Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Wednesday, July 16, 2014

    Sejarah Tulungagung Tafsir Baru

    panil di candi Penampihan Tulungagung poto tahun 1931 sumber https://socrates.leidenuniv.nl





    Di kecamatan Pagerwojo sekarang masih ada desa bernama Penjor. Jika benar Prasasti Kubu Kubu berangka tahun saka 827/ 17 Oktober 905M dikeluarkan Sri Dharmodaya Rakryan Watukura Haji Balitung di daerah Penampihan Tulungagung, kemungkinan besar nama Panjora merupakan arkhais atau nama kuna dari desa Penjor.  Meski demikian, ini masih perlu ada kajian lebih lanjut. 



    panil di candi Penampihan Tulungagung diambil tahun 1931 sumber poto https://socrates.leidenuniv.nl



    Relief Candi Penampihan Tulungagung poto 1931 sumber https://socrates.leidenuniv.nl/

     
    batu inskripsi di candi Penampihan sumber poto https://socrates.leidenuniv.nl




    batu inskripsi candi Penampihan Tulungagung sumber poto https://socrates.leidenuniv.nl


    sumber poto https://socrates.leidenuniv.nl





    batu ibskripsi di Candi Penampihan Tulungagung sumber poto https://socrates.leidenuniv.nl




    TULUNGAGUNG secara administratif berbatasan dengan Blitar di timur, Trenggalek di bagian barat, dan Kediri di sisi utara. Batas Tulungagung bagian selatan adalah samudera Hindia. Tulungagung memiliki 19 kecamatan, yaitu Bandung, Besuki, Boyolangu, Campurdarat, Gondang, Kalidawir, Karangrejo, Kauman, Kedungwaru, Ngantru, Ngunut, Pagerwojo, Pakel, Pucanglaban, Rejotangan, Sendang, Sumbergempol, Tanggunggunung,  dan kecamatan Tulungagung.

    Ditinjau dari asal kata, Tulungagung berasal dari dua kata Jawa kawi yaitu Tulung dan Agung. Tulung bermakna pertolongan atau sumber air, sedangkan agung bermakna besar. Dengan demikian nama Tulungagung mengandung dua makna yaitu pertolongan agung dan sumber air besar. Dua makna itu sama-sama cocok diterapkan untuk Tulungagung.

    Berdasarkan pandangan geografis, sejak jaman Erlangga sampai jaman orde lama, wilayah Tulungagung bagian tengah dan selatan merupakan hamparan rawa sangat luas dan dalam. Sebelum nama Tulungagung digunakan, kabupaten di selatan sungai Brantas ini pernah menggunakan nama kabupaten Ngrawa. Dalam cerita rakyat, Tulungagung dikenal juga sebagai Bonorowo, artinya hutan yang berubah jadi rawa. Ini penjelasan Tulungagung bermakna sebagai sumber air besar.

    Sementara Tulungagung bermakna sebagai pertolongan agung adalah berdasarkan pandangan historis. Bahwa sejak jaman Medang Mataram, Tulungagung senantiasa memberikan pertolongan besar atau agung kepada pararaja yang memerintah dalam kurun berbeda.  Di sini Tulungagung sebagai subyek yang memberi, bukannya obyek yang menerima pertolongan agung.

    Lepas dari makna apa yang paling tepat, yang jelas istilah Tulungagung mulai digunakan sebagai nama kabupaten pada tanggal 1 April 1901, dimana sejak itu kabupaten Ngrawa berubah menjadi kabupaten Tulungagung. Penanggalan ini sempat dijadikan landasan penentuan hari jadi Tulungagung, meski kemudian, pada tahun 2003, direvisi berdasarkan penanggalan prasasti Lawadan, 18 Nopember 1205M.  Sampai sekarang tanggal 18 Nopember ditetapkan sebagai hari jadi kabupaten Tulungagung.

    Selama ini boleh dibilang belum ada buku sejarah yang mengupas secara dalam sejarah Tulungagung sebelum Majapahit runtuh. Sebagian banyak sejarawan ketika membicarakan sejarah Tulungagung hanya menjangkau sampai masa Mataram Islam atau masa pemerintahan Sultan Agung [1613M-1645M] dengan keberadaan seorang tokoh yang menjadi adipati di kadipaten amancanegara Wajak yaitu Tumenggung Surantani.

    Pada kesempatan ini kita akan mencoba menguak lebih jauh sejarah peradaban Tulungagung berdasarkan sumber sumber sejarah primer, sekunder dan tersier. 


    Tulungagung Masa kerajaan Medang Jawatengah 


    SRI DHARMODAYA RAKRYAN WATUKURA HAJI BALITUNG adalah raja Medang  i Poh Pitu yang berkuasa antara tahun 898M-910M. Di awal tahun memerintah, Haji Balitung mengeluarkan prasasti untuk satu daerah di Tulungagung yang dikenal sebagai Prasasti Penampihan I bertarikh 820C/898M. Prasasti terbuat dari batu itu sekarang berada di halaman candi Penampihan, desa geger, kecamatan Sendang, Tulungagung.

    Karena Prasasti Penampihan I berkaitan dengan anugerah tanah perdikan, dapat dikatakan sejak 898M daerah Penampihan telah memiliki struktur tata kepemerintahan meski lingkup kecil. Ini juga menunjukkan sejak 898M, daerah Tulungagung sudah memiliki bentuk pemerintahan merdeka dan berhak mengatur rumah tangga sendiri.

    Catatan sejarah menunjukkan, Haji Balitung adalah maharaja Medang yang pertama mengadakan perluasan kekuasaan ke Jawatimur bahkan Bali. Pada masa itu di Jawatimur berdiri satu kerajaan besar bernama Kanjuruhan yang berpusat di timur gunung Kawi. Untuk menguasai Jawatimur, Haji Balitung harus menaklukkan Kanjuruhan lebih dulu.

    Diperkirakan pada penyerbuan pertama, pasukan Haji Balitung mendapat perlawanan sengit, terpukul mundur ke barat, sampai akhirnya berkubu di gunung Wilis atau daerah Penampihan.  kemudian atas pertolongan agung para tokoh dan penduduk Penampihan Kubu-Kubu, Haji Balitung berhasil menaklukkan Kanjuruhan. Setelah peristiwa itu sri maharaja rakryan Watukura haji Balitung mengeluarkan anugerah sima perdikan kepada daerah bernama Kubu Kubu dan sewilayahnya. Anugerah termuat dalam prasasti lempeng tembaga, dikenal sebagai Prasasti Kubu Kubu bertarikh 827C/17 Oktober 905M. 

    Prasasti Kubu Kubu terdiri dari 6 lempengan tembaga. Huruf dan bahasanya Jawakuna. Prasasti Kubu Kubu awalnya milik seseorang di daerah Malang. Menurut Damais dan Buchori, lempengan Prasasti Kubu Kubu berasal dari situs Penampihan.  Prasasti berangka tahun saka 827/ 17 Oktober 905M, dikeluarkan Sri Dharmodaya Rakryan Watukura Haji Balitung. 

    Dalam Prasasti Kubu Kubu menyebutkan beberapa tokoh lokal yang mendapat hadiah kain dari kerajaan. Salah satu tokoh yang dapat dikaitkan dengan wilayah di Tulungagung adalah Dapu Antyanta rama matuha i Panjora.

    Cuplikan Prasasati Kubu Kubu: 

    …rama tpi siring pinaka saksi winkas i batwan sang jara wineh wdihan 1 ku 2 panjurwan i brasahan sang gadanan wineh wdihan 1 ku 2 winkas sang kudang winaih wdihan 1 ku 2 tuha banwa sang wisat wineh wdihan 1 gusti sang sahan wineh wdihan 1 winkas i kubu kubu sang budunuh winaih wdihan 1 ku 2 rama matuha dapu tapel wineh wdihan 1 ku 2 hulu wwatan i tal tal dapu mantuni wineh wdihan 1 ku 2 winkas iy unggah sri sang suddhini wineh wdihan 1 ku 2 dapu pageh rama matuha i kasukhan wineh wdihan 1 ku 2 dapu atyanta rama matuha i panjora mwang sang timbun wineh wdihan 1 ku 2..

    Di arah selatan Sendang atau di lereng gunung Wilis kecamatan Pagerwojo sekarang masih ada desa bernama Penjor. Jika benar Prasasti Kubu Kubu dikeluarkan di daerah Penampihan Tulungagung, kemungkinan besar nama Panjora merupakan arkhais atau nama kuna dari desa Penjor

    Meski demikian, ini masih perlu ada kajian lebih lanjut. Kembali ke pemerintahan Haji Balitung di Medang. 

    Setelah Haji Balitung wafat, tahta Medang berturut diduduki oleh Mpu Daksa, rake Layang dyah Tulodong, dan terakhir rake Sumba dyah Wawa. 

    Rake Sumba dyah Wawa berkuasa antara tahun 927M- 928M. Pada masa inilah kekuatan Sriwijaya wangsa Selendra kembali menggempur tanah Jawa. Sriwijaya merupakan satu-satunya musuh bebuyutan wangsa Sanjaya. Pada penyerbuan itu, Rakai Sumba dyah Wawa gugur. Sementara mahamentri hino Mpu Sindok selamat dan menyingkir bersama sisa pengikutnya ke Jawatimur. Penyerbuan Sriwijaya atas pemerintahan Rake Sumba dyah Wawa memang tidak pernah termuat dalam prasasti yang keluar masa kemudian. Tetapi peristiwa besar itu dapat diselusuri melalui sejarah perseteruan kerajaan Sriwijaya dan Medang.


    Tulungagung Masa Kerajaan Medang Jawa Timur 


    Berdasarkan prasasti Turyyan 929M, diketahui Mpu Sindok membangun keraton baru pertama di Tamwlang. Sri maharaja makadatwan i tamwlang. Tamwlang hanya ditemukan dalam prasasti ini. Diperkirakan berada di desa Tambelang, Jombang. Kemudian berdasarkan prasasti Anjukladang 937M, Mpu Sindok memindah ibukota Medang ke Watugaluh, masih di daerah Jombang.

    Mendengar kerajaan Medang muncul di Jawatimur, kekuatan wangsa Selendra di Jawatengah tidak tinggal diam. Mereka berderap ke timur melalui jalur darat atau pedalaman, dengan tujuan utama menghacurkan pemerintahan Mpu Sindok. Karenanya pasukan itu dihadang di daerah Anjukladang atau Nganjuk. Dua kekuatan bertempur dahsat. Sriwijaya harus mengakui bahwa pedalaman Jawatimur bukan tempat yang cocok untuk berperang. Sriwijaya tidak mampu menjangkau sungai Brantas di timur Kertosono, tidak mampu memukul pusat pertahanan di daerah Jombang. Pasukan besar wangsa Selendra terpukul mundur. Kemenangan mpu Sindok itu berkat bantuan kekuatan para penduduk Anjukladang. Mpu Sindok kemudian menganugerahi daerah Anjukladang sebagai sima perdikan dan dikukuhkan pada prasasti.

    Kemudian pada masa Sri Dharmawangsa Teguh berkuasa di kerajaan Medang Jawatimur, wangsa Selendra yang masih membangun kekuasaan di Jawatengah berupaya mendesak ke timur. Sementara kekuatan Medang Watan juga giat menggempur Jawatengah. Sampai akhirnya wangsa Selendra terdesak kembali ke tanah Sumatera. Sri Maharaja Dharmawangsa Teguh menguasai sepenjuru Jawa.

    Dharmawangsa giat membangun armada laut untuk mempermudah upaya memburu wangsa Selendra yang membangun kekuatan di Sriwijaya Palembang. Ia mulai berpikir meluaskan kekuasaan ke sepenjuru nusantara. Tercatat beberapa kali melayarkan armada laut menyerbu Palembang.

    Tetapi peristiwa dahsat pecah pada sekitar 1006M, saat pasukan gabungan Lwaram dan Sriwijaya datang menggelombang menghancur kejayaan Sri maharaja Dharmawangsa Teguh. Raja Sriwijaya yang menyokong kekuatan dahsat Lwaram itu adalah Sri Marawijayattunggawarman, putra Cundamaniwarman dari wangsa Selendra. Raja ini keturunan Balaputradewa. Hancurnya Sri Maharaja Dharmawangsa termuat dalam prasasti Pucangan yang dikeluarkan Erlangga tahun 1041M: 

    rikalaning pralaya ring yawadwiparikang sakalala 928 ri prahara haji wurawari maso mijil sangke lwaram, ekarnawa rupanikang sayawa dwipa rikangkala. 

    Ketika terjadi pralaya di pulau Jawa pada 928 saka atau 1006M, akibat prahara yang dilancarkan raja Wurawari dari Lwaram, pulau Jawa pada waktu itu bagaikan lautan. 

    Pada waktu itu berlangsung pesta merayakan penikahan Erlangga dengan Dewi Laksmi, putri sulung Dharmawangsa. Sri Dharmawangsa dan permaisuri gugur. Sementara dalam kawalan Narottama, Erlangga dan permaisurinya berhasil mengungsi ke barat, menuju sebuah asrama Pandita di Wanagiri.

    Beberapa bulan kemudian Erlangga dan Narottama menuju desa Terep di kaki gunung Penanggungan, berlindung dan berguru pada seorang pandita penganut agama Siwa. Erlangga menyunting putri sulung pandita Terep sebagai istri selir.

    Ketika Medang i Watan runtuh, beberapa kerajaan bawahannya  seperti Wengker, Hasin, Wuratan, Lewa, dan Lodoyong memerdekakan diri. Lodoyong di selatan sungai Brantas, diperkirakan wilayahnya mulai dari alas Lodaya hingga daerah Kamulan Parahyangan di kaki gunung Wilis, batas Hasin. Menurut Koes Indarto dalam buku Katuturanira Maharaja Erlangga, kerajaan Lodoyong berpusat di daerah Tulungagung sekarang. Sementara pusat kerajaan Hasin berada di sekitar kota Trenggalek atau di barat sungai Ngasinan.

    Pada sekitar 1009M, datang para pandita dan kesatria ke pertapaan Terep, menemui Erlangga, meminta supaya menjayakan kembali kerajaan Medang. Erlangga menyanggupinya. Maka perlahan Medang berkumandang di kaki gunung Penanggungan, menaklukkan desa-desa kecil dan kerajaan-kerajaan di sekitar Penanggungan, sambil mulai membangun istana baru di Watan Mas, di kaki gunung Penanggungan.

    Ketika pada 1025M Sriwijaya ditaklukan Colamandala dari India, Erlangga leluasa melebarkan kekuasaannya. Mpu Narottama menyarankan supaya tidak tergesa menggempur Lodoyong Tulungagung yang pada waktu itu memiliki balatentara yang sangat tangguh. Maka untuk sementara balatentara Medang menaklukan Lewa, Wuratan, dan Hasin.

    Penaklukan Erlangga atas kerajaan Hasin di baratdaya gunung Wilis kelak menerbitkan prasasti Baru, 28 April 1030M. Isi prasasti itu adalah pemberian anugerah perdikan kepada desa Baru. Adapun jasa-jasanya rakyat desa Baru karena mereka telah memberikan layanan sebagaimana mestinya pada waktu Erlangga dan balatentaranya berkemah di desa Baru menjelang penyerbuan ke kerajaan Hasin. Pada waktu itu raja berjanji menjadikan desa Baru sebagai sima perdikan apabila menang peperangan dan berhasil mengalahkan raja Hasin. Mendengar pasukan Erlangga menaklukkan Hasin, ratu Tulodong tidak tinggal diam. 

    Pasukan besar Ratu Dyah Tulodong berderap menuju lereng Penanggungan atau gunung Arjuna, menggempur istana Erlangga di Watan Mas. Pasukan Erlangga terpukul mundur ke utara dan bertahan di sebuah tempat bernama Patakan. 

    Tersingkirnya raja Erlangga dari istana Watan Mas akibat serbuan musuh, tercatat dalam Prasasti Terep I berangka tahun 1032M. 

    Berikut cuplikan Prasasti terep I:  

    …sambandha rake pangkaja dyah tumabong mapanji tumanggala sira nambah i paduka sri maharaja mojar an hana matapan angaran i terep paraniran paladaran rikala sri maharaja katalaya sangke wwatan mas mara i patakan hana ta sira bhatari arccharupa kapanggih i rikang patapan i terep ngkana ta rakwa rake pangkaja dyah tumabong maprartana ri jayasatru sri maharaja ring samara sampun pwa pratisubaddha palungguh sri maharaja ring ratnasinghasana mwang sampun karahatan musuh nira ring samara tke bala sahayanya ika ta nimitta rake pangkaja dyah tumabong sumambah paduka sri maharaja tumuhwakna pratijna nira ri bhatari ri terep ri swatantra nikang patapan i terep sthana bhatari.

    Terjemahan:

    Alasan keluarnya anugerah karena rake pangkaja dyah tumabong mapanji tumanggala mendoakan paduka sri maharaja di sebuah pertapaan bernama Terep. Ketika itu sri maharaja baru saja tersingkir dari istana wwatan mas menuju ke patakan. Terdapat arca bhatari di pertapaan terep. Disanalah rake pangkaja dyah tumabong berlindung dan mendoakan kemenangan sri maharaja atas musuhnya dari samara atau medan perang. Setelah raja kembali bertahta di atas singgasana permata dan setelah berhasil mengalahkan musuhnya itu, maka menghadaplah rake pangkaja dyah tumabong lalu mengajukan permohonan yang dahulu dipanjatkan kepada bhatari di terep supaya pertapaan tempat berdirinya arca bhatari tersebut ditetapkan sebagai daerah swatantra.

    Prasasti Terep tidak secara tegar menyebut nama ratu perempuan perkasa yang berhasil mengalahkan Erlangga. Dari penafsiran Prasasti Terep dan Pucangan, Koes Indarto dalam buku Katuturanira Maharaja Erlangga, berpendapat bahwa Sang Penakluk itu bernama ratu Dyah Tulodong dari kerajaan Lodoyong yang berpusat di selatan sungai Brantas atau Tulungagung sekarang. 

    Prasasti Terep dan Prasasti Pucangan menulis ratu itu bertubuh serupa raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Ungkapan itu adalah simbolisasi bahwa perempuan penakluk dari daerah selatan itu memiliki kekuatan luar biasa serupa raksasa atau melebihi kekuatan orang biasa, bukan bentuk tubuh ratu itu mengerikan serupa raksasi atau raksasa perempuan. Tentunya penulis Prasasti memiliki alasan mengapa menyebut ratu Tulodong bertubuh serupa raksasa. Prasasti yang tulisannya berbentuk kidung ini memang bertujuan untuk memuji sosok Erlangga sebagai maharaja titisan Wisnu. Sementara Ratu Tulodong adalah pemuja Durga. Dalam pemahaman ajaran Trimurti, Batara Durga merupakan salah satu sakti atau istri Dewa Siwa.

    Sampai kemudian pada tahun 1032M, Erlangga berhasil menaklukkan kekuasaan ratu Tulodong di Lodoyong.  Tetapi  Ratu Tulodong mendapat pengampunan Erlangga, tetap memimpin Lodoyong sebagai bawahan Medang. Beberapa waktu kemudian, setelah menundukkan Lodoyong, balatentara Medang menyerbu Lwaram. Kekuatan Lodoyong bergabung merajalela di Lwaram. Lwaram lautan api, raja Wurawari hancur.

    Setelah menaklukkan Lodoyong, Erlangga tidak menempati istana Watan Mas, melainkan membangun keraton baru bernama Kahuripan. Ini karena Erlangga memiliki pemahaman dan keyakinan seperti leluhurnya Mpu Sindok, bahwa istana yang pernah diduduki musuh bakal menciptakan kekuatan buruk jika tetap ditempati. Tiga tahun setelah penaklukkan Lodoyong, Erlangga bersama kekuatan Lodoyong bersatu kembali menggempur Wengker yang terletak tepat di barat Lodoyong atau Hasin. Prasasti Pucangan menulis rangkaian penaklukan Erlangga terhadap Lodoyong dan Wengker.

    Berikut cuplikan terjemahan Prasasti Pucangan:

    Ada sebuah negeri di bagian selatan yang dipimpin seorang perempuan perkasa bertubuh serupa raksasa. Dengan gagah berani beliau memasuki daerah yang hampir tak dapat dimasuki itu pada tahun saka 954/1032M. Pada waktu itulah nama raja semakin harum lantaran menaklukan dan membakar daerah Jawa bagian selatan.

    Bagai seekor naga api dengan lidahnya, menjilat kekiri kekanan. Kemudian daerah selatan paling mengerikan di tanah Jawa itu ditetapkan sebagai daerah taklukan. Setelah mendapat banyak harta rampasan yang dihadiahkan kepada para hambanya, kemasyuran sang raja setara para brahmana dan petapa.

    Terdorong keinginan mencari nama, pergilah beliau sesudah itu menuju ke Barat pada tahun 957 Saka/1035M tanggal 13 paroterang, bulan Badrapada, hari Rabu, membawa balatentara tak terhitung banyaknya lengkap dengan prajurit bertenaga kuat dan yang ingin berperang (pasukan Lodoyong). Dengan tepuk gemuruh dunia, beliau berhasil memetik kemenangan mengalahkan raja bernama Wijaya —raja Wengker Wijayawarman.

    Mencermati prasasti Pucangan yang menulis ratu penakluk dari daerah selatan sungai Brantas bertubuh serupa raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Sebenarnya ini hanya kiasan, bukan berarti nyata wujud raksasa atau raksasa perempuan bertubuh menakutkan bertaring menyeramkan. Ungkapan itu simbolisasi bahwa ratu Tulodong berkekuatan dahsat serupa raksasa serta menganut ajaran Siwa aliran Bhairawa. Dalam pandangan penganut Wisnu seperti Erlangga, ajaran Siwa Bhairawa dianggap lebih rendah derajatnya sehingga dirupakan sebagai raksasa. Prasasti itu bertujuan memuji sosok Erlangga sebagai maharaja titisan Wisnu. Sekali lagi, pihak yang berkuasa berhak menulis berita sejarah sesuai haluan keyakinannya. Ini ternyata terus dilakukan para penguasa di masa kemudian.

    Penyerupaan ratu Tulodong sebagai raksasa mirip penyebutan denawa untuk Endang Sasmitapuri, ibu arya Damar. Babad Tanah Jawi mencatat adipati Palembang arya Damar merupakan putera Prabhu Brawijaya dari putri denawa bernama Endang Sasmitapuri, yang sewaktu hamil diusir dari keraton dan melahirkan arya Damar di hutan Wanasalam. Endang Sasmitapuri tidak bertubuh raksasa. Sebutan denawa dalam cerita babad bertujuan untuk merendahkan derajat para penganut ajaran Siwa aliran Bhairawa.

    Setelah Wengker takluk pada 1035M, Erlangga dapat dikatakan berhasil menjadi maharaja Medang. Semua kerajaan di Jawatimur dan Jawatengah dalam kekuasaannya. Kegemilangan Sri Maharaja Erlangga juga tercetak pada prasasti Turun Hyang I, 1036M, bertepatan dengan penganugerahan sima pada penduduk Turun Hyang atas segala jasanya menjaga pertapaan Sriwijayasrama serta tempat-tempat suci lainnya di gunung Pugawat. Dalam prasasti ini ibukota Erlangga di Kahuripan. Dapat dikatakan pada masa ini Erlangga adalah raja Medang i Kahuripan.

    Hingga pada tahun 1036M, rombongan utusan Ratu Tulodong menuju kotaraja Kahuripan, menyampaikan berita kepada Erlangga. Isi pokok berita dari bhumi Lodoyong itu tentang banjir sungai Brantas yang kembali menjebol tanggul di daerah Waringin Sapta atau Ringin Pitu, merusak sawah-sawah penduduk brang kidul, membikin hasil tanam melorot, membikin pajak bumi yang diangkut ke Kahuripan berkurang jumlahnya. Bukan sekali dua kali tanggul rontok, tetapi banyak kali, berlangsung bertahun-tahun. Setiap jebol, tanggul selalu ditutup dibendung, tetapi setiap datang musim hujan, banjir Brantas selalu naik menjebol menggerus, mengalir bebas ke selatan, mengisi setiap palungan, menenggelamkan sepertiga bhumi Lodoyong, menyentuh daerah-daerah sima di barat Waringin Sapta seperti Kalang, Kalagyan, Thani Jumput, biara-biara, bangsal-bangsal tempat para pertapa di Kamulan, bangunan suci tempat pemujaan dewa, dan pertapaan-pertapaan daerah Labapura bagi sang Hyang Dharmma ring Isanabhawana di Surapura.

    Pada waktu itu banjir sungai Brantas diperkirakan membobol tanggul di daerah Ngunut atau sekitar desa Kaliwungu  ke arah hilir sampai sekitar desa Pulotondo. Dari sana banjir mengalir ke selatan membentuk aliran sungai baru setiap musim hujan. Banjir rutin itu menjadikan daerah palungan di lembah pegunungan Walikukun dan Indrakila tergenangi air melimpah membentuk hamparan rawa. Daerah-daerah tersebut dekat pegunungan kapur, sangat mungkin permukaan tanahnya menjadi mampat. Dari daerah Boyolangu, banjir bergerak ke utara mengalir menuju kaki Wilis di daerah Kamulan, Kalangbret atau sekitar thani Bala [thani Bala= desa Bolo, sekarang Bolorejo] 

    Sepertiga wilayah Brang Kidul Lodoyong berubah menjadi hamparan rawa. Karena meski musim hujan selesai, limpahan air banjir yang sudah mengisi palung dan lembah-lembah tidak dapat keluar atau mengalir balik menuju sungai Brantas. 

    Demikianlah awal mula terciptanya rawa di selatan sungai Brantas Tulungagung.

    Kiranya itu lebih terasa masuk akal dari riwayat terciptanya rawa di Tulungagung akibat pencabutan Sada Lanang sebagaimana kisah terjadinya rawa di Rawa Pening Ambarawa dengan kisal legenda Baruklinting dan Sada Lanang. 

    Kembali ke istana Kahuripan. 

    Kiranya Erlangga masih teringat peristiwa di penghujung 1030M, saat kekuatan Lodoyong menghancur istana Watan Mas. Meski sudah ditaklukkan, Lodoyong tetap memiliki kekuatan besar, sanggup sewaktu-waktu menggempur Kahuripan. Dari segi politik dan keamanan negara, peristiwa bencana di Lodoyong terbilang rawan. Jika tidak segera ditanggulangi atau diperhatikan secara khusus, besar kemungkinan menimbulkan pergolakan daerah.

    Alasan politik Erlangga terhadap Brang Kidul itu juga disinggung dalam buku Babad Tulungagung. 

    Sangat mungkin pada waktu itu daerah selatan Brantas atau Lodoyong, sejak lama terkenal dengan hasil panen padi unggulan, utamanya padi hitam, barang dagangan yang banyak dicari para pedagang Tiongkok. Diperkirakan setelah menjadi daerah bawahan Medang Kahuripan, Lodoyong dikenal sebagai salah satu pemasok pajak hasil bumi terbesar di Jawa Timur.

    Pertanian di Lodoyong juga mendukung kegiatan perdagangan di pelabuhan Hujung Galuh. Bencana itu menimbulkan gagal panen dalam waktu panjang, mengakibatkan perdagangan di Hujung Galuh terganggu. Kapal-kapal dari pulau lain banyak yang kesulitan mencari barang dagangan, utamanya beras dan hasil bumi unggulan Lodoyong. Lesunya perdagangan di Hujung Galuh akibat banjir di Brang Kidul ini kelak tersirat dalam prasasti Kamalagyan 1037M. 

    Maka setelah memertimbangkan segalanya, atas nama kesejahteraan dan ketenteraman negeri, serta memandang bakti besar Ratu Tulodong, Sri Maharaja Erlangga segera mengambil kebijakan hebat, membangun bendungan besar, berjuang mengendalikan banjir musiman sungai Brantas di Lodoyong.

    Pembangunan ini membutuhkan banyak tenaga. Sudah barang tentu sepasukan prajurit Kahuripan datang ke Lodoyong, bergabung dengan pasukan Ratu Tulodong dan para penduduk brang kidul. 

    Pasukan tanggap bencana dari Kahuripan itu menempati bukit tidak jauh di selatan sungai Brantas yang kelak bernama Pulotandha /Pulotondo, artinya tanah tempat berdiam para tandha atau prajurit. 

    Di timur laut desa Pulotandha inilah diperkirakan banjir sungai Brantas naik menggerus tebing sungai, menciptakan sungai baru menuju arah Boyolangu dan sekitarnya. Daerah di selatan Pulotandha/Pulotondo terendam air rawa.

    Selesai pembangunan tanggul di sisi selatan sungai Brantas, mereka melanjutkan dengan membuat sungai sebagai jalan mengeluarkan air yang sudah menjadi hamparan rawa. Sungai baru itu memanjang dari selatan ke utara, dari arah Boyolangu menuju tebing sungai Brantas di daerah Kelagyan. Air rawa dapat mengalir melalui sungai itu. Para penduduk kelak menyebut sungai itu sebagai sungai Ngrawa atau Ngrawa/Sungai Rowo, artinya sungai yang airnya berasal dari rawa.

    Tapi memang air rawa tidak benar-benar habis. Penyebabnya adalah dasar sungai Brantas ternyata lebih tinggi dari daerah palungan di lembah Indrakila dan beberapa daerah lain di Lodoyong. Jika banjir berhenti, sungai mengalir ke utara, tetapi jika musim banjir, air sungai Brantas mendesak masuk melalui muara sungai Ngrawa di desa Kelagen itu.

    Maka kemudian di muara sungai Ngrawa dibangun semacam pintu terbuat dari gelondongan kayu yang sewaktu-waktu dapat dibuka dan ditutup. Kelak yang bertugas menjaga pintu bendungan itu adalah para penduduk desa Kelagyan dibantu penduduk desa sekitar Waringin Sapta. Menaikkan dan menurunkan pintu bendungan ini jelas butuh tenaga banyak.

    Menjelang pembangunan bendungan Waringin Sapta selesai, melapor beberapa prajurit telik sandi kepada Erlangga. Bahwa Raja Wijayawarmma yang pernah ditaklukkan Erlangga, berupaya memerdekakan diri dan melancarkan pemberontakan. Rupanya kabar pembangunan bendungan di Lodoyong terdengar sampai Wengker. Lodoyong berada tepat di timur Wengker, di antara dua kerajaan ini merupakan wilayah Hasin. Wengker tentu berpikir bahwa pelaksanaan pembangunan besar-besaran itu sangat menguras tenaga dan perhatian kekuatan Medang Kahuripan. Sebagian besar tercurah untuk menyelesaikan pembangunan bendungan Maharaja itu. Ini yang kemudian dimanfaatkan Wengker untuk mencoba mengadakan semacam pemberontakan, memerdekakan diri. 

    Maka begitu pembangunan bendungan Waringin Sapta rampung, pasukan gabungan Medang dan Lodoyong berderap dari Lodoyong menuju Wengker. Dalam prasasti memberitakan bahwa pasukan itu berderap ke arah barat lalu menghancurkan Wengker. Raja Wijayawarmma melarikan diri.

    Tetapi patih Wengker bersama sebagian prajuritnya menyerah dan mendapat ampunan Erlangga. Sebagai tanda bakti, patih Wengker bersedia menunaikan titah Erlangga, menghukum Wijayawarmma. Janji itu terbukti. Raja Wikjayawarmma gugur terpancung bekas patihnya sendiri.

    Selepas menghancurkan Wengker dan menyelesaikan pembangunan bendungan Waringin Pitu, pada bulan kartika tahun saka 959 atau 1037M, Sri Maharaja Erlangga mengeluarkan prasasti berisi pemberian anugerah berupa pengurangan —bukan pembebasan— pajak-pajak hasil bumi yang seharusnya disetor ke istana dari desa Kamalagyan dan sewilayahnya, tepian sungai dan rerawanya, dari Kalagyan, serta dari Kakalangan. Anugerah itu dikeluarkan sebagai imbalan kepada penduduk Kamalagyan dan sekitar Kakalangan yang telah berjasa besar menyelesaikan pembangunan bendungan Waringin Sapta. Anugerah ini sekaligus kewajiban penerima anugerah untuk menjaga sepenuhnya keamanan bendungan maharaja. Dalam prasasti bendungan ini disebut sebagai Bendungan Maharaja.

    Meski telah dibangun bendungan Maharaja, selama lebih empat abad, rawa luas itu tetap ada. Meski telah dibangun sungai baru yang mengalir ke utara dari arah Bhayalangu yang kelak disebut sungai Ngrawa, akan tetapi kerap ketika musim banjir, arus sungai Ngrawa mengalir ke selatan, lantaran banjir Brantas naik mendesak muara sungai Ngrawa atau Singai Rowo.

    Prasasti Kamalagyan merupakan prasasti Batu. Beberapa prasasti batu yang ditemukan sekarang, bukan berada pada letak semula melainkan pindahan dari tempat lain seperti Prasasti Kembangsore atau Mojojejer, juga Prasasti Jiyu, 1486M. Jadi tidak heran jika sekarang Prasasti Kamalagyan berada di Dukuh Klagen, Tropodo, Krian, Sidoarjo.

    Analisa yang menguatkan bahwa prasasti Kamalagyan bukan jenis prasasti in situ atau sudah berpindah dari tempat semula dapat dilihat dari penyebutan nama-nama daerah seperti Kamalagyan, Waringin Sapta, Kakalangan, Kala, Kalagyan, dan Kamulan dalam prasasti Kamalagyan. Sementara prasasti Baru, 28 April 1030M, dan prasasti Kamulan1194M, prasasti Waringin Pitu 1447M juga menulis nama-nama tersebut. Kamulan Parhyanan kelak berubah menjadi Desa Kamulan, berbatasan dengan desa Baru atau Baruharjo, kecamatan Durenan, Trenggalek, berbatasan langsung dengan Tulungagung. Kakalangan, Kala, nama kuna di wilayah desa Kalangbret, Tulungagung. Kalagyan, nama kuna dusun Kelagen, Kecamatan Karangrejo, Tulungagung. Waringin Sapta atau Wringin Pitu sekarang berganti menjadi desa Ringin Pitu. Letaknya tidak jauh di selatan sungai Brantas Tulungagung. 

    Berdasarkan prasasti Kamalagyan tahun 1037M, Maharaja Erlangga sepenuhnya berhasil menaklukkan Jawatimur, menguasai kerajaan-kerajaan lain, seperti seperti Wura-Wari, Wengker, Hasin, Lodoyong, Wuratan, dan Lewa. Maharaja Erlangga pada tahun itu bersemayam di keraton Kahuripan, menjadi maharaja Medang bergelar Sri Maharaja Rake halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Erlangganama Prasadottunggadewa. Sang Prabhu didampingi Rakryan Kanuruhan Mpu Narottama. 

    Maharaja Erlangga memiliki dua istri, permaisuri dan selir. Dari permaisuri, menurunkan Dewi Kilisuci atau Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi dan Mapanji Samarawijaya. Sementara dari selir, menurunkan Mapanji Garasakan, dan Mapanji Alanjung Ahyes.

    Seluruh putra Maharaja Erlangga ketika itu ditempatkan di keraton masing-masing. Dewi Kilisuci sebagai putri mahkota menempati keraton Kadiri di barat sungai Brantas. Samarawijaya menempati keraton Daha di timur sungai Brantas. Mapanji Garasakan menempati keraton Jenggala di timur gunung Kawi. Mapanji Alanjung Ahyes diperkirakan menempati keraton Hasin.

    Pada masa itu putri mahkota Dewi Kilisuci belum menikah. Padahal usianya sudah cukup dewasa. Berdasarkan Babad Tanah Jawi, putri makhota Erlangga ini meninggalkan kehidupan keraton sebelum menikah, menjadi seorang petapa di goa Selamangleng, lereng timur gunung Wilis. Di Tulungagung juga ada goa bernama Selomangleng.

    Dipastikan Sanggramawijaya atau Dewi Kilisuci melepas jabatan putri mahkota atau meninggalkan keraton Kediri antara sekitar 1037M sampai 1041M. Pada prasasti Kamalagyan bertarikh 1037M, namanya masih tercatat sebagai mahamentri hino. Sementara pada prasasti Pucangan bertarikh 1041M, mahamentri hino sudah berganti kepada Samarawijaya, adik kandungnya.

    Pada tahun 1041M, Erlangga mengeluarkan prasasti Pucangan. Tak lama setelah itu, Erlangga memindah ibukota kerajaannya ke Daha. Dalam Prasasti Pamwatan, 20 Nopember 1042M, ibukota kerajaan Erlangga sudah di Dahana atau Daha. Serat Calonarang, 1540M juga menyebut Daha sebagai istana terakhir Erlangga. Prof. Slamet Muljana juga berpendapat istana terahir Erlangga di Daha. Jadi di akhir pemerintahannya, Erlangga adalah raja Medang bhumi Daha.

    Belum dapat dipastikan latarbelakang mengapa Erlangga mendadak meninggalkan istana Kahuripan menuju Daha. Kesimpulan sementara yang dimajukan adalah setelah Dewi Kilisuci meninggalkan keraton Kediri bertapa di goa Selamangleng, putra mahkota Samarawijaya dipindah dari Daha ke Kediri, atau dari timur ke barat sungai Brantas, sementara Mapanji Alanjung Ahyes pindah ke Kahuripan, sedangkan Mapanji Garasakan tetap di Jenggala di timur gunung Kawi. Keberadaan Erlangga di keraton Daha juga memudahkan hubungan dengan putinya yang sudah bertapa di goa Selamangleng. Jarak antara keraton Daha dengan keraton Kediri atau goa Selamangleng hanya dibatasi sungai Brantas.

    Berpindahnya pusat pemerintahan kerajaan Medang dari Kahuripan ke pedalaman Daha, membuat daerah sekitarnya semakin berkembang, termasuk Tulungagung atau pada waktu itu bernama Lodoyong. Setelah pembangunan bendungan Maharaja, pertanian di Tulungagung berkembang pesat, karena melimpahnya air untuk daerah pertanian padi. Sungai Brantas semakin ramai oleh kehadiran perahu-perahu dari arah pelabuhan Hujung Galuh menuju Daha atau Tulungagung. Keberadaan perahu-perahu besar yang melayari sungai Brantas kelak termuat pula dalam prasasti Jaring bertarikh 1181M.

    Sampai kemudian Erlangga menghadapi persoalan besar, perebutan takhta antara kedua putranya, Mahamentri i Hino Sri Samarawijaya dengan Mahamentri i Sirikan Mapanji Garasakan. Sampai kemudian untuk memecahkan persoalan, Sri Erlangga memutuskan membelah negara demi kedua puteranya. Erlangga menyerahkan sepenuhnya pada Mpu Bharada.Setelah mendapat wewenang khusus dari Erlangga, Mpu Bharada segera menjalankan tugas berusaha mendamaikan kedua putra Erlangga, mengunjunginya bergantian, menasihati supaya berhenti berperang. Dianjurkan keduanya sudi menerima bagian yang telah mereka kuasai masing-masing. Samarawijaya supaya tetap di barat sungai Brantas atau Kediri dan akan dinobatkan sebagai Maharaja Panjalu. Demikian pula Mapanji Garasakan yang berkuasa di timur gunung Kawi, supaya tetap menjadi raja di sana dan akan menguasai kerajaan yang diberi nama Jenggala. Sejak saat itu muncul dua wilayah kerajaan di barat dan timur gunung Kawi, Panjalu di barat, Jenggala di timur. Barangsiapa membangkang, akan dikutuk sang pandita. Keduanya tunduk dan berjanji mematuhi nasihat sang pandita.

    Jadi pembelahan kerajaan itu maksudnya pembagian dua wilayah besar dengan garis batas dari utara ke selatan mengikuti lajur pegunungan Penanggungan ke selatan, terus menuju gunung Kawi, sampai selatan sungai Brantas. Dalam prasasti Mahaksyobhaya dan kakawin Negarakertagama, penentuan garis batas alam itu disimbolkan dengan pembuatan garis batas gaib melalui kisah pengucuran air kendi oleh Mpu Bharada. Meski kental nuansa dongeng, akan tetapi tidak menghilangkan kebenaran sejarah perihal kebijakan Erlangga membagi kekuasaan kepada Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.  Berikut terjemahan kakawin Negarakertagama pupuh 68 berdasarkan pembacaan Prof. Slamet Muljana: 

    “Inilah sejarah Kamal Pandak menurut tutur yang dapat dipercaya. Suatu ketika Sri Nata Panjalu Daha Maharaja Erlangga berkehendak membelah tanah Jawa lantaran cinta pada kedua putranya. Tersebutlah seorang pandita Boddha Mahayana yang putus dalam kitab tantra dan yoga, bermukim di tengah kuburan Lemah Tulis, sosok yang senantiasa menjadi pelindung rakyat, ketika mengunjungi pulau Bali hanya berjalan kaki, tenang menapak permukaan lautan. Mpu Bharada namanya, sosok yang paham tiga jaman. Girang beliau menyambut permohonan Maharaja Erlangga supaya membelah Negara. Maka perbatasan negara ditandai dengan air kendi yang mancur dari angkasa. Dari barat ke timur sampai lautan. Lalu dari utara ke selatan. Daerah selatan yang jaraknya tidak begitu jauh bagaikan terpisah samudera besar. Di daerah selatan itu sang pandita turun dari angkasa, berhenti di atas pohon kamal, berniat menaruh kendi suci di desa Palungan untuk mengakhiri penentuan garis batas kerajaan. Tetapi sebelum menginjak tanah, sang pandita murka lantaran jubahnya terkait puncak pohon kamal yang tumbuh menjulang tinggi. Mpu Barada terbang ke angkasa lagi lalu mengutuk pohon kamal menjadi pandak atau kerdil. Itulah tugu batas gaib yang tidak boleh dimasuki kekuasaan Panjalu dan Jenggala. Itulah sebab mengapa sekarang dibangun candi. Tujuannya supaya menyatukan tanah Jawa kembali. Dengan demikian semoga baginda prabu serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada, Berjaya memimpin negara yang kini sudah kembali bersatu-padu”.

    Dalam pupuh selanjutnya Prapanca menyebutkan candi yang dibangun di Kamal Pandak bernama candi Prajnaparamitapuri atau candi Wisesapura, candi makam bagi sang Rajapatni dyah Gayatri. Candi makam di Bhayalangu Tulungagung ini sohor sebagai tempat keramat, tiap bulan badrapada disekar para pembesar kerajaan dan para pandita.

    Dongeng tersangkutnya jubah Mpu Barada pada pohon asem alas atau pohon kamal mengandung arti Mpu Barada mendapat rintangan besar ketika melakukan pembelahan Negara, sehingga tugasnya tidak sempurna. Ada sebuah daerah yang tidak berhasil dijangkau atau tidak mau tunduk pada kekuasaan Panjalu maupun Jenggala. Karena itu Mpu Barada yang hampir selesai menentukan daerah-daerah mana saja yang masuk kekuasaan Panjalu dan daerah-daerah mana yang masuk wilayah Jenggala, menjadi murka pada penolakan penguasa daerah brang kidul yang ingin merdeka. Padahal daerah itu digolongkan sebagai daerah berkedudukan lebih rendah dari daerah sekitar, dilambangkan sebagai daerah palungan atau cekungan. Daerah itu memutuskan berdiri sendiri, serupa menjulangnya pohon kamal di tanah cekungan melebihi ketinggian pohon-pohon lain di tanah lebih tinggi. Daerah palungan melawan kekuatan atau kehendak Mpu Barada. Meski demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan kesepakatan dua belah pihak, bahwa sejak saat itu brang kidul menjadi daerah merdeka, dengan syarat harus menghormati kekuasaan Panjalu dan Jenggala. Sang pandita mengabarkan kemerdekaan brang kidul ibarat tugu gaib ujung batas sebelah selatan yang tidak boleh dilintasi Panjalu dan Jenggala.

    Demikianlah, pembelahan negara yang dilakukan Mpu Barada berjalan kurang sempurna. Ada satu daerah di selatan sungai Brantas yang berdiri sendiri, tidak termasuk bagian Panjalu yang dipimpin Samarawijaya, maupun Jenggala yang dirajai Mapanji Garasakan. Daerah merdeka itu adalah Lodoyong yang sekarang menjadi Tulungagung. 


    Tulungagung Masa kerajaan Panjalu Dan Jenggala   


    AKAN tetapi pembelahan kerajaan Erlangga justru menimbulkan sikap saling menaklukkan antara Panjalu dan Janggala. Masing-masing berkeinginan menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Pada awalnya Jenggala unggul.  

    Yang berkuasa di Jenggala setelah masa Erlangga adalah Sri Maharaja Mapanji Garasakan, Sri Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes dan. Sri Maharaja Rake Halu Pu Juru Samarotsaha. 

    Sementara di Panjalu antara lain Sri Samarawijaya, Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu, Sri Bameswara Sakalabhuwana, dan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya. 

    Pada tahun 1038C/1116M, raja Sri Bameswara Sakalabhuwana mengeluarkan prasasti yang dikenal sebagai Prasasti Padlegan I.

    Pada masa Sri Jayabaya, dengan semboyan Panjalu Jayati alias Panjalu Menang, Panjalu unggul atas Jenggala. Berita kemenangan besar itu diceritakan dalam prasasti Ngantang.

    Setelah Jayabaya wafat akibat pemberontakan Rake Sirikan Sri Sarweswara pada 1159M, tanah Jawa kembali bergolak, Panjalu dan Jenggala kembali berseteru. Kemelut perebutan tahta di Panjalu membikin keturunan Jenggala tergugah bangkit melepaskan diri dari kekuasaan Panjalu. Jenggala tetap memusatkan kekuatannya di timur gunung Kawi, Kutaraja.

    Sementara itu pusat pemerintahan Lodoyong yang sebelumnya berada di daerah Junjung, Sumbergempol, Tulungagung, sejak masa Jayabaya telah bergeser ke timur di daerah Lodoyo. Pada akhir pemerintahan Jayabhaya di Panjalu Daha, wilayah Lodoyong pecah menjadi dua, di timur dan barat sungai Jimbe. Daerah Lodoyong bagian timur kelak bernama Lodaya, sementara daerah Lodoyong bagian barat bernama Ngrawa karena sebagian besar wilayahnya berupa hamparan rawa. Wilayah Ngrawa mulai dari sungai Jimbe ke barat sampai Penampihan gunung Wilis. Daerah inilah yang kelak dikenal sebagai Lawadan atau menjadi wilayah Tulungagung sekarang.

    Pada tahun 1159M  raja Sarweswara mengeluarkan prasasti yang dikenal sebagai Prasasti Padlegan II bertarikh 1081C/1159M. Prasasti ini ditemukan di desa Pinggirsari, Ngantru, Tulungagung. Kini prasasti batu ini tersimpan di Museum Wajakensis Tulungagung. 



    Prasasti Padlegan II 1159M kini di Museum Wajakensis Tulungagung


    Yang cukup menarik perhatian, dalam Prasasti Padlegan II 1159M muncul satu nama daerah bernama Tulung Molih. Apakah Tulung Molih merupakan nama kuna dari Tulung Agung, perlu kajian lebih lanjut. Yang pasti prasasti ini diberikan untuk daerah di Tulungagung.
      
    Sebelumnya, pada tahun 1038C/1116M, raja Bameswara mengeluarkan prasasti yang dikenal sebagai Prasasti Padlegan I. Dalam Prasasti Padlegan I menyebutkan nama nama daerah yang sama dengan yang tercantum dalam Prasasti Padlegan II.

    Munculnya Prasasti Padlegan I pada tahun 1116M yang dikeluarkan sebagai anugerah tanah perdikan di Tulungagung, dapat kiranya ditarik kesimpulan bahwa pada jaman raja Bameswara, wilayah Tulungagung atau waktu itu bernama Lodoyong sudah masuk bagian wilayah kerajaan Panjalu Kediri.

    Sri Jayabhaya memiliki dua putra,  Sri Aryeswara dan Sri Sarweswara. Pada waktu Sri Jayabhaya bertahta, Sri Aryeswara menjabat sebagai mahamentri I hino, sementara Sri Sarweswara menjabat sebagai mahamentri I Sirikan. Keduanya termasuk kelompok mahamentri Katrini. Dalam kelompok ini, yang berposisi tertinggi adalah Rake Hino. Dan setelah Sri Jayabhaya wafat, Rake Sirikan Sri Sarweswara naik tahta secara tidak sah. 

    Sampai kemudian pada 23 Maret 1171M, berdasarkan Prasasti Angin, yang menjadi raja Panjalu adalah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara setelah merebut tahta dari Sri Sarweswara.

    Sri Aryeswara menurunkan Kroncaryadhipa, sementara Sarweswara menurunkan Kameswara dan Kertajaya. Setelah Aryeswara wafat, yang menjadi raja Panjalu adalah Kroncaryadhipa.

    Pada 19 Nopember 1181M, Kroncaryadhipa mengeluarkan Prasasti Jaring, mengambil gelar abhiseka Sri Maharaja Sri Kroncaryadipa Bhuwanapalaka Parakrama Anindita Digjaya Uttunggadewa Sri Gandra. Putra  Aryeswara ini hanya bertahta sekitar 4 tahun. 

    Pada 11 September 1185M, berdasarkan Prasasti Ceker, digantikan putra sulung Sarweswara, yaitu Sri Maharaja Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa.

    Setelah Kameswara wafat, tahta Panjalu Daha ditempati oleh adiknya, Kertajaya bergelar Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.

    Pada tahun 1190M terbit prasasti bertanda lanchana raja Srengga. Prasasti batu ini dikenal sebagai Prasasti Sapu Angin. terdapat penelitian sejarah dari Boechari bahwa saat mengeluarkan prasasti Sapu  Angin, Raja Srengga Kertajaya masih bersetatus sebagai putra mahkota.

    Dengan demikian naiknya Srengga Kertajaya sebagai maharaja Panjalu Kadiri terjadi setelah tahun 1190M atau antara tahun 1190M-1194M.

    Naiknya Kertajaya sebagai maharaja Panjalu Kediri rupanya membuat suasana tanah Jawa kembali bergolak. Penyebabnya karena Kertajaya bukan putra mahkota Kameswara.

    Ketika Kameswara wafat, seharusnya yang mendaki tahta di Panjalu Kadiri adalah keturunan Kameswara dari Sasi Kirana. Itu artinya cucu raja Jenggala yang berhak naik tahta Panjalu Kadiri. Bukannya Kertajaya, adik Kameswara.

    Inilah yang memicu kemarahan pihak Jenggala di Kutaraja lalu menggempur Panjalu Kadiri. Raja Jenggala waktu itu adalah Sri Maharaja Girindra,  ayah Sasi Kirana. Sri Maharaja Girindra juga memiliki putra selir yang dikenal Pararaton sebagai Ken Arok.

    Pasukan Girindra Jenggala berhasil mendesak kekuatan Panjalu Kadiri. Raja Kertajaya mengungsi bersama pasukan pimpinan Senapati Tunggul Ametung menuju Katandan Sakapat, Kalangbrat, Tulungagung. 

    Secara tersirat peristiwa ini termuat dalam Prasasti Kamulan, 31 Agustus 1194M atau bulan Palguna, ketujuh, tahun saka 1116. 

    Disebutkan dalam prasasti bahwa raja Kertajaya tersingkir dari istana Kadiri akibat serbuan musuh dari arah timur. Tentunya penyerbuan itu terjadi sebelum keluar Prasasti Kamulan.

    Selama dalam pengungsian, Kertajaya menjadikan daerah Kalangbrat sebagai keraton sementara Panjalu. Bersama sisa pasukan dan para pandita serta segenap penduduk Katandan Sakapat Kalangbret,  Senopati Tunggul Ametung menggalang kekuatan  merencanakan serangan balik.

    Menjelang bulan ketujuh 1194M. Setelah kekuatan terbangun kokoh, dengan semangat memberi pertolongan besar kepada Maharaja Kertajaya, Senapati Tunggul Ametung menderapkan pasukannya ke timur, menuju Turen atau Turyantapada, terus berderap menggempur Kutaraja dan berhasil menaklukkan kerajaan yang menganut agama Siwa di timur gunung Kawi itu. Raja Jenggala Sang Girindra tersingkir dari Kutaraja bersama sisa pengikutnya.

    Setelah kembali bertahta di Kadiri, Sri Kertajaya berupaya mengembalikan ketentraman dan ketertiban negara. Kebijakan penting pertama, menetapkan daerah di timur gunung Kawi, daerah bekas pusat pemerintahan Janggala sebagai kadipaten amancanagara bernama Tumapel, berada dibawah kekuasaan Panjalu Daha. Ibukota Tumapel tetap di Kutaraja. Kertajaya menobatkan Senapati Tunggul Ametung sebagai penguasa pertama kadipaten amancanagara Tumapel. Kebijakan raja ini dikeluarkan sebagai penghargaan kepada Tunggul Ametung yang secara gemilang menunaikan tugas negara.

    Dapat dikatakan Tumapel berdiri pada 1194M. Wilayah kekuasaannya membentang di timur gunung Kawi ke timur sampai gunung Brahma, berbatasan dengan Lumajang, ke utara berbatasan dengan Hering —Bangil Pamotan— ke selatan sampai daerah Turen atau Turyantapada. Di selatan sungai Brantas, di daerah Turen, berbatasan dengan Lodoyong.

    Raja Kertajaya juga menetapkan daerah Katandan Sakapat dan sewilayahnya termasuk daerah Kamulan sebagai daerah perdikan atau swatantra, daerah istimewa yang dibebaskan dari segala pungutan pajak, daerah merdeka berpemerintahan sendiri yang kedudukannya langsung di bawah kekuasaan raja. Penganugerahan itu tertuang dalam piagam kerajaan yang kelak bernama prasasti Kamulan, 31 Agustus 1194M.

    Sebagaimana disampaikan buku Sejarah Nasional Indonesia [SNI], Prasasti Kamulan dikeluarkan Kertajaya setelah adanya permohonan dari para samya haji Katandan Sakapat yang telah ikut berjuang mengembalikan raja ke singgasana di Kediri akibat serbuan musuh dari timur. Prasasti ini memuat keterangan bahwa Samya Haji Katandan Sakapat berdatang sembah ke hadapan raja dengan perantaraan Pangalasan bernama Geng Adeg, menyampaikan bahwa pihaknya menyimpan rontal berisi keputusan raja yang telah dicandikan di Jawa, yaitu Haji Tumandah. Mereka mohon supaya keputusan itu dikukuhkan dalam bentuk prasasti batu yang mendapat cap kerajaan Kertajaya. Dan permohonan itu dikabulkan karena parasamya Haji Katandan sakapat telah memperlihatkan kesetiaan mereka terhadap raja sebagaimana layaknya sikap hamba raja. Mereka telah berhasil mengembalikan Kertajaya ke atas singgasana di Kadiri. Maka ditulislah prasasti di atas batu yang memuat perincian anugerah Sri Tumandah dan Sri Rajakula berupa hak-hak istimewa dan ditambah lagi anugerah dari Sri Raja Srengga berupa pemberian hak-hak istimewa.

    Dari kronologis keluarnya prasasti Kamulan sebenarnya prasasti ini lebih diperuntukkan kepada daerah yang berada di wilayah kekuasaan Katandan Sakapat. Daerah ini sekarang bernama desa Ketandan, Kalangbret, Tulungagung.

    Dengan kata lain pada waktu dikeluarkannya prasasti oleh Kertajaya, daerah Kamulan dan sekitarnya masih termasuk wilayah Kalangbret Tulungagung.

    Sekarang penanggalan prasasti ini menjadi landasan penentuan harijadi kabupaten Trenggalek. Ini karena daerah Kamulan sudah masuk kabupaten Trenggalek. 

    Pada tanggal 27 Juni 1197M, raja Kertajaya mengeluarkan prasasti Palah yang sekarang berada di candi Penataran, Blitar. 

    Pada tanggal 5 suklapaksa bulan waisaka tahun 1122C atau 20 April 1200M, raja Srengga Kertajaya memberi anugerah sima perdikan kepada Duwan di Galungung dan termuat dalam piagam kerajaan bernama prasasti Galungung.

    Secara administrative, prasasti Galungung 1200M kini berada di wilayah dusun Soka, desa Karangsari, Rejotangan, Tulungagung. Prasasti terbuat dari batu berbahasa dan beraksara Jawakuna ini dikenal pula sebagai Prasasti Panjerejo. Hal itu karena ketika pertama ditemukan pada tahun 1888M, berada di wilayah desa Panjerejo distrik Ngunut. Sekarang Desa Panjerejo masuk kecamatan Rejotangan Tulungagung.

    Dalam tahun 1200M diperkirakan Adipati Tunggul Ametung yang menganut Wisnu menikah dengan Ken Dedes, putri pandita Boddha Mahayana dari Panawijen Mpu Purwwawidada.

    Pada saat Sri Girindra tersingkir dari istana, Ken Arok berusia sekitar 12 tahun. Setelah dewasa, mengetahui sejarah Jenggala, mengetahui ayahnya tersingkir dari istana akibat serbuan Tunggul Ametung. Setelah bertemu Pendeta Lohgawe, bertekad membalas kekalahan ayahnya. 

    Sampai kemudian terdorong keinginan kuat menjadi maharaja tanah Jawa, Ken Arok segera melancarkan aksinya, menyingkirkan pemegang kekuasaan Tumapel, Adipati Tunggul Ametung. 

    Diperkirakan Ken Arok menduduki Tumapel pada sekitar 1203M. Atau setahun setelah raja Panjalu Kediri Kertajaya mengeluarkan prasasti Biri pada 29 Agustus 1202M. Sekarang daerah Biri kemungkinan besar bernama Cuwiri, dekat Kalangbret, Tulungagung.

    Pada tanggal 4 April 1204M, raja Kertajaya kembali mengeluarkan prasasti untuk menetapkan daerah Sumberingin Kidul sebagai tanah perdikan. Desa Sumberingin Kidul sekarang terletak di kecamatan Ngunut, Tulungagung.

    Ken Arok mulai memimpin Tumapel pada usia 21 tahun. Pada awalnya masih berposisi sebagai penguasa kadipaten Tumapel, tetapi kemudian setelah cukup dukungan dari para pengikut maupun para pandita Siwa dan Boddha, pada awal tahun 1205M, Ken Arok memisahkan diri dari Panjalu, menjadi penguasa Tumapel yang merdeka dan mengambil gelar abhiseka Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi.

    Beberapa bulan kemudian, masih pada 1205M, Ranggah Rajasa melancarkan serangan pertama ke Panjalu Kediri. Raja Kertajaya yang tidak menduga serangan itu terpaksa menyingkir ke selatan sungai Brantas, mendapat perlindungan seluruh penduduk bhumi Lawadan, Tulungagung.

    Sampai akhirnya Sri Kertajaya berhasil menduduki singgasana di istana Kediri setelah penduduk Lawadan memukul pasukan Ranggah Rajasa.

    Sebagai balas jasa atas segala pertolongan agung itu, raja Kertajaya menganugerahi desa atau thani Lawadan sebagai sima perdikan kerajaan Panjalu Kediri.

    Prasasti bertarikh 18 Nopember 1205M ini  memberikan keterangan bahwa penduduk desa Lawadan beserta daerah sewilayahnya telah menerima anugerah raja berupa pembebasan pajak dan penerimaan sejumlah hak-hak istimewa seperti melakukan kegiatan-kegiatan tertentu di depan umum, mengenakan jenis-jenis pakaian dan perhiasan tertentu, juga memakan makanan istimewa.

    Selain itu juga menyebutkan bahwa penduduk Lawadan berhak memiliki rumah dengan ciri tertentu, memiliki tempat duduk, balai-balai, payung, serta tanaman di rumah mereka. Ini dapat dimaknai sebagai kebebasan daerah Lawadan membentuk pusat pemerintahan sendiri yang mandiri.

    Sejak 2003, penanggalan prasasti Lawadan menjadi pedoman hari jadi kabupaten Tulungagung.

    Meski serbuan pertama gagal menjungkalkan Kertajaya, Ranggah Rajasa tidak menghentikan upayanya menaklukkan Panjalu Kediri. Sejak 1205M, kekuatan Tumapel yang merupakan bentuk baru kerajaan Jenggala bangkit mengemuka gigih menenggelamkan Panjalu Daha. Tumapel mengokohkan kekuatan di timur gunung Kawi, menaklukkan beberapa kerajaan yang dulu pernah menjadi bawahan Jenggala, seperti Lumajang, Hering atau Pamotan, dan Madura. 

    Diperkirakan sampai 1210M, para putra Ranggah Rajasa sudah lahir baik dari permaisuri Ken Dedes maupun selir Ken Umang.

    Dari permaisuri Ken Dedes, Ranggah Rajasa menurunkan Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Guning Bhaya, dan Dewi Rimbi.

    Sementara dari Ken Umang, Ranggah Rajasa menurunkan Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rimbu.

    Selama 17 tahun Panjalu dan Tumapel bersaing menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Keduanya kerap melangsungkan pertempuran berupaya saling menaklukkan.

    Pada 1222M, pasukan Siwa dan Boddha pimpinan Ranggah Rajasa bergerak melintasi pegunungan Kawi, menyeberangi sungai Leksa, melintasi lembah gunung Kelud berderap di utara sungai Brantas dan di padang Ganter [sekarang diperkirakan bernama Ngantru, Tulungagung utara sungai Brantas] bertemu pasukan Panjalu Kediri yang menganut Wisnu.  Pasukan besar Tumapel berhasil mendesak mundur kekuatan Panjalu. Istana Kertajaya jatuh ke tangan Ranggah Rajasa sang putra Girindra.

    Serat Pararaton mengisahkan Kertajaya mengungsi ke alam dewata, bergantung-gantung di angkasa, besarta dengan kuda, pembawa payung, dan pembawa tempat sirih, tempat air minum, tikar, semua naik ke angkasa. Berita Pararaton ini dapat dimaknai bahwa Kretajaya mengungsi bersama pengikut setianya dengan bekal lengkap ke sebuah tempat tinggi dan suci, tempat para orang mulia, tempat para petapa dan pandita yang tentu saja dekat dan bersetia kepada raja.  

    Sebelumnya, pada 1194M, Kertajaya pernah dilindungi penduduk Brang Kidul Tulungagung yaitu Katandan Sakapat Kalangbret Kamulan. Pada 1205 Kertajaya juga pernah mengungsi ke Lawadan. Dan berdasarkan penafsiran Serat Pararaton, diperkirakan pada 1222M, raja Kertajaya beserta beberapa anggota keluarga dan sisa pengikutnya menyingkir ke daerah Penampihan, gunung Wilis Tulungagung, yang pada waktu itu lama terkenal sebagai tempat parahiyangan atau pusat pertapaan dan pendidikan ilmu agama. 

    Dapat dikatakan bahwa daerah Tulungagung pada tahun 1222M kembali memberikan pertolongan agung kepada maharaja Kertajaya yang menyingkir ke Penampihan. 

    Bagaimana keadaan Tulungagung masa Ken Arok, tidak banyak terbaca, apakah masuk wilayah kekuasaan Tumapel atau tidak. Yang dapat dipastikan adalah bahwa Ken Arok tidak pernah memberikan anugerah perdikan dalam bentuk prasasti di wilayah Tulungagung. 

    Bahwa Ranggah Rajasa tidak merusak atau menghancurkan enam prasasti yang dikeluarkan Kertajaya di Tulungagung, dapat kiranya ditafsirkan pada waktu bertahta di Tumapel, Ranggah Rajasa Ken Arok sangat menghormati keberadaan Tulungagung sebagai salah satu daerah istimewa.

    *     *     * 

    BERSAMBUNG KE

    Tulungagung Masa Kerajaan Tumapel Singasari 

    Tulungagung masa Kerajaan Majapahit 

    Tulungagung Paska Runtuhnya Majapahit

    *     *     *

    SIWI SANG

    LIhat juga di:


    Reverensi:

    Koes Indarto. Katuturanira Maharaja Erlangga, Penerbit Prestasi Pustaka Karya. 2008.

    Muhammad Yamin. Tatanegara Majapahit, Penerbit Yayasan Prapanca, Jakarta, 1962. 

    Siwi Sang. Girindra: Pararaja Tumapel-Majapahit. Tulungagung. Pena Ananda Indie Publishing, 2013.


    Slamet Muljana. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara, 1979. 

    https://socrates.leidenuniv.nl/



    No comments:

    Post a Comment