Hikayat Banjar dan Kota Waringin
adalah sebuah karya sastra sejarah yang berasal dari Kalimantan. Sejak lama
hikayat ini telah menarik perhatian para sarjana. Pada permulaan abad ke-19
Rafles sudah meminta sultan Pontianak mencarikan naskah ini. Sesudah itu
hikayan ini berkali kali menjadi sumber sejarah yang yang kaya bagi para
penulis sejarah Kalimantan. Hikayat ini pernah dua kali dijadikan bahan
pengkajian oleh dua orang sarjana Belanda untuk memperoleh gelar Ph.D. dari
universitas leiden. Kedua sarjana yang dimaksud ialah A.A. Cense dan J.J. Ras.
Pada tahun 1928 A.A. Cense sudah
membicarakan hikayat ini sebagai sumber sejarah [Cense, 1928]. J.J. Ras menerbitkan teks
hikayat ini serta diberi keterangan dan catatan yang sangat berguna [Ras,
1968]. Diberikan pula perbandingan berbagai cerita melayu dan jawa. Bahwa
hikayat ini dua kali dijadikan pengkajian Ph.D. sudah cukup membuktikan
pentingnya hikayat ini.
Naskah ini banyak sekali sampai
sepuluh jumlahnya. Di museum Jakarta saja [sekarang Perpustakaan Nasional] terdapat
delapan naskah. Disamping itu naskah hikayat ini juga terdapat di negeri Jerman
dan Inggris. Dari pengkajian A.A. Cense dan J. J. Ras ternyata bahwa naskah ini
dapat digolongkan dalam dua golongan besar, yaitu yang dinamakan J.J. Ras
resensi I dan resensi II. Kedua resensi ini pada pokoknya sama, tetapi
perbedaannya juga tampak. Resensi I lebih pendek, seolah olah satu ringkasan
dari resensi II. Gaya bahasanya juga lebih sederhana dan jelas. Resensi II
mempunyai gaya Bahasa yang agak bertele tele. Menurut J.J. Ras, resensi I
mungkin adalah naskah keraton, sedangkan resensi II mungkin adalah naskah
wayang.
Perbedaan yang lain ialah resensi
I memberikan perhatian yang kusus pada lukisan , adat istiadat di istana, serta
pemerintah. Mungkin perbedaan paling menonjol ialah silsilah dalam kedua
resensi ini. Dalam resensi I, masuknya Islam membuka lembaran baru dalam
sejarah negeri Banjar. Seterusnya cerita tentang keturunan raja Banjar yang
mula mula masuk Islam. Tetapi dalam resensi II, ceritanya berahir dengan
masuknya Islam ke dalam negeri Banjar [Ras, 1968;78-80].
Di bawah ini diberikan ringkasan
cerita dari resensi I seperti yang dioterbitkan oleh J.J. Ras.
RINGKASAAN CERITA
Tersebut perkataan seorang
saudagar keeling yang sangat kaya, mangkubumi namanya. Adapun saudagar ini
mempunyai seorang anak Ampu Jatmaka namanya. Dan dua orang cucu, masing masing
bernama Ampu Mandastana dan Lambu Mangkurat. Hatta beberapa lamanya, saudagar
mangkubumi pun sakit dan memberi pesan kepada anak cucunya supaya mencari
tempat yang baik untuk membuat negeri. Tempat yang baik itu mestilah tanahnya
yang hangat dan harum.
Setelah ayahnya wafat, ampu
jatmika pun berlayar pergi mencari tempat seperti yang dikatakan oleh ayahnya. Setelah
bersusah payah, dapat juga ia tempat itu. Maka membuat negerilah Ampu Jatmaka di
tempat itu serta menamainya nagara Dipa. Maka ia menamai dirinya Maharaja Di
Candi.
Maka Ampu Jatmaka pun menyuruh
membuat berhala kayu cendana dua laki istri. Berhala itu ditaruh dalam candi
dan disembah sebagai raja. Ampu Jatmaka sendiri setelah itu tidak berani
menamai dirinya sebagai raja, takut kalau kalau kena sumpah, karena dirinya
bukan berasal dari orang besar. Hatta Ampu Jatmaka pun memberi perintah
menundukkan beberapa daerah di sekitarnya. Apabila upeti upeti datang, Ampu
Jatmaka menyuruh membagikannya kepada segala menterinya. Susunan pemerintah
juga diatur. Yang berkuasa di dalam negeri ialah Aria Magatsari, di bawahnya
tumenggung, jaksa yang empat dan segala menteri. Setiap hari Ampu Jatmaka dihadap
oleh segala menteri di balairung. Hatta beberapa lamanya Ampu Jatmaka pun
menyuruh nahkoda lampung mengambil segala harta benda dan orang orang yang
ditinggalkan di negeri Keling dulu. Maka negeri Nagara Dipa pun makmurlah. Makanan
dan pakaian amat murah adanya.
Hatta beberapa lamanya, Ampu
Jatmaka ingin pula menggantikan berhala kayu cendana dengan berhala gangsa. Utusan
pun dikirim ke negeri cina untuk mengambil pandai berhala datang membuat
berhala gangsa. Maka Nagara Dipa pun bertambah tambahlah makmurnya. Pedagang
pedagang dari berbagai bangsa pun banyak berniaga disana.
Selama Ampu Jatmaka menjadi
maharaja, anak anaknya tidak pernah campur tangan dalam urusan pemerintahan.
Pemerintahan ditadbirkan oleh Aria Magatsari. Adapun istana maharaja itu diatur
seperti kraton Jawa. Pakaian juga cara jawa. Sekali peristiwa Ampu Jatmaka
menerangkan bahaya menurut pakaian negeri lain. Bahaya menanam lada [sahang] terlalu
banyak untuk didagangkan juga disebut.
Maka Ampu Jatmaka pun sakit payah
dan memberi pesan kepada kedua anaknya yang masing masing bernama Ampu
Mandastana dan Lambu Mangkurat. Hendaklah mereka berdua jangan menjadi raja
dalam negeri. Kalua mereka menjadi raja juga, negeri akan binasa. Ini adalah
sumpahnya. Sebaliknya mereka harus bertapa untuk mencari raja. Tentang segala
berhala itu, boleh dibuang ke dalam laut. Maka Ampu Jatmaka pun matilah.
Sesudah menyerahkan pemerintahan
kepada Aria Magatsari, Ampu Mandastana dan Lambu Mangkurat berdua pun masing
masing pergi bertapa. Lamanya mereka bertapa itu tiga tahun. Ahirnya Ampu
Jatmaka datang pada Lambu Mangkurat dalam mimpi dan memberitahu di mana dan
bagaimana dapat menemui bakal raja itu. Lambu Mangkurat lalu berbuat seperti
pesan ayahnya dalam mimpi. Maka bertemulah ia dengan putri Junjung Buih yang
timbul dari buih putih. Putri Junjung Buih lalu dibawa pulang dan dijaga dengan
baik oleh Lambu Mangkurat dua bersaudara.
Hatta beberapa lamanya, Lambu
Mangkurat menganjurkan supaya putri Junjung
Buih bersuami. Tetapi putri Junjung Buih hanya mau bersuamikan anak raja yang
diperoleh dari pertapaan. Tersebut pula perkataan dari dua anak Ampu Mandastana
yang sangat elok parasnya, seorang bernama Bambang Sukamarga dan seorang lagi
Bambang Patmaraga namanya. Pada suatu hari kedua anak Ampu Mandastana ini
bermain main di hadapan mahligai putri Junjung Buih. Putri Junjung Buih
menghadiahkan mereka bunga nagasari. Lambu Mangkurat mengetahui perkara ini dan
takut takut kalau salah seorang anak saudaranya ini akan kawin dengan putri Junjung
Buih. Maka terpaksalah ia menyembah kemenakannya. Untuk mencegah perkara ini
berlaku, ia mebunuh kedua orang kemenakannya. Ampu Mandastana suami istri, setelah
mengetahui kedua kemenakannya mati terbunuh, juga berbela [bunuh diri]. Maka
tetaplah Lambu Mangkurat memerintah dalam negeri bersama sama dengan orang
besarnya seperti Aria Magatsari, tumenggung Tanah Jawa, patih yang empat dan
lain lain. Maka Negara Dipa pun makmurlah.
Adapun Lambu Mangkurat sangat
sedih hatinya, karena putri Junjung Buih belum bersuami. Pada suatu malam Lambu
Mangkurat bermimpi ayahnya datang padanya lagi dan memberitahukan bahwa anak
raja yang diperoleh dari pertapaan ialah anak raja Majapahit yang bernama raden
putra. Adapun raja Majapahit itu, sesudah beroleh anak yang keluar dari matahari,
beroleh juga enam anak lainnya. Lambu Mangkurat pun berangkat ke Majapahit
dengan pengiring yang banyak sekali. Sesampai di Majapahit, Lambu Mangkurat
diterima dengan baik. Permintaan Lambu Mangkurat akan permintaan raden putra sebagai
suami putri Junjung Buih juga dikabulkan. Maka kembalilah Lambu Mangkurat ke
negerinya. Pesta besar besaran diadakan untuk mengawinkan putri Junjung Buih
dengan raden putra. Sebelum perkawinan dilangsungkan, sebuah suara gaib meminta
raden putra menerima mahkota dari langit. Mahkota itulah yang akan meresmikan
raden putra menjadi raja turun temurun. Hanya keturunannya yang diridoi alloh untuk
memakai mahkota ini. Maka pesta perkawinan pun berlangsung. Adapun nama raden
putra yang sebenarnya ialah raden suryanatha, artinya raja matahari.
Sesudah beberapa lama, maka putri
Junjung Buih pun hamil dan beranakkan seorang putra, raden Suryaganggawangsa
namanya. Tidak lama kemudian lahirlah putra yang lain, yang diberi nama raden
suryawangsa. Maka nama maharaja Suryanata pun mashurlah. Semua raja raja takluk
kepadanya. Raja Majapahit yang besar kerajaannya juga takut kepada maharaja Suryanata.
Maka beberapa lama maharaja Suryanata pun tahu diri akan kembali ke tempat
asalnya, lalu dipanggillah raja perempuan dan segala menteri. Kepada menterinya
Lambu Mangkurat dimintanya menjaga anak anaknya dengan baik dan diperingatkan
juga supaya jangan memakai adat negeri lain. Maka maharaja Suryanata pun gaiblah,
dan digantikan oleh anaknya, raden Suryaganggawangsa.
Adapun maharaja Suryaganggawangsa
itu belum beristri. Sesudah berkali kali didesak oleh Lambu Mangkurat, ahirnya
dia menjawab bahwa ia hanya mau beristrikan anak Dayang Diparaja. Tiada seorang
pun mengetahui siapa dia Dayang Diparaja atau tempat tinggalnya. Ahirnya dari seorang
yang berasal dari Singabana, Lambu Mangkurat tahu juga tempat tinggal Dayang
Diparaja. Orang tua Dayang Diparaja enggan berpisah dengan anaknya, tetapi Lambu
Mangkurat memaksa. Dayang Diparaja lalu dipersembahkan kepada maharaja Suryaganggawangsa.
Tetapi maharaja Suryaganggawangsa tidak mau menerima Dayang Diparaja. Ia hanya
mau menerima anak Dayang Diparaja dan bukan Dayang Diparaja sendiri. Dayang
Diparaja lalu dikawin oleh Lambu Mangkurat.
Hatta beberapa lamannya Dayang
Diparaja pun hamillah. Setelah empat belas bulan anak itu dalam kandungan masih
belum mau keluar, tetapi ia sudah dapat berkata kata. Katanya, ia hanya mau
keluar kalau badan sebelah kiri ibunya diiris. Terpaksalah Lambu Mangkurat
mengerjakan suruhan anak yang masih dalam kandungan itu.
BERSAMBUNG
sumber:
kutipan langsung dari buku SEJARAH KESUSASTERAAN MELAYU KLASIK karya Dr. Liaw Yock Fang
No comments:
Post a Comment