kami
memutuskan sementara waktu di museum melihat lihat koleksi di luar
museum berupa jejeran 5 batu prasasti dan benda benda lainnya.
Sembari melihat lihat, Tjut Zakiyah
Anshari atau Bunda Zakyzahra Tuga menghubungi pak Haryadi pengelola
Museum Wajakensis Tulungagung.
“Pak Haryadi ternyata sedang kurang sehat
dan sedang periksa ke dokter. Jadi tidak dapat ke museum,” kata Bunda
Zakyzahra Tuga setelah menutup telepun.
Saya pernah mendapat pesan dari pak
Haryadi, jika ada tamu dari luar daerah yang ingin ke museum tapi museum
tutup, supaya menghubungi beliau. Jika tidak sedang ada kegiatan
penting, pak Haryadi bersedia membuka museum sebagai bentuk pelayanan di
luar jam buka.
Tapi pak Haryadi pagi itu sedang
berhalangan. Ahirnya kami tidak berkesempatan melihat lihat koleksi di
dalam ruangan museum Wajakensis Tulungagung. Ruangan yang sempit dengan
koleksi melimpah. Kami sementara bertahan melihat lihat koleksi di luar
saja. Kami ke pojok barat laut melihat batu prasasti Padlegan II.
Prasasti Padlegan II merupakan salah satu
koleksi Museum Wajakensis yang selama ini, menurut pak Haryadi, kerap
dikunjungi para peneliti termasuk dari Universitas Indonesia. Prasasti
ini masih terbaca meski ada sebagian yang sudah aus. Prasasti Padlegan
II bertarikh 1081C/ 1159M. Prasasti Padlegan II belum banyak dikaji
terutama para sejarawan Tulungagung. Padahal ini merupakan prasasti yang
cukup penting bagi sejarah Tulungagung.
Saya pernah membaca transkrip asli Prasasti Padlegan II. Saya juga sudah menuliskannya sekilas di www.siwisangnusantara.web.id.
Karena itu saya sedikit ingat dan dapat menjelaskan sekilas ketika mbak
Alief dan mbak Intan bertanya soal Prasasti Padlegan II.
Saya sempat keliru mengatakan Prasasti
Padlegan II dikeluarkan raja Sri Bameswara. Yang betul Sri Sarweswara.
Dua nama maharaja Panjalu Kediri ini memang hampir sama. Ketika membahas
sejarah, nama nama pararaja sangat penting. Jangan sampai keliru. Tapi
kalau keliru ya segera diperbaiki.
Prasasti Padlegan II 1081C/1159M
dikeluarkan oleh maharaja Panjalu Kediri Sri Sarweswara. Berisi anugerah
tambahan atau Pamuwuh dari Sri Sarweswara kepada penduduk Padlegan.
Jauh sebelumnya, daerah Padlegan sudah ditetapkan sebagai desa Sima
Perdikan yang memiliki beberapa hak istimewa di kerajaan Panjalu Kediri.
Pada tahun 1038C/1116M, daerah Padlegan pernah mendapat anugerah dari
seorang maharaja Panjalu Kediri yaitu Sri Bameswara. Prasasti yang
dikeluarkan Sri Bameswara untuk wilayah Padlegan dikenal sebagai
Prasasti Padlegan I. Sedang yang dikeluarkan maharaja Sri Sarwesswara
dikenal sebagai Prasasti Padlegan II.
Pada waktu penemuan di jaman kolonial
Belanda, Prasasti Padlegan II dilaporkan berada di desa Pinggirsari
distrik Tulungagung. Sekarang desa Pinggirsari berada di kecamatan
Ngantru, Tulungagung. Karena itu, menurut saya, Prasasti Padlegan II
sangat berkaitan dengan sejarah local Tulungagung, dapat menjadi bahan
memperkaya kesejarahan Tulungagung. Dalam Prasasti Padlegan II
menyebutkan nama nama daerah yang sama dengan yang tercantum dalam
Prasasti Padlegan I.
Saya dan Bunda Zakyzahra Tuga juga cerita
kalau di Tulungagung sangat banyak situs dan peninggalan sejarah. Kami
berdua sempat menyinggung soal Prasasti Lawadan yang penanggalannya
menjadi landasan penentuan Hari Jadi Tulungagung.
Dari selasar atau emperan, kami sempatkan
mengintipi aneka koleksi di dalam ruangan Museum Wajakensis
Tulungagung. Sekali lagi, ruangan museum terlalu sempit untuk menampung
kekayaan Cagar Budaya Tulungagung. Pemerintah daerah harus secepatnya
memertimbangkan pembangunan Museum Tulungagung yang lebih luas, lebih
megah, ada perpustakaannya, ada wifi, dan tentu saja harus ada tempat untuk ngopi.
Kami berada di Museum Wajakensis
Tulungagung sekitar 25 menit saja. Kami potrat potret di sana. Sebelum
meninggalkan lokasi, kami berempat melakukan satu upacara kusus, narsis
poto dengan latar belakang tulisan Museum Wajakensis Tulungagung.
di depan Museum Wajakensis Tulungagung |
Selanjutnya tempat kedua yang kami
kunjungi adalah candi Boyolangu di dusun Dadapan desa Boyolangu
kecamatan Boyolangu Tulungagung. Terletak di arah selatan Museum
Wajakensis Tulungagung sekitar 6 km.
Mobil carteran yang kami tumpaki melaju mulus di atas jalan mulus.
Di tepi jalan raya Boyolangu atau sebelum
perempatan pasar Boyolangu, terdapat pintu gerbang di barat atau kanan
jalan bertuliskan CANDI GAYATRI.
Mobil pengangkut kami belok kanan masuk
gerbang melaju dengan kecepatan rendah karena masuk dusun. Sekitar 600
meter kemudian kami tiba di candi Boyolangu Tulungagung.
Di candi Boyolangu kami bertemu dua orang
yang selama ini dikenal suka blusukan ke berbagai situs sejarah.
Namanya mas Widjatmiko dari Komunitas Peduli peninggalan Sejarah Kediri
dan Majapahit di Tulungagung dan kang Gareng Penamas dari Komunitas
Tapak Jejak Kerajaan.
Kami ngobrol asik seputar candi Boyolangu
dan latar belakang sejarahnya. Candi Boyolangu merupakan tempat
pendharmaan Rajapatni dyah Gayatri, salah seorang permaisuri maharaja
sekaligus pendiri kerajaan Majapahit Raden Wijaya.
di Candi Boyolangu Tulungagung |
Kang Gareng Penamas dan kang Widjatmiko
secara bergiliran menunjukkan dan menerangkan seputar candi Boyolangu
seperti keberadaan dua angka tahun yang terukir di dua umpak batu di
atas candi Boyolangu, latar belakang sejarah pembangunan Candi
Boyolangu, sampai soal Arca Prajnaparamita yang kini berada di atas
candi induk.
Bagaimana penjelasan soal candi Boyolangu
yang pada jaman Majapahit, berdasarkan naskah Kakawin Negarakertagama,
menjadi satu tempat paling keramat dan terhormat di kerajaan Majapahit?
Simak kisah selanjutnya.
====================
SIWI SANG
====================
SIWI SANG
No comments:
Post a Comment