Prasasti Patapan menggunakan bahasa Jawa baru seperti prasasti Biluluk dan Karang Bogem. Prasasti ini dikeluarkan Bhatara Hyang Wisesa atau Wikramawardhana. Prasasti ini dikeluarkan untuk menguatkan atau meneguhkan atau hamagehaken titah atau perintah Bhatara Sang Mokta Ring Paring Malaya atau Bhre Tumapel I Kertawardhana.
Dalam buku Tatanegara
Madjapahit, Parwa
1-2. yayasan Prapantja, Jakarta, 1962, Muhamad Yamin menerjemahkan
kalimat: titi jesta
cirah 7 sebagai bulan Jesta tahun saka ketujuh yang diterjemahkan
tahun saka 1307 atau 1385M.
Hanya berdasarkan berita Serat
Pararaton, Wikramawardhana naik sebagai maharaja Majapahit menggantikan
mertuanya, Hayam Wuruk, pada tahun 1389M.
Meski ada kemungkinan suatu prasasti
dikeluarkan seorang tokoh yang bukan maharaja, akan tetapi melihat isi prasasti
ini, Siwi Sang berpendapat bahwa sangat kuat dugaan pada waktu mengeluarkan
prasasti untuk meneguhkan perintah kakeknya, Bhatara Hyang Wisesa
Wikramawardhana sudah menjadi maharaja Majapahit.
Jadi angka tahun yang lebih
tepat kiranya bulan Jesta tahun saka 1317 atau 1395M.
Dalam prasasti Patapan terdapat
seorang tokoh yang namanya sudah terhapus. Tokoh ini seorang Janggan atau ulama
desa Patapan.
Apakah ini berkaitan dengan
kedatangan seorang tokoh Islam yang dikenal sebagai Maulana Malik Ibrahim yang
wafat tahun 1419M dan dimakamkan di kampung Gapura, Gresik?
Sebelum
menyimak isi prasasti Patapan, sementara akan kita tengok berita kedatangan
Maulana Malik Ibrahim ke Majapahit.
Agus
Sunyoto dalam buku WALI SONGO : Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan,
terbitan Transpustaka, 2011, menulis, menurut Babad ing Gresik, yang awal
datang ke Gresik adalah dua bersaudara keturunan Arab, Maulana Mahpur dan
Maulana Malik Ibrahim dengan tetuanya Sayyid Yusuf Mahrabi beserta 40 orang
pengiring. Maulana Mahpur dan Maulana Malik Ibrahim masih bersaudara dengan
raja Gedah. Mereka berlayar ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam sambil
berdagang. Mereka berlabuh di Gerwarasi atau Gresik pada tahun saka 1293 atau
1371M. Rombongan menghadap raja Majapahit Brawijaya, menyampaikan kebenaran
Islam. Sang raja menyambut baik kedatangan mereka tetapi belum berkenan memeluk
Islam. Lalu Maulana Malik Ibrahim diangkat oleh raja Majapahit sebagai
sahbandar atau pemimpin pelabuhan di Gresik dan diperbolehkan menyebarkan agama
Islam kepada orang Jawa dengan catatan tidak ada pemaksaan.
Agus
Sunyoto dalam buku WALISONGO masih menulis bahwa daerah yang pertama kali
dituju Maulana Malik Ibrahim adalah desa Sembalo, dekat desa Leran kecamatan
Manyar, sekitar 9 km utara Gresik, tidak jauh dari makam Fatimah binti Maimun
yang sohor itu. Maulana Malik Ibrahim kemudian menyiarkan agama Islam dengan
mendirikan masjid pertama di desa Pasucian, Manyar. Kegiatan yang dirintisnya
adalah berdagang di dekat pelabuhan., mendirikan pasar di desa Rumo, yang
menurut cerita setempat berkaitan dengan kata Rum [Persia], kediaman orang Rum.
Setelah dakwahnya berhasil di Sembalo, Maulana Malik Ibrahim pindah ke kota Gresik
tinggal di desa Sawo. Setelah itu datang ke kutaraja Majapahit, menghadap raja
dan mendakwahkan agama Islam kepada raja. Namun raja Majapahit belum berkenan
tetapi menerima kedatangan Maulana Malik Ibrahim sangat baik dan bahkan Sang
Raja menganugerahi sebidang tanah di pinggir kota Gresik yang kelak dikenal
sebagai desa Gapura. Di desa Gapura itulah Maulana Malik Ibrahim mendirikan
pesantren mendidik kader-kader pemimpin umat dan penyebar Islam yang diharapkan
melanjutkan misi perjuangannya, menyampaikan kebenaran Islam kepada masyarakat
di wilayah Majapahit yang sedang ditimpa kemerosotan akibat perang saudara.
Dari
paparan Agus Sunyoto terkait kedatangan Maulana Malik Ibrahim ke Majapahit
terjadi pada tahun 1371M. Setelah tinggal beberapa tahun di Gresik, Maulana
Malik Ibrahim mendapat anugerah raja Majapahit berupa sebidang tanah di pinggir
kota Gresik yang akan didirikan pesantren. Tidak diketahui pasti siapa raja
Majapahit yang memberikan anugerah itu.
Jika
dihubungkan dengan prasasti Patapan, kuat dugaan raja Majapahit yang memberikan
anugerah sebidang tanah kepada Maulana Malik Ibrahim raja Hayam Wuruk atas
perintah ayahnya yaitu Sri Paduka Kertawardhana Sang Mokta Ring Paring
Malaya.
Kemudian
pada masa pemerintahan Sri Wikramawardhana, anugerah itu dikukuhkan dalam
bentuk prasasti.
Sekali
lagi perlu kajian lebih lanjut.
Berikut isi prasasti Patapan
sebagaimana terjemahan Muhamad Yamin.
Lempengan depan berbunyi:
//O// surat sang aryya rajaparakrama dang acarya wisnunata. Weruhana kang para same ing patapan rarama tuha nom, makanguni buyut, weruhana para same ing patapan yen ana rajamudra handikanira talampakanira bhatara hyang wisesa hamagehaken andikanira talampakanira bhatara sang mokta ring paring Malaya dening janggan ing patapan I rehang sumalaha sahana
Lempeng belakang:
kira mpu......janggan tumrapa satkaning panlek hanut rasaning rajamudra, iku ta sumalaha tekaning kebon, sawah, makanguni pomahan, titi jesta cirah 7 //O//
TERJEMAHANNYA:
Inilah sepucuk surat dari sang aryya rajaparakrama dang acarya wisnunata tertuju pada rakyat jelata di Patapan Semua tetua baik yang berusia lanjut atau yang masih muda dan semua buyut. Ketahuilah para penduduk di Patapan bahwa jika ada bubuhan tanda cap kerajaan yang memuat titah paduka bhatara hyang Wisesa [Wikramawardhana] untuk menguatkan titah dari sri paduka yang wafat di Paring Malaya, kepada janggan [ulama desa] di Patapan bahwa Patapan akan diwariskan kepada seluruh keturunannya.Ulama mpu…janggan akan tegak berdiri begitu naskah ini selesai ditulis sesuai kehendak rajamudra [surat perintah kerajaan]. Semuanya akan diwariskan termasuk kebun sawah dan pategalan atau tanah pekarangannya. Pada bulan Jesta tahun saka ketujuh [1307/1385M]
Catatan:
Pomahan = umah, pekarangan rumah yang diyanamiPenelek = asal kata dari kata celak, cat hitam. Penelek adalah naskah pada rontal yang berisi tulisan hitam.Tumrap = naik pangkat, derajat.Sumalah = salah.
==============
SIWI SANG
Sumber bacaan:
Agus
Sunyoto, WALI SONGO : Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan. Transpustaka,
2011
Muhammad Yamin, Tatanegara
Madjapahit, Parwa 1-2. yayasan Prapantja, Jakarta, 1962.
Siwi Sang, GIRINDRA: Pararaja
Tumapel-Majapahit, 2013
No comments:
Post a Comment