Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Friday, March 8, 2013

    Jayakatwang





    JAYAKATWANG dalam beberapa literatur sejarah sering disebut dengan nama Jayakatong, Aji Katong, atau Jayakatyeng. Dalam berita Tiongkok dikenal sebagai Haji Katang. Nagarakertagama dan Kidung Harsawijaya menempatkan Jayakatwang sebagai keturunan Sri Kertajaya maharaja terakhir Panjalu Kadiri.


    Mpu Prapanca dalam Kakawin Nagarakertagama atau Desawarnnana meriwayatkan, setelah pada 1222M berhasil menghancurkan maharaja Kertajaya, Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi atau yang dalam Serat Pararaton dikenal sebagai KEN AROK, mengangkat Jayasabha putra Kertajaya sebagai raja di daerah Kadiri. Kakawin Negarakertagama masih memuat berita pada 1258M Jayasabha digantikan putranya bernama Sastrajaya dan pada 1271M Sastrajaya digantikan putranya bernama Jayakatwang. 

    Jika yang dikatakan Mpu Prapanca benar adanya maka dapat disimpulkan bahwa ayah Jayakatwang adalah Sastrajaya yang berkuasa di daerah Kadiri mulai 1258M sampai 1271M. Sastrajaya adalah putra kandung Jayasabha atau cucu langsung maharaja Kertajaya. 

    Jika ditarik garis ke atas, Jayakatwang berada dalam garis langsung dengan Erlangga, tokoh yang pertama membangun kerajaan Panjalu Daha.

    Dalam prasasti Mula Malurung 1255M, Maharaja Tumapel Seminingrat menyebut Sri Jayakatwang sebagai menantu juga kemenakannya. 

    Sebagai menantu karena Sri Jayakatwang berpermaisuri rajamuda gelang Gelang Nararya Turukbali putri Seminingrat.

    Menurut tafsir SIWI SANG, Jayakatwang ditulis sebagai kemenakan Seminingrat karena ibunya adalah adik kandung Seminingrat.

    Ketegasan maharaja Tumapel Sri Seminingrat menempatkan Jayakatwang sebagai kemenakannya dalam Prasasti Mula Malurung 1255M lebih mengandung arti bahwa Jayakatwang adalah putra kandung dari adik kandung perempuan Seminingrat.

    Dengan kata lain, Ibu kandung Jayakatwang adalah adik kandung Seminingrat. 

    Di sini, ibu Jayakatwang masih termasuk keturunan langsung Sang Anusapati maharaja Tumapel sebelum Seminingrat.

    Dari latar belakang itu, maka terasa sangat layak Jayakatwang disebut dengan tegas dalam prasasti Mula Malurung 1255M sebagai kemenakan Sri Seminingrat.

    Sri Seminingrat juga memiliki alasan kuat menjodohkan Nararya Turukbali putri bungsunya dengan Jayakatwang sang kemenakan yaitu untuk semakin menguatkan tali kekerabatan trah Sang Anusapati atau mengumpulkan balung pisah keluarga Tumapel. 

    Prasasti Kudadu 1294M meriwayatkan Sri Jayakatwang memiliki putra bernama Ardharaja, yang menjadi menantu Kertanagara. 

    Tidak jelas diketahui siapa putri Sri Kertanagara yang menjadi istri Ardharaja. Sangat mungkin adalah putri sulungnya.

    Lepas dari persoalan siapa putri Sri Kertanagara yang berjodoh atau yang menjadi isteri Ardharaja, dapat kita ambil kesimpulan bahwa hubungan Jayakatwang dengan Sri Kertanagara adalah saudara sepupu sekaligus besan. Suatu hubungan kekeluargaan yang sangat komplit dan akrab. 

    Dalam sejarah pararaja klasik, sangat lumrah ketika ada seorang raja mengikat tali keluarga menjodohkan keturunannya dengan keturunan saudara kandung sendiri. Tujuannya supaya darah keturunan raja tersebut tidak pergi kemana mana, masih tetap dalam satu keluarga, atau garis keturunan seorang raja tetap utuh menurun sampai bawah.

    Karena alasan itu pula, ketika menduduki tahta kerajaan Tumapel menggantikan Sang Anusapati ayahnya, Sri Seminingrat kemudian berbesanan dengan adik kandung perempuannya.

    Terjadi pernikahan sesama cucu Sang Anusapati. Putri Seminingrat bernama Nararya Turukbali menikah dengan Jayakatwang, putra adik kandung perempuan Seminingrat. 

    Perkawinan antara Jayakatwang dengan Nararya Turukbali adalah perkawinan atar saudara sepupu.

    Pernikahan seperti itu pernah pula dilakukan maharaja Erlangga yang menikah dengan kakak sepupunya yaitu Dewi Laksmi, putri kedua maharaja Dharmawangsa Teguh.

    Pernikahan antar saudara sepupu juga terjadi dalam pernikahan Sri Seminingrat dengan Waning Hyun.

    Berdasarkan prasasti Mula Malurung 1255M diketahui bahwa Waning Hyun adalah putri sulung Bhatara Parameswara MAHISA WONGA TELENG

    Ayah Waning Hyun ini adalah paman dari Sri Seminingrat karena Mahisa Wonga Teleng adalah adik seibu lain ayah dengan Sang Anusapati ayah Sri Seminingrat. 

    Berdasarkan Serat Pararaton, Mahisa Wonga Teleng adalah putra sulung pasangan Rangga Rajasa Ken Arok dan Ken Dedes, sedangkan Anusapati putra sulung pasangan Tunggul Ametung dengan Ken dedes.

    Dari garis kekerabatan itu, diketahui Waning Hyun sebagai adik atau saudara sepupu Sri Seminingrat.

    Terkait pernikahan antara Nararaya Turukbali dengan Jayakatwang atau pernikahan antara keturunan Seminingrat dengan keturunan adik kandungnya, rupa rupanya Sri Seminingrat mengikuti langkah yang pernah ditempuh Sang Anusapati ayahnya yaitu berbesanan dengan adik kandung Mahisa Wonga Teleng dengan menjodohkan Seminingrat dengan Waning Hyun. 

    Jika ayahnya berbesanan dengan adik sepupu seibu beda ayah, Seminingrat berbesanan dengan adik kandung sendiri, menjodohkan putrinya Nararya Turukbali dengan Sri JAYAKATWANG kemenakannya. 

    Sekali lagi, semua perkawinan antar saudara itu bertujuan untuk menjaga keaslian darah keluarga raja yang pada masa itu sangat dijunjung tinggi. 

    Dan sekali lagi, sangat pantas pula ketika mengeluarkan piagam kerajaan pemganugerahan desa Mula Malurung kepada Sang Pranaraja, Sri Maharaja Seminingrat menyebut dengan tegas bahwa Sri Jayakatwang adalah menantu sekaligus kemenakannya. 

    Penempatan JAYAKATWANG dalam prasasti Mula Malurung 1255M juga untuk menegaskan bahwa Nararya Turukbali dan Sri Jayakatwang sama sama cucu sang Anusapati, ayahanda Seminingrat, yang sepantasnya mendapat kedudukan terhormat di dalam keluarga raja.

    Merujuk pembahasan Slamet Muljana, Pararaton dan Kidung Harsawijaya menceritakan Jayakatwang menyimpan dendam karena leluhurnya, Kertajaya, dikalahkan Ken Arok pendiri Tumapel. Suatu hari ia menerima kedatangan Wirondaya putra Aria Wiraraja yang menyampaikan surat dari ayahnya, berisi anjuran supaya Jayakatwang segera memberontak karena saat itu Tumapel sedang dalam keadaan kosong, ditinggal sebagian besar pasukannya ke luar Jawa. 

    Adapun Aria Wiraraja adalah mantan pejabat Tumapel yang dimutasi ke Sumenep karena dianggap sebagai penentang politik Kertanagara.

    Dikisahkan dalam Pararaton, Kidung Harsawijaya, dan Kidung Panji Wijayakrama, Jayakatwang dipengaruhi Arya Wiraraja supaya memberontak. 

    Arya Wiraraja adalah mantan pejabat Singhasari yang sakit hati karena dimutasi ke Sumenep. Aria Wiraraja atau Banyak Wide adalah tokoh pengatur siasat Raden Wijaya dalam usaha penaklukan Daha pada 1293M dan pendirian Kerajaan Majapahit. 

    Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya mengisahkan Arya Wiraraja semula menjabat sebagai rakryan demung pada masa pemerintahan Kertanagara di Singhasari. Namun karena sikapnya menentang politik luar negeri raja, ia pun dipindahkan menjadi bupati Sumenep. Wiraraja merasa sakit hati. Ia mengetahui kalau Jayakatwang bupati Gelang Gelang berniat memberontak, untuk membalas kekalahan leluhurnya, yaitu Kertajaya raja terakhir Kadiri yang digulingkan Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel. Wiraraja pun mengirim surat melalui putranya yang bernama Wirondaya, yang berisi saran supaya Jayakatwang segera melaksanakan niatnya, karena saat itu sebagian besar tentara Singhasari sedang berada di luar Jawa. 

    Jayakatwang melaksanakan saran Aria Wiraraja. Pada 1292M Jayakatwang mengirim pasukan kecil yang dipimpin Jaran Guyang menyerbu keraton Singasari dari utara, atau dari arah Hering. Jadi melalui lembah timur gunung Penanggungan. Pasukan Jaran Guyang berderap riuh merajalela di sepanjang perjalanan menuju kotaraja Singasari. Sudah barang tentu para penduduk di sepanjang perjalanan itu gemetar kocar kacir, mengungsi dan sebagian mencari perlindungan ke Singasari sekaligus menyampaikan pesan kepada pihak keraton.

    Mendengar kabar penyerbuan itu, Sri Kertanagara memerintahkan Nararya Sanggramawijaya dan Ardharaja memimpin pasukan menghadang laju pasukan musuh dari utara. Nararya Sanggramawijaya diiringi para kesatria terkemuka Tumapel seperti Arya Adikara, Banyak Kapuk, Ranggalawe, Pedang, Sora, Dangdi, Ki Ageng Gajah Pagon, serta tiga putra Arya Wiraraja yaitu Nambi, Peteng, dan Wirot. Semua prajurit terbaik itu melawan pasukan Daha di bagian utara serentak mengamuk dan pasukan Jaran Guyang terpukul mundur.

    Namun sesungguhnya pasukan kecil itu hanya bersifat pancingan supaya pertahanan kota Singasari kosong. Tanpa diduga bergeraklah pasukan besar dari Daha yang datang dari tepi sungai Laksa menuju daerah Lawor, diam diam tanpa menimbulkan kegaduhan, tanpa mengibarkan panji panji. Sedatangnya di Sidhabuwana langsung berderap menuju kota Singasari. Yang menjadi pemimpin adalah Patih Daha Kebo Mundarang, Pudot, dan Bawong.

    Ardharaja putra Jayakatwang, tentu saja berada dalam posisi sulit karena harus menghadapi pasukan ayahnya sendiri. Ketika mengetahui kekalahan Singhasari, Ardaraja berbalik meninggalkan pasukan Raden Wijaya, bergabung dengan pasukan Daha atau Gelang Gelang. Saat itu Sri Kertanagara sedang mengadakan pesta minuman keras sebagai salah satu ritual agamanya. Dengan gagah keluar menghadapi serangan musuh. Sang maharaja Tumapel itu akhirnya gugur di Balai Manguntur sebagai kesatria bersama Mpu Raganata, Patih Kebo Anengah, Panji Angragani, dan Tumenggung Wirakreti.

    Kotaraja Singasari jatuh. Tumapel dikuasai sepenuhnya oleh Jayakatwang. Jayakatwang lalu menjadi raja, dengan Daha sebagai pusat pemerintahannya.

    Sementara Nararya Sanggramawijaya melarikan diri ke Terung di utara Singhasari. Karena terus dikejar musuh rombongan memilih pergi ke timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu, Nararya Sanggramawijaya menyeberangi Selat Madura meminta perlindungan Arya Wiraraja penguasa Songeneb.

    ===========
    SIWI SANG

    Tulisan sudah unggah di :
    http://www.kompasiana.com/siwisang/jayakatwang-sang-penakluk_552c1a646ea8340a588b456a

    Tulisan telah diperbarui pada 11/10/2016

    Reverensi Bacaan: 

    Prof. Slamet Muljana: Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta Bhratara. 1979M. 

    Slamet Muljana: Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit.Yogyakarta LKIS. 2005M. 

    Prasasti Mula Malurung 1255M

    Serat Pararaton

    Kakawin Negarakertagama