Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Breaking News

    Friday, January 24, 2014

    GIRINDRA Bukan Merekonstruksi Melainkan Medekonstruksi Sejarah


    Ini kerja luarbiasa. Menapaki serangkaian sejarah panjang. Dalam abad abad yang silam. Yang dikerjakan sendirian, dalam arti inisiatif sekaligus pelaksanaannya dilakukan sendirian  oleh Siwi Sang, tanpa menggunakan proposal apa saja yang diajukan kepada siapa saja demi mendapat banyak hal yang dibutuhkan terkait penelitian sejarah. Sekarang Siwi Sang selesai menapaki jalan panjang sejarah, mulai jaman Mpu Sindok sampai Majapahit akhir. Ini sekali lagi bukan kerja sederhana sembarangan.


    Dan hasilnya dituangkan dalam kalimat enak dibaca, enak sekali. Kita tidak perlu ndakik ndakik membaca sejarah mengerutkan kening tidak paham paham karena merupakan beban berat. Membaca karya Siwi Sang seperti membaca novel, hanya tidak ada dialog dialog, dan ini runtut sekali, logis sekali, dan Kekuatan imajinasinya luarbiasa.

    Bukan imajinasi mblasah ora karu karuan, tetapi imajinasi bagaimana mempertemukan fakta fakta sejarah yang ada mulai prasasti prasasti sebagai sumber sejarah primer dengan karya karya sastra seperti kakawin Negarakertagama atau serat Pararaton dan lainnya. Setelah mengkroscekkan atau menautkan fakta fakta primer dengan sekunder itu, Siwi Sang memunculkan antitesa antitesa atau penolakan penolakan teori yang sudah ada, menampilkan teori teori baru.

    Selama ini sejarah yang banyak kita anut sangat Barat sangat Eropa. Padahal yang namanya Jawa, sejak jaman dulu, kaya akan simbol simbol. Seperti ketika nonton wayang, ketika sang dalang memulai adegan perang besar selalu mengawali dengan seruan suluk, ‘O bumi gonjang ganjing langit kelap kelip katon’. Lambang suluk itu bukan berarti benar terjadi bencana alam atau gunung meletus dan sebagainya, melainkan simbol atau pralambang terjadi peristiwa besar dan penting.

    Itu Siwi Sang sanggup menangkap isarat menerjemahkan semua itu.

    Saya tercengang dibuatnya.

    MasyaAlloh.

    Betul betul luarbiasa.

    Dulu dulunya yang kita kenal dan pahami adalah bahwa Mpu Sindok memboyong kerajaan wangsa Sanjaya dari Medang Mataram ke Jawatimur akibat bencana alam letusan gunung merapi. Padahal dalam cerita karya sastra Jawa maupun pewayangan, kalau ada gambaran gunung meletus, ada gambaran bencana alam, itu bukan semata benar terjadi bencana alam itu, melainkan penggambaran telah terjadi peristiwa besar misalnya pergolakan politik dan sebagainya. Ini sudah ditangkap oleh Siwi Sang sebagai dasar kajian sejarah Girindra mulai awal sampai akhir.

    Perhatikan, sampai sekarang, ketika kita nonton wayang, kalau terjadi pergolakan perang, sang dalang selalu mengangkat gunung. Mengapa harus mengangkat gunung untuk memulai adegan itu. Mengapa tidak dengan gambar lain. Ini satu contoh.

    Penerjemahan makna makna pralambang ini betul betul menyatu dalam penulisan buku Girindra. Sehingga penafsirannya lancar lancar saja.

    Tapi saya yakin Siwi Sang padamulanya sangat berat menganalisa dengan kajian kajian yang sedemikian panjang sedemikian luas sedemikian mendalam. Buku sejarah Girindra tentu bermula dari pemikiran sangat berat. Seperti berdasarkan pengakuan Siwi Sang bahwa novel sejarah yang siap terbit, akhirnya ditahan diorat arit dibongkar maneh, lantaran mengandung berita sejarah keliru. Ini perjuangan yang luarbiasa. Pengorbanan luarbiasa ini sudah dilakukan Siwi Sang, hingga kemudian lahirlah sebuah bacaan menarik, bahasanya lugas, nikmat dibaca.

    Tetapi tentu saja ada beberapa kelemahan. Bahwa kita tidak akan mampu memotret peristiwa besar mulai jaman Sanjaya sampai wangsa Isana sampai masa Majapahit dan jaman Walisanga hanya dalam satu buku. Maka dari itu ini merupakan sebuah pancingan. Saya berharap Siwi Sang tidak akan berhenti sampai di sini, tulisan tulisan dalam buku ini kelak dipotong potong sehingga tiap fase sejarah akan lebih mendalam lagi.

    Ini bukan mementahkan sejarah. Tapi memang sejarah tidak akan pernah berhenti. Sejarah  tidak aka n ada kata tanda titik. Sejarah adalah kata Tanya yang besar sekali yang harus selalu kita pikirkan lalu kita lacak. Contoh saja, dulu pada masa era orde baru, apa yang terjadi, tetapi apa yang terjadi setelah era reformasi sekarang. Itulah sejarah yang terjadi.

    Sekali lagi saya, kita, merasa tergelitik dengan buku sejarah karya Siwi Sang ini karena bukan sekadar legenda dan mitos.

    Seperti contoh kalau kita membaca karya Pramoedya Ananta Toer berjudul Mangir [2000], akan terbaca bahwa sejarah Ki Ageng Mangir sedemikian kuat unsur sejarahnya, tidak sekadar mitos dan legenda. Dan logis sekali. Walaupun di Tulungagung juga pernah menjelaskan ada suatu cerita yang ada kaitannya dengan Ki Ageng Mangir tapi menyimpangkan dengan menambah nambahi supaya lebih dekat dengan nuansa lokalnya yaitu tentang Baru Klinting.

    Dan sebetulnya ada satu fokus di sini, yaitu Siwi Sang ingin mengarahkan perhatian bahwa Majapahit berkaitan sangat erat dengan Tulungagung.

    Sebetulnya Tulungagung dan Trenggalek tidak ada pembatasan. Nama Tulungagung belum lama digunakan. Trenggalek merupakan kabupaten hasil pemberian wilayah Tulungagung dan Pacitan. Daerah Panggul, dulu, milik Pacitan dan Kamulan Durenan milik Tulungagung.

    Kalau misalnya Trenggalek dan Tulungagung saling bersikukuh, misalnya Tulungagung mengaku memiliki Kamulan sementara kenyataan sekarang sudah milik Trenggalek, lalu mau apa coba. Dulu ada sedikit gejala tidak nyaman antara Tulungagung dan Trenggalek terkait penentuan harijadi. Harijadi kabupaten Tulungagung seharusnya dapat menggunakan prasasti Kamulan bertarikh 1194M, tapi ketika itu sudah telanjur digunakan oleh Trenggalek, sehingga Tulungagung terpaksa mencari landasan dari prasasti lainnya.

    Sekali lagi focus buku Girindra adalah mengarahkan perhatian pada Tulungagung di satu sisi. Meski sesungguhnya kerangka besarnya adalah sebuah rekonstruksi sejarah. Dan ini hal baru. Sebuah buku berbicara tentang sejarah tetapi dengan judul semacam ini taitu Girindra: Pararaja Tumapel Majapahit.

    Satu hal yang perlu pembenahan sekiranya kelak ada edisi revisi adalah masalah kebahasaan. Masalah bahasa perlu kiranya dievaluasi. Ada beberapa catatan di antaranya ini:

    ‘…buku baru cumalah kombinasian baru dari ide gagasan dan kata kata yang pernah ada’ [hal xiv].

    Itu dalam bahasa Indonesia tidak lazim. Kurang lazim kalau digunakan dalam karya ilmiah.

    Tetapi karya Siwi Sang ini terdapat bahasa bahasa yang luarbiasa, bahasa bahasa yang sebetulnya tidak lazim tetapi benar penggunaannya. Ini contoh saja:

    ‘…tidak heran kelak Erlangga memiliki mahaguru Pandita Boddha Mpu Bharada yang sohor itu’ [hal 15]

    Kata ‘sohor’ itu justru lebih tepat ketimbang kata ‘tersohor’, karena ‘tersohor’ menggunakan awalan ‘ter’, artinya ‘tidak sengaja’. Kata ‘sohor’ merupakan kata baku yang kuat sekali.

    Kemudian ini:

    ‘…menyaksikan dukungan tulus dahsat itu, Erlangga serasa berkobar’ [hal 15].

    Ini kekuatan bahasa yang tinggi. Saya orang bahasa dan saya sudah menemukan sesuatu dalam buku Girindra bahwa walaupun ada beberapa penggunaan kata bahasa kurang baku, tetapi justru ada terobosan terobosan baru yang justru menjadi suatu kebenaran bahasa.

    Itu salah satu yang saya sampaikan, meski masih ada banyak kata kata yang indah sekali, hampir hampir terlupakan.

    Kalau masalah subtansi buku ini, saya yakin bahwa jika kita memiliki buku ini, boleh dibilang sodakoh.
    Impian saya, Siwi Sang tidak berhenti sampai di sini, tetapi lebih memperdalam lagi. Saya mengalbil pelajaran baru bahwa buku ini bukan merekonstruksi sejarah melainkan mendekonstruksi, artinya konstruksi konstruksi yang kemarin kemarin dimenyahkan kabek diorat arit, lalu kemudian dibangun baru. Saya berbicara pada beberapa sejarawan bahwa Siwi Sang mulai mengarahkan dekonstruksi sejarah.

    Ngorat arit teori, baru mencari dan membangun teori baru.

    Saya tersadarkan dengan pagelaran wayang itu. O, ternyata gunungan merupakan pralambang. Orang Eropa ndak akan mengerti. Ahli ahli professor professor ndak akan mengerti bahwa gunung gunung yang ada dalam berita sejarah dan pewayangan sesungguhnya menggambarkan ada peristiwa besar seperti kematian seorang tokoh, pergolakan politik, dan peristiwa besar lainnya.

    Demikianlah, sejarah selalu bermacam macam, selalu muncul versi baru, sebagaimana pernyataan Siwi Sang bahwa sejarah tidak akan ada tanda titik. Perbedaan penafsiran selalu ada. Dan penemuan penemuan baru dalam dunia sejarah selalu ada.






    *     *     *

    Sumber catatan: Rekaman pak Widi Suharto, dosen Bahasa dan Sastra STKIP Trenggalek, ketika membedah mendiskusikan buku Girindra: Pararaja Tumapel Majapahit dalam acara Gebyar Literasi Sembilan Mutiara di Lembah Jaran Dawuk, Sokowetan, Karangan, Trenggalek, 19 Januari 2014.

    No comments:

    Post a Comment

    Literatur

    Taktik Menulis

    Banjarnegara