Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Monday, June 29, 2015

    KENTRUNG MBOK GIMAH PERNAH DIPANDANG SEBAGAI KESENIAN PALING NISTA


    Di Tulungagung ada satu kesenian tradisi tinggal satu satunya dan boleh dibilang menjelang punah yaitu Kentrung SETIA RUKUN dengan dalang mbok Gimah. 

     

    Mbok Gimah saat tampil di Balai Budaya Tulungagung akhir tahun 2014
    Ia mulai main Kentrung sekitar tahun 1962 menjadi pengamen bersama ayahnya. Sampai kemudian Mbok Gimah mengalami masa kejayaan sebagai seorang dalang Kentrung Tulungagung sekitar tahun 1985-1996. 

    Pada masa jaya sampai sekarang mbok Gimah menampilkan Kentrung di atas panggung terhormat. Mbok Gimah tidak lagi mengamen Kentrung keliling desa sampai pelosok

    Pada masa jaya, mbok Gimah kerap pentas di luar kota seperti Surabaya, Yogyakarta, Solo,  Banyuwangi, Malang, dan beberapa kota lain di Jawatimur. Yang paling berkesan ketika menampilkan Kentrung di Taman Mini Indonesia Indah tahun 1988 dan 1989. Itu tergolong pentas terjauh yang dialami mbok Gimah.

    Dan pada masa jaya, mbok Gimah banjir tanggapan. terutama pada bulan Sura dan Agustus, tidak ada kata libur pentas kecuali atas keinginan sendiri. Yang paling laris ada dua lakon yaitu kisah Walisongo dan Syeh Subakir Pasang Tumbal di Tanah Jawa.



    Mbok Gimah mewarisi seni Kentrung dari Giran, bapaknya. Bapaknya adalah dalang kentrung. Kakek dan nenek dari pihak ayah dan ibu merupakan pemain Kentrung. Jadi turun temurun berasal dari keluarga Kentrung.

    Anehnya keturunan mbok Gimah yang cuma seorang tidak mewarisi bakat kemampuannya sebagai seorang dalang Kentrung. Mbok Gimah memiliki seorang anak yang kini sudah berkeluarga dan menurunkan seorang cucu untuknya.

    Itu terjadi karena jaman mbok Gimah kecil atau masih keliling ngamen bersama ayahnya, ia merasakan Kentrung sebagai kesenian paling nista. Nistanya Kentrung menurut mbok Gimah karena dulu seni Kentrung digunakan untuk ngamen. Bagi sebagian kalangan, kehidupan seorang pengamen dipandang sebagai pekerjaan hina.  

    Karena memandang Kentrung sebagai kesenian nista, Mbok Gimah lebih berharap putranya dapat sekolah tinggi, jangan sampai seperti dirinya yang tidak dapat membaca dan menulis alias buta huruf.  


    Dan sekarang mbok Gimah merasa menyesal tidak dapat menurunkan Kentrung kepada putranya hanya lantaran beranggapan Kentrung sebagai kesenian nista. Ia menyadari sekarang pekerjaan sebagai pengamen tidaklah hina.

    Mbok Gimah di rumah Batangsaren Tulungagung, Sabtu, 27/6/2015





    Jaman sekarang minat masyarakat terutama generasi muda pada kesenian tradisi Kentrung Tulungagung tidak seperti beberapa tahun silam. Sekarang terbilang memudar. Hal itu menurut mbok Gimah antara lain disebabkan banjirnya hiburan jenis elektun atau campursarian dangdut. 

    Kentrung memang tidak ada acara joged. Jika ada yang masih datang menonton pentas Kentrung, lebih karena kesenian tradisi ini sudah tergolong langka. Alasan lain mengapa Kentrung masih ditonton terutama kalangan sepuh karena mengandung pitutur luhur.

    Dalam satu minggu sekarang mbok Gimah tidak selalu ada permintaan pentas kentrung. Sekali lagi beda dengan jaman jaya dahulu dimana hampir setiap minggu ada pementasan. 

    Dalam seni Kentrung yang utama adalah olah suara. Kini mbok Gimah sangat menyadari jika dirinya sudah tidak seperti dulu lagi dalam mementaskan Kentrung. Sekarang mbok Gimah mengaku suaranya sudah tidak sekuat dulu. 

    Suatu ketika mbok Gimah pentas di daerah Rejotangan. Selesai pentas dipuji seorang penonton yang mengatakan jika suaranya sangat bagus. Mbok Gimah tentu saja bingung tidak mengerti di mana sisi bagusnya suara yang menurutnya sudah sangat terbatas itu.

    Tapi memang begitulah tanggapan atau penilaian sebagian penonton. Mbok Gimah merasa suaranya tidak bagus dan tidak kuat lagi, tetapi masih ada yang berpendapat atau menilai sebaliknya.

    BERSAMBUNG.
    ----------------
     SIWI SANG





    No comments:

    Post a Comment