panil di candi Penampihan Tulungagung poto tahun 1931 sumber https://socrates.leidenuniv.nl |
Di kecamatan Pagerwojo sekarang masih ada desa bernama Penjor. Jika benar Prasasti Kubu Kubu berangka tahun saka 827/ 17 Oktober 905M dikeluarkan Sri Dharmodaya Rakryan Watukura Haji Balitung di daerah Penampihan Tulungagung, kemungkinan besar nama Panjora merupakan arkhais atau nama kuna dari desa Penjor. Meski demikian, ini masih perlu ada kajian lebih lanjut.
panil di candi Penampihan Tulungagung diambil tahun 1931 sumber poto https://socrates.leidenuniv.nl |
Relief Candi Penampihan Tulungagung poto 1931 sumber https://socrates.leidenuniv.nl/ |
batu inskripsi di candi Penampihan sumber poto https://socrates.leidenuniv.nl |
batu inskripsi candi Penampihan Tulungagung sumber poto https://socrates.leidenuniv.nl |
sumber poto https://socrates.leidenuniv.nl |
batu ibskripsi di Candi Penampihan Tulungagung sumber poto https://socrates.leidenuniv.nl |
TULUNGAGUNG
secara administratif berbatasan dengan Blitar di timur, Trenggalek di bagian
barat, dan Kediri di sisi utara. Batas Tulungagung bagian selatan adalah
samudera Hindia. Tulungagung memiliki 19 kecamatan, yaitu Bandung, Besuki,
Boyolangu, Campurdarat, Gondang, Kalidawir, Karangrejo, Kauman, Kedungwaru, Ngantru,
Ngunut, Pagerwojo, Pakel, Pucanglaban, Rejotangan, Sendang, Sumbergempol,
Tanggunggunung, dan kecamatan Tulungagung.
Ditinjau
dari asal kata, Tulungagung berasal dari dua kata Jawa kawi yaitu Tulung dan
Agung. Tulung bermakna pertolongan atau sumber air, sedangkan agung bermakna
besar. Dengan demikian nama Tulungagung mengandung dua makna yaitu pertolongan
agung dan sumber air besar. Dua makna itu sama-sama cocok diterapkan untuk
Tulungagung.
Berdasarkan
pandangan geografis, sejak jaman Erlangga sampai jaman orde lama, wilayah
Tulungagung bagian tengah dan selatan merupakan hamparan rawa sangat luas dan
dalam. Sebelum nama Tulungagung digunakan, kabupaten di selatan sungai Brantas
ini pernah menggunakan nama kabupaten Ngrawa. Dalam cerita rakyat, Tulungagung
dikenal juga sebagai Bonorowo, artinya hutan yang berubah jadi rawa. Ini
penjelasan Tulungagung bermakna sebagai sumber air besar.
Sementara
Tulungagung bermakna sebagai pertolongan agung adalah berdasarkan pandangan
historis. Bahwa sejak jaman Medang Mataram, Tulungagung senantiasa memberikan
pertolongan besar atau agung kepada pararaja yang memerintah dalam kurun
berbeda. Di sini Tulungagung sebagai subyek yang memberi, bukannya obyek
yang menerima pertolongan agung.
Lepas
dari makna apa yang paling tepat, yang jelas istilah Tulungagung mulai
digunakan sebagai nama kabupaten pada tanggal 1 April 1901, dimana sejak itu
kabupaten Ngrawa berubah menjadi kabupaten Tulungagung. Penanggalan ini sempat
dijadikan landasan penentuan hari jadi Tulungagung, meski kemudian, pada tahun
2003, direvisi berdasarkan penanggalan prasasti Lawadan, 18 Nopember
1205M. Sampai sekarang tanggal 18 Nopember ditetapkan sebagai hari jadi
kabupaten Tulungagung.
Selama
ini boleh dibilang belum ada buku sejarah yang mengupas secara dalam sejarah
Tulungagung sebelum Majapahit runtuh. Sebagian banyak sejarawan ketika
membicarakan sejarah Tulungagung hanya menjangkau sampai masa Mataram Islam
atau masa pemerintahan Sultan Agung [1613M-1645M] dengan keberadaan seorang tokoh
yang menjadi adipati di kadipaten amancanegara Wajak yaitu Tumenggung
Surantani.
Pada
kesempatan ini kita akan mencoba menguak lebih jauh sejarah peradaban
Tulungagung berdasarkan sumber sumber sejarah primer, sekunder dan
tersier.
Tulungagung Masa kerajaan Medang Jawatengah
SRI
DHARMODAYA RAKRYAN WATUKURA HAJI BALITUNG adalah raja Medang i Poh Pitu
yang berkuasa antara tahun 898M-910M. Di awal tahun memerintah, Haji Balitung
mengeluarkan prasasti untuk satu daerah di Tulungagung yang dikenal sebagai
Prasasti Penampihan I bertarikh 820C/898M. Prasasti terbuat dari batu itu
sekarang berada di halaman candi Penampihan, desa geger, kecamatan Sendang,
Tulungagung.
Karena
Prasasti Penampihan I berkaitan dengan anugerah tanah perdikan, dapat dikatakan
sejak 898M daerah Penampihan telah memiliki struktur tata kepemerintahan meski
lingkup kecil. Ini juga menunjukkan sejak 898M, daerah Tulungagung sudah
memiliki bentuk pemerintahan merdeka dan berhak mengatur rumah tangga sendiri.
Catatan
sejarah menunjukkan, Haji Balitung adalah maharaja Medang yang pertama
mengadakan perluasan kekuasaan ke Jawatimur bahkan Bali. Pada masa itu di
Jawatimur berdiri satu kerajaan besar bernama Kanjuruhan yang berpusat di timur
gunung Kawi. Untuk menguasai Jawatimur, Haji Balitung harus menaklukkan
Kanjuruhan lebih dulu.
Diperkirakan
pada penyerbuan pertama, pasukan Haji Balitung mendapat perlawanan sengit,
terpukul mundur ke barat, sampai akhirnya berkubu di gunung Wilis atau daerah
Penampihan. kemudian atas pertolongan agung para tokoh dan penduduk
Penampihan Kubu-Kubu, Haji Balitung berhasil menaklukkan Kanjuruhan. Setelah
peristiwa itu sri maharaja rakryan Watukura haji Balitung mengeluarkan anugerah
sima perdikan kepada daerah bernama Kubu Kubu dan sewilayahnya. Anugerah
termuat dalam prasasti lempeng tembaga, dikenal sebagai Prasasti Kubu Kubu
bertarikh 827C/17 Oktober 905M.
Prasasti
Kubu Kubu terdiri dari 6 lempengan tembaga. Huruf dan bahasanya Jawakuna.
Prasasti Kubu Kubu awalnya milik seseorang di daerah Malang. Menurut Damais dan
Buchori, lempengan Prasasti Kubu Kubu berasal dari situs Penampihan.
Prasasti berangka tahun saka 827/ 17 Oktober 905M, dikeluarkan Sri Dharmodaya
Rakryan Watukura Haji Balitung.
Dalam
Prasasti Kubu Kubu menyebutkan beberapa tokoh lokal yang mendapat hadiah kain
dari kerajaan. Salah satu tokoh yang dapat dikaitkan dengan wilayah di
Tulungagung adalah Dapu Antyanta rama matuha i Panjora.
Cuplikan
Prasasati Kubu Kubu:
…rama
tpi siring pinaka saksi winkas i batwan sang jara wineh wdihan 1 ku 2 panjurwan
i brasahan sang gadanan wineh wdihan 1 ku 2 winkas sang kudang winaih wdihan 1
ku 2 tuha banwa sang wisat wineh wdihan 1 gusti sang sahan wineh wdihan 1
winkas i kubu kubu sang budunuh winaih wdihan 1 ku 2 rama matuha dapu tapel
wineh wdihan 1 ku 2 hulu wwatan i tal tal dapu mantuni wineh wdihan 1 ku 2
winkas iy unggah sri sang suddhini wineh wdihan 1 ku 2 dapu pageh rama matuha i
kasukhan wineh wdihan 1 ku 2 dapu atyanta rama matuha i panjora mwang sang
timbun wineh wdihan 1 ku 2...
Di
arah selatan Sendang atau di lereng gunung Wilis kecamatan Pagerwojo sekarang
masih ada desa bernama Penjor.
Jika benar Prasasti Kubu Kubu dikeluarkan di daerah Penampihan Tulungagung,
kemungkinan besar nama Panjora merupakan arkhais atau nama kuna dari desa Penjor.
Meski
demikian, ini masih perlu ada kajian lebih lanjut. Kembali ke pemerintahan Haji
Balitung di Medang.
Setelah
Haji Balitung wafat, tahta Medang berturut diduduki oleh Mpu Daksa, rake Layang
dyah Tulodong, dan terakhir rake Sumba dyah Wawa.
Rake
Sumba dyah Wawa berkuasa antara tahun 927M- 928M. Pada masa inilah kekuatan
Sriwijaya wangsa Selendra kembali menggempur tanah Jawa. Sriwijaya merupakan
satu-satunya musuh bebuyutan wangsa Sanjaya. Pada penyerbuan itu, Rakai Sumba
dyah Wawa gugur. Sementara mahamentri hino Mpu Sindok selamat dan menyingkir
bersama sisa pengikutnya ke Jawatimur. Penyerbuan Sriwijaya atas pemerintahan
Rake Sumba dyah Wawa memang tidak pernah termuat dalam prasasti yang keluar
masa kemudian. Tetapi peristiwa besar itu dapat diselusuri melalui sejarah
perseteruan kerajaan Sriwijaya dan Medang.
Tulungagung Masa Kerajaan Medang Jawa Timur
Berdasarkan
prasasti Turyyan 929M, diketahui Mpu Sindok membangun keraton baru pertama di
Tamwlang. Sri maharaja makadatwan i tamwlang. Tamwlang hanya ditemukan dalam
prasasti ini. Diperkirakan berada di desa Tambelang, Jombang. Kemudian
berdasarkan prasasti Anjukladang 937M, Mpu Sindok memindah ibukota Medang ke
Watugaluh, masih di daerah Jombang.
Mendengar
kerajaan Medang muncul di Jawatimur, kekuatan wangsa Selendra di Jawatengah
tidak tinggal diam. Mereka berderap ke timur melalui jalur darat atau pedalaman,
dengan tujuan utama menghacurkan pemerintahan Mpu Sindok. Karenanya pasukan itu
dihadang di daerah Anjukladang atau Nganjuk. Dua kekuatan bertempur dahsat.
Sriwijaya harus mengakui bahwa pedalaman Jawatimur bukan tempat yang cocok
untuk berperang. Sriwijaya tidak mampu menjangkau sungai Brantas di timur
Kertosono, tidak mampu memukul pusat pertahanan di daerah Jombang. Pasukan
besar wangsa Selendra terpukul mundur. Kemenangan mpu Sindok itu berkat bantuan
kekuatan para penduduk Anjukladang. Mpu Sindok kemudian menganugerahi daerah
Anjukladang sebagai sima perdikan dan dikukuhkan pada prasasti.
Kemudian
pada masa Sri Dharmawangsa Teguh berkuasa di kerajaan Medang Jawatimur, wangsa
Selendra yang masih membangun kekuasaan di Jawatengah berupaya mendesak ke
timur. Sementara kekuatan Medang Watan juga giat menggempur Jawatengah. Sampai
akhirnya wangsa Selendra terdesak kembali ke tanah Sumatera. Sri Maharaja
Dharmawangsa Teguh menguasai sepenjuru Jawa.
Dharmawangsa
giat membangun armada laut untuk mempermudah upaya memburu wangsa Selendra yang
membangun kekuatan di Sriwijaya Palembang. Ia mulai berpikir meluaskan
kekuasaan ke sepenjuru nusantara. Tercatat beberapa kali melayarkan armada laut
menyerbu Palembang.
Tetapi
peristiwa dahsat pecah pada sekitar 1006M, saat pasukan gabungan Lwaram dan
Sriwijaya datang menggelombang menghancur kejayaan Sri maharaja Dharmawangsa
Teguh. Raja Sriwijaya yang menyokong kekuatan dahsat Lwaram itu adalah Sri
Marawijayattunggawarman, putra Cundamaniwarman dari wangsa Selendra. Raja ini
keturunan Balaputradewa. Hancurnya Sri Maharaja Dharmawangsa termuat dalam
prasasti Pucangan yang dikeluarkan Erlangga tahun 1041M:
rikalaning
pralaya ring yawadwiparikang sakalala 928 ri prahara haji wurawari maso mijil
sangke lwaram, ekarnawa rupanikang sayawa dwipa rikangkala.
Ketika terjadi pralaya di pulau Jawa pada 928 saka atau
1006M, akibat prahara yang dilancarkan raja Wurawari dari Lwaram, pulau Jawa
pada waktu itu bagaikan lautan.
Pada waktu itu berlangsung pesta merayakan penikahan
Erlangga dengan Dewi Laksmi, putri sulung Dharmawangsa. Sri Dharmawangsa dan
permaisuri gugur. Sementara dalam kawalan Narottama, Erlangga dan permaisurinya
berhasil mengungsi ke barat, menuju sebuah asrama Pandita di Wanagiri.
Beberapa bulan kemudian Erlangga
dan Narottama menuju desa Terep di kaki gunung Penanggungan, berlindung dan
berguru pada seorang pandita penganut agama Siwa. Erlangga menyunting putri
sulung pandita Terep sebagai istri selir.
Ketika
Medang i Watan runtuh, beberapa kerajaan bawahannya seperti Wengker,
Hasin, Wuratan, Lewa, dan Lodoyong memerdekakan diri. Lodoyong di selatan
sungai Brantas, diperkirakan wilayahnya mulai dari alas Lodaya hingga daerah
Kamulan Parahyangan di kaki gunung Wilis, batas Hasin. Menurut Koes Indarto dalam
buku Katuturanira Maharaja Erlangga, kerajaan Lodoyong berpusat di daerah
Tulungagung sekarang. Sementara pusat kerajaan Hasin berada di sekitar kota
Trenggalek atau di barat sungai Ngasinan.
Pada
sekitar 1009M, datang para pandita dan kesatria ke pertapaan Terep, menemui
Erlangga, meminta supaya menjayakan kembali kerajaan Medang. Erlangga
menyanggupinya. Maka perlahan Medang berkumandang di kaki gunung Penanggungan,
menaklukkan desa-desa kecil dan kerajaan-kerajaan di sekitar Penanggungan,
sambil mulai membangun istana baru di Watan Mas, di kaki gunung Penanggungan.
Ketika
pada 1025M Sriwijaya ditaklukan Colamandala dari India, Erlangga leluasa
melebarkan kekuasaannya. Mpu Narottama menyarankan supaya tidak tergesa
menggempur Lodoyong Tulungagung yang pada waktu itu memiliki balatentara yang
sangat tangguh. Maka untuk sementara balatentara Medang menaklukan Lewa,
Wuratan, dan Hasin.
Penaklukan
Erlangga atas kerajaan Hasin di baratdaya gunung Wilis kelak menerbitkan
prasasti Baru, 28 April 1030M. Isi prasasti itu adalah pemberian anugerah
perdikan kepada desa Baru. Adapun jasa-jasanya rakyat desa Baru karena mereka
telah memberikan layanan sebagaimana mestinya pada waktu Erlangga dan
balatentaranya berkemah di desa Baru menjelang penyerbuan ke kerajaan Hasin.
Pada waktu itu raja berjanji menjadikan desa Baru sebagai sima perdikan apabila
menang peperangan dan berhasil mengalahkan raja Hasin. Mendengar pasukan
Erlangga menaklukkan Hasin, ratu Tulodong tidak tinggal diam.
Pasukan
besar Ratu Dyah Tulodong berderap menuju lereng Penanggungan atau gunung
Arjuna, menggempur istana Erlangga di Watan Mas. Pasukan Erlangga terpukul
mundur ke utara dan bertahan di sebuah tempat bernama Patakan.
Tersingkirnya
raja Erlangga dari istana Watan Mas akibat serbuan musuh, tercatat dalam
Prasasti Terep I berangka tahun 1032M.
Berikut
cuplikan Prasasti terep I:
…sambandha
rake pangkaja dyah tumabong mapanji tumanggala sira nambah i paduka sri
maharaja mojar an hana matapan angaran i terep paraniran paladaran rikala sri
maharaja katalaya sangke wwatan mas mara i patakan hana ta sira bhatari
arccharupa kapanggih i rikang patapan i terep ngkana ta rakwa rake pangkaja
dyah tumabong maprartana ri jayasatru sri maharaja ring samara sampun pwa
pratisubaddha palungguh sri maharaja ring ratnasinghasana mwang sampun
karahatan musuh nira ring samara tke bala sahayanya ika ta nimitta rake
pangkaja dyah tumabong sumambah paduka sri maharaja tumuhwakna pratijna nira ri
bhatari ri terep ri swatantra nikang patapan i terep sthana bhatari.
Terjemahan:
Alasan
keluarnya anugerah karena rake pangkaja dyah tumabong mapanji tumanggala
mendoakan paduka sri maharaja di sebuah pertapaan bernama Terep. Ketika itu sri
maharaja baru saja tersingkir dari istana wwatan mas menuju ke patakan.
Terdapat arca bhatari di pertapaan terep. Disanalah rake pangkaja dyah tumabong
berlindung dan mendoakan kemenangan sri maharaja atas musuhnya dari samara atau
medan perang. Setelah raja kembali bertahta di atas singgasana permata dan
setelah berhasil mengalahkan musuhnya itu, maka menghadaplah rake pangkaja dyah
tumabong lalu mengajukan permohonan yang dahulu dipanjatkan kepada bhatari di
terep supaya pertapaan tempat berdirinya arca bhatari tersebut ditetapkan sebagai
daerah swatantra.
Prasasti Terep tidak secara tegar menyebut nama ratu
perempuan perkasa yang berhasil mengalahkan Erlangga. Dari penafsiran Prasasti
Terep dan Pucangan, Koes Indarto dalam buku Katuturanira Maharaja Erlangga,
berpendapat bahwa Sang Penakluk itu bernama ratu Dyah Tulodong dari kerajaan
Lodoyong yang berpusat di selatan sungai Brantas atau Tulungagung sekarang.
Prasasti
Terep dan Prasasti Pucangan menulis ratu itu bertubuh serupa raksasa dengan
kekuatan melebihi manusia biasa. Ungkapan itu adalah simbolisasi bahwa
perempuan penakluk dari daerah selatan itu memiliki kekuatan luar biasa serupa
raksasa atau melebihi kekuatan orang biasa, bukan bentuk tubuh ratu itu
mengerikan serupa raksasi atau raksasa perempuan. Tentunya penulis Prasasti
memiliki alasan mengapa menyebut ratu Tulodong bertubuh serupa raksasa.
Prasasti yang tulisannya berbentuk kidung ini memang bertujuan untuk memuji
sosok Erlangga sebagai maharaja titisan Wisnu. Sementara Ratu Tulodong adalah
pemuja Durga. Dalam pemahaman ajaran Trimurti, Batara Durga merupakan salah
satu sakti atau istri Dewa Siwa.
Sampai kemudian pada tahun 1032M, Erlangga berhasil
menaklukkan kekuasaan ratu Tulodong di Lodoyong. Tetapi Ratu
Tulodong mendapat pengampunan Erlangga, tetap memimpin Lodoyong sebagai bawahan
Medang. Beberapa waktu kemudian, setelah
menundukkan Lodoyong, balatentara Medang menyerbu Lwaram. Kekuatan Lodoyong
bergabung merajalela di Lwaram. Lwaram lautan api, raja Wurawari hancur.
Setelah
menaklukkan Lodoyong, Erlangga tidak menempati istana Watan Mas, melainkan
membangun keraton baru bernama Kahuripan. Ini karena Erlangga memiliki
pemahaman dan keyakinan seperti leluhurnya Mpu Sindok, bahwa istana yang pernah
diduduki musuh bakal menciptakan kekuatan buruk jika tetap ditempati. Tiga
tahun setelah penaklukkan Lodoyong, Erlangga bersama kekuatan Lodoyong bersatu
kembali menggempur Wengker yang terletak tepat di barat Lodoyong atau Hasin.
Prasasti Pucangan menulis rangkaian penaklukan Erlangga terhadap Lodoyong dan
Wengker.
Berikut
cuplikan terjemahan Prasasti Pucangan:
Ada
sebuah negeri di bagian selatan yang dipimpin seorang perempuan perkasa
bertubuh serupa raksasa. Dengan gagah berani beliau memasuki daerah yang hampir
tak dapat dimasuki itu pada tahun saka 954/1032M. Pada waktu itulah nama raja
semakin harum lantaran menaklukan dan membakar daerah Jawa bagian selatan.
Bagai
seekor naga api dengan lidahnya, menjilat kekiri kekanan. Kemudian daerah
selatan paling mengerikan di tanah Jawa itu ditetapkan sebagai daerah taklukan.
Setelah mendapat banyak harta rampasan yang dihadiahkan kepada para hambanya,
kemasyuran sang raja setara para brahmana dan petapa.
Terdorong
keinginan mencari nama, pergilah beliau sesudah itu menuju ke Barat pada tahun
957 Saka/1035M tanggal 13 paroterang, bulan Badrapada, hari Rabu, membawa
balatentara tak terhitung banyaknya lengkap dengan prajurit bertenaga kuat dan
yang ingin berperang (pasukan Lodoyong). Dengan tepuk gemuruh dunia, beliau
berhasil memetik kemenangan mengalahkan raja bernama Wijaya —raja Wengker
Wijayawarman.
Mencermati
prasasti Pucangan yang menulis ratu penakluk dari daerah selatan sungai Brantas
bertubuh serupa raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Sebenarnya ini
hanya kiasan, bukan berarti nyata wujud raksasa atau raksasa perempuan bertubuh
menakutkan bertaring menyeramkan. Ungkapan itu simbolisasi bahwa ratu Tulodong
berkekuatan dahsat serupa raksasa serta menganut ajaran Siwa aliran Bhairawa.
Dalam pandangan penganut Wisnu seperti Erlangga, ajaran Siwa Bhairawa dianggap
lebih rendah derajatnya sehingga dirupakan sebagai raksasa. Prasasti itu
bertujuan memuji sosok Erlangga sebagai maharaja titisan Wisnu. Sekali lagi,
pihak yang berkuasa berhak menulis berita sejarah sesuai haluan keyakinannya. Ini
ternyata terus dilakukan para penguasa di masa kemudian.
Penyerupaan
ratu Tulodong sebagai raksasa mirip penyebutan denawa untuk Endang Sasmitapuri,
ibu arya Damar. Babad Tanah Jawi mencatat adipati Palembang arya Damar
merupakan putera Prabhu Brawijaya dari putri denawa bernama Endang Sasmitapuri,
yang sewaktu hamil diusir dari keraton dan melahirkan arya Damar di hutan
Wanasalam. Endang Sasmitapuri tidak bertubuh raksasa. Sebutan denawa dalam
cerita babad bertujuan untuk merendahkan derajat para penganut ajaran Siwa
aliran Bhairawa.
Setelah
Wengker takluk pada 1035M, Erlangga dapat dikatakan berhasil menjadi maharaja
Medang. Semua kerajaan di Jawatimur dan Jawatengah dalam kekuasaannya.
Kegemilangan Sri Maharaja Erlangga juga tercetak pada prasasti Turun Hyang I,
1036M, bertepatan dengan penganugerahan sima pada penduduk Turun Hyang atas
segala jasanya menjaga pertapaan Sriwijayasrama serta tempat-tempat suci
lainnya di gunung Pugawat. Dalam prasasti ini ibukota Erlangga di Kahuripan.
Dapat dikatakan pada masa ini Erlangga adalah raja Medang i Kahuripan.
Hingga
pada tahun 1036M, rombongan utusan Ratu Tulodong menuju kotaraja Kahuripan,
menyampaikan berita kepada Erlangga. Isi pokok berita dari bhumi Lodoyong itu
tentang banjir sungai Brantas yang kembali menjebol tanggul di daerah Waringin
Sapta atau Ringin Pitu, merusak sawah-sawah penduduk brang kidul, membikin
hasil tanam melorot, membikin pajak bumi yang diangkut ke Kahuripan berkurang
jumlahnya. Bukan sekali dua kali tanggul rontok, tetapi banyak kali,
berlangsung bertahun-tahun. Setiap jebol, tanggul selalu ditutup dibendung,
tetapi setiap datang musim hujan, banjir Brantas selalu naik menjebol
menggerus, mengalir bebas ke selatan, mengisi setiap palungan, menenggelamkan
sepertiga bhumi Lodoyong, menyentuh daerah-daerah sima di barat Waringin Sapta
seperti Kalang, Kalagyan, Thani Jumput, biara-biara, bangsal-bangsal tempat
para pertapa di Kamulan, bangunan suci tempat pemujaan dewa, dan
pertapaan-pertapaan daerah Labapura bagi sang Hyang Dharmma ring Isanabhawana
di Surapura.
Pada
waktu itu banjir sungai Brantas diperkirakan membobol tanggul di daerah Ngunut
atau sekitar desa Kaliwungu ke arah hilir sampai sekitar desa Pulotondo.
Dari sana banjir mengalir ke selatan membentuk aliran sungai baru setiap musim
hujan. Banjir rutin itu menjadikan daerah palungan di lembah pegunungan
Walikukun dan Indrakila tergenangi air melimpah membentuk hamparan rawa.
Daerah-daerah tersebut dekat pegunungan kapur, sangat mungkin permukaan
tanahnya menjadi mampat. Dari daerah Boyolangu, banjir bergerak ke utara
mengalir menuju kaki Wilis di daerah Kamulan, Kalangbret atau sekitar thani
Bala [thani Bala= desa Bolo, sekarang Bolorejo]
Sepertiga
wilayah Brang Kidul Lodoyong berubah menjadi hamparan rawa. Karena meski musim
hujan selesai, limpahan air banjir yang sudah mengisi palung dan lembah-lembah
tidak dapat keluar atau mengalir balik menuju sungai Brantas.
Demikianlah
awal mula terciptanya rawa di selatan sungai Brantas Tulungagung.
Kiranya
itu lebih terasa masuk akal dari riwayat terciptanya rawa di Tulungagung akibat
pencabutan Sada Lanang sebagaimana kisah terjadinya rawa di Rawa Pening
Ambarawa dengan kisal legenda Baruklinting dan Sada Lanang.
Kembali
ke istana Kahuripan.
Kiranya
Erlangga masih teringat peristiwa di penghujung 1030M, saat kekuatan Lodoyong
menghancur istana Watan Mas. Meski sudah ditaklukkan, Lodoyong tetap memiliki
kekuatan besar, sanggup sewaktu-waktu menggempur Kahuripan. Dari segi politik
dan keamanan negara, peristiwa bencana di Lodoyong terbilang rawan. Jika tidak
segera ditanggulangi atau diperhatikan secara khusus, besar kemungkinan
menimbulkan pergolakan daerah.
Alasan
politik Erlangga terhadap Brang Kidul itu juga disinggung dalam buku Babad
Tulungagung.
Sangat
mungkin pada waktu itu daerah selatan Brantas atau Lodoyong, sejak lama
terkenal dengan hasil panen padi unggulan, utamanya padi hitam, barang dagangan
yang banyak dicari para pedagang Tiongkok. Diperkirakan setelah menjadi daerah
bawahan Medang Kahuripan, Lodoyong dikenal sebagai salah satu pemasok pajak
hasil bumi terbesar di Jawa Timur.
Pertanian
di Lodoyong juga mendukung kegiatan perdagangan di pelabuhan Hujung Galuh.
Bencana itu menimbulkan gagal panen dalam waktu panjang, mengakibatkan
perdagangan di Hujung Galuh terganggu. Kapal-kapal dari pulau lain banyak yang
kesulitan mencari barang dagangan, utamanya beras dan hasil bumi unggulan
Lodoyong. Lesunya perdagangan di Hujung Galuh akibat banjir di Brang Kidul ini
kelak tersirat dalam prasasti Kamalagyan 1037M.
Maka
setelah memertimbangkan segalanya, atas nama kesejahteraan dan ketenteraman
negeri, serta memandang bakti besar Ratu Tulodong, Sri Maharaja Erlangga segera
mengambil kebijakan hebat, membangun bendungan besar, berjuang mengendalikan
banjir musiman sungai Brantas di Lodoyong.
Pembangunan
ini membutuhkan banyak tenaga. Sudah barang tentu sepasukan prajurit Kahuripan
datang ke Lodoyong, bergabung dengan pasukan Ratu Tulodong dan para penduduk
brang kidul.
Pasukan
tanggap bencana dari Kahuripan itu menempati bukit tidak jauh di selatan sungai
Brantas yang kelak bernama Pulotandha
/Pulotondo, artinya tanah tempat berdiam para tandha atau
prajurit.
Di
timur laut desa Pulotandha inilah diperkirakan banjir sungai Brantas naik
menggerus tebing sungai, menciptakan sungai baru menuju arah Boyolangu dan
sekitarnya. Daerah di selatan Pulotandha/Pulotondo terendam air rawa.
Selesai
pembangunan tanggul di sisi selatan sungai Brantas, mereka melanjutkan dengan
membuat sungai sebagai jalan mengeluarkan air yang sudah menjadi hamparan rawa.
Sungai baru itu memanjang dari selatan ke utara, dari arah Boyolangu menuju
tebing sungai Brantas di daerah Kelagyan. Air rawa dapat mengalir melalui
sungai itu. Para penduduk kelak menyebut sungai itu sebagai sungai Ngrawa atau Ngrawa/Sungai Rowo, artinya sungai
yang airnya berasal dari rawa.
Tapi
memang air rawa tidak benar-benar habis. Penyebabnya adalah dasar sungai
Brantas ternyata lebih tinggi dari daerah palungan di lembah Indrakila dan
beberapa daerah lain di Lodoyong. Jika banjir berhenti, sungai mengalir ke
utara, tetapi jika musim banjir, air sungai Brantas mendesak masuk melalui
muara sungai Ngrawa di desa Kelagen itu.
Maka
kemudian di muara sungai Ngrawa dibangun semacam pintu terbuat dari gelondongan
kayu yang sewaktu-waktu dapat dibuka dan ditutup. Kelak yang bertugas menjaga
pintu bendungan itu adalah para penduduk desa Kelagyan dibantu penduduk desa
sekitar Waringin Sapta. Menaikkan dan menurunkan pintu bendungan ini jelas
butuh tenaga banyak.
Menjelang
pembangunan bendungan Waringin Sapta selesai, melapor beberapa prajurit telik
sandi kepada Erlangga. Bahwa Raja Wijayawarmma yang pernah ditaklukkan
Erlangga, berupaya memerdekakan diri dan melancarkan pemberontakan. Rupanya
kabar pembangunan bendungan di Lodoyong terdengar sampai Wengker. Lodoyong
berada tepat di timur Wengker, di antara dua kerajaan ini merupakan wilayah
Hasin. Wengker tentu berpikir bahwa pelaksanaan pembangunan besar-besaran itu
sangat menguras tenaga dan perhatian kekuatan Medang Kahuripan. Sebagian besar
tercurah untuk menyelesaikan pembangunan bendungan Maharaja itu. Ini yang
kemudian dimanfaatkan Wengker untuk mencoba mengadakan semacam pemberontakan,
memerdekakan diri.
Maka
begitu pembangunan bendungan Waringin Sapta rampung, pasukan gabungan Medang
dan Lodoyong berderap dari Lodoyong menuju Wengker. Dalam prasasti memberitakan
bahwa pasukan itu berderap ke arah barat lalu menghancurkan Wengker. Raja
Wijayawarmma melarikan diri.
Tetapi
patih Wengker bersama sebagian prajuritnya menyerah dan mendapat ampunan
Erlangga. Sebagai tanda bakti, patih Wengker bersedia menunaikan titah
Erlangga, menghukum Wijayawarmma. Janji itu terbukti. Raja Wikjayawarmma gugur
terpancung bekas patihnya sendiri.
Selepas
menghancurkan Wengker dan menyelesaikan pembangunan bendungan Waringin Pitu,
pada bulan kartika tahun saka 959 atau 1037M, Sri Maharaja Erlangga
mengeluarkan prasasti berisi pemberian anugerah berupa pengurangan —bukan
pembebasan— pajak-pajak hasil bumi yang seharusnya disetor ke istana dari desa
Kamalagyan dan sewilayahnya, tepian sungai dan rerawanya, dari Kalagyan, serta
dari Kakalangan. Anugerah itu dikeluarkan sebagai imbalan kepada penduduk
Kamalagyan dan sekitar Kakalangan yang telah berjasa besar menyelesaikan
pembangunan bendungan Waringin Sapta. Anugerah ini sekaligus kewajiban penerima
anugerah untuk menjaga sepenuhnya keamanan bendungan maharaja. Dalam prasasti
bendungan ini disebut sebagai Bendungan Maharaja.
Meski
telah dibangun bendungan Maharaja, selama lebih empat abad, rawa luas itu tetap
ada. Meski telah dibangun sungai baru yang mengalir ke utara dari arah
Bhayalangu yang kelak disebut sungai Ngrawa, akan tetapi kerap ketika musim
banjir, arus sungai Ngrawa mengalir ke selatan, lantaran banjir Brantas naik
mendesak muara sungai Ngrawa atau Singai Rowo.
Prasasti
Kamalagyan merupakan prasasti Batu. Beberapa prasasti batu yang ditemukan
sekarang, bukan berada pada letak semula melainkan pindahan dari tempat lain
seperti Prasasti Kembangsore atau Mojojejer, juga Prasasti Jiyu, 1486M. Jadi
tidak heran jika sekarang Prasasti Kamalagyan berada di Dukuh Klagen, Tropodo,
Krian, Sidoarjo.
Analisa
yang menguatkan bahwa prasasti Kamalagyan bukan jenis prasasti in situ atau
sudah berpindah dari tempat semula dapat dilihat dari penyebutan nama-nama
daerah seperti Kamalagyan, Waringin Sapta, Kakalangan, Kala, Kalagyan, dan
Kamulan dalam prasasti Kamalagyan. Sementara prasasti Baru, 28 April 1030M, dan
prasasti Kamulan1194M, prasasti Waringin Pitu 1447M juga menulis nama-nama tersebut.
Kamulan Parhyanan kelak berubah menjadi Desa Kamulan, berbatasan dengan desa
Baru atau Baruharjo, kecamatan Durenan, Trenggalek, berbatasan langsung dengan
Tulungagung. Kakalangan,
Kala, nama kuna di wilayah desa Kalangbret, Tulungagung. Kalagyan, nama kuna
dusun Kelagen, Kecamatan Karangrejo, Tulungagung. Waringin Sapta atau Wringin
Pitu sekarang berganti menjadi desa Ringin Pitu. Letaknya tidak jauh di selatan
sungai Brantas Tulungagung.
Berdasarkan prasasti Kamalagyan tahun 1037M, Maharaja
Erlangga sepenuhnya berhasil menaklukkan Jawatimur, menguasai kerajaan-kerajaan
lain, seperti seperti Wura-Wari, Wengker, Hasin, Lodoyong, Wuratan, dan Lewa.
Maharaja Erlangga pada tahun itu bersemayam di keraton Kahuripan, menjadi
maharaja Medang bergelar Sri Maharaja Rake halu Sri Lokeswara Dharmawangsa
Erlangganama Prasadottunggadewa. Sang Prabhu didampingi Rakryan Kanuruhan Mpu
Narottama.
Maharaja
Erlangga memiliki dua istri, permaisuri dan selir. Dari permaisuri, menurunkan
Dewi Kilisuci atau Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi dan Mapanji
Samarawijaya. Sementara dari selir, menurunkan Mapanji Garasakan, dan Mapanji
Alanjung Ahyes.
Seluruh
putra Maharaja Erlangga ketika itu ditempatkan di keraton masing-masing. Dewi
Kilisuci sebagai putri mahkota menempati keraton Kadiri di barat sungai
Brantas. Samarawijaya menempati keraton Daha di timur sungai Brantas. Mapanji
Garasakan menempati keraton Jenggala di timur gunung Kawi. Mapanji Alanjung
Ahyes diperkirakan menempati keraton Hasin.
Pada
masa itu putri mahkota Dewi Kilisuci belum menikah. Padahal usianya sudah cukup
dewasa. Berdasarkan Babad Tanah Jawi, putri makhota Erlangga ini meninggalkan
kehidupan keraton sebelum menikah, menjadi seorang petapa di goa Selamangleng,
lereng timur gunung Wilis. Di Tulungagung juga ada goa bernama Selomangleng.
Dipastikan
Sanggramawijaya atau Dewi Kilisuci melepas jabatan putri mahkota atau
meninggalkan keraton Kediri antara sekitar 1037M sampai 1041M. Pada prasasti
Kamalagyan bertarikh 1037M, namanya masih tercatat sebagai mahamentri hino.
Sementara pada prasasti Pucangan bertarikh 1041M, mahamentri hino sudah
berganti kepada Samarawijaya, adik kandungnya.
Pada
tahun 1041M, Erlangga mengeluarkan prasasti Pucangan. Tak lama setelah itu,
Erlangga memindah ibukota kerajaannya ke Daha. Dalam Prasasti Pamwatan, 20
Nopember 1042M, ibukota kerajaan Erlangga sudah di Dahana atau Daha. Serat
Calonarang, 1540M juga menyebut Daha sebagai istana terakhir Erlangga. Prof.
Slamet Muljana juga berpendapat istana terahir Erlangga di Daha. Jadi di akhir
pemerintahannya, Erlangga adalah raja Medang bhumi Daha.
Belum
dapat dipastikan latarbelakang mengapa Erlangga mendadak meninggalkan istana
Kahuripan menuju Daha. Kesimpulan sementara yang dimajukan adalah setelah Dewi
Kilisuci meninggalkan keraton Kediri bertapa di goa Selamangleng, putra mahkota
Samarawijaya dipindah dari Daha ke Kediri, atau dari timur ke barat sungai
Brantas, sementara Mapanji Alanjung Ahyes pindah ke Kahuripan, sedangkan
Mapanji Garasakan tetap di Jenggala di timur gunung Kawi. Keberadaan Erlangga
di keraton Daha juga memudahkan hubungan dengan putinya yang sudah bertapa di
goa Selamangleng. Jarak antara keraton Daha dengan keraton Kediri atau goa Selamangleng
hanya dibatasi sungai Brantas.
Berpindahnya
pusat pemerintahan kerajaan Medang dari Kahuripan ke pedalaman Daha, membuat
daerah sekitarnya semakin berkembang, termasuk Tulungagung atau pada waktu itu
bernama Lodoyong. Setelah pembangunan bendungan Maharaja, pertanian di
Tulungagung berkembang pesat, karena melimpahnya air untuk daerah pertanian
padi. Sungai Brantas semakin ramai oleh kehadiran perahu-perahu dari arah
pelabuhan Hujung Galuh menuju Daha atau Tulungagung. Keberadaan perahu-perahu
besar yang melayari sungai Brantas kelak termuat pula dalam prasasti Jaring
bertarikh 1181M.
Sampai
kemudian Erlangga menghadapi persoalan besar, perebutan takhta antara kedua
putranya, Mahamentri i Hino Sri Samarawijaya dengan Mahamentri i Sirikan Mapanji
Garasakan. Sampai kemudian untuk memecahkan persoalan, Sri Erlangga memutuskan
membelah negara demi kedua puteranya. Erlangga menyerahkan sepenuhnya pada Mpu
Bharada.Setelah mendapat wewenang khusus dari Erlangga, Mpu Bharada segera
menjalankan tugas berusaha mendamaikan kedua putra Erlangga, mengunjunginya
bergantian, menasihati supaya berhenti berperang. Dianjurkan keduanya sudi
menerima bagian yang telah mereka kuasai masing-masing. Samarawijaya supaya
tetap di barat sungai Brantas atau Kediri dan akan dinobatkan sebagai Maharaja
Panjalu. Demikian pula Mapanji Garasakan yang berkuasa di timur gunung Kawi,
supaya tetap menjadi raja di sana dan akan menguasai kerajaan yang diberi nama
Jenggala. Sejak saat itu muncul dua wilayah kerajaan di barat dan timur gunung
Kawi, Panjalu di barat, Jenggala di timur. Barangsiapa membangkang, akan
dikutuk sang pandita. Keduanya tunduk dan berjanji mematuhi nasihat sang
pandita.
Jadi
pembelahan kerajaan itu maksudnya pembagian dua wilayah besar dengan garis
batas dari utara ke selatan mengikuti lajur pegunungan Penanggungan ke selatan,
terus menuju gunung Kawi, sampai selatan sungai Brantas. Dalam prasasti
Mahaksyobhaya dan kakawin Negarakertagama, penentuan garis batas alam itu
disimbolkan dengan pembuatan garis batas gaib melalui kisah pengucuran air kendi oleh Mpu
Bharada. Meski kental nuansa dongeng, akan tetapi tidak menghilangkan kebenaran
sejarah perihal kebijakan Erlangga membagi kekuasaan kepada Samarawijaya dan
Mapanji Garasakan. Berikut terjemahan kakawin Negarakertagama pupuh 68
berdasarkan pembacaan Prof. Slamet Muljana:
“Inilah sejarah Kamal Pandak menurut tutur yang dapat
dipercaya. Suatu ketika Sri Nata Panjalu Daha Maharaja Erlangga berkehendak
membelah tanah Jawa lantaran cinta pada kedua putranya. Tersebutlah seorang
pandita Boddha Mahayana yang putus dalam kitab tantra dan yoga, bermukim di
tengah kuburan Lemah Tulis, sosok yang senantiasa menjadi pelindung rakyat,
ketika mengunjungi pulau Bali hanya berjalan kaki, tenang menapak permukaan
lautan. Mpu Bharada namanya, sosok yang paham tiga jaman. Girang beliau
menyambut permohonan Maharaja Erlangga supaya membelah Negara. Maka perbatasan
negara ditandai dengan air kendi yang mancur dari angkasa. Dari barat ke timur
sampai lautan. Lalu dari utara ke selatan. Daerah selatan yang jaraknya tidak
begitu jauh bagaikan terpisah samudera besar. Di daerah selatan itu sang
pandita turun dari angkasa, berhenti di atas pohon kamal, berniat menaruh kendi
suci di desa Palungan untuk mengakhiri penentuan garis batas kerajaan. Tetapi
sebelum menginjak tanah, sang pandita murka lantaran jubahnya terkait puncak
pohon kamal yang tumbuh menjulang tinggi. Mpu Barada terbang ke angkasa lagi
lalu mengutuk pohon kamal menjadi pandak atau kerdil. Itulah tugu batas gaib
yang tidak boleh dimasuki kekuasaan Panjalu dan Jenggala. Itulah sebab mengapa
sekarang dibangun candi. Tujuannya supaya menyatukan tanah Jawa kembali. Dengan
demikian semoga baginda prabu serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada, Berjaya
memimpin negara yang kini sudah kembali bersatu-padu”.
Dalam pupuh selanjutnya Prapanca menyebutkan candi yang
dibangun di Kamal Pandak bernama candi Prajnaparamitapuri atau candi
Wisesapura, candi makam bagi sang Rajapatni dyah Gayatri. Candi makam di
Bhayalangu Tulungagung ini sohor sebagai tempat keramat, tiap bulan badrapada
disekar para pembesar kerajaan dan para pandita.
Dongeng tersangkutnya jubah Mpu Barada pada pohon asem
alas atau pohon kamal mengandung arti Mpu Barada mendapat rintangan besar
ketika melakukan pembelahan Negara, sehingga tugasnya tidak sempurna. Ada
sebuah daerah yang tidak berhasil dijangkau atau tidak mau tunduk pada
kekuasaan Panjalu maupun Jenggala. Karena itu Mpu Barada yang hampir selesai
menentukan daerah-daerah mana saja yang masuk kekuasaan Panjalu dan
daerah-daerah mana yang masuk wilayah Jenggala, menjadi murka pada penolakan
penguasa daerah brang kidul yang ingin merdeka. Padahal daerah itu digolongkan
sebagai daerah berkedudukan lebih rendah dari daerah sekitar, dilambangkan
sebagai daerah palungan atau cekungan. Daerah itu memutuskan berdiri sendiri,
serupa menjulangnya pohon kamal di tanah cekungan melebihi ketinggian
pohon-pohon lain di tanah lebih tinggi. Daerah palungan melawan kekuatan atau
kehendak Mpu Barada. Meski demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan
kesepakatan dua belah pihak, bahwa sejak saat itu brang kidul menjadi daerah
merdeka, dengan syarat harus menghormati kekuasaan Panjalu dan Jenggala. Sang
pandita mengabarkan kemerdekaan brang kidul ibarat tugu gaib ujung batas sebelah
selatan yang tidak boleh dilintasi Panjalu dan Jenggala.
Demikianlah, pembelahan negara yang dilakukan Mpu Barada
berjalan kurang sempurna. Ada satu daerah di selatan sungai Brantas yang
berdiri sendiri, tidak termasuk bagian Panjalu yang dipimpin Samarawijaya,
maupun Jenggala yang dirajai Mapanji Garasakan. Daerah merdeka itu adalah
Lodoyong yang sekarang menjadi Tulungagung.
Tulungagung Masa kerajaan
Panjalu Dan Jenggala
AKAN tetapi pembelahan kerajaan Erlangga justru
menimbulkan sikap saling menaklukkan antara Panjalu dan Janggala. Masing-masing
berkeinginan menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Pada awalnya Jenggala
unggul.
Yang berkuasa di Jenggala setelah masa Erlangga adalah Sri
Maharaja Mapanji Garasakan, Sri Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes dan. Sri
Maharaja Rake Halu Pu Juru Samarotsaha.
Sementara di Panjalu antara lain Sri
Samarawijaya, Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu, Sri Bameswara Sakalabhuwana,
dan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya.
Pada tahun 1038C/1116M, raja Sri Bameswara Sakalabhuwana mengeluarkan prasasti yang dikenal
sebagai Prasasti Padlegan I.
Pada masa Sri Jayabaya, dengan semboyan
Panjalu Jayati alias Panjalu Menang, Panjalu unggul atas Jenggala. Berita
kemenangan besar itu diceritakan dalam prasasti Ngantang.
Setelah Jayabaya wafat akibat pemberontakan Rake Sirikan
Sri Sarweswara pada 1159M, tanah Jawa kembali bergolak, Panjalu dan Jenggala
kembali berseteru. Kemelut perebutan tahta di Panjalu
membikin keturunan Jenggala tergugah bangkit melepaskan diri dari kekuasaan
Panjalu. Jenggala tetap memusatkan kekuatannya di timur gunung Kawi, Kutaraja.
Sementara
itu pusat pemerintahan Lodoyong yang sebelumnya berada di daerah Junjung,
Sumbergempol, Tulungagung, sejak masa Jayabaya telah bergeser ke timur di
daerah Lodoyo. Pada akhir pemerintahan Jayabhaya di Panjalu Daha, wilayah
Lodoyong pecah menjadi dua, di timur dan barat sungai Jimbe. Daerah Lodoyong
bagian timur kelak bernama Lodaya, sementara daerah Lodoyong bagian barat
bernama Ngrawa karena sebagian besar wilayahnya berupa hamparan rawa. Wilayah
Ngrawa mulai dari sungai Jimbe ke barat sampai Penampihan gunung Wilis. Daerah
inilah yang kelak dikenal sebagai Lawadan atau menjadi wilayah Tulungagung
sekarang.
Pada
tahun 1159M raja Sarweswara mengeluarkan prasasti yang dikenal sebagai
Prasasti Padlegan II bertarikh 1081C/1159M. Prasasti ini ditemukan di desa
Pinggirsari, Ngantru, Tulungagung. Kini prasasti batu ini tersimpan di Museum
Wajakensis Tulungagung.
Prasasti Padlegan II 1159M kini di Museum Wajakensis Tulungagung |
Yang cukup menarik perhatian, dalam Prasasti Padlegan
II 1159M muncul satu nama daerah bernama Tulung Molih. Apakah Tulung Molih
merupakan nama kuna dari Tulung Agung, perlu kajian lebih lanjut. Yang pasti
prasasti ini diberikan untuk daerah di Tulungagung.
Sebelumnya,
pada tahun 1038C/1116M, raja Bameswara mengeluarkan prasasti yang dikenal
sebagai Prasasti Padlegan I. Dalam Prasasti Padlegan I menyebutkan nama nama
daerah yang sama dengan yang tercantum dalam Prasasti Padlegan II.
Munculnya
Prasasti Padlegan I pada tahun 1116M yang dikeluarkan sebagai anugerah tanah
perdikan di Tulungagung, dapat kiranya ditarik kesimpulan bahwa pada jaman raja Bameswara, wilayah Tulungagung atau waktu itu bernama Lodoyong sudah masuk
bagian wilayah kerajaan Panjalu Kediri.
Sri
Jayabhaya memiliki dua putra, Sri Aryeswara dan Sri Sarweswara. Pada
waktu Sri Jayabhaya bertahta, Sri Aryeswara menjabat sebagai mahamentri I hino,
sementara Sri Sarweswara menjabat sebagai mahamentri I Sirikan. Keduanya
termasuk kelompok mahamentri Katrini. Dalam kelompok ini, yang berposisi
tertinggi adalah Rake Hino. Dan setelah Sri Jayabhaya wafat, Rake Sirikan Sri Sarweswara
naik tahta secara tidak sah.
Sampai kemudian pada 23 Maret 1171M, berdasarkan Prasasti
Angin, yang menjadi raja Panjalu adalah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara
setelah merebut tahta dari Sri Sarweswara.
Sri Aryeswara menurunkan Kroncaryadhipa, sementara
Sarweswara menurunkan Kameswara dan Kertajaya. Setelah Aryeswara wafat, yang
menjadi raja Panjalu adalah Kroncaryadhipa.
Pada 19 Nopember 1181M, Kroncaryadhipa mengeluarkan
Prasasti Jaring, mengambil gelar abhiseka Sri Maharaja Sri Kroncaryadipa
Bhuwanapalaka Parakrama Anindita Digjaya Uttunggadewa Sri Gandra. Putra
Aryeswara ini hanya bertahta sekitar 4 tahun.
Pada 11 September 1185M, berdasarkan Prasasti Ceker,
digantikan putra sulung Sarweswara, yaitu Sri Maharaja Kameswara Triwikramawatara
Aniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa.
Setelah Kameswara wafat, tahta Panjalu Daha ditempati
oleh adiknya, Kertajaya bergelar Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara
Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.
Pada
tahun 1190M terbit prasasti bertanda lanchana raja Srengga. Prasasti batu ini
dikenal sebagai Prasasti Sapu Angin. terdapat penelitian sejarah dari Boechari
bahwa saat mengeluarkan prasasti Sapu Angin, Raja Srengga Kertajaya masih
bersetatus sebagai putra mahkota.
Dengan
demikian naiknya Srengga Kertajaya sebagai maharaja Panjalu Kadiri terjadi
setelah tahun 1190M atau antara tahun 1190M-1194M.
Naiknya Kertajaya sebagai maharaja Panjalu Kediri rupanya
membuat suasana tanah Jawa kembali bergolak. Penyebabnya karena Kertajaya bukan
putra mahkota Kameswara.
Ketika Kameswara wafat, seharusnya yang mendaki tahta di
Panjalu Kadiri adalah keturunan Kameswara dari Sasi Kirana. Itu artinya cucu
raja Jenggala yang berhak naik tahta Panjalu Kadiri. Bukannya Kertajaya, adik
Kameswara.
Inilah yang memicu kemarahan pihak Jenggala di Kutaraja
lalu menggempur Panjalu Kadiri. Raja Jenggala waktu itu adalah Sri Maharaja Girindra,
ayah Sasi Kirana. Sri Maharaja Girindra juga memiliki putra selir yang dikenal
Pararaton sebagai Ken Arok.
Pasukan
Girindra Jenggala berhasil mendesak kekuatan Panjalu Kadiri. Raja Kertajaya
mengungsi bersama pasukan pimpinan Senapati Tunggul Ametung menuju Katandan
Sakapat, Kalangbrat, Tulungagung.
Secara
tersirat peristiwa ini termuat dalam Prasasti Kamulan, 31 Agustus 1194M atau
bulan Palguna, ketujuh, tahun saka 1116.
Disebutkan
dalam prasasti bahwa raja Kertajaya tersingkir dari istana Kadiri akibat serbuan
musuh dari arah timur. Tentunya penyerbuan itu terjadi sebelum keluar Prasasti
Kamulan.
Selama
dalam pengungsian, Kertajaya menjadikan daerah Kalangbrat sebagai keraton
sementara Panjalu. Bersama sisa pasukan dan para pandita serta segenap penduduk
Katandan Sakapat Kalangbret, Senopati Tunggul Ametung menggalang
kekuatan merencanakan serangan balik.
Menjelang
bulan ketujuh 1194M. Setelah kekuatan terbangun kokoh, dengan semangat memberi
pertolongan besar kepada Maharaja Kertajaya, Senapati Tunggul Ametung
menderapkan pasukannya ke timur, menuju Turen atau Turyantapada, terus berderap
menggempur Kutaraja dan berhasil menaklukkan kerajaan yang menganut agama Siwa
di timur gunung Kawi itu. Raja Jenggala Sang Girindra tersingkir dari Kutaraja
bersama sisa pengikutnya.
Setelah
kembali bertahta di Kadiri, Sri Kertajaya berupaya mengembalikan ketentraman
dan ketertiban negara. Kebijakan penting pertama, menetapkan daerah di timur
gunung Kawi, daerah bekas pusat pemerintahan Janggala sebagai kadipaten
amancanagara bernama Tumapel, berada dibawah kekuasaan Panjalu Daha. Ibukota
Tumapel tetap di Kutaraja. Kertajaya menobatkan Senapati Tunggul Ametung
sebagai penguasa pertama kadipaten amancanagara Tumapel. Kebijakan raja ini
dikeluarkan sebagai penghargaan kepada Tunggul Ametung yang secara gemilang
menunaikan tugas negara.
Dapat
dikatakan Tumapel berdiri pada 1194M. Wilayah kekuasaannya membentang di timur
gunung Kawi ke timur sampai gunung Brahma, berbatasan dengan Lumajang, ke utara
berbatasan dengan Hering —Bangil Pamotan— ke selatan sampai daerah Turen atau
Turyantapada. Di selatan sungai Brantas, di daerah Turen, berbatasan dengan
Lodoyong.
Raja
Kertajaya juga menetapkan daerah Katandan Sakapat dan sewilayahnya termasuk
daerah Kamulan sebagai daerah perdikan atau swatantra, daerah istimewa yang
dibebaskan dari segala pungutan pajak, daerah merdeka berpemerintahan sendiri
yang kedudukannya langsung di bawah kekuasaan raja. Penganugerahan itu tertuang
dalam piagam kerajaan yang kelak bernama prasasti Kamulan, 31 Agustus 1194M.
Sebagaimana
disampaikan buku Sejarah Nasional Indonesia [SNI], Prasasti Kamulan dikeluarkan
Kertajaya setelah adanya permohonan dari para samya haji Katandan Sakapat yang
telah ikut berjuang mengembalikan raja ke singgasana di Kediri akibat serbuan
musuh dari timur. Prasasti ini
memuat keterangan bahwa Samya Haji Katandan Sakapat berdatang sembah ke hadapan
raja dengan perantaraan Pangalasan bernama Geng Adeg, menyampaikan bahwa
pihaknya menyimpan rontal berisi keputusan raja yang telah dicandikan di Jawa,
yaitu Haji Tumandah. Mereka mohon supaya keputusan itu dikukuhkan dalam bentuk
prasasti batu yang mendapat cap kerajaan Kertajaya. Dan permohonan itu
dikabulkan karena parasamya Haji Katandan sakapat telah memperlihatkan
kesetiaan mereka terhadap raja sebagaimana layaknya sikap hamba raja. Mereka
telah berhasil mengembalikan Kertajaya ke atas singgasana di Kadiri. Maka
ditulislah prasasti di atas batu yang memuat perincian anugerah Sri Tumandah
dan Sri Rajakula berupa hak-hak istimewa dan ditambah lagi anugerah dari Sri
Raja Srengga berupa pemberian hak-hak istimewa.
Dari kronologis keluarnya prasasti Kamulan sebenarnya
prasasti ini lebih diperuntukkan kepada daerah yang berada di wilayah kekuasaan
Katandan Sakapat. Daerah ini sekarang bernama desa Ketandan, Kalangbret,
Tulungagung.
Dengan kata lain pada waktu dikeluarkannya prasasti oleh
Kertajaya, daerah Kamulan dan sekitarnya masih termasuk wilayah Kalangbret
Tulungagung.
Sekarang penanggalan prasasti ini menjadi landasan
penentuan harijadi kabupaten Trenggalek. Ini karena daerah Kamulan sudah masuk
kabupaten Trenggalek.
Pada tanggal 27 Juni 1197M, raja Kertajaya mengeluarkan
prasasti Palah yang sekarang berada di candi Penataran, Blitar.
Pada tanggal 5 suklapaksa bulan
waisaka tahun 1122C atau 20 April 1200M, raja Srengga Kertajaya memberi
anugerah sima perdikan kepada Duwan di Galungung dan termuat dalam piagam
kerajaan bernama prasasti Galungung.
Secara
administrative, prasasti Galungung 1200M kini berada di wilayah dusun Soka, desa
Karangsari, Rejotangan, Tulungagung. Prasasti terbuat dari batu berbahasa dan
beraksara Jawakuna ini dikenal pula sebagai Prasasti Panjerejo. Hal itu karena
ketika pertama ditemukan pada tahun 1888M, berada di wilayah desa Panjerejo
distrik Ngunut. Sekarang Desa Panjerejo masuk kecamatan Rejotangan Tulungagung.
Dalam
tahun 1200M diperkirakan Adipati Tunggul Ametung yang menganut Wisnu menikah
dengan Ken Dedes, putri pandita Boddha Mahayana dari Panawijen Mpu
Purwwawidada.
Pada
saat Sri Girindra tersingkir dari istana, Ken Arok berusia sekitar 12 tahun.
Setelah dewasa, mengetahui sejarah Jenggala, mengetahui ayahnya tersingkir dari
istana akibat serbuan Tunggul Ametung. Setelah bertemu Pendeta Lohgawe,
bertekad membalas kekalahan ayahnya.
Sampai kemudian terdorong
keinginan kuat menjadi maharaja tanah Jawa, Ken Arok segera melancarkan
aksinya, menyingkirkan pemegang kekuasaan Tumapel, Adipati Tunggul
Ametung.
Diperkirakan
Ken Arok menduduki Tumapel pada sekitar 1203M. Atau setahun setelah raja
Panjalu Kediri Kertajaya mengeluarkan prasasti Biri pada 29 Agustus 1202M.
Sekarang daerah Biri kemungkinan besar bernama Cuwiri, dekat Kalangbret,
Tulungagung.
Pada
tanggal 4 April 1204M, raja Kertajaya kembali mengeluarkan prasasti untuk
menetapkan daerah Sumberingin Kidul sebagai tanah perdikan. Desa Sumberingin
Kidul sekarang terletak di kecamatan Ngunut, Tulungagung.
Ken
Arok mulai memimpin Tumapel pada usia 21 tahun. Pada awalnya masih berposisi
sebagai penguasa kadipaten Tumapel, tetapi kemudian setelah cukup dukungan dari
para pengikut maupun para pandita Siwa dan Boddha, pada awal tahun 1205M, Ken
Arok memisahkan diri dari Panjalu, menjadi penguasa Tumapel yang merdeka dan
mengambil gelar abhiseka Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi.
Beberapa
bulan kemudian, masih pada 1205M, Ranggah Rajasa melancarkan serangan pertama
ke Panjalu Kediri. Raja Kertajaya yang tidak menduga serangan itu terpaksa
menyingkir ke selatan sungai Brantas, mendapat perlindungan seluruh penduduk
bhumi Lawadan, Tulungagung.
Sampai
akhirnya Sri Kertajaya berhasil menduduki singgasana di istana Kediri setelah
penduduk Lawadan memukul pasukan Ranggah Rajasa.
Sebagai
balas jasa atas segala pertolongan agung itu, raja Kertajaya menganugerahi desa
atau thani Lawadan sebagai sima perdikan kerajaan Panjalu Kediri.
Prasasti
bertarikh 18 Nopember 1205M ini memberikan keterangan bahwa penduduk desa
Lawadan beserta daerah sewilayahnya telah menerima anugerah raja berupa
pembebasan pajak dan penerimaan sejumlah hak-hak istimewa seperti melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu di depan umum, mengenakan jenis-jenis pakaian dan
perhiasan tertentu, juga memakan makanan istimewa.
Selain
itu juga menyebutkan bahwa penduduk Lawadan berhak memiliki rumah dengan ciri
tertentu, memiliki tempat duduk, balai-balai, payung, serta tanaman di rumah
mereka. Ini dapat dimaknai sebagai kebebasan daerah Lawadan membentuk pusat
pemerintahan sendiri yang mandiri.
Sejak 2003, penanggalan prasasti Lawadan menjadi pedoman
hari jadi kabupaten Tulungagung.
Meski serbuan pertama gagal menjungkalkan Kertajaya,
Ranggah Rajasa tidak menghentikan upayanya menaklukkan Panjalu Kediri. Sejak 1205M, kekuatan Tumapel yang merupakan bentuk baru
kerajaan Jenggala bangkit mengemuka gigih menenggelamkan Panjalu Daha. Tumapel
mengokohkan kekuatan di timur gunung Kawi, menaklukkan beberapa kerajaan yang
dulu pernah menjadi bawahan Jenggala, seperti Lumajang, Hering atau Pamotan,
dan Madura.
Diperkirakan
sampai 1210M, para putra Ranggah Rajasa sudah lahir baik dari permaisuri Ken Dedes
maupun selir Ken Umang.
Dari
permaisuri Ken Dedes, Ranggah Rajasa menurunkan Mahisa Wonga Teleng, Panji
Saprang, Guning Bhaya, dan Dewi Rimbi.
Sementara
dari Ken Umang, Ranggah Rajasa menurunkan Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan
Wregola, dan Dewi Rimbu.
Selama
17 tahun Panjalu dan Tumapel bersaing menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa.
Keduanya kerap melangsungkan pertempuran berupaya saling menaklukkan.
Pada
1222M, pasukan Siwa dan Boddha pimpinan Ranggah Rajasa bergerak melintasi
pegunungan Kawi, menyeberangi sungai Leksa, melintasi lembah gunung Kelud
berderap di utara sungai Brantas dan di padang Ganter [sekarang diperkirakan
bernama Ngantru, Tulungagung utara sungai Brantas] bertemu pasukan Panjalu
Kediri yang menganut Wisnu. Pasukan besar Tumapel berhasil mendesak mundur kekuatan
Panjalu. Istana Kertajaya jatuh ke tangan Ranggah Rajasa sang putra Girindra.
Serat Pararaton mengisahkan Kertajaya mengungsi ke alam
dewata, bergantung-gantung di angkasa, besarta dengan kuda, pembawa payung, dan
pembawa tempat sirih, tempat air minum, tikar, semua naik ke angkasa. Berita
Pararaton ini dapat dimaknai bahwa Kretajaya mengungsi bersama pengikut
setianya dengan bekal lengkap ke sebuah tempat tinggi dan suci, tempat para
orang mulia, tempat para petapa dan pandita yang tentu saja dekat dan bersetia
kepada raja.
Sebelumnya, pada 1194M, Kertajaya pernah dilindungi
penduduk Brang Kidul Tulungagung yaitu Katandan Sakapat Kalangbret Kamulan.
Pada 1205 Kertajaya juga pernah mengungsi ke Lawadan. Dan berdasarkan
penafsiran Serat Pararaton, diperkirakan pada 1222M, raja Kertajaya beserta
beberapa anggota keluarga dan sisa pengikutnya menyingkir ke daerah Penampihan,
gunung Wilis Tulungagung, yang pada waktu itu lama terkenal sebagai tempat
parahiyangan atau pusat pertapaan dan pendidikan ilmu agama.
Dapat dikatakan bahwa daerah Tulungagung pada tahun 1222M
kembali memberikan pertolongan agung kepada maharaja Kertajaya yang menyingkir
ke Penampihan.
Bagaimana keadaan Tulungagung masa Ken Arok, tidak banyak
terbaca, apakah masuk wilayah kekuasaan Tumapel atau tidak. Yang dapat
dipastikan adalah bahwa Ken Arok tidak pernah memberikan anugerah perdikan
dalam bentuk prasasti di wilayah Tulungagung.
Bahwa Ranggah Rajasa tidak merusak atau menghancurkan
enam prasasti yang dikeluarkan Kertajaya di Tulungagung, dapat kiranya
ditafsirkan pada waktu bertahta di Tumapel, Ranggah Rajasa Ken Arok sangat
menghormati keberadaan Tulungagung sebagai salah satu daerah istimewa.
* * *
BERSAMBUNG
KE
Tulungagung Masa Kerajaan Tumapel Singasari
Tulungagung masa Kerajaan Majapahit
Tulungagung Paska Runtuhnya Majapahit
*
* *
SIWI
SANG
LIhat
juga di:
Reverensi:
Koes Indarto. Katuturanira Maharaja Erlangga, Penerbit
Prestasi Pustaka Karya. 2008.
Muhammad
Yamin. Tatanegara Majapahit, Penerbit Yayasan Prapanca, Jakarta, 1962.
Siwi
Sang. Girindra: Pararaja Tumapel-Majapahit. Tulungagung. Pena Ananda Indie
Publishing, 2013.
Slamet
Muljana. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara, 1979.
https://socrates.leidenuniv.nl/
https://socrates.leidenuniv.nl/
No comments:
Post a Comment