Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Friday, January 24, 2014

    Siwi Sang Pencari Di Sela Kitab Dan Prasasti


    SIWI SANG PENCARI
    DI SELA KITAB & PRASASTI
    Catatan Kecil Cak Nasrul Ilahi


    Gapura

    Kebenaran tulisan sejarah merupakan kebenaran relatif apa yang diyakini hari ini sebagai sebuah kebenaran, pada satu titik waktu bisa gugur dan dimentahkan. Sebabnya bisa karena telah ditemukan bukti sejarah yang baru, hadirnya penafsiran baru yang kuat, atau karena kepedulian tinggi seseorang sehingga tidak lelah-lelah mencari dan mencari fakta dan penafsiran yang luput dari pengamatan para ahli.

    Siwi Sang Pencari bukan seorang ahli sejarah tetapi seorang pencari kebenaran sejarah yang teliti dan hati-hati. Langkahnya dituntun oleh tanda tanya. Setiap jawab yang ditemukan melahirkan tanda tanya baru. Beliau tidak dirangsang oleh tugas skripsi, tesis, disertasi, bahkan juga tidak oleh proyek penelitian maupun penulisan sejarah. Inner potensinya mengemuka dan berkembang karena minat dan kepeduliannya akan sejarah.

    Ada kunci-kunci termasuk nilai budaya yang dikemukakan Siwi Sang Pencari sehingga dalam menarik benang merah bukti-bukti sejarah menjadi lebih logis dan mudah dicerna. Meskipun begitu, yang masih awam sejarah juga masih tetap bingung membaca nama-nama kerajaan, silsilah keluarga raja-raja, maupun peristiwa-peristiwa pemicu perjalanan sejarah. Mudah-mudahan acara bedah buku ini bisa menjadi gapura (entry point) menuju pemahaman sejarah yang lebih memadai. Tanpa mengetahui sejarah, bagaimana bisa kita tidak melupakan apalagi menghargai sejarah.

    Pondasi

    Buku GIRINDRA Pararaja Tumapel Majapahit ini lebih fokus mengungkapkan fakta kesejarahan seputar makna sajaratun atau pohon. Silsilah Wangsa Girindra Majapahit, Silsilah Wangsa Girindra Tumapel, Daftar Pararaja Majapahit, maupun Daftar Raja dan Ratu di Keraton Bawahan Majapahit menjadi tuntunan yang gamblang bagi pembaca, terutama yang masih awam sejarah. Sementara itu uraian sebanyak 284 halaman plus merupakan argumentasi argumentasi politis, sosial budaya, dan filologisnya.

    Pemerhati sejarah dan budaya seperti saya dan mungkin juga lainnya, setelah membaca buku ini merasa mengalami pencerahan sehingga lebih melek-sejarah. Rasanya seperti telah membaca beberapa buku sejarah sekaligus. Ada benang merah yang tidak sekedar menghubungkan, tetapi telah merajut fakta-fakta sejarah. Semua menjadi lebih gamblang seperti membaca mind-map dalam pembelajaran dan seperti membuka Google Earth di Taknologi Informasi.

    Pada dasarnya buku ini lebih diperuntukkan Siwi Sang Pencari untuk dirinya sendiri. Kalau orang lain tertarik membaca dampai elakukan aksi membedah seperti pada hari ini, itu hanyalah barokahnya amal jariyah Siwi Sang Pencari dalam mentransformasikan ilmu. Itulah sebabnya buku ini disebut Siwi Sang Pencari sebagai Buku Babon (Induk) Utama penulisan Mahakarya Trilogi Novel berjudul “KERTABHUMI: Sunyi Menari di Atas Bumi”.


    Ngrambut

    Tak ada gading yang tak bisa retak. Bangunan pun bisa retak ngrambut alian ndog-remek. Yang saya lihat tidak ada kesalahan, karena pendapat itu sebuah pilihan yang didukung argumentasi. Mungkin ahli sejarah beneran yang bisa mengoreksi. Itu pun koreksi berdasarkan penafsiran. Dari prasasti atau kitab yang sama, penafsiran boleh berbeda. Kalau dipikir-pikir, ada kemiripan pola dengan gambaran para tunanetra mendefinisikan binatang gajah. Yang memegang belalai, telinga, ekor, kaki, perut, dan lainnya memiliki definisi yang beragam. Disebut Siwi Sang Pencari berusaha menarik benang merah dari beberapa tafsir para ahli sejarah.

    Yang bisa saya koreksi hanya hal-hal kecil. Mungkin bukan kesalahan, cuma kekeliruan. Misalnya di halaman 8 paragraf 2 tertulis: Pada prasasti Watugaluh, 929M, dengan tegas Mpu Sindok menyebut kerajaannya sebagai pnerus kerajaan Medang bhumi Mataram yang berkeraton di Watugaluh. Sejauh saya membaca, belum pernah ada Prasasti Watugaluh. Prasasti yang didalamnya menyebut Watugaluh hanya Prasasti Anjukladang di Nganjuk pada masa Mpu Sindok (937M: kita prasiddha manraksa kadatwan i medhang i bhumi mataram i watugaluh), Prasasti Pradah II di Dusun Pradah Desa Siman di wilayah Kediri masa Mpu Sindok (934M: mdang i bhumi mataram i  watugaluh), Prasasti Bandarlim menunjukkan masa Dharmawangsa Tguh (986M: datwan i mdan ri bumi mataram ri watugaluh). Di Watugaluh sendiri ditemukan: Situs Watugaluh berupa Pathok Batas, Lumpang Watugaluh, banyak Arca, pondasi bangunan bata merah, dan di dekatnya ada Candi Pundong, Candi Glagahan, Prasasti Poh Rinting.

    Demikian catatan kecil yang tidak sempurna ini. Semoga bermanfaat. (Plandi, 23 Januari 2014: 05.00)



    *     *     *

    Catatan Siwi Sang: Alinea 2 hal. 8 buku Girindra Pararaja Tumapel Majapahit memang terdapat kekeliruan penulisan. Jadi benar apa yang disampaikan Can Nas. Bahwa yang benar penulisannya adalah: ' pada prasasti Anjukladang, 937M'. Catatan ini juga sekaligus revisi hal. 8 alinea 2. 

    2 comments:

    1. terima Kasih Pak, sudah memberi informasi sejarahnya. semoga dengan ini, bapak terus berkarya. pak, saya ijin Copas!

      ReplyDelete
      Replies
      1. Sahabat Puisi Jalan Cerita Hati. Maturnuwun salam sejarah dan persahabatan. Silakan dikopas jika ada yang bermanfaat. Isi blog ini, sekiranya bermanfaat, bebas untuk dikopas demi perkembangan ilmu sejarah. Nuwun.

        Delete