RANGGAH RAJASA SANG AMURWABHUMI KEN AROK memiliki seorang permaisuri dan istri selir. Dari permaisuri Ratu Dedes, Ranggah Rajasa Ken Arok menurunkan Mahisa Wonga Teleng, Guning Bhaya, Panji Saprang, dan Dewi Rimbun. Sementara dari istri selir bernama Ken Umang, berdasarkan berita serat Pararaton, Ranggah Rajasa Ken Arok menurunkan Tohjaya, Panji Sudatu, Twan Wregola, dan Dewi Rimbi.
Dari jalur Ranggah Rajasa Ken Arok, kelak mengalirkan sejarah Majapahit. Ranggah Rajasa dan Ratu Dedes menurunkan Mahisa Wonga Teleng, menurunkan Sang Narasingamurti, menurunkan Dyah Lembu Tal, menurunkan Raden Wijaya.
Dari urutan garis darah laki itu, nyata bahwa Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit, murni berdarah Ranggah Rajasa.
Mahisa Wonga Teleng yang menikah dengan Dewi Rimbi, putri Ken Arok dari istri selir, pernah menjadi maharaja Panjalu Daha mulai 1227M-1248M.
Kemudian Sang Narasingamurti atau Mahisa Cempaka, putra bungsu Mahisa Wonga Teleng, juga menjadi maharaja Panjalu Daha mulai tahun 1250M-1254M lalu pindah ke Tumapel Singhasari sampai tahun 1270M memerintah bersama kakak sepupu, Wisnuwardhana Seminingrat.
Putra kandung Sang Narasingamurti, Dyah Lembu Tal, ternyata tidak menjadi raja, melainkan berperan sebagai panglima angkatan perang Sri Kertanegara. Karena itu Prapanca dalam kakawin Decawarnanna pupuh 46/2 memuji ayah Raden Wijaya itu sebagai Sang Wireng Laga atau Sang Perwira Yudha, artinya tokoh yang gagah berani dalam medan perang.
Buku Girindra : Pararaja Tumapel Majapahit menarasikan lengkap tafsir baru pararaja Tumapel atau keluarga trah Girindra yang dibangun Ranggah Rajasa.
Antara lain menafsirkan bahwa setelah Ranggah Rajasa wafat, kerajaan Tumapel pecah menjadi Panjalu Kadiri dan Jenggala Kutaraja. Dalam waktu bersamaan kedua daerah ini hidup sebagai dua kerajaan bersaudara sampai akhirnya kembali bersatu dalam bendera Tumapel Singasari pada masa pemerintahan Sri Wisnuwardhana Seminingrat.
Buku Girindra juga menafsirkan atau mendukung penafsiran professor Slamet Muljana terkait asal usul Dyah Lembu Tal sebagai tokoh berjenis kelamin laki, bukannya perempuan.
Bahwa Dyah Lembu Tal adalah putra Sang Narasingamurti yang kelak menurunkan Raden Wijaya dan Arya Bangah atau Mpu Tilam.
Setahun setelah bertahta di Panjalu Daha, sang Narasingamurti menikah dan dari permaisuri menurunkan seorang putra bernama dyah Lembu Tal yang lahir sekitar 1252M. Kelak dyah Lembu Tal, dari seorang permaisuri, menurunkan Nararya Sanggramawijaya, pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Majapahit. [Girindra hal. 82]
Hubungannya dyah Lembu Tal dengan darah Pajajaran kiranya dari istri kedua. Dari istri pertama dyah Lembu Tal menurunkan raden Wijaya, sementara dari istri kedua dari Pajajaran, menurunkan arya Bangah. Setelah datang ke Majapahit, arya Bangah yang dikenal juga sebagai Mpu Tilam diangkat sebagai patih Daha menggantikan Mpu Sora yang gugur pada 1300M. [Girindra hal.84]
Pada bagian lain, buku Girindra juga menyebut tegas bahwa Dyah lembu Tal sohor sebagai Sang Perwira Yudha dan merupakan tokoh yang menganut agama Boddha.
Negarakertagama menyebut dyah Lembu Tal sebagai sang Perwira Yudha atau sosok yang gagah perwira di medan perang. Dalam sejarah pararaja Tumapel dan Majapahit, Negarakertagama yang selesai ditulis pada 1365M hanya menyebut dua tokoh bergelar sang Perwira Yudha, yaitu Ranggah Rajasa dan dyah Lembu Tal. Nyata ini gelar istimewa, tidak setiap tokoh mendapatkannya. [Girindra hal. 131-132]
Tokoh ini hanya termuat dalam Negarakertagama karya Prapanca. Sangat mungkin Prapanca sengaja membuka kembali sejarah pahlawan besar dyah Lembu Tal yang menganut Boddha. Prapanca sangat berkepentingan dengan perkara ini. Prapanca adalah penganut Boddha, pernah menjadi dharmaupapati Kandangan rarai. Prapanca sangat mungkin lama kecewa ketika dyah Lembu Tal yang oleh para penganut Boddha dianggap sebagai pahlawan besar, bapak pendiri negara, tidak pernah disinggung dalam prasasti manapun, terutama oleh putranya sendiri, Wijaya. Kenyataan ini memunculkan dugaan Wijaya sengaja tidak membicarakan dyah Lembu Tal, lantaran ayahnya penganut Boddha. Sementara Wijaya sedang berjuang mengangkat derajat darah Girindra atau Rajasa, sedang berjuang mengibarkan bendera kerajaan berhaluan Siwa. Kemungkinan kedua mengapa raden Wijaya tidak pernah bicara tentang dyah Lembu Tal, karena ayahnya tidak pernah menjadi raja, beda dengan sang kakek, Bhatara Narasingamurti. Tentu derajatnya bakal kurang dahsat jika mengaku semata putra senapati keraton Singhasari. raden Wijaya berkepentingan menunjukkan dirinya sebagai keturunan raja. Raden Wijaya menyebut sebagai keturunan Rajasa dari garis sang kakek, Narasinghamurti. Dyah Lembu Tal putra Narashingamurti dilintasi begitu saja. Ini sangat aneh. Selama ini tidak ada yang menguak jauh mengapa Wijaya ogah menyebut ayahnya sendiri. Ada apa sesungguhnya dengan tokoh dahsat dyah Lembu Tal? [Girindra hal. 132]
* * *
TERNYATA masih ada sebagian sejarawan yang meragukan identifikasi Dyah Lembu Tal sebagai tokoh berjenis kelamin laki dan menganut agama Boddha. Dengan kata lain, pengidentifikasian Dyah lembu Tal dalam buku Girindra Pararaja Tumapel Majapahit mendapat sanggahan dan tentangan keras.
Sebagian sejarawan yang menyanggah dyah Lembu Tal sebagai ayah raden Wijaya tentu saja berpendapat bahwa bahwa Dyah Lembu Tal adalah tokoh berjenis kelamin perempuan, yang berdasarkan naskah dari Sunda dan Babad Tanah Jawi menyebutkan sebagai permaisuri putra makhota kerajaan Sunda yang kelak menurunkan Raden Wijaya atau Jaka Sesuruh. Sebagian sejarawan yang menyanggah itu juga berpendapat bahwa Dyah lembu Tal bukan tokoh yang menganut Boddha, melainkan Siwa sebagaimana Raden Wijaya.
Untuk menelusuri siapa Dyah Lembu Tal, dalam kesempatan ini sementara memulai dengan mengamati hasil karya atau penulisan Prapanca dalam kakawin Decawarnanna atau Negarakertagama yang selesai ditulis tahun 1365M.
Bahwa Prapanca ternyata seorang wartawan Majapahit yang penulisannya sangat kronologis.
Termasuk di sini ketika menulis sejarah para keluarga Girindra Tumapel dan terutama lagi terkait kapan tahun wafat dan dimana tempat pendarmaan mereka.
Prapanca tidak pernah mengulang dua kali ketika menulis itu, termasuk ketika menulis tahun wafat dan tempat pendarmaan Sang Narasingamurti.
Pencarian pada pupuh mana Prapanca menulis berita wafat dan tempat pendarmaan Sang Narasingamurti, ayah Dyah lembu Tal, sangat berguna untuk mengidentifikasi sejarah Dyah lembu Tal.
Maka dalam narasi ini, sengaja menampilkan berita wafatnya para keluarga Girindra Tumapel dalam kakawin Decawarnanna yang ditulis Sang Pujangga Agung Prapanca. Mulai dari Ranggah Rajasa sampai Dyah Lembu Tal.
Ini terutama untuk membantu menemukan jawaban atas pertanyaan:
Siapa yang bergelar Sang Wireng Laga atau Sang Perwira Yudha pada pupuh 46/2 kakawin Decawarnanna? Apakah Sri Narasingamurti ataukah Dyah Lembu Tal.
Dan siapa yang didarmakan sebagai Boddha di candi Miren pada pupuh 46/2 kakawin Decawarnanna? Apakah Dyah Lembu Tal ataukah Sri Narasingamurti.
Sangat kronologis Prapanca menulis berita wafat dan tempat pendarmaan para tokoh penting [menurut Prapanca] wangsa Girindra Tumapel mulai Ranggah Rajasa, Anusapati, Wisnuwardhana, Sri Narasingamurti, Kertanegara dan Sri Bajradewi, sampai Dyah Lembu Tal.
Wafatnya Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi Ken Arok termuat dalam kakawin Decawarnanna pupuh 40/5.
Wafatnya Sang Anusapati termuat dalam kakawin Decawarnanna pupuh 41/2.
Wafatnya Sri Wisnuwardhana Mapanji Seminingrat dan Sri Narasingamurti Mahisa Cempaka termuat dalam kakawin Decawarnanna pupuh 41/4.
Wafatnya Sri Kertanegara nararya Murdhaya dan permaisuri Sri Bajradewi termuat dalam kakawin Decawarnanna pupuh 43/5-6. Meski dalam dua bait tetapi berturutan tidak meloncat ke bait pada pupuh lain.
Wafatnya Dyah Lembu Tal termuat dalam kakawin Decawarnanna pupuh 46/2.
Sumangga simak paparan berikut ini. Semoga jadi awal jembatan penghubung menipiskan perbedaan tafsir sejarah Dyah Lembu Tal.
Wafatnya Ranggah Rajasa dalam kakawin Decawarnana pupuh 40/5
Pupuh 40/5: Mankin wrddyameweh tan prabhawa wibhawa ring sri girindratmasunu enek tandel nikang yawadarani sumiwi jon niran catraningrat. ri sakastabdi rudra karma kalahaniran mantuk ing swarggaloka kyaningrat sang dinarmma dwaya ri kagenengan sri sewabodden usana.
Terjemahannya: Makin bertambah besar aura kewibawaan dan kekuasaan Sang Putra Girindra Terjamin keselamatan pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun saka 1149/1227M, beliau berpulang ke kayangan swargaloka. Didharmakan di Kagenengan sebagai siwabodda di Usana.
Ranggah Rajasa ditulis sebagai Sri Girindratmasunu atau Sang Putra Girindra artinya sebagai putra Sri maharaja Girindra, raja Jenggala yang menganut agama Siwa. Girindra artinya rajagunung, nama lain batara Siwa.
Pupuh 40/5 menyebutkan Ranggah Rajasa wafat atau berpulang ke Swarggaloka pada tahun 1227M dan didharmakan sebagai Siwa dan Boddha di Kagenengan dan Usana. Meski dikenal sebagai penganut Siwa, tetapi raja pertama Tumapel ini dihormati oleh para penganut agama Boddha. Itu tentunya karena selama memerintah, Ranggah Rajasa sangat melindungi para penganut Boddha. Hanya Ranggah Rajasa punya kelemahan yaitu dikenal sebagai tokoh yang menenggelamkan agama Wisnu warisan Erlangga.
Wafatnya maharaja Anusapati dalam kakawin Decawarnana pupuh 41/1
Pupuh 41/1: Bhatara sang anusanatha wka de bhatara sumilih wisesa siniwi. Lawasniran amukti ring rat apageh tikang sayawabhumi bekti matutur. Sakabdi tilakadri sambhu kalahan bhatara mulih ing girindrabhawana sireki winaun pradipa siwawimbha rikang sudarmma ri kidal.
Terjemahannya: Bhatara Anusapati, putera Sri Bhatara [putra Ranggah Rajasa], berganti menguasai tahta. Selama pemerintahannya, tanah Jawa pageh/tetap kokoh sentosa, bersembah bakti. Pada tahun saka 1170/1248M, Sri Bhatara [Anusapati] berpulang ke Girindrabuwana atau alam bhatara Siwa. Pradipa/cahaya beliau diwujudkan arca Siwa, didarmakan di Kidal.
Bhatara sang anusanatha adalah tokoh yang dalam serat Pararaton ditulis sebagai Anusapati. Anusanatha artinya memang sama dengan anusapati atau anusaraja. Meski ada kemungkinan punya nama lain, selama ini para sejarawan cenderung mengenalnya sebagai Anusapati, putra kandung pasangan Tunggul Ametung dan Ken Dedes.
Yang menarik dalam pupuh 41/1 adalah bahwa Sang Anusapati ditulis sebagai putra Ranggah Rajasa. Wka berasal dari kata weka, artinya putra laki. Bhatara Sang Anusanatha wka de bhatara, artinya bhatara Sang Anusanatha putra dari bhatara Kagenengan Ranggah Rajasa.
Buku Girindra Pararaja Tumapel Majapahit menulis bahwa selain putra tiri, Anusapati ternyata juga putra mantu Ranggah Rajasa.
Di kesempatan lain akan dipaparkan analisa sejarahnya mengapa Prapanca menulis Anusapati sebagai putra Ranggah Rajasa.
Pada kesempatan ini sementara hanya menunjukkan bahwa wafat dan tempat pendarmaan Sang Anusapati hanya tertulis dalam satu pupuh, seperti juga tokoh tokoh lain keluarga Girindra Tumapel Singasari.
Sebagaimana termuat dalam pupuh 41/1, pada tahun 1248M Bhatara Anusanatha atau Anusapati berpulang ke Girindrabhawana dan dicandikan di Kidal dengan perwujudan arca Siwa. Itu menunjukkan Anusapati penganut agama Siwa.
Sangat mengherankan Anusapati tidak didharmakan sebagai Boddha. Padahal ibunya, Ken Dedes, adalah penganut Boddha. Anusapati juga punya kakek yang menjadi pandita agama Boddha yaitu mpu Purwawidada dari panawijen itu.
Wafatnya Wisnuwardhana dan Narasingamurti dalam kakawin Decawarnanna pupuh 41/4
Pupuh 41/4: Cakabda kanawawaniksithi bhatara wisnu mulih ing suralaya pejah dinarmma ta sira waleri siwawimbha len sugatawimbha munggwing jajaghu. Samantara muwah bhatara narasinghamurti sira mantuk ing surapada hanar sira dinarmma de haji ri wengker uttamasiwarcca mungggwing kumitir.
Terjemahannya: Tahun saka 1192/1270M, bhatara Wisnuwardhana berpulang ke kayangan Suralaya, beliau didharmakan di Waleri dengan perwujudan arca Siwa dan di jajaghu sebagai Boddha. Sementara itu bhatara Narasingamurti juga mantuk atau berpulang ke Surapada atau kayangan dewa Siwa, beliau didharmakan di Wengker dengan perwujudan arca Siwa di Kumitir.
Pupuh 41/4 memberitakan wafatnya dua tokoh sekaligus tempat pendarmaannya. Bhatara Wisnu atau Wikramawardhana berpulang ke Suralaya pada tahun 1270M didharmakan di Waleri dengan arca Siwa dan di jajago dengan arca Boddha. Bahwa putra Anusapati ini didharmakan di dua tempat sebagai Siwa dan Boddha. Ini dapat dimaknai bahwa Wisnuwardhana dihormati kaum agama Siwa dan Boddha. Dari unsur nama Wisnu, raja ini lebih kuat sebagai penganut Wisnu atau Siwa, bukannya Boddha. Didharmakan sebagai Boddha, sangat mungkin karena sang raja dalam hidupnya sangat menghormati kaum Boddha, atau dengan kata lain sang raja Wisnuwardhana telah menyatukan dua agama besar waktu itu, SiwaBoddha. Ini seperti Ranggah Rajasa Ken Arok yang didharmakan sebagai Siwa dan Boddha.
Kemudian pupuh 41/4 juga memberitakan bahwa setelah kakak sepupunya wafat, Bhatara Narashingamurti menyusul berpulang ke Surapada atau alam bhatara Siwa pada tahun 1270M atau ada kemungkinan tahun 1271M dan didharmakan di pendharmaan raja di Wengker sebagai arca Siwa di Kumitir. Dari keterangan berpulang ke alam Siwa dan didharmakan dengan perwujudan Siwa, maka disimpulkan bahwa Sri Narasingamurti adalah tokoh yang menganut agama Siwa.
Jika ada pendapat yang mengatakan Sri Narasingamurti Mahisa Cempaka menganut agama Boddha, tentulah Prapanca dalam pupuh ini akan menulis tempat pendarmaan dalam perwujudan candi Boddha. Kenyataannya tidak.
Dan berita wafatnya Sri Narasingamurti Mahisa Cempaka berikut candi pendarmaannya hanya tertulis dalam pupuh 41/4, tidak termuat dalam pupuh lain. Ini berlaku pula bagi para tokoh seperti Ranggah Rajasa, Anusapati, Wisnuwardhana, dan nanti berlaku pula terhadap tokoh seperti Kertanegara dan Dyah Lembu Tal.
Paparan ini sekaligus untuk menyanggah teori atau penafsiran sebagian sejarawan yang menyatakan bahwa candi pendarmaan di Miren yang berciri Boddha merupakan tempat pendarmaan Sri Narasingamurti. Candi Boddha di Miren sebagaimana nanti termuat dalam kakawin Decawarnanna pupuh 46/2 bukanlah candi pendarmaan Sang Narasingamurti. Sekali lagi berita wafatnya dan tempat pendarmaan Sri Narasingamurti hanya termuat dalam pupuh 41/4.
Bahwa Prapanca sangat kronologis ketika memberitakan wafatnya para tokoh keluarga Girindra Tumapel. Seorang tokoh hanya diberitakan tahun wafat dan sekaligus tempat pendarmaannya hanya dalam satu pupuh atau hanya sekali, tidak pernah diulang penulisannya atau pemberitaannya dalam pupuh lain.
Keterangan ini nanti untuk membuktikan atau mengidentifikasi siapa yang didarmakan di candi Miren sebagai Boddha.
Wafatnya maharaja Tumapel Singasari terakhir, Sri Kertanegara, dalam kakawin Decawarnanna pupuh 43/5-6
Pupuh 43/5: ring sakabdi jakaryyama narpati mantuk ring jinaindralaya. Sankai wruhanira ring kriyantara lawan sarwwopadesadika sang mokteng siwabuddaloka talahan sri natha ling sing sarat rinke sthananiran dinarmma siwabuddarca halp nottama.
Terjemahannya: Tahun saka 1214/1292M, sang narpati Kertanegara berpulang ke Jinaindralaya. Berkat pengetahuan beliau tentang upacara dan ajaran agama, beliau mendapat gelar Sang Mokta ing Siwabuddhaloka atau yang wafat ke alam Siwa-Buddha. Di makam pendarmaan beliau bertegak arca Siwa-Budha yang sangat megah.
Pupuh 43/6: Lawan ring sagala pratista jinawimbhatyanta ring sobhita tkwan narddanareswari mwan ika sang sri bajradewy apupul sang rowang nira wrddi ring bhuwana tunggal ring kriya mwang brata. Hyang werocana locana lwiriran ekarcca prakaca ing praja.
Terjemahannya: Di sagala ditegakkan pula arca Jinabudda sangat bagus dan berkesan. Serta arca Ardanareswari bertunggal dengan Sri Bajradewi. Teman kerja dan tapa demi keselamatan dan kesuburan Negara. Eka arca yang terkenal sepenjuru negeri itu bernama Hyang Werocana Locana.
Dalam pupuh 43/5, Sri Kertanegara diberitakan wafat berpulang ke alam Jina dan Indra pada tahun 1292M. Pupuh ini mengabarkan pula bahwa Kertanegara penganut dua agama yaitu Siwa dan Boddha. Maka tak heran jika maharaja Singasari terakhir ini dikenal sebagai Sang Mokta ing Siwabuddhaloka artinya yang wafat di alam siwa dan Buddha. Pendarmaan Kertanegara juga masih termuat dalam pupuh 43/6, yaitu didharmakan bersatu dengan sang permaisuri di Sagala dalam perwujudan arca Jinabuddha.
Wafatnya Dyah Lembu Tal dalam kakawin Decawarnanna dalam pupuh 46/2
Pupuh 46/2: ndan rakwaking atmwamintiga siran wwang sanak arddapar apan rakwa bhatara wisnu mamisan parnnahniran tan madoh lawan sri narasinghamurti wka ri dyah lembu tal. susrama sang wireng laga, sang dinarmma ri miren boddapratistapagoh.
Terjemahannya: Perkawinan beliau [raden Wijaya] dalam hubungan keluarga termasuk derajat tiga sebab Bhatara Wisnu merupakan saudara sepupu dengan Sri Narasingamurti yang menurunkan seorang putra bernama dyah Lembu Tal. [dyah Lembu Tal] sohor sebagai Sang Perwira Yudha yang didharmakan di Miren dengan perwujudan arca Boddha.
Dalam pupuh 46/2 tokoh yang didarmakan di Miren sebagai Boddha adalah Dyah Lembu Tal, bukannya Sri Narasingamurti. Ayah dyah lembu Tal atau Sri Narasingamurti sudah termuat beritanya dalam pupuh 41/4. Karena Prapanca termasuk penulis yang kronologis, maka tentu saja tidak mengulang berita wafatnya Sri Narasingamurti dalam pupuh lain. Jika Sri Narasingamurti didarmakan juga sebagai Boddha, maka berita itu harus ditempatkan pada pupuh setelah 41/4. Kenyataannya tidak.
Kaliman susrama sang wireng laga sang dinarmma ri miren boddapratistapagoh pada pupuh 46/2 lebih menunjuk khusus kepada dyah Lembu Tal. Naskah Decawarnanna berupa kakawin yang sangat terikat ketat aturan bahasa dan guru laghu. Untuk menafsirkannya tentu saja tidak sekadar membaca apa yang tertulis atau yang tersurat melainkan juga mampu menemukan kata kata yang tersirat atau yang tidak ditampilkan akibat kendala aturan dalam penulisan kakawin.
Jika tokoh yang didarmakan di candi Miren sebagai Boddha menunjuk pada Sri Narasingamurti, mengapa Prapanca tidak menuliskannya pada pupuh yang membicarakan wafat dan tempat pendarmaan Wisnuwardhana dan Sri Narasingamurti pada pupuh 42/4?
Jika tokoh yang didarmakan di candi Miren menunjuk pada Sri Narasingamurti, maka ini akan bertentangan atau melenceng dari watak Prapanca yang merupakan wartawan kronologis sebagaimana telah dipaparkan di awal.
Di sini jelas terlihat bahwa dyah Lembu Tal menganut agama Boddha sementara ayahnya, Sri Narasingamurti menganut agama Siwa. Dyah Lembu Tal didharmakan di candi Miren sebagai Boddha sementara Sri Narasingamurti didarmakan di Wengker dengan perwujudan arca Siwa di Kumitir.
Dalam kakawin Decawarnanna pupuh 73/3 dan pupuh 74/1 terkait 27 candi makam raja yang mendapat prasasti pada tahun 1365M, nama Miren tidak disebut, sementara nama Wudi Kuncir atau candi Kumitir disebut. Ini karena candi Miren bukan candi pendarmaan seorang raja.
Pupuh 73/3 dan 74/1: Kwehnikanang sudarmma haji kaprakasita makadi ring kagenengan lwir nikanang manadi tumapel kidal jajaghu wedwawedwan i tudan mwang pikatan bukul jawajawa antang antarasasi kalangbrat i jaga len balitar silahrit i waleri babeg i kukap ri lumbang i pager muktantahpura sagala thawa ri simping mwang sri ranggapura muwang ring buddi kuncir prajnaparamitapuri hanar panembeh mwang tekang ri bhayalango duweg kinaryya.
Terjemahannya: Jumlah candi makam raja seperti berikut, mulai dengan Kagenengan, disebut pertama karena tertua, Tumapel, Kidal, Jajagu, Wedwawedan, Tudan, Pikatan, Bukul, Jawajawa, Antang, Antarasasi/Antarawulan, Kalangbrat, Jaga, lalu Balitar, Sila Ahrit, Waleri, Babeg, Kukap, Lumbang, Pager, makam Antahpura, Sagala, Thawa, Simping, Sri Ranggapura, candi Budi Kuncir, dan bangunan baru Prajnyaparamitapuri di Bayalangu yang baru saja dibangun.
Pararaton menulis: sira mahisa campaka mokta dinarmma ring kumeper pamelesatanira ring wudi kuncir. Artinya mahisa Cempaka wafat didarmakan di Kuameper dengan candi pendarmaannya di Wudi Kuncir. Jadi pendarmaan Sri Narasingamurti Mahisa Campaka yang dalam kakawin Decawarnanna ditulis di Wengker Kumitir, sama dengan candi Wudi Kuncir.
Sekali lagi candi Miren yang merupakan candi Boddha pendarmaan Dyah Lembu Tal tidak tertulis sebagai satu dari 27 candi pendarmaan raja keluarga Girindra. Ini karena Dyah Lembu Tal memang bukan seorang raja. Yang jadi raja adalah ayahnya, Sri Narasingamurti Mahisa Cempaka yang dicandikan di Kumitir atau Wudi Kuncir, dan putra sulungnya, Raden Wijaya yang dicandikan di Antapura/keraton dan Simping.
Sampai di sini sudah ketemu jawaban dari pertanyaan: Siapa yang bergelar Sang Wireng Laga atau Sang Perwira Yudha pada pupuh 46/2 kakawin Decawarnanna? Dan siapa yang didarmakan sebagai Boddha di candi Miren pada pupuh 46/2 kakawin Decawarnanna? Apakah Dyah Lembu Tal ataukah Sri Narasingamurti.
Bahwa yang didarmakan di candi Miren sebagai Boddha adalah Dyah Lembu Tal. Dengan demikian dyah Lembu Tal adalah tokoh yang menganut agama Boddha.
Bahwa yang sohor atau susrama sebagai sang Wireng Laga atau Sang Perwira Yudha adalah tokoh yang didarmakan di candi Miren atau tokoh yang menganut agama Boddha. Tokoh itu adalah Dyah Lembu Tal.
=============
SIWI SANG
Sumber catatan diolah dari buku Girindra Pararaja Tumapel Majapahit terbitan Pena Ananda Indie Publishing Tulungagung, Desember 2013
No comments:
Post a Comment