Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Saturday, February 13, 2016

    HIKAYAT BANJAR

    Hikayat Banjar dan Kota Waringin adalah sebuah karya sastra sejarah yang berasal dari Kalimantan. Sejak lama hikayat ini telah menarik perhatian para sarjana. Pada permulaan abad ke-19 Rafles sudah meminta sultan Pontianak mencarikan naskah ini. Sesudah itu hikayan ini berkali kali menjadi sumber sejarah yang yang kaya bagi para penulis sejarah Kalimantan. Hikayat ini pernah dua kali dijadikan bahan pengkajian oleh dua orang sarjana Belanda untuk memperoleh gelar Ph.D. dari universitas leiden. Kedua sarjana yang dimaksud ialah A.A. Cense dan J.J. Ras.

     

    Pada tahun 1928 A.A. Cense sudah membicarakan hikayat ini sebagai sumber sejarah  [Cense, 1928]. J.J. Ras menerbitkan teks hikayat ini serta diberi keterangan dan catatan yang sangat berguna [Ras, 1968]. Diberikan pula perbandingan berbagai cerita melayu dan jawa. Bahwa hikayat ini dua kali dijadikan pengkajian Ph.D. sudah cukup membuktikan pentingnya hikayat ini.

    Naskah ini banyak sekali sampai sepuluh jumlahnya. Di museum Jakarta saja [sekarang Perpustakaan Nasional] terdapat delapan naskah. Disamping itu naskah hikayat ini juga terdapat di negeri Jerman dan Inggris. Dari pengkajian A.A. Cense dan J. J. Ras ternyata bahwa naskah ini dapat digolongkan dalam dua golongan besar, yaitu yang dinamakan J.J. Ras resensi I dan resensi II. Kedua resensi ini pada pokoknya sama, tetapi perbedaannya juga tampak. Resensi I lebih pendek, seolah olah satu ringkasan dari resensi II. Gaya bahasanya juga lebih sederhana dan jelas. Resensi II mempunyai gaya Bahasa yang agak bertele tele. Menurut J.J. Ras, resensi I mungkin adalah naskah keraton, sedangkan resensi II mungkin adalah naskah wayang.

    Perbedaan yang lain ialah resensi I memberikan perhatian yang kusus pada lukisan , adat istiadat di istana, serta pemerintah. Mungkin perbedaan paling menonjol ialah silsilah dalam kedua resensi ini. Dalam resensi I, masuknya Islam membuka lembaran baru dalam sejarah negeri Banjar. Seterusnya cerita tentang keturunan raja Banjar yang mula mula masuk Islam. Tetapi dalam resensi II, ceritanya berahir dengan masuknya Islam ke dalam negeri Banjar [Ras, 1968;78-80].

    Di bawah ini diberikan ringkasan cerita dari resensi I seperti yang dioterbitkan oleh J.J. Ras.

    RINGKASAAN CERITA

    Tersebut perkataan seorang saudagar keeling yang sangat kaya, mangkubumi namanya. Adapun saudagar ini mempunyai seorang anak Ampu Jatmaka namanya. Dan dua orang cucu, masing masing bernama Ampu Mandastana dan Lambu Mangkurat. Hatta beberapa lamanya, saudagar mangkubumi pun sakit dan memberi pesan kepada anak cucunya supaya mencari tempat yang baik untuk membuat negeri. Tempat yang baik itu mestilah tanahnya yang hangat dan harum.

    Setelah ayahnya wafat, ampu jatmika pun berlayar pergi mencari tempat seperti yang dikatakan oleh ayahnya. Setelah bersusah payah, dapat juga ia tempat itu. Maka membuat negerilah Ampu Jatmaka di tempat itu serta menamainya nagara Dipa. Maka ia menamai dirinya Maharaja Di Candi.

    Maka Ampu Jatmaka pun menyuruh membuat berhala kayu cendana dua laki istri. Berhala itu ditaruh dalam candi dan disembah sebagai raja. Ampu Jatmaka sendiri setelah itu tidak berani menamai dirinya sebagai raja, takut kalau kalau kena sumpah, karena dirinya bukan berasal dari orang besar. Hatta Ampu Jatmaka pun memberi perintah menundukkan beberapa daerah di sekitarnya. Apabila upeti upeti datang, Ampu Jatmaka menyuruh membagikannya kepada segala menterinya. Susunan pemerintah juga diatur. Yang berkuasa di dalam negeri ialah Aria Magatsari, di bawahnya tumenggung, jaksa yang empat dan segala menteri. Setiap hari Ampu Jatmaka dihadap oleh segala menteri di balairung. Hatta beberapa lamanya Ampu Jatmaka pun menyuruh nahkoda lampung mengambil segala harta benda dan orang orang yang ditinggalkan di negeri Keling dulu. Maka negeri Nagara Dipa pun makmurlah. Makanan dan pakaian amat murah adanya.

    Hatta beberapa lamanya, Ampu Jatmaka ingin pula menggantikan berhala kayu cendana dengan berhala gangsa. Utusan pun dikirim ke negeri cina untuk mengambil pandai berhala datang membuat berhala gangsa. Maka Nagara Dipa pun bertambah tambahlah makmurnya. Pedagang pedagang dari berbagai bangsa pun banyak berniaga disana.

    Selama Ampu Jatmaka menjadi maharaja, anak anaknya tidak pernah campur tangan dalam urusan pemerintahan. Pemerintahan ditadbirkan oleh Aria Magatsari. Adapun istana maharaja itu diatur seperti kraton Jawa. Pakaian juga cara jawa. Sekali peristiwa Ampu Jatmaka menerangkan bahaya menurut pakaian negeri lain. Bahaya menanam lada [sahang] terlalu banyak untuk didagangkan juga disebut. 

    Maka Ampu Jatmaka pun sakit payah dan memberi pesan kepada kedua anaknya yang masing masing bernama Ampu Mandastana dan Lambu Mangkurat. Hendaklah mereka berdua jangan menjadi raja dalam negeri. Kalua mereka menjadi raja juga, negeri akan binasa. Ini adalah sumpahnya. Sebaliknya mereka harus bertapa untuk mencari raja. Tentang segala berhala itu, boleh dibuang ke dalam laut. Maka Ampu Jatmaka pun matilah. 

    Sesudah menyerahkan pemerintahan kepada Aria Magatsari, Ampu Mandastana dan Lambu Mangkurat berdua pun masing masing pergi bertapa. Lamanya mereka bertapa itu tiga tahun. Ahirnya Ampu Jatmaka datang pada Lambu Mangkurat dalam mimpi dan memberitahu di mana dan bagaimana dapat menemui bakal raja itu. Lambu Mangkurat lalu berbuat seperti pesan ayahnya dalam mimpi. Maka bertemulah ia dengan putri Junjung Buih yang timbul dari buih putih. Putri Junjung Buih lalu dibawa pulang dan dijaga dengan baik oleh Lambu Mangkurat dua bersaudara.

    Hatta beberapa lamanya, Lambu Mangkurat menganjurkan  supaya putri Junjung Buih bersuami. Tetapi putri Junjung Buih hanya mau bersuamikan anak raja yang diperoleh dari pertapaan. Tersebut pula perkataan dari dua anak Ampu Mandastana yang sangat elok parasnya, seorang bernama Bambang Sukamarga dan seorang lagi Bambang Patmaraga namanya. Pada suatu hari kedua anak Ampu Mandastana ini bermain main di hadapan mahligai putri Junjung Buih. Putri Junjung Buih menghadiahkan mereka bunga nagasari. Lambu Mangkurat mengetahui perkara ini dan takut takut kalau salah seorang anak saudaranya ini akan kawin dengan putri Junjung Buih. Maka terpaksalah ia menyembah kemenakannya. Untuk mencegah perkara ini berlaku, ia mebunuh kedua orang kemenakannya. Ampu Mandastana suami istri, setelah mengetahui kedua kemenakannya mati terbunuh, juga berbela [bunuh diri]. Maka tetaplah Lambu Mangkurat memerintah dalam negeri bersama sama dengan orang besarnya seperti Aria Magatsari, tumenggung Tanah Jawa, patih yang empat dan lain lain. Maka Negara Dipa pun makmurlah.

    Adapun Lambu Mangkurat sangat sedih hatinya, karena putri Junjung Buih belum bersuami. Pada suatu malam Lambu Mangkurat bermimpi ayahnya datang padanya lagi dan memberitahukan bahwa anak raja yang diperoleh dari pertapaan ialah anak raja Majapahit yang bernama raden putra. Adapun raja Majapahit itu, sesudah beroleh anak yang keluar dari matahari, beroleh juga enam anak lainnya. Lambu Mangkurat pun berangkat ke Majapahit dengan pengiring yang banyak sekali. Sesampai di Majapahit, Lambu Mangkurat diterima dengan baik. Permintaan Lambu Mangkurat akan permintaan raden putra sebagai suami putri Junjung Buih juga dikabulkan. Maka kembalilah Lambu Mangkurat ke negerinya. Pesta besar besaran diadakan untuk mengawinkan putri Junjung Buih dengan raden putra. Sebelum perkawinan dilangsungkan, sebuah suara gaib meminta raden putra menerima mahkota dari langit. Mahkota itulah yang akan meresmikan raden putra menjadi raja turun temurun. Hanya keturunannya yang diridoi alloh untuk memakai mahkota ini. Maka pesta perkawinan pun berlangsung. Adapun nama raden putra yang sebenarnya ialah raden suryanatha, artinya raja matahari.

    Sesudah beberapa lama, maka putri Junjung Buih pun hamil dan beranakkan seorang putra, raden Suryaganggawangsa namanya. Tidak lama kemudian lahirlah putra yang lain, yang diberi nama raden suryawangsa. Maka nama maharaja Suryanata pun mashurlah. Semua raja raja takluk kepadanya. Raja Majapahit yang besar kerajaannya juga takut kepada maharaja Suryanata. Maka beberapa lama maharaja Suryanata pun tahu diri akan kembali ke tempat asalnya, lalu dipanggillah raja perempuan dan segala menteri. Kepada menterinya Lambu Mangkurat dimintanya menjaga anak anaknya dengan baik dan diperingatkan juga supaya jangan memakai adat negeri lain. Maka maharaja Suryanata pun gaiblah, dan digantikan oleh anaknya, raden Suryaganggawangsa.

    Adapun maharaja Suryaganggawangsa itu belum beristri. Sesudah berkali kali didesak oleh Lambu Mangkurat, ahirnya dia menjawab bahwa ia hanya mau beristrikan anak Dayang Diparaja. Tiada seorang pun mengetahui siapa dia Dayang Diparaja atau tempat tinggalnya. Ahirnya dari seorang yang berasal dari Singabana, Lambu Mangkurat tahu juga tempat tinggal Dayang Diparaja. Orang tua Dayang Diparaja enggan berpisah dengan anaknya, tetapi Lambu Mangkurat memaksa. Dayang Diparaja lalu dipersembahkan kepada maharaja Suryaganggawangsa. Tetapi maharaja Suryaganggawangsa tidak mau menerima Dayang Diparaja. Ia hanya mau menerima anak Dayang Diparaja dan bukan Dayang Diparaja sendiri. Dayang Diparaja lalu dikawin oleh Lambu Mangkurat. 

    Hatta beberapa lamannya Dayang Diparaja pun hamillah. Setelah empat belas bulan anak itu dalam kandungan masih belum mau keluar, tetapi ia sudah dapat berkata kata. Katanya, ia hanya mau keluar kalau badan sebelah kiri ibunya diiris. Terpaksalah Lambu Mangkurat mengerjakan suruhan anak yang masih dalam kandungan itu. 

    BERSAMBUNG

    sumber:
    kutipan langsung dari buku SEJARAH KESUSASTERAAN MELAYU KLASIK karya Dr. Liaw Yock Fang

     



    No comments:

    Post a Comment