Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Breaking News

    Tuesday, March 5, 2013

    Membaca API SEJARAH





    Saya membaca buku karya Ahmad Mansur Suryanegara berjudul API SEJARAH: Buku yang akan mengubah Drastis pandangan anda tentang sejarah Indonesia, terbitan Salamadani cetakan kelima, 2012. Selain best seler dan mendapat IBF Award 2010 sebagai buku Islam terbaik kategori nonfiksi dewasa, buku dengan jumlah halaman 586 ini berkafer keren.



    Buku yang disisipi peta-peta kuna kekilafahan Islam, gambar uang Islam kuna di Nusantara, poto-poto para tokoh sejarah, dan gambar-gambar keren lainnya ini, semakin memenasarani ketika saya membuka halaman 107 dan 147. Di sana menerangkan Kerajaan Kalingga pimpinan Ratu Sima menganut Islam. Seanalisa dengan Buya Hamka. Bedanya, Suryanegara meyakini Kalingga di Jawabarat dan karena itu berani menyimpulkan bahwa kekuatan politik Islam Nusantara pertama kali berdiri di Jawabarat, setelah kedatangan rombongan utusan dagang dari Damaskus ke Kalingga pada 674M, bukan di Aceh, bukan di Demak, tetapi sekali lagi di Kalingga, di Sunda.

    Apalagi ketika menyadari, cukup lama Dinasti Genghis Khan memenasarani saya, buku API SEJARAH kiranya cocok menumpas rasa haus saya. Saya pernah membaca novel sejarah Genghis Khan yang meriwayatkan sejak masa bocah atau ketika masih bernama Temujin sampai ketika menyatukan klan-klan di dataran Mongolia hingga kesohor sebagai Genghis Khan yang ditulis orang barat sebagai sosok terbengis di jagadraya, pemusnah peradaban Islam. Karena penasaran, sebiadab apa Dinasti Genghis Khan itu —lantaran dianggap bangsa biadab sehingga kelak ada seorang Mongol bernama Mengki tertimpa nasib sengsara, dipancung telinga dan hidungnya oleh Raja agung Singhasari, Baginda Prabu Kertanegara— bagaimana pula pandangan Dinasti Genghis Khan terhadap agama-agama di dunia ini, dan terutama karena penasaran, benarkah Kubilai Khan menganut Islam, adakah utusan Kubilai Khan yang menjujug Samudra Pasai, kerajaan Islam pertama di Sumatera, maka saya segera membolak-balik buku API SEJARAH dan hidung saya tertuju ke halaman 146. Saya dipukaui tafsir sejarah Ahmad Mansur Suryanegara perihal Dinasti Gengis Khan, yang sekali lagi, oleh Barat ditulis sebagai bangsa penghancur peradaban, bangsa terbiadab di dunia ini.

    Suryanegara memandang perlunya memahami hubungan sejarah antara Turki Bani Saljuk dan Mongol Gengis Khan dalam hubungannya dengan pengaruh Islam di Nusantara sampai kelak ketika pasukan Kubilai Khan mendarat di Jawa menemui Kertanegara, bukannya menuju Samudra Pasai yang sudah Islam, atau sampai ketika armada laut Cheng Ho yang mengangkut para marinir Islam Dinasti Ming —kunjungan muhibah ke 36 negara yang dilakukan pada 1405-1433M—  tidak melakukan penaklukan atas Majapahit. Suryanegara mengatakan, pada awalnya, Gengis Khan yang berjaya berhasil melemahkan Turki Bani Saljuk. Namun pada abad 13M tiba-tiba bangkit kembali kesultanan Turki Ottoman di Angkara. Berbalik melepaskan kesultanan Turki dari kekuasaan Mongolia, bahkan memengaruhi Dinasti Gengis Khan memeluk Islam yang sepak terjang Dinasti ini dinarasikan mantap di bab pertama dan bab kedua.

    Meskipun buku API SEJARAH secara banyak sangat mantap, namun memiliki kelemahan analisa di beberapa titik, ada beberapa peristiwa sejarah penting  sengaja dilewati Suryanegara, seperti peran besar Demak dengan Pati Unusnya, Ratu Kalinyamat pendekar Jepara, Mataram dengan Sultan Agungnya, yang ketiga tokoh besar itu cuma dinarasikan sekilas-pintas.

    Sesungguhnya semua itu bermula dari analisa Suryanegara mengenai Kalingga. Suryanegara terlalu berani menganalisa bahwa Kalingga yang menganut Islam terletak di Jawabarat.


    Cipto Adisuryo

    Saya mengenal pertama Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Kontroversi pemikiran Islam di Indonesia terbitan Rosdakarya Bandung tahun 1990M. Mengenal melalui tulisan beliau diantaranya yang bertajuk ‘Nu: Sejarah dan Politik’, tanggapan atas ceramah Mahbud Djunaedi yang heran seheran-herannya, mengapa Cipto Adisuryo terlupakan?

    “Untuk menguraikan sejarah umat Islam ini,” kata Mahbud, “saya kira fer kalo kita berangkat dari awal dulu. Sebab apa? Sebab saya lihat dalam pencatatan sejarah nasional ada hal tidak adil. Bukan sekadar tidak adil, melainkan ada satu hal yang disembunyikan, yang saya maksud adalah awal tumbuhnya Sarikat Dagang Islam. Ada satu tokoh yang kurang ditampilkan termasuk oleh kita sendiri, padahal orang itu sangat penting sekali kedudukannya, yaitu Cipto Adisuryo.

    Awal penyembunyian fakta ini saya kira dari jaman colonial sendiri. Kerap saya tampilkan dalam berbagai forum. Mengapa saya katakan demikian? Di dalam penulisan-penulisan sejarah, kalo kita menyebut soal Sarikat Dagang Islam, kita hanya menyebut seorang tokoh, misalnya H. Samanhudi. Padahal, orang paling menentukan di situ bukan Samanhudi, melainkan Cipto Adisuryo. Saya berkepentingan dengan Adisuryo sebab dialah —menurut saya tokoh pers nasional nomer satu. Dialah yang pertama kali menerbitkan suratkabar berbahasa Indonesia walau belum sebaik sekarang. Akan tetapi, bagaimanapun, dia pelopor pers nasional Indonesia.

    Sayang sekali orang begini penting justru ditonjolkan pihak lain. Kita mungkin tahu ada satu buku yang sekarang dilarang —Ceramah Pak mahbud yang pemuncak NU ini terjadi pada 14 Desember 1987M di PPI-LPMM Uninus Bandung— yaitu Sang Pemula, ditulis saudara Pramoedya Ananta Toer yang kebetulan orang dulu. Dia menurut saya seorang pengarang besar, ketika pulang dari Pulo Buru, menulis serentetan tulisan, ada yang novel, ada juga yang nonnovel yang semua tulisan itu tidak beredar di Indonesia. Kalo di luar negeri pasti beredar, bahkan diterjemahkan dalam 11 bahasa asing. Novel yang diselesaikan di Pulo Buru oleh saudara Pram ini ada empat rangkaian: Bumi Manusia, Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca yang semuanya itu saya kira tidak akan bisa dibaca di sini —perkiraan ini didengar pemerintah dan untuk memelesetkan kiraan Mahbud, pemerintah kelak mengedarkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Akan tetapi disamping novel, ada satu nonnovel yang judulnya Sang Pemula itu. Dan Sang Pemula, sesuai dengan judulnya, menyangkut ketokohan Adisuryo.

    Mengapa Cipto Adisuryo disebut di sini? Sebab beliau sebenarnya seorang pemuka gerakan nasional Indonesia. Kalo kita bandingkan dengan Budi Utama yang merupakan sekumpulan elit priyayi Jawa, maka Sarikat Dagang Islam merupakan satu gerakan massa, bahkan jarang diketahui orang bahwa Sarikat Dagang Islam didirikan bersama-sama Husni Thamrin. Sekarang yang kita ingat adalah Husni Thamrin, padahal, kalo menurut catatan Pram, bukan Husni Thamrin yang pada waktu itu menjadi wedana di Jakarta. Sarikat Dagang Islam yang didirikan Cipto Adisuryo itulah yang kira anggap sebagai satu pemula dari gerakan massa umat Islam di Indonesia ini, yang motifnya jelas sekali, politik. Bagaimana menyatukan golongan bawah umat Islam ini di dalam gerakan-gerakan bersifat ekonomi berarti sati gerakan politik. SDI kemudian berkembang menjadi Partai Sarikat Dagang Islam, dan seterusnya. Berarti gerakan pertama Islam di Indonesia bersifat politik-ekonomi. Ini catatan sangat penting, yang saya lihat umumnya, kalo kita belajar sejarah gerakan nasional Indonesia, berangkat dari Budi Utama itu. Padahal, kalo dilihat dari sudut kenyataan dan politis, sebenarnya Sarikat Dagang Islam ini yang merupakan pemula yang didirikan Cipto Adisuryo dan ayahnya, Husni Thamrin. Usianya kira-kira sama dengan Kartini, berselisih beberapa tahun, dan dia mengenalnya dengan baik. Cipto sering berkunjung kepada Kartini yang sering lagi dipesoalkan ini, begitu juga ia sering berkunjung kepada Dewi Sartika di Bandung.

    Saya pernah menawarkan kepada majalah Kartini untuk menampilkan masalah Kartini ini, tetapi majalah itu menganggap ini masalah sara. Jadi mereka tidak berani. Saya berpendapat juga bahwa masalah Kartini ini ada kaitannya dengan Cipto Adisuryo sebab banyak terjadi interaksi antara Adisuryo dengan Kartini. Kartini itu hebat, dia banyak membaca dan banyak menulis, tetapi bahwa dia ditampilkan Belanda, itu betul. Sebab apa yang ditampilkan Belanda? Sebab Belanda ingin membuktikan kepada dunia, inilah produk ‘Politik Etis’ saat itu. Kita tahu bahwa Abendanon itu menteri Dikbudnya Belanda, jadi dia berkepentingan pula untuk menunjukkan kepada dunia dan kaum oposisi di Belanda bahwa inilah hasil politik etis Belanda.

    Mengapa Belanda menampilkan Kartini? Sebab keluarga Kartini termasuk keluarga yang jinak-jinak, bupati-bupati yang baik. Tidak ada seorang pun bupati yang menjadi pemberontak terkadap Belanda. Jadi Belanda merasa tiada halangan menampilkan Kartini. Mengapa tidak Dewi Sartika yang ditampilkan? Ini menjadi masalah. Padahal umurnya sama dan bangkitnya pun sama. Kartini mendirikan sekolah di Jepara, Sartika membuat sekolah di Bandung. Bahkan kalo kita lihat, sampai sekarang gedungnya masih ada. Jadi dalam intensitas pendidikan, sebenarnya Dewi Sartika jauh lebih melampaui Kartini, tetapi mengapa Belanda tidak menampilkan Sartika? Sebab Sartika berasal dari keluarga patih Tegal Lega yang memberontak dan lalu dibuang ke Ternate. Jadi kita lihat di sini betapa tidak jujurnya sejarah dalam menulis tokoh-tokohnya, termasuk Cipto Adisuryo.”

    Lalu Ahmad Mansur Suryanegara menanggapi ceramah Mahbud Djunaedi yang kesimpulannya sepemikiran dengan Mahbud Djunaedi.

    “Selain kagum dengan tulisan-tulisannya,” kata Suryanegara, “di Koran maupun di majalah, saya juga mengagumi Pak Mahbud dengan tulisannya, ‘Perang Salib’, yang dimuat di majalah depag. Kalo tidak salah, disitu ada tulisan yang dianggap lebih sejarawan ketimbang sejarawan, informasinya yang baik, lengkap, tertib, dan sumber-sumber sejarahnya begitu lengkap.

    Tentang Boedi Oetama yang dijadikan title awal hari kebangkitan nasional tanggal 20 Mei itu, barangkali sayalah orang pertama yang tidak setuju 20 Mei itu dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sejak tahun 1969, tulisan tentang itu telah dimuat dalam harian Abadi 22 Mei 1969. Kemudian pada tahun 1970 ada seminar sejarah. Di situ juga dikemukakan bahwa peristiwa Boedi Oetama itu mungkin lebih tepat dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Siliwangi karena kenyataan sejarah, Boedi Oetama selama 23 tahun, 1908- 1931, menolak kesatuan nasional yang dapat dibaca dalam keputusan-keputusan konggresnya. Sebulan lamanya saya melihat-lihat di museum keputusan-keputusan yang dimuat dalam beberapa surat kabar pada waktu itu. Di situ tertera betapa eklusifnya Boedi Oetama terhadap gerakan nasional.”

    Ceramah dan keheranan Mahbud Djunaedi terhadap Cipto Adisuryo, Kartini, Dewi sartika dan peran Nu Dalam masa kebangkitan nasional, lalu tanggapan Ahmad Mansur Suryanegara mengenai itu, dinarasikan panjang dalam buku API SEJARAH, buku yang memenasarani saya. Dimulai dari ketika Kartini menentang politik Kristenisasi colonial Belanda, Boedi Oetama, Sarikat Dagang Islam, Muhamaddiyah, NU, Sang Saka Merah Putih yang merupakan bendera Kanjeng Nabi Rasul Islam Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, dan segala peristiwa sejarah yang terjadi di kurun 1900-1942M, dinarasikan sangat mantap dalam bab empat, bab tentang peran ulama dalam gerakan kebangkitan kesadaran nasional yang terjadi di kurun 1900-1942M.

    Menurut Suryanegara, lantaran penjajahnya Katolik Portugis, Sepanyol serta Perancis, dan kerajaan Belanda dan Inggeris, ciri gerakan nasionalisme Indonesia adalah anti kedua imperialisme tersebut, namun tidak berarti anti agama Katolik dan Prostestan. Sikap toleransi bangsa Indonesia terhadap perbedaan agama terbilang sangat tinggi, berbeda dengan barat yang intoleransi dan eklusif dalam beragama.

    Imperialis Protestan Belanda menganut paham fundamentalis, penganut calvinisme atau protestanisme yang tidak suka bertoleransi dalam menyikapi perbedaan agama. Hal ini tampak dengan dikeluarkannya ordonasi agama yang diberlakukan baik di Nederland maupun Nusantara pada masa colonial: agama-agama non protestan dilarang melakukan aktifitasnya. Namun sejarah diputarbalikkan, barat menuduh Islam tidak mengajarkan toleransi beragama. Bandingkan dengan timbulnya gerakan separatis Protestan, RMS pimpinan Soumokil, bertolak dari perumusan pemikiran yang didalangi Van Mook, dan diadakan pada pertemuan 19 April 1950. Sedangkan pada 19 April 1529 adalah tanggal awal kelahiran Protestan Jerman di bawah Martin Luther. Perhatikan pula Protestan Revolusioner, 19 April 1775, melahirkan Negara Amerika Serikat. Sikap kaum Fundamentalis tidak mampu bertoleransi terhadap agama non Protestan.

    Sirna Ilang Kertaning Bhumi

    Perkara pemutarbalikkan sejarah memang satu dari sekian ketrampilan Belanda ketika masih menjadi penjajah Nusantara. Serat yang meriwayatkan serbuan pasukan Islam Demak atas Majapahit dalam candrasengkala sirna ilang kertaning bumi (1400c atau 1478M) adalah karya yang Nederlando sentries. Melalui interpretasi sejarah, colonial Belanda mencoba membangun opini public bangsa Indonesia supaya berpendapat bahwa Islam adalah agama asing dari Arab dan kedatangannya merugikan Nusantara, menghancurkan Majapahit. Belanda memutarbalikkan sejarah, menulis sejarah yang mengandung beberapa pemalsuan atau pemencengan untuk memadamkan cahaya gemilang Islam, lantaran merasa terhalangi oleh kedatangan Islam yang lebih dulu hadir di Nusantara. Sementara sesungguhnya antara Islam dengan Siwa, Buddha, maupun Kejawen, Kesunden atau agama asli Nusantara, terjalin toleransi apik. Maka untuk memecah-mecah agama-agama di Nusantara, menghadapkan Islam dengan agama awal Nusantara, Belanda memainkan politik adu domba, salah satunya menulis sejarah palsu perihal runtuhnya Majapahit. Candresengkala Sirna Ilang Kertaning Bumi ditafsirkan: ‘setelah Islam tiba di Nusantara, sirna dan hilanglah masa kejayaan atau kertaning bumi Nusantara, bumi Majapahit’.

    Menurut A.M. Suryanegara, candrasengkala adalah kalender dalam bentuk kalimat, arti sebenarnya, keruntuhan kerajaan Hindu Majapahit jatuh pada 1400 Saka atau 1478M. Selisih antara tahun Saka dan masehi adalah 78 tahun. Semestinya, masih menurut Suryanegara, jika dasar pembacaannya bertolak dari Indonesia Sentrisme, Candrasengkala tersebut menyatakan kepada segenap bangsa Indonesia bahwa: setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit, akibat kedatangan penjajah Barat Katolik dan Protestan, hilang dan sirnalah kejayaan Nusantara Indonesia.

    Candrasengkala termasuk sengkalan lamba, angka tahun yang dilambangkan dengan ukara yang setiap katanya mengandung nilai bilangan tertentu, watak wilangan, bukan sembarang ukara. Contohnya watak satu, barang yang bersifat satu, barang yang bersifat bundar, seperti bumi, bulan surya, dan sebagainya. Watak nol, kata yang bermakna ‘tidak ada’,seperti sirna, hilang mengandung nilai nol. Candrasengkala adalah sengkalan yang perhitungan tahunnya berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi, seperti tahun Islam dan tahun Jawa. Tapi ada rambu-rambunya, bukan asal merangkai. Sengkala merupakan bentuk pemikiran kritis manusia Jawa, bukti keluhuran budi wong Jawa. Kalimatnya mengandung pralambang suatu peristiwa penting. Cara membacanya terbalik, dibaca dari depan kebelakang tapi angka yang terkandung dalam ukara dibaca dari belakang ke depan. Sirna Ilang Kertaning Bumi. Sirna=0, Ilang=0, Kerta=4, Bumi=1, dibaca tahun 1400 saka atau 1478 Masehi, tahun keruntuhan Majapahit menurut Babad Tanah Jawa Nederlando Sentris.

    Candra sengkala Sirna Ilang Kertaning Bumi tidak ada hubunganya dengan kedatangan penjajah Barat Katolik maupun Prostestan. Peristiwa penting di Majapahit pada 1478 tidak ada urusannya dengan kedatangan Portugis, apalagi Sepanyol, dan apalagi Belanda. Setelah 1478, nusantara masih bercahaya. Islam semakin bercahaya dengan tampilnya kadipaten-kadipaten Islam di sepanjang pesisir utara Jawa. Yang redup, yang sirna ketentramannya adalah buminya Majapahit.  Bahkan dua abad setelah Belanda mendarat di pelabuhan Banten, Nusantara masih bercahaya, belum sirna kejayaannya. Masih dicahayai berbagai perlawanan, Nusantara tidak sirna sesirna-sirnanya selama 350 tahun sebagaimana penulisan dalam buku sejarah.

    Mengapa Suryanegara enggan menafsir ulang runtuhnya Majapahit, menafsirkan peristiwa dalam tahun Sirna Ilang Kertaning Bumi? API SEJARAH adalah buku yang akan mengubah drastis pandangan kita tentang sejarah Indonesia, utamanya peran Islam, kaum Ulama dan santri. Suryanegara, karena bertujuan meluruskan sejarah Islam Nusantara, seharusnya menarasikan lebih panjang, utamanya hubungan Islam Demak dengan peristiwa Majapahit di tahun 1478M. Jangan lantaran Demak tidak di Jawabarat, enggan meluruskan sejarahnya, menerangkan peran besar ulama dan santrinya

    Memang pada halaman 120, menulis: Pada umumnya, keruntuhan Kerajaan Hindu Majapahit sering didongengkan akibat serangan dari Kerajaan Islam Demak, padahal realitas sejarahnya yang benar, Kerajaan Hindu Majapahit runtuh akibat serangan Raja Girindrawardhana dari Kerajaan Hindu Kediri pada 1478M, keduanya sama-sama Hindu. Serangan Hindu Kediri di bawah Girindrawardhana itu merupakan serangan balasan terhadap serangan Wijaya atau Raden Wijaya, terhadap Kerajaan Hindu Kediri pada saat dipimpin oleh Raja Prabu Jayakatwang, 1292M. Serangan Wijaya terhadap Kerajaan Hindu Kediri tersebut menggunakan tentara Kubilai Khan.

    Tentu yang dimaksud Suryanegara adalah Girindrawardhana yang tercantum dalam Babad Tanah Jawa gubahan Van van Rijckevorsel yang mana nama Girindrawardhana ini berasal dari prasasti 1486M: 

    “Mungguh babade ratu-ratu kang wekasan iki ora terang, mulané ora disebutaké. Ana ratu ing nagara Keling (salor wétané Kedhiri, sakidul kuloné Surabaya) jejuluk Prabu Ranawijaya Girindrawardhana nggelar jajahan nelukaké Jenggala, Kedhiri lan uga mbedhah Majapahit (tahun 1478). Bedhahè Majapahit iku kuthané ora dirusak, awit ing tahun 1521 lan 1541 nagara Majapahit isih kecrita kutha kang gedhé. Suwé-suwé kutha Majapahit dadi rusak, awit wong-wongé kang ora seneng kaerèh ing kraton liya, padha genti-genti ninggal negarané, nglèrèg  marang tanah Bali. Saiki Majapahit mung kari patilasan baé, awujud pager bata tilas mubeng lan tilas gapura (Candhi Tikus, Bajang Ratu).”

    Menurut saya, analisa dan uraian Suryanegara kurang mantap. Beliau tidak memahami hubungan antara Girisawardhana dengan Raden Wijaya. Raja yang berkuasa di Keling atau di keraton lain seperti Daha, Kahuripan, Kertabhumi, bukan berarti tidak ada hubungan darah dengan Raja Majapahit. Pada masa Majapahit, seluruh raja di keraton bawahan adalah keluarga Girindra, Wijaya, keturunan Raden Wijaya. Alasan Girindrawardhana menggempur Majapahit pada tahun 1478M,  jelas bukan bermaksud menuntut balas tindakah Raden Wijaya yang pada tahun 1293M, membonceng Mongol, menggempur Daha, menggempur Jayakatwang. Girindrawardhana, meski memang berkuasa di daerah Kediri, bukan keturunan Jayakatwang.  Lagian, di Majapahit ada dua tokoh yang menyandang nama Girindrawardhana. Lalu Girindrawardhana yang mana yang menggempur Majapahit pada tahun 1478M?

    Penafsiran baru terkait sejarah keruntuhan Majapahit menjadi begitu perlu, jika ingin menguak, benarkah Demak dalang atas keruntuhan Majapahit, sebagaimana keyakinan selama ini? Semakin menjadi perlu menguaknya karena Suryanegara dalam buku API Sejarahnya sedang berupaya meluruskan sejarah Islam di Nusantara. Dan sejarah Islam di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari sepak terjang Demak.

    Dalam kitab Pararaton menyebutkan empat nama putra Sang Sinagara alias Rajasawardhana, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan sang pamungsu Bhre Kertabhumi. Sementara dalam Prasasti Surandakan yang dikeluarkan Kertawijaya, ayah Sang Sinagara, tercantum nama Bhre Matahun III Wijaya Parakrama Dyah Samarawijaya dan Bhre Keling III Girindrawardhana Dyah Wijayakarana. Dua nama ini adalah putra pertama dan kedua Sang Sinagara.

    Sang Sinagara pernah menjadi Bhre Keling II, Bhre Pamotan I, dan ketika ayahnya naik tahta, ia menjadi pangeran pati di Kahuripan, menjadi Bhre Kahuripan VI, menggantikan Ratnapangkaja, suami Suhita. Maka tak heran jika Sang Sinagara dikenal sebagai baginda Prabu, Baginda Keling, Baginda Pamotan, dan Baginda Kahuripan. Setelah memanjat tahta di tahun 1451M, Sang Sinagara bertahta di Trawulan, posisi Bhre Kahuripan alias baginda yang berkuasa di keratin Kahuripan, dipegang  Samarawijaya. Wijayakarana menjadi Baginda di Mataram. Jadi Bhre Kahuripan dan Bhre Mataram, yang dalam Pararaton disebut sebagai putra-putra Sang Sinagara adalah adalah Samarawijaya dan Wijayakarana.

    Lalu di mana dua putra Sang Sinagara lainnya? Di mana Bhre Pamotan dan Bhre Kertabhumi? Dalam Prasasti Trailokyapuri [1486M], tertulis tokoh bernama Singhawardhana Dyah Wijayakusuma dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Dyah Wijayakusuma identik dengan putra ketiga Sang Sinagara yang setelah ayahnya naik tahta menjadi Bhre Pamotan II. Sementara Dyah Ranawijaya identik dengan putra bungsu atau pamungsu Sang Sinagara yang dalam serat Pararaton ditulis sebagai Bhre Kertabhumi alias baginda yang berkuasa di keraton Kertabhumi.

    Terdapat dua tokoh bergelar Girindrawardhana, yaitu Girindrawardhana  Dyah Wijayakarana atau Bhre Mataram dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya atau Bhre Kertabhumi. 

    Singawardhana Dyah Wijayakusuma ikut dalam penyerbuan ke Trawulan, dipimpin kakak sulungnya, Baginda Kahuripan Wijaya Parakrama Dyah Samarawijaya [kelak gugur dan dikenal sebagai Sang Munggwing Jinggan].

    Jadi yang menyerbu istana Majapahit di Trawulan pada tahun 1400 Saka/1478M bukan pasukan Jihad Islam Demak.

    Siapa sang prabu yang mokta ring kadaton i saka 1400? Dialah adik bungsu Sang Sinagara, Baginda Prabu Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa. Suraprabhawa memanjat tahta pada tahun 1466M menggantikan kakaknya Baginda Girisawardhana alias Baginda Wengker. Sang prabu ini pernah menjadi Bhre Pandansalas III dan Bhre Tumapel IV.

    Setelah merebut tahta dari sang paman, Girindrawardhana Dyah Wijayakarana memindahkan ibukota Majapahit ke Keling atau ke daerah Pare, bertahta sampai 1486M. Jadi wajar jika Girisawardhana dikenal sebagai raja Kediri. Keling terletak di Kediri. Keling bekas keraton bawahan Majapahit yang juga pernah ditempati Dyah Wijayakarana sebelum menjadi Baginda Mataram.

    Setelah Baginda Prabu Girindrawardhana Dyah Wijayakarana Batara I Kling wafat, digantikan adiknya, Wijayakusuma. Beberapa bulan kemudian, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhre Kertabhumi memanjat tahta Majapahit sampai masa Sultan Trenggana di Demak menaklukkan Majapahit di Daha tahun 1527M. Bhre Kertabhumi alias baginda yang berkuasa di keraton Kertabhumi inilah yang dalam babad atau serat kuna dikenal sebagai Batara Wijaya alias Brawijaya terakhir.

    Babad tanah jawi menulis ada tujuh raja Majapahit bergelar Brawijaya. Ini memang benar. Di Majapahit, ada tujuh tokoh lelaki yang menggunakan nama Wijaya, yaitu dyah Wijaya, dyah Kertawijaya, dyah Wijayakumara alias Sang Sinagara, dyah Samarawijaya, dyah Wijayakarana, dyah Wijayakusuma, dan dyah Ranawijaya. 

    Babad tanah jawi seperti versi Meinsma menerangkan, raja Brawijaya terakhir diserang dan ditaklukkan putranya sendiri bernama raden Patah, adipati Demak yang menganut Islam. Barangkali yang dimaksud adalah Brawijaya ke VII alias Baginda Gieindrawardhana dyah Ranawijaya yang pernah menjadi baginda Kertabhumi. 

    Terdapat mitos sejarah sangat sohor yang menyesatkan. Mitos sejarah itu menyebutkan bahwa Majapahit runtuh tahun 1478M atau 1400 Saka, lantaran pertikaian antara ayah dan anak, yaitu Brawijaya dan raden Patah.

    Padahal, peristiwa perang besar di 1478M adalah perseteruan antara para putra Sang Sinagara melawan maharaja Singawikramawardhana dyah Suraprabhawa, paman mereka yang naik tahta secara tidak sah dengan menyingkirkan putra mahkota resmi, Wijaya Parakrama dyah Samarawijaya.

    Itu masa ahir Majapahit yang tidak tuntas dikuupas buku API SEJARAH.

    Pangeran Sabrang Lor bukan Pangeran Sabrang Anatar

    Saya kutip bab empat Babad Tanah Jawa gubahan van Rijckevorsel: “Ing Tahun 1498 kelakon ana nakoda Portegis aran Vasco de Gama tekan ing Kalikut kutha ing tanah Indhu. Wong Portegis nuli miwiti lelawanan dedagangan lan wong Indhu, lan nenelukaké kutha pelabuhan kang ramé-ramé ing tanah Indhu kono. d'Albuquerque kang wus katetepaké jumeneng Prabu anom ing Asia nuli ngumpulaké prau perang kanggo merangi kutha-kutha pelabuhan; Goa, Ormus lan Malaka genti-genti dikalahaké. Iya jamané d'Alburquerque (tahun 1509 - 1515), iku mumbul-mumbule wong Portegis nguwasani tanah-tanah pasisir ing Samodra Indhiya tekan Macao.

    Bareng wong Portegis wis bisa manggon lan duwè panguwasa ana ing Malaka, ing tahun 1513 nuli nakoda aran d'abreu, layar menyang Moloko. Lakuné nganggo mampir-mampir, kayata: menyang Gresik. Ing wektu samono Gresik wis dadi kutha padagangan gedhé, wong-wongé wis Islam. Wong Portegis mau ana ing tanah Jawa Tengah lan Wétan sasat tansah dimungsuh baé, mung ana ing Panarukan bisa mimitran lan wong bumi, jalaran wong ing kono isih mardika, durung Islam lan durung kaerèh marang Demak.

    Rèhné wong Portegis ana ing tanah Jawa Tengah lan Wétan tansah ngrekasa banget, mulané banjur ana kang nyoba arep lelawanan dedagangan lan Banten. Ing sakawit ana ing Banten ditampani becik, nanging nuli wong Portegis lan wong Banten kerep cecongkrahan, jalaran padha déné ora percayané. Wasana enggoné dedagangan wong Portegis kang dipeng ana ing Moloko lan pulo Timur. 

    Nalika wong Portegis teka ana ing tanah Indhiya kang anggedhéni laku dagang ing kepulowan Moloko bangsa Jawa, nanging bareng Malaka bedhah, wong Jawa kadhesuk soko kono lan saka kapulowan Moloko, banjur karingkes pasabané, kang anggedhéni genti wong Portegis, malah ing tahun 1522 ing Ternate wis didegi bètèng, sarta wong Portegis wis prajangjian lelawanan dedagangan ijèn-ijènan (monopolie) lan Sultan ing kono. Ing tembéné kang dadi dhok-dhokané wong Portegis ing Ambon lan Bandha. Ana ing pulo-pulo Moloko lan ing pulo-pulo Sundha Cilik sisih wétan wong Portegis padha mencaraké agama Kristen.”

    Barangkali Suryanegara lupa bahwa setelah portugis menguasai Malaka, Pati Unus segera melajukan armada laut menyerbu Portugis, membebaskan Malaka, meski gagal, bahkan di penyerbuan kedua, menantu Raden Fatah ini gugur hingga kemudian dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor, karena pernah menyeberang ke utara menggempur Portugis di Malaka. Sepak terjang Pati Unus, yang kelak keturunannya bertumbuh-kembang di Jawa barat, tidak dinarasikan Suryanegara.

    Sekilas mengenai Pati Unus. Nama aslinya Raden Abdul Kadir. Setelah menjadi menantu Raden Fatah, raden Abdul Kadir menjadi adipati Jepara. Karena ayahnya bernama Raden Unus, maka raden Abdul Kadir dipanggil sebagai Adipatu bin Yunus hingga kemudian lebih dikenal sebagai Pati Unus.

    Ketika pada tahun 1511M Portugis menerkam Malaka, Demak bersiaga memperkencang hubungan dengan Banten dan Cirebon, menikahkan Pati Unus dengan putri Sunan Gunung Jati. Pati Unus kemudian diangkat sebagai panglima pasukan koalisi Demak, Banten dan Cirebon, bergelar Senapati Sarjawala, dengan mengemban tugas utama merebut Malaka dari cengkeraman Portugis.

    Tahun 1512M Portugis menerkam samudra Pasai. Maka pada tahun 1513M, Pati Unus melajukan pasukannya berusaha membobol benteng Portugis di Malaka dan gagal lalu kembali ke Jawa. Setelah serbuan pertamanya gagal, Pati Unus bekerjasama dengan Gowa, membangun armada laut, membikin kapal tempur.

    Tahun 1518, Pati Unus menjadi sultan Demak kedua menggantikan Raden Fatah yang wafat. Tiga tahun kemudian atau pada 1521M, armada lautnya selesai dibangun, 375 kapal siap melaju ke Malaka, mengangkut pasukan jihad edisi kedua dan dalam ekspedisi ini, Pati Unus gugur sebagai Syahid.

    Betapa mengesankan sejarah perjuangan Pati Unus menuju Malaka. Tetapi sayang sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali sayang, Suryanegara tidak menarasikannya dalam buku API Sejarah. Demak, Pati Unus, terlupakan. Padahal dari peristiwa itu, kelak muncul tokoh besar bernama Faletehan alias Fatahilah yang lagi-lagi kelak menjadi panglima pasukan gabungan menggantikan kedudukan Pati Unus. Fatahillah tokoh yang berperan besar dalam pengusiran Portugis dari Jayakarta di tahun 1527M. Fatahillah kelak menikahi putri Sunan Gunung Jati, janda Pati Unus.

    Dan barangkali Suryanegara lupa bahwa ketika Pati Unus menuju Malaka, ketiga putranya ikut serta. Putra pertama dan ketiga gugur sementara putra keduanya, Raden Abdullah selamat dan berhasil kembali ke Jawa. Kepulangannya itu bersama sebagian pasukan Malaka yang memutuskan hijrah ke tanah Jawa. Orang-orang keturunan Malaka inilah yang kemudian membantu perjuangan Raden Abdullah, mengislamkan tanah Pasundan, hingga kemudian menamai sebuah tempat persinggahan mereka di Jawabarat dengan nama Tasikmalaya yang berarti segaranya orang Malaya.


    Raihna de Japara senhora paderosa erica dekranige dame

    Demak mencapai puncaknya pada masa sultan Trenggana. Setelah Trenggana gugur di Blambangan pada 1546M, perjuangan menjotos Portugis diteruskan Jepara, Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat adalah putrid Sultan Trenggana, bupati perempuan pertama Jepara. Bangsa Portugis miris mendengar gaung kebesaran Ratu Kalinyamat yang kesohor sebagai hero perempuan tanah Jawa. Nama aslinya Retno Kencana, menikah dengan Raden Kalinyamat. Ada yang bilang Raden Kalinyamat adalah putra Sultan Mughayat Syah, yang berkuasa di aceh pada 1514-1528M. Raden Kalinyamat murid Sunan Kudus. Setelah menjadi menantu Sultan Trenggana, bergelar Pangeran Hadiri, bersama Ratu Kalinyamat memerintah Jepara.

    Setelah Sultan Trenggana wafat, Demak dipegang Sunan Prawata yang tiga tahun kemudian wafat usia bertikai dengan Arya Penangsang. Dalam masa ini sesungguhnya Demak berdarah-darah. Sunan Prawata gugur,  Pangeran Hadiri gugur, lalu Arya Penangsang Gugur, lalu tampil Jaka Tingkir di Pajang dan perjuangan Demak kemudian diteruskan Ratu Kalinyamat dari Jepara yang sudah dibawah kekuasaan Pajang.

    Sebagaimana Pati Unus, Ratu Kalinyamat bertekad mengusir Portugis dari Nusantara. Pada 1550M melajukan 40 kapal sarat prajurit tempur, mengiyakan permohonan Johor, merebut Malaka. Setiba di sana, pasukan gabungan ini berhasil menendang Portugis yang bertingkah kurangajar di Malaka utara meski pada akhirnya armada Jepara mundur ke Jawa. Bukan hanya Malaka yang dihantam Ratu Kalinyamat. Pada 1565M, armada Jepara melaju ke Ambon, mencegat Portugis. Pada 1573, Ratu Kalinyamat kembali melajukan 300 kapal tempurnya demi mengiyakan permohonan Aceh, menjotos Portugis lagi.

    Meski tiga upaya hebat Ratu Kalinyamat tidak juga memulangkan Portugis ke negaranya, tetapi keharumannya, keberaniannya, menancap dalam ingatan bangsa Portugis, menjadi mimpi buruk di malam buruk, dan sebagaimana tercatat dalam sejarah, di sepenjuru Jawa, hanya pelabuhan Sundalah yang sempat disinggahi Portugis.

    Raihna de Japara senhora paderosa Erica dekranige Dame. Ratu Jepara, perempuan kaya dan berkuasa, perempuan pemberani. Demikianlah bangsa Portugis menjuluki Ratu Kalinyamat yang wafat di tahun 1579M.

    Mengapa API SEJARAH melupakannya? Umpama tidak ada Pati Unus, Sultan Trenggana, ratu Kalinyamat, barangkali, Portugislah yang lebih dulu merajalela di seantero Jawa, bukannya Belanda. Hanya saja kita beruntung, kata ‘seantero’ berasal dari bahasa Portugis. Sekali lagi, mengapa Suryanegara melewatkan sejarah Ratu Kalinyamat?

    Tokoh lain yang terlupakan API SEJARAH

    API SEJARAH juga mengabaikan peran sultan Harun dari Ternate, tokoh hebat di nusantara bagian timur di abad 16 itu yang gugur tahun 1570. Mengapa dilewatkan juga? Yang mengherankan lagi, perjuangan Sultan Agung, raja terbesar tanah Mataram, tidak diungkap dalam buku API Sejarah. Apa lantaran Sultan Agung masih keturunan Majapahit? Apakah karena dalam peristiwa penyerbuan ke Batavia itu terdapat kesalahan Adipati Ukur, tokoh hebat dari Sunda itu?

    API SEJARAH  juga ikut-ikutan menganggap Trunajaya sebagai tokoh pemberontak, bukannya tokoh pendobrak. Apa lantaran Trunajaya masih keturunan Majapahit? Mengapa perjuangan tokoh Madura itu dibilang ‘pemberontakan’ bukannya ‘perlawanan’? Yang menganggap Trunajaya pemberontak itu kan Belanda atau Amangkurat II yang probelanda. Sementara rakyat Jawa Timur, Madura menganggap Trunajaya adalah pahlawan rakyat. 

    Cuma memang di bab 4, ketika menguraikan sepak terjang kaum Ulama dan Santri di masa kebangkitan kesadaran nasional, API SEJARAH cukup mantap.


    KALINGGA

    Ketika membuka halaman 147, tentang perkembangan kekuasaan politik Islam di Nusantara, tentang di mana, Islam pertama kali berkembangbiak, Suryanegara terlalu memaksakan bahwa di Jawa Baratlah pertama kali Islam tampil pada abad ke 7. Entah mengapa Jawa Tengah dan Jawa Timur dilewati begitu saja. Dalam halaman ini, secara lengkap Suryanegara menulis:

    Di bawah peta kekuasaan politik dunia yang sedang dipimpin Islam, tidaklah heran jika di Nusantara Indonesia bangkit pula kekuasaan politik Islam atau kesultanan. Untuk Sumatera diawali dari wilayah Aceh, kemudian menyusul di Jawa Barat, muncul pula di wilayah Sulawesi dan kepulauan Maluku. Pera pengaruh Islam yang bermula dari Indonesia Barat atau di pulau Jawa, Propinsi Jawa Barat, sebagai dampak Islam dating dari Asia Barat atau Timur Tengah.

    Untuk Jawa Barat sebagai tempat rendezvous atau tempat pertemuan wirausahawan di Nusantara Indonesia, dari Cina dan India, serta Timur Tengah menjadi sebab lebih cepatnya penyebaran ajaran Islam daripada di Jawa Tengah dan Jawa Timur! Proses percepatan pengembangan Islam, setelah mayoritas rakyat masuh Islam, diikuti pula oleh kalangan bangsawan dan raja beralih agama memeluk Islam.

    Perihal Jawabarat, Suryanegara memberi catatan kaki: Timbulnya kekuasaan politik Islam di Jawabarat, besar kemungkinan terjadi pada masa Kalingga pada 674M atau abad ke 7M menurut berita Cina Dinasti Tang. Namun, karena pengertian Kalingga di Jawa, terkesan di Jawatengah. Prof. Buya Hamka menyatakan akibat Ratu Shima dari Kalingga memberlakukan hukum potong kaki atau tangan yang sama dengan hukum Islam, maka dinilai Kalingga adalah kekuasaan politik Islam. Tidak mungkin Kalingga di Jawatengah letaknya, karena di Jawa Tengah baru ada Kerajaan Mataram I di bawah Raja Sanjaya pada 732M atau abad ke 8M!

    Di paragraf pertama, di mana Jawa Tengah dan Jawa Timur itu? Mengapa dilewati Suryanegara? Di paragraf kedua, benarkah Kalingga yang Islam terletak di Jawabarat?

    Menurut naskah Wangsakerta, kerajaan Sunda merupakan kelanjutan dari Tarumanegara, berdiri pada tahun 591 Saka atau 667M dengan raja pertamanya Tarusbawa. Menurut catatan Bujangga Manik —pujangga sunda yang pada abad 16 melakukan jiarah ke beberapa tempat suci di Jawa Timur seperti Kawi, Palah, Pacira atau Junjung Tulungagung, pertapan Kaliaca di Kamulan Trenggalek hingga daerah Wilis— menyebut cipamali atau sungai Brebes dan ciserayu alias sungai Serayu sebagai batas sunda bagian timur. Naskah Wangsakerta menyebut daerah Lampung termasuk wilayah kekuasaan Sunda. Pengembara Portugis Tom Pires yang mengadakan perjalananan di 1513-1515M, mencatat pula bahwa ada yang bilang bahwa kerajaan Sunda meliputi separo pulo Jawa sementara yang lainnya bilang bahwa kerajaan sunda meliputi sepertiga pulo Jawa ditambah seperdelapannya lagi, ujungnya adalah Cipamanuk.

    Menjadi maklum mengapa kelak Portugis mengadakan hubungan dengan Sunda, pada 1522M mengadakan perjanjian dagang, dimana dalam perjanjian tersebut, Portugis boleh membangun gudang dan benteng di pelabuhan Sunda. Sebagai imbalan, Portugis menyokong peralatan militer kepada Sunda yang pada waktu itu sedang sibuk menahan laju Demak dan Cirebon. Saya juga maklum mengapa pada saat bersamaan Majapahit Daha menghubungi Portugis pula. Itu semua berkat kerta bagus teliksandi Portugis bernama Tom Pires. Perjalanan Tom Pires dalam rangka mengumpulkan keterangan dan segala apa terkait tanah Jawa yang kemudian diserahkan kepada Portugis yang sejak 1511M menguasai Malaka.

    Sebelum menjadi kerajaan mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanegara. Raja Tarumanegara terakhir bernama Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabhumi, memerintah selama tiga tahun, 666-669M, menikah dengan Ganggasari dari kerajaan Inderaprastha. Dari Ganggasari menurunkan Dewi Manasih dan Dewi Sobakencana. Dewi Manasih menikah dengan Tarusbawa, Sobakencana menikah dengan Dapunya Hyang –yang kelak menjayakan Sriwijaya di Palembang.

    Setelah Linggawarman wafat, Tarusbawa memanjat tahta menjadi raja Sunda pertama pada tanggal 9 suklapasa bulan yitsa tahun 529 saka atau 18 Mei 669M. Ini yang kemudian membikin penguasa Galuh Wretikandayun berontak, melepaskan diri dari Tarumanegara, memandirikan kerajaan galuh.

    Pada waktu Tarumanegara pecah menjadi Sunda dan Galuh, Ratu Shima sudah berkuasa di Kalingga. Ratu Shima pula yang berperan besar mencegah perang saudara antara Tarusbawa dan Wretikandayun. Pada waktu itu Ratu Shima berbesanan dengan Galuh. Telah diuraikan, putri Ratu Shima bernama Purwati menikah dengan Mandiminyak, putra Wretikandayun. Tarusbawa terpaksa mengiyakan keinginan Wretikandayun lantaran Galuh dalam posisi kuat,setelah campur tangan Kalingga. Pada tahun 670M Tarumanegara secara resmi pecah dua. Sunda di barat sungai Citarum, Galuh di timur Citarum.

    Setelah tahun 670M, Jawabarat banyak perang. Sunda dan Galuh berebut hegemoni, sama-sama merasa sebagai penerus Tarumanegara. Dalam saat bersamaan, Kalingga tampil mengemuka sebagai satu kerajaan besar di jawa tengah. Tak heran jika pada tahun 674M, rombongan utusan dari Damaskus yang berkunjung ke Jawa. Tapi buku API SEJARAH menyampaikan bahwa utusan itu mengunjungi Jawa Barat.

    Sejarah keberadaan Kalingga banyak termuat dalam catatan sejarah Tiongkok. Dalam catatan Tiongkok menerangkan bahwa Kalingga dipimpin Ratu Shima yang memiliki peraturan seperti hukum Islam dan Buya Hamka menyanggah jika Kalingga pada masa Ratu Shima menganut Siwa. Buya menyimpulkan bahwa Ratu Shima menganut Islam.

    Putra Ratu Shima bernama Purwati menikah dengan Mandiminyak, putra mahkota Galuh yang kelak menjadi raja Galuh kedua menggantikan Wretikandayun. Purwati dan Mandiminyak menurunkan Bratasenawa yang kelak menjadi raja Galuh ketiga. Ratu Shima juga memiliki putra mahkota yang gagal memanjat tahta lantaran dihukum potong oleh sang Ratu. Putra mahkota ini memiliki putri bernama Sanaha yang kemudian menikah dengan Bratasenawa. Dari Sanaha dan Bratasenawa inilah lahir Jamri yang kelak dikenal sebagai Sanjaya. Jadi Sanjaya adalah putra mahkota Galuh sekaligus anak buyut Ratu Shima.

    Rakian Sunda Sambawa, putra tertua Tarusbawa yang meninggal sebelum memanjat tahta, memiliki seorang putri bernama Sekarkencana. Putu Tarusbawa ini kelak menikah dengan Rakian Jamri alias Sanjaya dan kelak dari pernikahan ini melahirkan Tamperan. Ketika Tarusbawa wafat 723M, Sanjaya memanjat tahta Sunda. Dalam tahun itu pula Sanjaya berhasil merebut Galuh dari kekuasaan Purbasora. Sanjaya berkepentingan merebut Galuh lantaran kerajaan ini sebelumnya dikuasai Bratasenawa, ayah Sanjaya, dan Purbasoralah yang mengkudeta Bratasenawa. Dengan terebutnya Galuh, maka Sanjaya berkuasa atas sepenjuru jawabarat, berkuasa atas Sunda dan Galuh.

    Sekali lagi Sanjaya anak buyut Ratu Sima di Kalingga. Setelah Ratu Sima wafat, Sanjayalah yang menjadi penerima waris, berhak atas Kalingga. Maka pada tahun 732M, sanjaya mengambil keputusan meninggalkan Jawabarat, menjadi raja di Kalingga. Sunda-galuh diserahkan kepada Tamperan —kelak ia berkuasa di Sunda Galuh selama tujuh tahun 732-739M sebelum akhirnya membagi kerajaannya, Galuh kepada Manarah alias Siung Wanara dan Sunda kepada Bangah. Kelak Sunda Galuh kembali berkumpul dan di masa pemerintahan Raja Guru Dharmasiksa  Sang Hyang Wisnu, raja Sunda-Galuh ke 25 yang memerintah selama 122 tahun, 1175-1297M, Sunda Galuh kembali beribukota di Pakuan Pajajaran, ibukota kuna pada masa Tarusbawa. Kelak raja ke 31 yaitu maharaja Linggabuwanawisesa gugur di lapangan Bubat.

    Setelah menempati Kalingga, Sanjaya mengubah nama kerajaannya menjadi Medang i Bhumi Mataram, memerintah pada 732-754M. Sanjaya berkuasa di Kalingga utara. Kalingga selatan bernama Bhumi Sambara ditempati Raja Dewashinga. Sanjaya menikahi putri Raja Dewashinga bernama Sudiwara yang kelak menurunkan Rakai Panangkaran.

    Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku API SEJARAH terlalu berani menyimpulkan bahwa Kalingga tidak mungkin di Jawatengah, melainkan di Jawabarat, karena di Jawatengah baru ada kerajaan Mataram I dibawah raja Sanjaya pada tahun 732M.

    Bukankah pada tahun 670M, secara resmi di Jawabarat berkembang kerajaan Sunda dan Galuh, berkuasa Tarusbawa dan Wretikandayun dan sanjaya baru menjadi raja Sunda pada tahun 723M menggantikan Tarusbawa, dan pindah ke Kalingga pada tahun 732M? Bukankah pada kurun antara 670 sampai 723M, di Jawabarat yang tampil adalah tarusbawa, Wretikandayun lalu Bratasenawa dan Purbasora? Bukankah dalam saat bersamaan, Kalingga bersama Ratu Shima tumbuh di timur tlatah Sunda Galuh?

    -----------------

    SIWI SANG

    No comments:

    Post a Comment

    Literatur

    Taktik Menulis

    Banjarnegara