JAYAKATWANG dalam beberapa literatur sejarah sering disebut dengan nama Jayakatong, Aji Katong, atau Jayakatyeng. Dalam berita Tiongkok dikenal sebagai Haji Katang. Nagarakertagama dan Kidung Harsawijaya menempatkan Jayakatwang sebagai keturunan Sri Kertajaya maharaja terakhir Panjalu Kadiri.
Mpu Prapanca dalam Kakawin Nagarakertagama atau Desawarnnana meriwayatkan,
setelah pada 1222M berhasil menghancurkan maharaja Kertajaya, Ranggah Rajasa
Sang Amurwabhumi atau yang dalam Serat Pararaton dikenal sebagai KEN AROK, mengangkat Jayasabha putra Kertajaya sebagai raja di daerah
Kadiri. Kakawin Negarakertagama masih memuat berita pada 1258M Jayasabha digantikan putranya bernama Sastrajaya dan pada 1271M
Sastrajaya digantikan putranya bernama Jayakatwang.
Jika yang dikatakan Mpu Prapanca benar adanya maka dapat disimpulkan bahwa
ayah Jayakatwang adalah Sastrajaya yang berkuasa di daerah Kadiri mulai 1258M
sampai 1271M. Sastrajaya adalah putra kandung Jayasabha atau cucu langsung maharaja
Kertajaya.
Jika ditarik garis ke atas, Jayakatwang berada dalam garis langsung dengan
Erlangga, tokoh yang pertama membangun kerajaan Panjalu Daha.
Dalam prasasti Mula Malurung 1255M, Maharaja Tumapel Seminingrat menyebut
Sri Jayakatwang sebagai menantu juga kemenakannya.
Sebagai menantu karena Sri Jayakatwang berpermaisuri rajamuda gelang Gelang
Nararya Turukbali putri Seminingrat.
Menurut tafsir SIWI SANG, Jayakatwang ditulis sebagai kemenakan Seminingrat karena ibunya adalah adik
kandung Seminingrat.
Ketegasan maharaja Tumapel Sri Seminingrat menempatkan Jayakatwang sebagai
kemenakannya dalam Prasasti Mula Malurung 1255M lebih mengandung arti bahwa
Jayakatwang adalah putra kandung dari adik kandung perempuan Seminingrat.
Dengan kata lain, Ibu kandung Jayakatwang adalah adik kandung
Seminingrat.
Di sini, ibu Jayakatwang masih termasuk keturunan langsung Sang Anusapati
maharaja Tumapel sebelum Seminingrat.
Dari latar belakang itu, maka terasa sangat layak Jayakatwang disebut
dengan tegas dalam prasasti Mula Malurung 1255M sebagai kemenakan Sri
Seminingrat.
Sri Seminingrat juga memiliki
alasan kuat menjodohkan Nararya Turukbali putri bungsunya dengan Jayakatwang
sang kemenakan yaitu untuk semakin menguatkan tali kekerabatan trah Sang
Anusapati atau mengumpulkan balung pisah keluarga Tumapel.
Prasasti Kudadu 1294M
meriwayatkan Sri Jayakatwang memiliki putra bernama Ardharaja, yang menjadi
menantu Kertanagara.
Tidak jelas diketahui siapa
putri Sri Kertanagara yang menjadi istri Ardharaja. Sangat mungkin adalah putri
sulungnya.
Lepas dari persoalan siapa putri
Sri Kertanagara yang berjodoh atau yang menjadi isteri Ardharaja, dapat kita
ambil kesimpulan bahwa hubungan Jayakatwang dengan Sri Kertanagara adalah
saudara sepupu sekaligus besan. Suatu
hubungan kekeluargaan yang sangat komplit dan akrab.
Dalam sejarah pararaja klasik, sangat lumrah ketika ada seorang raja
mengikat tali keluarga menjodohkan keturunannya dengan keturunan saudara
kandung sendiri. Tujuannya supaya darah keturunan raja tersebut tidak pergi
kemana mana, masih tetap dalam satu keluarga, atau garis keturunan seorang raja
tetap utuh menurun sampai bawah.
Karena alasan itu pula, ketika menduduki tahta kerajaan Tumapel
menggantikan Sang Anusapati ayahnya, Sri Seminingrat kemudian berbesanan dengan
adik kandung perempuannya.
Terjadi pernikahan sesama cucu Sang Anusapati. Putri Seminingrat bernama
Nararya Turukbali menikah dengan Jayakatwang, putra adik kandung perempuan
Seminingrat.
Perkawinan antara Jayakatwang dengan Nararya Turukbali adalah perkawinan
atar saudara sepupu.
Pernikahan seperti itu pernah pula dilakukan maharaja Erlangga yang menikah
dengan kakak sepupunya yaitu Dewi Laksmi, putri kedua maharaja Dharmawangsa
Teguh.
Pernikahan antar saudara sepupu juga terjadi dalam pernikahan Sri
Seminingrat dengan Waning Hyun.
Berdasarkan prasasti Mula Malurung 1255M diketahui bahwa Waning Hyun adalah
putri sulung Bhatara Parameswara MAHISA WONGA TELENG.
Ayah Waning Hyun ini adalah paman dari Sri Seminingrat karena Mahisa Wonga
Teleng adalah adik seibu lain ayah dengan Sang Anusapati ayah Sri
Seminingrat.
Berdasarkan Serat Pararaton, Mahisa Wonga Teleng adalah putra sulung
pasangan Rangga Rajasa Ken Arok dan Ken Dedes, sedangkan Anusapati putra sulung
pasangan Tunggul Ametung dengan Ken dedes.
Dari garis kekerabatan itu, diketahui Waning Hyun sebagai adik atau saudara
sepupu Sri Seminingrat.
Terkait pernikahan antara Nararaya Turukbali dengan Jayakatwang atau
pernikahan antara keturunan Seminingrat dengan keturunan adik kandungnya, rupa
rupanya Sri Seminingrat mengikuti langkah yang pernah ditempuh Sang Anusapati
ayahnya yaitu berbesanan dengan adik kandung Mahisa Wonga Teleng dengan
menjodohkan Seminingrat dengan Waning Hyun.
Jika ayahnya berbesanan dengan adik sepupu seibu beda ayah, Seminingrat
berbesanan dengan adik kandung sendiri, menjodohkan putrinya Nararya Turukbali
dengan Sri JAYAKATWANG kemenakannya.
Sekali lagi, semua perkawinan antar saudara itu bertujuan untuk menjaga
keaslian darah keluarga raja yang pada masa itu sangat dijunjung tinggi.
Dan sekali lagi, sangat pantas pula ketika mengeluarkan piagam kerajaan
pemganugerahan desa Mula Malurung kepada Sang Pranaraja, Sri Maharaja
Seminingrat menyebut dengan tegas bahwa Sri Jayakatwang adalah menantu
sekaligus kemenakannya.
Penempatan JAYAKATWANG dalam prasasti Mula Malurung 1255M juga untuk
menegaskan bahwa Nararya Turukbali dan Sri Jayakatwang sama sama cucu sang
Anusapati, ayahanda Seminingrat, yang sepantasnya mendapat kedudukan terhormat
di dalam keluarga raja.
Merujuk pembahasan Slamet Muljana, Pararaton dan Kidung Harsawijaya
menceritakan Jayakatwang menyimpan dendam karena leluhurnya, Kertajaya,
dikalahkan Ken Arok pendiri Tumapel. Suatu hari ia menerima kedatangan
Wirondaya putra Aria Wiraraja yang menyampaikan surat dari ayahnya, berisi
anjuran supaya Jayakatwang segera memberontak karena saat itu Tumapel sedang
dalam keadaan kosong, ditinggal sebagian besar pasukannya ke luar Jawa.
Adapun Aria Wiraraja adalah
mantan pejabat Tumapel yang dimutasi ke Sumenep karena dianggap sebagai
penentang politik Kertanagara.
Dikisahkan dalam Pararaton,
Kidung Harsawijaya, dan Kidung Panji Wijayakrama, Jayakatwang dipengaruhi Arya
Wiraraja supaya memberontak.
Arya Wiraraja adalah mantan
pejabat Singhasari yang sakit hati karena dimutasi ke Sumenep. Aria Wiraraja atau Banyak Wide adalah tokoh
pengatur siasat Raden Wijaya dalam usaha penaklukan Daha pada 1293M dan
pendirian Kerajaan Majapahit.
Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya mengisahkan Arya Wiraraja
semula menjabat sebagai rakryan demung pada masa pemerintahan Kertanagara di
Singhasari. Namun karena sikapnya menentang politik luar negeri raja, ia pun
dipindahkan menjadi bupati Sumenep. Wiraraja merasa sakit hati. Ia mengetahui
kalau Jayakatwang bupati Gelang Gelang berniat memberontak, untuk membalas
kekalahan leluhurnya, yaitu Kertajaya raja terakhir Kadiri yang digulingkan Ken
Arok pendiri Kerajaan Tumapel. Wiraraja pun mengirim surat melalui putranya
yang bernama Wirondaya, yang berisi saran supaya Jayakatwang segera
melaksanakan niatnya, karena saat itu sebagian besar tentara Singhasari sedang
berada di luar Jawa.
Jayakatwang melaksanakan saran
Aria Wiraraja. Pada 1292M Jayakatwang mengirim pasukan kecil yang dipimpin
Jaran Guyang menyerbu keraton Singasari dari utara, atau dari arah Hering. Jadi
melalui lembah timur gunung Penanggungan. Pasukan Jaran Guyang berderap riuh
merajalela di sepanjang perjalanan menuju kotaraja Singasari. Sudah barang tentu
para penduduk di sepanjang perjalanan itu gemetar kocar kacir, mengungsi dan
sebagian mencari perlindungan ke Singasari sekaligus menyampaikan pesan kepada
pihak keraton.
Mendengar kabar penyerbuan itu,
Sri Kertanagara memerintahkan Nararya Sanggramawijaya dan Ardharaja memimpin
pasukan menghadang laju pasukan musuh dari utara. Nararya Sanggramawijaya
diiringi para kesatria terkemuka Tumapel seperti Arya Adikara, Banyak Kapuk,
Ranggalawe, Pedang, Sora, Dangdi, Ki Ageng Gajah Pagon, serta tiga putra Arya
Wiraraja yaitu Nambi, Peteng, dan Wirot. Semua prajurit terbaik itu melawan
pasukan Daha di bagian utara serentak mengamuk dan pasukan Jaran Guyang
terpukul mundur.
Namun sesungguhnya pasukan kecil
itu hanya bersifat pancingan supaya pertahanan kota Singasari kosong. Tanpa
diduga bergeraklah pasukan besar dari Daha yang datang dari tepi sungai Laksa
menuju daerah Lawor, diam diam tanpa menimbulkan kegaduhan, tanpa mengibarkan
panji panji. Sedatangnya di Sidhabuwana langsung berderap menuju kota Singasari.
Yang menjadi pemimpin adalah Patih Daha Kebo Mundarang, Pudot, dan Bawong.
Ardharaja putra Jayakatwang,
tentu saja berada dalam posisi sulit karena harus menghadapi pasukan ayahnya
sendiri. Ketika mengetahui kekalahan Singhasari, Ardaraja berbalik meninggalkan
pasukan Raden Wijaya, bergabung dengan pasukan Daha atau Gelang Gelang. Saat
itu Sri Kertanagara sedang mengadakan pesta minuman keras sebagai salah satu
ritual agamanya. Dengan gagah keluar menghadapi serangan musuh. Sang maharaja
Tumapel itu akhirnya gugur di Balai Manguntur sebagai kesatria bersama Mpu
Raganata, Patih Kebo Anengah, Panji Angragani, dan Tumenggung Wirakreti.
Kotaraja Singasari jatuh.
Tumapel dikuasai sepenuhnya oleh Jayakatwang. Jayakatwang lalu menjadi raja,
dengan Daha sebagai pusat pemerintahannya.
Sementara Nararya
Sanggramawijaya melarikan diri ke Terung di utara Singhasari. Karena terus
dikejar musuh rombongan memilih pergi ke timur. Dengan bantuan kepala desa
Kudadu, Nararya Sanggramawijaya menyeberangi Selat Madura meminta perlindungan
Arya Wiraraja penguasa Songeneb.
===========
SIWI SANG
Tulisan sudah unggah di :
http://www.kompasiana.com/siwisang/jayakatwang-sang-penakluk_552c1a646ea8340a588b456a
Tulisan telah diperbarui pada 11/10/2016
Tulisan sudah unggah di :
http://www.kompasiana.com/siwisang/jayakatwang-sang-penakluk_552c1a646ea8340a588b456a
Tulisan telah diperbarui pada 11/10/2016
Reverensi Bacaan:
Prof. Slamet Muljana: Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta Bhratara. 1979M.
Slamet Muljana: Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit.Yogyakarta
LKIS. 2005M.
Prasasti Mula Malurung 1255M
Kakawin Negarakertagama
Featured Post
Tafsir Sejarah Lumajang Kesultanan Islam Tertua di Jawa Harus Dikaji Ulang
Social Counter