Ini kerja luarbiasa. Menapaki serangkaian
sejarah panjang. Dalam abad abad yang silam. Yang dikerjakan sendirian, dalam
arti inisiatif sekaligus pelaksanaannya dilakukan sendirian oleh Siwi Sang, tanpa menggunakan proposal
apa saja yang diajukan kepada siapa saja demi mendapat banyak hal yang
dibutuhkan terkait penelitian sejarah. Sekarang Siwi Sang selesai menapaki
jalan panjang sejarah, mulai jaman Mpu Sindok sampai Majapahit akhir. Ini
sekali lagi bukan kerja sederhana sembarangan.
Dan hasilnya dituangkan dalam
kalimat enak dibaca, enak sekali. Kita tidak perlu ndakik ndakik membaca
sejarah mengerutkan kening tidak paham paham karena merupakan beban berat.
Membaca karya Siwi Sang seperti membaca novel, hanya tidak ada dialog dialog,
dan ini runtut sekali, logis sekali, dan Kekuatan imajinasinya luarbiasa.
Bukan imajinasi mblasah ora karu
karuan, tetapi imajinasi bagaimana mempertemukan fakta fakta sejarah yang ada
mulai prasasti prasasti sebagai sumber sejarah primer dengan karya karya sastra
seperti kakawin Negarakertagama atau serat Pararaton dan lainnya. Setelah mengkroscekkan
atau menautkan fakta fakta primer dengan sekunder itu, Siwi Sang memunculkan
antitesa antitesa atau penolakan penolakan teori yang sudah ada, menampilkan teori
teori baru.
Selama ini sejarah yang banyak
kita anut sangat Barat sangat Eropa. Padahal yang namanya Jawa, sejak jaman
dulu, kaya akan simbol simbol. Seperti ketika nonton wayang, ketika sang dalang
memulai adegan perang besar selalu mengawali dengan seruan suluk, ‘O bumi
gonjang ganjing langit kelap kelip katon’. Lambang suluk itu bukan berarti
benar terjadi bencana alam atau gunung meletus dan sebagainya, melainkan simbol
atau pralambang terjadi peristiwa besar dan penting.
Itu Siwi Sang sanggup menangkap isarat
menerjemahkan semua itu.
Saya tercengang dibuatnya.
MasyaAlloh.
Betul betul luarbiasa.
Dulu dulunya yang kita kenal dan
pahami adalah bahwa Mpu Sindok memboyong kerajaan wangsa Sanjaya dari Medang
Mataram ke Jawatimur akibat bencana alam letusan gunung merapi. Padahal dalam
cerita karya sastra Jawa maupun pewayangan, kalau ada gambaran gunung meletus,
ada gambaran bencana alam, itu bukan semata benar terjadi bencana alam itu, melainkan
penggambaran telah terjadi peristiwa besar misalnya pergolakan politik dan
sebagainya. Ini sudah ditangkap oleh Siwi Sang sebagai dasar kajian sejarah
Girindra mulai awal sampai akhir.
Perhatikan, sampai sekarang,
ketika kita nonton wayang, kalau terjadi pergolakan perang, sang dalang selalu
mengangkat gunung. Mengapa harus mengangkat gunung untuk memulai adegan itu.
Mengapa tidak dengan gambar lain. Ini satu contoh.
Penerjemahan makna makna
pralambang ini betul betul menyatu dalam penulisan buku Girindra. Sehingga
penafsirannya lancar lancar saja.
Tapi saya yakin Siwi Sang
padamulanya sangat berat menganalisa dengan kajian kajian yang sedemikian
panjang sedemikian luas sedemikian mendalam. Buku sejarah Girindra tentu
bermula dari pemikiran sangat berat. Seperti berdasarkan pengakuan Siwi Sang
bahwa novel sejarah yang siap terbit, akhirnya ditahan diorat arit dibongkar maneh,
lantaran mengandung berita sejarah keliru. Ini perjuangan yang luarbiasa.
Pengorbanan luarbiasa ini sudah dilakukan Siwi Sang, hingga kemudian lahirlah
sebuah bacaan menarik, bahasanya lugas, nikmat dibaca.
Tetapi tentu saja ada beberapa
kelemahan. Bahwa kita tidak akan mampu memotret peristiwa besar mulai jaman
Sanjaya sampai wangsa Isana sampai masa Majapahit dan jaman Walisanga hanya
dalam satu buku. Maka dari itu ini merupakan sebuah pancingan. Saya berharap
Siwi Sang tidak akan berhenti sampai di sini, tulisan tulisan dalam buku ini
kelak dipotong potong sehingga tiap fase sejarah akan lebih mendalam lagi.
Ini bukan mementahkan sejarah. Tapi
memang sejarah tidak akan pernah berhenti. Sejarah tidak aka n ada kata tanda titik. Sejarah
adalah kata Tanya yang besar sekali yang harus selalu kita pikirkan lalu kita
lacak. Contoh saja, dulu pada masa era orde baru, apa yang terjadi, tetapi apa
yang terjadi setelah era reformasi sekarang. Itulah sejarah yang terjadi.
Sekali lagi saya, kita, merasa
tergelitik dengan buku sejarah karya Siwi Sang ini karena bukan sekadar legenda
dan mitos.
Seperti contoh kalau kita membaca
karya Pramoedya Ananta Toer berjudul Mangir [2000], akan terbaca bahwa sejarah
Ki Ageng Mangir sedemikian kuat unsur sejarahnya, tidak sekadar mitos dan
legenda. Dan logis sekali. Walaupun di Tulungagung juga pernah menjelaskan ada
suatu cerita yang ada kaitannya dengan Ki Ageng Mangir tapi menyimpangkan
dengan menambah nambahi supaya lebih dekat dengan nuansa lokalnya yaitu tentang
Baru Klinting.
Dan sebetulnya ada satu fokus di
sini, yaitu Siwi Sang ingin mengarahkan perhatian bahwa Majapahit berkaitan
sangat erat dengan Tulungagung.
Sebetulnya Tulungagung dan
Trenggalek tidak ada pembatasan. Nama Tulungagung belum lama digunakan.
Trenggalek merupakan kabupaten hasil pemberian wilayah Tulungagung dan Pacitan.
Daerah Panggul, dulu, milik Pacitan dan Kamulan Durenan milik Tulungagung.
Kalau misalnya Trenggalek dan
Tulungagung saling bersikukuh, misalnya Tulungagung mengaku memiliki Kamulan
sementara kenyataan sekarang sudah milik Trenggalek, lalu mau apa coba. Dulu
ada sedikit gejala tidak nyaman antara Tulungagung dan Trenggalek terkait
penentuan harijadi. Harijadi kabupaten Tulungagung seharusnya dapat menggunakan
prasasti Kamulan bertarikh 1194M, tapi ketika itu sudah telanjur digunakan oleh
Trenggalek, sehingga Tulungagung terpaksa mencari landasan dari prasasti
lainnya.
Sekali lagi focus buku Girindra
adalah mengarahkan perhatian pada Tulungagung di satu sisi. Meski sesungguhnya
kerangka besarnya adalah sebuah rekonstruksi sejarah. Dan ini hal baru. Sebuah
buku berbicara tentang sejarah tetapi dengan judul semacam ini taitu Girindra:
Pararaja Tumapel Majapahit.
Satu hal yang perlu pembenahan
sekiranya kelak ada edisi revisi adalah masalah kebahasaan. Masalah bahasa
perlu kiranya dievaluasi. Ada beberapa catatan di antaranya ini:
‘…buku baru cumalah kombinasian
baru dari ide gagasan dan kata kata yang pernah ada’ [hal xiv].
Itu dalam bahasa Indonesia tidak
lazim. Kurang lazim kalau digunakan dalam karya ilmiah.
Tetapi karya Siwi Sang ini
terdapat bahasa bahasa yang luarbiasa, bahasa bahasa yang sebetulnya tidak
lazim tetapi benar penggunaannya. Ini contoh saja:
‘…tidak heran kelak Erlangga
memiliki mahaguru Pandita Boddha Mpu Bharada yang sohor itu’ [hal 15]
Kata ‘sohor’ itu justru lebih
tepat ketimbang kata ‘tersohor’, karena ‘tersohor’ menggunakan awalan ‘ter’,
artinya ‘tidak sengaja’. Kata ‘sohor’ merupakan kata baku yang kuat sekali.
Kemudian ini:
‘…menyaksikan dukungan tulus
dahsat itu, Erlangga serasa berkobar’ [hal 15].
Ini kekuatan bahasa yang tinggi.
Saya orang bahasa dan saya sudah menemukan sesuatu dalam buku Girindra bahwa
walaupun ada beberapa penggunaan kata bahasa kurang baku, tetapi justru ada
terobosan terobosan baru yang justru menjadi suatu kebenaran bahasa.
Itu salah satu yang saya
sampaikan, meski masih ada banyak kata kata yang indah sekali, hampir hampir
terlupakan.
Kalau masalah subtansi buku ini,
saya yakin bahwa jika kita memiliki buku ini, boleh dibilang sodakoh.
Impian saya, Siwi Sang tidak
berhenti sampai di sini, tetapi lebih memperdalam lagi. Saya mengalbil
pelajaran baru bahwa buku ini bukan merekonstruksi sejarah melainkan
mendekonstruksi, artinya konstruksi konstruksi yang kemarin kemarin dimenyahkan
kabek diorat arit, lalu kemudian dibangun baru. Saya berbicara pada beberapa
sejarawan bahwa Siwi Sang mulai mengarahkan dekonstruksi sejarah.
Ngorat arit teori, baru mencari
dan membangun teori baru.
Saya tersadarkan dengan pagelaran
wayang itu. O, ternyata gunungan merupakan pralambang. Orang Eropa ndak akan
mengerti. Ahli ahli professor professor ndak akan mengerti bahwa gunung gunung
yang ada dalam berita sejarah dan pewayangan sesungguhnya menggambarkan ada
peristiwa besar seperti kematian seorang tokoh, pergolakan politik, dan
peristiwa besar lainnya.
Demikianlah, sejarah selalu
bermacam macam, selalu muncul versi baru, sebagaimana pernyataan Siwi Sang
bahwa sejarah tidak akan ada tanda titik. Perbedaan penafsiran selalu ada. Dan
penemuan penemuan baru dalam dunia sejarah selalu ada.
* * *
Sumber catatan: Rekaman pak Widi Suharto, dosen Bahasa dan Sastra STKIP Trenggalek, ketika membedah mendiskusikan buku Girindra: Pararaja Tumapel Majapahit dalam acara Gebyar Literasi Sembilan Mutiara di Lembah Jaran Dawuk, Sokowetan, Karangan, Trenggalek, 19 Januari 2014.
No comments:
Post a Comment