Slamet Muljana dalam buku
berjudul Pemugaran Persada Leluhur Majapahit menyebutkan bahwa dalam Pujasastra
Decawarnanna Prapanca tidak sedang bermaksud untuk mengarang sejarah
pembentukan Negara Majapahit yang diawali kerajaan Singhasari secara lengkap. Peristiwa
sejarah yang bersangkutan dengan kepemerintahan kerajaan berupa silih ganti
para raja yang memerintah mulai terbentuknya kerajaan Singhasari sampai jaman
Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk.
Beberapa peristiwa sejarah seperti pemberontakan Nambi di Lumajang, penundukan Dompo, penundukan Bali hanya disinggung sepintas lalu. Prapanca tidak memberikan penjelasan sebab-sebab terjadi peristiwa dan bagaimana jalannya peristiwa yang bersangkutan. Prapanca bukan seorang ahli sejarah yang bermaksud mengarang sejarah. Ia bermaksud mengarang atau menulis pujasastra. Titik berat pandangannya adalah uraian tentang desa-desa, oleh karena itu karangannya dinamai Decawarnanna atau uraian tentang desa-desa. Dalam Decawarnanna, Prapanca memberikan uraian setempat mengenai tempat-tempat yang dipandang penting untuk diketahui, dan adat istiadat yang berhubungan dengan kehidupan di lingkungan keraton. Uraian yang demikian tidak akan didapati dalam buku Pararaton yang maksudnya mencatat peristiwa sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit. Jika menjumpai satu dua perkara yang sama, maka dalam buku Pararaton hal tersebut oleh Prapanca hanya disinggung saja. Sebagai contoh adalah pesta sraddha dan peristiwa Bubat. Mengenai pesta sradha, Decawarnanna menguraikan panjang lebar bagaimana pesta itu dirayakan. Dalam Pararaton, peristiwaa tersebut hanya disebut saja. Mengenai Bubat, Decawarnanna memberikan uraian lengkap seperti terdapat dalam pupuh 86 dan 87 tetapi tidak menyebut peristiwa Bubat yang bertalian dengan kenegaraan, yakni perang di Bubat antara pasukan Sunda dengan Majapahit. Peristiwa itu sama sekali tidak disinggung Prapanca. Peristiwa Bubat hanya dikenal dari Pararaton dan Kidung Sundayana.
Masih menurut Slamet Muljana, memang terdapat perbedaan titik pandangan antara Decawarnanna dan Pararaton. Decawarnanna lebih banyak memberikan uraian setempat dan kehidupan dalam wilayah kerajaan Majapahit terutama yang bertalian dengan kehidupan raja, ketimbang mencatat peristiwa sejarah. Pararaton mempunyai sifat yang berbalikan. Meski demikian keduanya sama penting, bergantung pada titik pangkal pandangan orang yang menilainya. Uraian lengkap tentang keadaan keraton Majapahit dan kirab sri nata berkeliling kota tidak diperlukan sebagai peristiwa sejarah. Namun hal tersebut penting untuk mengetahui kehidupan pada jaman pemerintahan Hayam Wuruk. Kebalikannya, peristiwa sejarah di Bubat tidak banyak artinya untuk mengetahui kehidupan di kerajaan Majapahit. Lagian peristiwa tersebut noda bagi Hayam Wuruk. Itulah sebab mengapa pokok peristiwa Bubat tidak disinggung sama sekali dalam Decawarnanna, tulisan yang berwatak pujasastra.
Perbedaan pangkal pandangan pencipta Decawarnanna dengan Pararaton itu perlu dikemukakan untuk menghindari salah paham mengenai penafsirannya. Perbedaan pangkal pandangan itu menelurkan perbedaan watak karya-karya yang bersangkutan.
Jika menerima pendirian ini tidak ada alasan untuk menuduh Prapanca bahwa ia tidak tahu jalannya sejarah. Ia tidak mengetahui perubahan gagasan yang terdapat dalam sejarah, meskipun banyak mendengar dan membaca. Ia memiliki pengetahuan kaco mengenai sejarah awal Majapahit. Tuduhan semacam itu sering dilontarkan kepadanya.
Slamet Muljaya menilai bahwa Prapanca ternyata mempunyai pengetahuan kewilayahan dan kedaerahan yang sangat luas. Dari uraiannya ia terbukti sangat teliti menggunakan pengetahuannya. Namun ia tidak bermaksud mengarang sejarah. Meskipun ia sekadar menyinggung peristiwa sejarah dalam Decawarnanna namun singgungan itu hanya dimaksud sebagai silsilah. Ada peristiwa sejarah yang sepintas lalu disinggungnya yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Pada hakikatnya hal itu tidak boleh dibilang pemalsuan sejarah. Ia tidak memberikan keterangan yang merupakan hubungan antara peristiwa yang satu dengan yang lain, seperti yang boleh diharapkan dalam karya ahli sejarah. Ia hanya sekadar menyinggungnya saja sebagai suatu kejadian yang pernah berlangsung dalam pangsa waktu pemerintahan seorang raja. Yang pasti adalah bahwa ia mengetahui benar tentang keadaan dan kehidupan di kerajaan Majapahit pada waktu itu pada jaman Hayam Wuruk. Keadaan dan kehidupan yang terjadi pada waktu itulah yang dijadikan pokok kepujasastranya. Justru karena pujasastra itu diperuntukkan bagi Hayam Wuruk yang hidup sejaman dengan Prapanca, uraian setempat itu dapat memberikan kelengkapan kepada uraian karya sejarah Pararaton, yang tidak menghiraukan keadaan kerajaan Majapahit pada waktu itu. Decawarnanna karenanya boleh dianggap sebagai dokumen khusus mengenai kehidupan di wilayah Majapahit pada jaman pemerintahan Hayam Wuruk. Dalam hal ini Decawarnanna merupakan sumber utama lebih dapat dipercaya daripada karya manapun yang kita miliki. Demikianlah Decawarnanna merupakan pelengkap khusus bagi karya sejarah Pararaton.
==============
Beberapa peristiwa sejarah seperti pemberontakan Nambi di Lumajang, penundukan Dompo, penundukan Bali hanya disinggung sepintas lalu. Prapanca tidak memberikan penjelasan sebab-sebab terjadi peristiwa dan bagaimana jalannya peristiwa yang bersangkutan. Prapanca bukan seorang ahli sejarah yang bermaksud mengarang sejarah. Ia bermaksud mengarang atau menulis pujasastra. Titik berat pandangannya adalah uraian tentang desa-desa, oleh karena itu karangannya dinamai Decawarnanna atau uraian tentang desa-desa. Dalam Decawarnanna, Prapanca memberikan uraian setempat mengenai tempat-tempat yang dipandang penting untuk diketahui, dan adat istiadat yang berhubungan dengan kehidupan di lingkungan keraton. Uraian yang demikian tidak akan didapati dalam buku Pararaton yang maksudnya mencatat peristiwa sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit. Jika menjumpai satu dua perkara yang sama, maka dalam buku Pararaton hal tersebut oleh Prapanca hanya disinggung saja. Sebagai contoh adalah pesta sraddha dan peristiwa Bubat. Mengenai pesta sradha, Decawarnanna menguraikan panjang lebar bagaimana pesta itu dirayakan. Dalam Pararaton, peristiwaa tersebut hanya disebut saja. Mengenai Bubat, Decawarnanna memberikan uraian lengkap seperti terdapat dalam pupuh 86 dan 87 tetapi tidak menyebut peristiwa Bubat yang bertalian dengan kenegaraan, yakni perang di Bubat antara pasukan Sunda dengan Majapahit. Peristiwa itu sama sekali tidak disinggung Prapanca. Peristiwa Bubat hanya dikenal dari Pararaton dan Kidung Sundayana.
Masih menurut Slamet Muljana, memang terdapat perbedaan titik pandangan antara Decawarnanna dan Pararaton. Decawarnanna lebih banyak memberikan uraian setempat dan kehidupan dalam wilayah kerajaan Majapahit terutama yang bertalian dengan kehidupan raja, ketimbang mencatat peristiwa sejarah. Pararaton mempunyai sifat yang berbalikan. Meski demikian keduanya sama penting, bergantung pada titik pangkal pandangan orang yang menilainya. Uraian lengkap tentang keadaan keraton Majapahit dan kirab sri nata berkeliling kota tidak diperlukan sebagai peristiwa sejarah. Namun hal tersebut penting untuk mengetahui kehidupan pada jaman pemerintahan Hayam Wuruk. Kebalikannya, peristiwa sejarah di Bubat tidak banyak artinya untuk mengetahui kehidupan di kerajaan Majapahit. Lagian peristiwa tersebut noda bagi Hayam Wuruk. Itulah sebab mengapa pokok peristiwa Bubat tidak disinggung sama sekali dalam Decawarnanna, tulisan yang berwatak pujasastra.
Perbedaan pangkal pandangan pencipta Decawarnanna dengan Pararaton itu perlu dikemukakan untuk menghindari salah paham mengenai penafsirannya. Perbedaan pangkal pandangan itu menelurkan perbedaan watak karya-karya yang bersangkutan.
Jika menerima pendirian ini tidak ada alasan untuk menuduh Prapanca bahwa ia tidak tahu jalannya sejarah. Ia tidak mengetahui perubahan gagasan yang terdapat dalam sejarah, meskipun banyak mendengar dan membaca. Ia memiliki pengetahuan kaco mengenai sejarah awal Majapahit. Tuduhan semacam itu sering dilontarkan kepadanya.
Slamet Muljaya menilai bahwa Prapanca ternyata mempunyai pengetahuan kewilayahan dan kedaerahan yang sangat luas. Dari uraiannya ia terbukti sangat teliti menggunakan pengetahuannya. Namun ia tidak bermaksud mengarang sejarah. Meskipun ia sekadar menyinggung peristiwa sejarah dalam Decawarnanna namun singgungan itu hanya dimaksud sebagai silsilah. Ada peristiwa sejarah yang sepintas lalu disinggungnya yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Pada hakikatnya hal itu tidak boleh dibilang pemalsuan sejarah. Ia tidak memberikan keterangan yang merupakan hubungan antara peristiwa yang satu dengan yang lain, seperti yang boleh diharapkan dalam karya ahli sejarah. Ia hanya sekadar menyinggungnya saja sebagai suatu kejadian yang pernah berlangsung dalam pangsa waktu pemerintahan seorang raja. Yang pasti adalah bahwa ia mengetahui benar tentang keadaan dan kehidupan di kerajaan Majapahit pada waktu itu pada jaman Hayam Wuruk. Keadaan dan kehidupan yang terjadi pada waktu itulah yang dijadikan pokok kepujasastranya. Justru karena pujasastra itu diperuntukkan bagi Hayam Wuruk yang hidup sejaman dengan Prapanca, uraian setempat itu dapat memberikan kelengkapan kepada uraian karya sejarah Pararaton, yang tidak menghiraukan keadaan kerajaan Majapahit pada waktu itu. Decawarnanna karenanya boleh dianggap sebagai dokumen khusus mengenai kehidupan di wilayah Majapahit pada jaman pemerintahan Hayam Wuruk. Dalam hal ini Decawarnanna merupakan sumber utama lebih dapat dipercaya daripada karya manapun yang kita miliki. Demikianlah Decawarnanna merupakan pelengkap khusus bagi karya sejarah Pararaton.
==============
SIWI SANG
Sumber catatan ini dari buku
Pemugaran Persada Leluhur Majapahit karya prof Slamet Mulyana
Tulisan terkait Prapanca :http://www.siwisangnusantara.web.id/2014/07/prapanca.html
Tulisan terkait Prapanca :http://www.siwisangnusantara.web.id/2014/07/prapanca.html
No comments:
Post a Comment