Di Tulungagung ada satu kesenian tradisi tinggal satu satunya dan boleh dibilang menjelang punah yaitu Kentrung SETIA RUKUN dengan dalang mbok Gimah.
Mbok Gimah saat tampil di Balai Budaya Tulungagung akhir tahun 2014 |
Pada masa jaya sampai sekarang mbok Gimah menampilkan Kentrung di atas panggung terhormat. Mbok Gimah tidak lagi mengamen Kentrung keliling desa sampai pelosok.
Pada masa jaya, mbok Gimah kerap pentas di luar kota seperti Surabaya, Yogyakarta, Solo, Banyuwangi, Malang, dan beberapa kota lain di
Jawatimur. Yang paling berkesan ketika menampilkan Kentrung di Taman Mini Indonesia Indah tahun 1988 dan 1989. Itu tergolong pentas terjauh yang dialami mbok Gimah.
Dan pada masa jaya, mbok
Gimah banjir tanggapan. terutama pada bulan Sura dan Agustus, tidak ada kata
libur pentas kecuali atas keinginan sendiri. Yang paling laris ada dua lakon yaitu kisah Walisongo
dan Syeh Subakir Pasang Tumbal di Tanah Jawa.
Mbok Gimah mewarisi seni Kentrung dari Giran, bapaknya. Bapaknya adalah dalang kentrung. Kakek
dan nenek dari pihak ayah dan ibu merupakan pemain Kentrung. Jadi turun temurun
berasal dari keluarga Kentrung.
Anehnya keturunan mbok Gimah yang cuma seorang tidak mewarisi
bakat kemampuannya sebagai seorang dalang Kentrung. Mbok Gimah memiliki seorang
anak yang kini sudah berkeluarga dan menurunkan seorang cucu untuknya.
Itu terjadi karena jaman
mbok Gimah kecil atau masih keliling ngamen bersama ayahnya, ia merasakan Kentrung sebagai kesenian paling nista. Nistanya Kentrung menurut mbok Gimah
karena dulu seni Kentrung digunakan untuk ngamen. Bagi sebagian kalangan,
kehidupan seorang pengamen dipandang sebagai pekerjaan hina.
Karena memandang Kentrung sebagai kesenian nista, Mbok Gimah lebih berharap putranya dapat sekolah tinggi, jangan sampai seperti dirinya yang tidak dapat membaca dan menulis alias buta huruf.
Karena memandang Kentrung sebagai kesenian nista, Mbok Gimah lebih berharap putranya dapat sekolah tinggi, jangan sampai seperti dirinya yang tidak dapat membaca dan menulis alias buta huruf.
Dan sekarang mbok Gimah merasa menyesal tidak dapat menurunkan Kentrung kepada
putranya hanya lantaran beranggapan Kentrung sebagai kesenian nista. Ia
menyadari sekarang pekerjaan sebagai pengamen tidaklah hina.
Mbok Gimah di rumah Batangsaren Tulungagung, Sabtu, 27/6/2015 |
Jaman sekarang minat masyarakat terutama generasi muda pada
kesenian tradisi Kentrung Tulungagung tidak seperti beberapa tahun silam.
Sekarang terbilang memudar. Hal itu menurut mbok Gimah antara lain disebabkan
banjirnya hiburan jenis elektun atau campursarian dangdut.
Kentrung memang tidak ada acara joged. Jika ada yang masih datang
menonton pentas Kentrung, lebih karena kesenian tradisi ini sudah tergolong
langka. Alasan lain mengapa Kentrung masih ditonton terutama kalangan sepuh
karena mengandung pitutur luhur.
Dalam satu minggu sekarang mbok Gimah tidak selalu ada permintaan
pentas kentrung. Sekali lagi beda dengan jaman jaya dahulu dimana hampir setiap minggu ada
pementasan.
Dalam seni Kentrung yang utama adalah olah suara. Kini mbok Gimah
sangat menyadari jika dirinya sudah tidak seperti dulu lagi dalam mementaskan
Kentrung. Sekarang mbok Gimah mengaku suaranya sudah tidak sekuat dulu.
Suatu ketika mbok Gimah pentas di daerah Rejotangan. Selesai
pentas dipuji seorang penonton yang mengatakan jika suaranya sangat bagus. Mbok
Gimah tentu saja bingung tidak mengerti di mana sisi bagusnya suara yang
menurutnya sudah sangat terbatas itu.
Tapi memang begitulah tanggapan atau penilaian sebagian penonton.
Mbok Gimah merasa suaranya tidak bagus dan tidak kuat lagi, tetapi masih ada
yang berpendapat atau menilai sebaliknya.
BERSAMBUNG.
----------------
SIWI SANG
No comments:
Post a Comment