Ketika
merampungkan Decawarnanna, pada 1365M, Prapanca sudah menjadi petapa, bukan
lagi sebagai Dharmmadhaksa ring kasogatan. Prapanca sendiri merupakan nama
samaran atau paraban. Ia memiliki nama asli Pancaksara. Sementara dalam catatan
resmi keraton bergelar Dang acarya Kanakamuni sang Arya Adhiraja. Sebelumnya
yang menjadi dharmadhaksa ring kasogatan, ayahnya, Samenaka, dan setelah
Prapanca jabatan dipegang Rengkanadi.
Nama Prapanca
dipakai ketika ia meninggalkan keraton menuju desa Kamalasana. Pada waktu itu
yang menjadi dharmadhaksa ring kasaiwan adalah Sang hyang Brahmaraja. Prapanca
meninggalkan keraton karena ia beragama Buddha dan pada waktu itu terjadi
perselisihan antara agama Siwa dan Budha. Perselisihan itu kemudian diungkapkan
Prapanca dengan menulis tentang hilangnya arca aksobya dalam serat
negarakertagama.
Dua paragraf kutipan buku Menuju
Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, Yogyakarta, LKIS, cetakan
pertama. 2005 karya professor Slamet Muljana di atas patut mendapat
sorotan. Paragraf kedua tentang perselisihan antara agama Siwa dan Boddha akan
kita bicarakan lain kesempatan. Pada kesempatan ini kita sementara menyoroti
penyebutan Prapanca sebagai Dharmadhaksa Kasogatan atau pemuka agama Boddha Majapahit,
nama asli Prapanca, nama ayahnya, dan pengganti Prapanca.
Dalam buku
Negarakertagama dan tafsir Sejarahnya, Slamet Muljana mengidentifikasi Dang
Acarya Nadendra sebagai nama asli Prapanca dan menjabat sebagai Dharmadaksa
Kasogatan mengganti kedudukan ayahnya, Dang Acarya Kanakamuni.
Benarkah Sang
Pujangga Prapanca pernah menjabat sebagai
Dharmadhaksa Kasogatan atau pemimpin agama Boddha kerajaan Majapahit?
Dan apa nama
gelar resmi yang dimiliki Prapanca ketika menjabat sebagai salah seorang
pembesar agama kerajaan Majapahit?
Berikut
penafsiran Siwi Sang terkait Prapanca.
Para Pemuka dan
Pembesar Agama Majapahit Jaman Pemerintahan Raden Wijaya Sri Kertarajasa Jayawardhana
Ketika Sri
Kertarajasa merajai Majapahit, 1294-1309M, agama Siwa dan Boddha sama-sama
memiliki pemimpin, Dharmadaksa Kasaiwan untuk agama Siwa, dan Dharmadaksa
Kasogatan untuk agama Boddha.
Tapi hanya
agama Siwa sajalah yang memiliki upapati atau hakim agama atau pembantu Dharmadaksa.
Ketika itu agama Siwa dipimpin Dharmadaksa ring Kasaiwan Dang Acarya Agraja
dibantu 3 upapati, Pamegat Tirwan Mapanji Paragata, Pamegat Pamwatan Dang
Acarya Hanggareksa dan Pamegat Jambi Dang Acarya Rudra.
Sementara agama
Boddha hanya dipemukai Dharmadaksa Kasogatan Dang Acarya Ginantaka.
Para pembesar
agama itu termuat dalam prasasti Kudadu bertarikh 1294M.
Dalam prasasti
Penanggungan, 1296M, agama Siwa mendapat tambahan dua Upapati, Pamegat Pamwatan
Dang Acarya Ragawijaya, dan Pamegat Kandamuhi Dang Acarya Mahanata.
Sementara agama
Boddha masih satu pembesar yaitu Dharmadaksa Kasogatan Dang Acarya Ginantaka.
Melihat
perbandingan jumlah yang tidak seimbang, dapatlah kita simpulkan bahwa pada
jaman awal Majapahit, agama Boddha yang sebelumnya pernah besar pada masa
Kertanagara, berubah sangat kecil atau dikecilkan masa awal Majapahit.
Inilah
barangkali yang menyebabkan Majapahit kelak lebih sohor sebagai kerajaan
berhaluan Hindu —lebih tepatnya Siwa.
Jaman Pemerintahan Sri Jayanagara
Ketika Sri
Jayanagara berkuasa, 1309-1328M, agama Boddha belum juga berupapati, masih
dipemukai seorang Dharmadhaksa Kasogatan yaitu Dang Acarya Kanakamuni yang menggantikan
kedudukan Dang Acarya Ginantaka.
Sementara agama
Siwa tetap memiliki 5 hakim agama dipimpin Dharmadaksa Kasaiwan Dang Acarya
SMARANATHA.
Prapanca Baru
Muncul Jaman Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi
Prapanca baru
muncul dalam Prasasti Berumbung yang dikeluarkan maharani Tribhuwanatunggadewi
bertarikh 1329M. Dalam prasasti ini
muncul seorang tokoh yang menjadi upapati atau hakim agama Boddha yaitu Sang Pamegat
Kandangan Rarai [muda] Dang Acarya Munindra.
Menurut
penafsiran Siwi Sang, Sang Pamegat Kandangan Rarai DANG ACARYA MUNINDRA yang
tercantum dalam prasasti Berumbung adalah nama asli PRAPANCA.
Dang Acarya
Munindra digambarkan dalam prasasti
sebagai sosok yang mahir dalam pengetahuan kitab sastra Bodha. Tentu itu dapat
dipahami karena merupakan putra dari seorang Pemuka agama Boddha kerajaan Majapahit
atau putra Dharmadaksa Kasogatan Dang Acarya Kanakamuni.
Perkembangan agama Boddha di
Kerajaan Majapahit masa pemerintahan Hayam Wuruk
Pada
1355-1359M, agama Boddha memiliki dua hakim agama, dengan diangkatnya Sang
Pamegat Kandangan Atuha Dang Acarya Kartaraja.
Prasasti
Nglawang, 1355M, di Bangil, mencatat tiga pembesar agama Boddha, yaitu
Dharmadaksa Kasogatan Sang Arya Adiraja Dang Acarya Kanakamuni dibantu Sang
Pamegat Kandangan Atuha Dang Acarya Kartaraja dan Sang Pamegat Kandangan Rarai
DANG ACARYA SAMANTABHADRA.
Menurut Slamet
Muljana, sejak awal, Raja Hayam Wuruk bercita-cita menghidupkan agama Tripaksa
di kerajaan Majapahit, yaitu Siwa, Boddha, dan Brahma.
Tapi memang
pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, agama Siwa tetap menjadi agama negara yang
terkemuka. Itu dapat dibuktikan dengan adanya 5 upapati dalam agama Siwa.
Pada prasasti
Trawulan, 1358M, Darmadaksa Kasogatan Kanakamuni ditulis dengan nama Rungkawi Padelegan Dang Acarya
Nadendra. Upapati Kandangan Atuha Kartaraja ditulis dengan nama Dang Acarya
Srighna. Sementara Upapati Kandangan Rarai ditulis dengan nama DANG ACARYA
SAMANTABHADRA.
Kemudian pada
prasasti Bendosari, 1360M, ayah Prapanca kembali ditulis sebagai Sang Arya
Adiraja Dang Acarya Kanakamuni.
Dharmadaksa
Kasogatan kerajaan Majapahit tahun 1358M
adalah Rungkawi Padelegan Dang Acarya Nadendra.
Sementara pada
tahun 1360M, Dharmadaksa Kasogatan kerajaan Majapahit bernama Sang Arya Adiraja
Dang Acarya Kanakamuni.
Sebagai
catatan, nama Dang Acarya KANAKAMUNI sudah muncul pada tahun 1355M dalam
prasasti Nglawang.
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa Dang Acarya Nadendra, Sang Arya
Adiraja, dan Dang Acarya Kanakamuni merupakan satu tokoh yang sampai tahun
1360M masih menjabat sebagai pemuka atau pemimpin agama Boddha kerajaan
Majapahit atau sebagai seorang Dharmadaksa Kasogatan.
Begitu pula Dang Acarya Munindra alias Samantabhadra adalah nama asli dan
nama gelar yang dimiliki tokoh yang
kelak dalam Kakawin Negarakertagama dikenal sebagai Prapanca.
Menurut Siwi Sang, Prapanca tidak pernah menjabat sebagai pemimpin atau
pemuka agama Boddha kerajaan Majapahit atau tidak pernah menjabat sebagai
seorang Dharmadaksa Kasogatan.
Sementara prof Slamet Muljana menafsirkan bahwa Prapanca pada tahun 1359M
atau saat mengikuti raja Hayam Wuruk ke Lumajang telah menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai seorang Dharmadaksa Kasogatan kerajaan Majapahit.
Padahal, pada tahun 1360M, yang menjabat sebagai Dharmadaksa Kasogatan
atau pemimpin agama Boddha kerajaan Majapahit adalah Kanakamuni, ayah Prapanca.
Kekeliruan menafsir sejarah Prapanca terjadi karena Slamet Muljana tidak dapat
membedakan antara PEMBESAR agama dan PEMIMPIN atau PEMUKA agama kerajaan
Majapahit.
Pembesar agama belum tentu pemimpin agama kerajaan. Tetapi pemimpin agama
kerajaan sudah pasti pembesar agama.
Prapanca alias Samantabhadra alias Munindra hanya salah satu pembesar
agama Boddha, yaitu menjadi Sang Pamegat
Kandangan Rarai, 1329-1360M. Penulis Kakawin Nagarakertagama ini tidak pernah
menjadi pemimpin agama Boddha atau Dharmadhaksa ring Kasogatan.
Kiranya Slamet
Muljana telah kurang cermat dalam menafsirkan Kakawin Nagarakertagama pupuh 17 bait 7-9
tentang awal perjalanan Hayam Wuruk ke Lumajang
1359M yang diikuti Prapanca.
Dalam pupuh itu
meriwayatkan bahwa keberadaan Prapanca
mengikuti perjalanan raja Hayam Wuruk karena menggantikan kedudukan ayahnya.
Prof. Slamet Muljana menafsirkan bahwa itu sebagai pergantian jabatan
Dharmadaksa Kasogatan dari Kanakamuni kepada Prapanca atau Samantabhadra.
Padahal tidak demikian adanya.
Maksud
sebenarnya adalah Sri Baginda Hayam Wuruk memilih atau mengijinkan Prapanca
sebagai salah satu pembesar agama kerajaan Majapahit yang ikut rombongan
mengganti tugas Dharmadaksa Kasogatan Kanakamuni.
Pergantian peran
itu bukan dalam arti pergantian jabatan, melainkan pergantian tugas mengiringi
raja.
Sebagai seorang
Dharmadaksa Kasogatan atau pemimpin agama Boddha kerajaan Majapahit, sudah
seharusnya selalu mengiringi perjalanan penting yang dilakukan raja Hayam
Wuruk.
Tetapi,
sebagaimana riwayat dalam Kakawin Negarakertagama, jelang keberangkatan raja Hayam
Wuruk ke Lumajang tahun 1359M, Prapanca punya keinginan yang sangat besar untuk
berkesempatan melakukan perjalanan keliling negeri. Hal itu karena Prapanca
sedang menyusun suatu naskah yang berkaitan dengan desa desa di Majapahit.
Prapanca
kemudian merayu supaya diperkenankan raja, dengan alasan mencari bahan
penulisan kakawin tentang desa desa.
Sebagaimana termuat
dalam bait 9, raja Hayam Wuruk pada ahirnya merestui Prapanca mengganti tugas
ayahnya, mengiringi rombongan bersama para pembesar agama lainnya.
Prapanca pada
tahun 1359M atau saat mengikuti rombongan raja Hayam Wuruk ke Lumajang tidak
menjabat sebagai Dharmadaksa Kasogatan menggantikan ayahnya, diperkuat data dan
fakta sejarah bahwa nama Kanakamuni masih tertulis sebagai Dharmadaksa
Kasogatan dalam Prasasti Bendosari bertarikh 1360M atau setahun setelah
perjalanan ke Lumajang.
Jika ayah
Prapanca, tidak lagi menjabat Dharmadaksa Kasogatan karena sudah digantikan
Prapanca, maka nama Kanakamuni tidak muncul dalam prasasti bertarikh 1360M.
Jadi kesimpulan
ini sangat kuat didukung sumber prasasti, bahwa pada 1359M, saat mengiringi raja
Hayam Wuruk ke Lumajang, Prapanca masih sebagai Sang Pamegat Kandangan Rarai
dan Dang Acarya Kanakamuni masih sebagai Dharmadaksa Kasogatan kerajaan Majapahit.
Pada waktu raja
Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling negeri menuju Lumajang, Sang Pamegat
Kandangan Atuha masih dijabat Dang Acarya Kartaraja. Tokoh itu digambarkan
dalam Kakawin Nagarakertagama sebagai sahabat karib Prapanca.
Hubungan
Prapanca dengan Kartaraja adalah sahabat kerja, sama-sama pembantu Dharmadaksa
Kasogatan. Ketika rombongan tiba di Keta, Kartaraja wafat. Prapanca sangat
berduka karenanya. Peristiwa ini kelak ditulis secara kusus oleh Prapanca dalam
kakawin Decawarnana atau Negarakertagama Pupuh 29 bait 1-3.
Hayam Wuruk tidak segera mengangkat pengganti Kartaraja. Agama Boddha
kembali satu upapati dan satu Dharmadaksa, hanya Samantabadra dan Kanakamuni.
Sementara agama Siwa tetap lima upapati dan satu Dharmadaksa.
Prapanca meninggalkan istana
Majapahit
Prasasti Sekar 1366M mencatat dua pembesar agama Boddha yaitu Dang Acarya
Nadendra Sang Arya Adiraja Kanakamuni sebagai Dharmadaksa Kasogatan, Dang Acarya
Samatajana Sang Arya Samadiraja sebagai Pamegat Kandangan Atuha.
Nama Pamegat Kandangan Rarai tidak tampil pada Prasasti 1366M.
Dengan kata lain, Prapanca tidak muncul dalam prasasti 1366M.
Hilangnya nama Sang Pamegat Kandangan rarai yang dijabat oleh
Samantabhadra atau Prapanca dapat dijelaskan dengan menautkan sumber berita
dari Kakawin Nagarakertagama. Bahwa sejak tahun 1365M, Prapanca telah
neinggalkan istana kerajaan Majapahit. Saat merampungkan penyusunan Kakawin
Nagarakertagama tahun 1365M, Prapanca sudah berada di luar istana yaitu di
suatu daerah bernama Kamalasana.
Penafsiran Slamet Muljana, pada sekitar awal 1365M, terjadi pergolakan
antara pemuka Siwa dengan Boddha. Dang acarya Munindra alias dang acarya
Samantabadra tersingkir dari keraton menuju desa Kamalasana menjadi petapa,
menggubah kakawin Decawarnanna atau Negarakertagama, dan mengambil nama
samaran: Prapanca.
Sepeninggal Kartaraja dan Prapanca, juga Gajahmada, Majapahit hanya memiliki
Dharmadaksa Kasogatan dan satu hakim agama. Dua pembesar itu adalah Dang acarya
Nadendra Sang Arya Adiraja alias Kanakamuni dan Sang Pamegat Kandangan Atuha
Dang Acarya Samantajana Sang Arya Samadiraja.
Jadi, sampai pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, perkembangan agama
Siwa di kerajaan Majapahit lebih
diutamakan daripada agama Boddha, terbukti dengan adanya perbedaan jumlah
pembesar dua agama negara tersebut.
Bagaimanapun kerajaan Majapahit dibangun oleh Raden Wijaya yang masih
keturuna asli Sang Putra Girindra Ranggah
Rajasa Sang Amurwabhumi Ken Arok yang menurut pemberitaan Serat Pararaton mengaku
sebagai titisan Bhatara Siwa.
============
apa betul mas, Gajahmada putra dari istri selir R. Wijaya ?, bahkan Cak Nun dalam salah satu ceramahnya menyampaikan, bawa Gajahmada itu ayahnya Prabu Hayam Wuruk, dia Islam, meninggal diusia sangat sepuh dll
ReplyDeletemenurut penafsiran saya, Gajah Mada masih berdarah keluarga raja Majapahit yaitu merupakan putra Raden Wijaya dari isteri selir.
DeleteKalau Cak Nun berpendapat bahwa Gajah Mada ayahnya raja Hayam Wuruk, saya tidak sepakat. Karena berdasarkan sumber prasasti dan kakawin Nagarakertagama, dan Serat Pararaton, disimpulkan bahwa Hayam Wuruk itu putra sulung pasangan Sri Tribhuwanatunggadewi dan raja Tumapel I Sri Kertawardhana. Hayam Wuruk punya seorang adik kandung perempuan yaitu ratu Pajang Dyah Nertaja [ibu dari Sri Wikram,awardhana]
menurut penafsiran saya, Gajah Mada masih berdarah keluarga raja Majapahit yaitu merupakan putra Raden Wijaya dari isteri selir.
ReplyDeleteKalau Cak Nun berpendapat bahwa Gajah Mada ayahnya raja Hayam Wuruk, saya tidak sepakat. Karena berdasarkan sumber prasasti dan kakawin Nagarakertagama, dan Serat Pararaton, disimpulkan bahwa Hayam Wuruk itu putra sulung pasangan Sri Tribhuwanatunggadewi dan raja Tumapel I Sri Kertawardhana. Hayam Wuruk punya seorang adik kandung perempuan yaitu ratu Pajang Dyah Nertaja [ibu dari Sri Wikram,awardhana]