Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Thursday, January 30, 2014

    Antara Raden Wijaya, Arya Wiraraja, Dan Kebo Anabrang


    buku GIRINDRA:Pararaja Tumapel-Majapahit




    Setelah menjadi raja Majapahit, raden Wijaya segera memanggil arya Wiraraja, mengangkatnya sebagai salah satu menteri pasangguhan. Selain mencatat tiga mahamentri katrini dan para pemuka agama, piagam Kudadu 1294M mencatat tiga menteri Pasangguhan, yaitu Rakryan Menteri Pranaraja Mpu Sina, Rakryan Menteri Dwipantara arya Adikara, dan Rakryan Menteri Makapramuka arya Wiraraja. Dengan demikian, sejak 1294M, arya Wiraraja berhenti sebagai adipati Sumenep.[1]

    Kidung Ranggalawe dan Kidung Panji Wijayakrama menyebut arya Wiraraja ayah Ranggalawe. Ini berbeda dengan berita Pararaton yang menyebutnya sebagai ayah Nambi. Kidung Harsawijaya[2] senada Pararaton, karena menyebut putra Wiraraja yang dikirim kepada raden Wijaya untuk membantu membuka alas Tarik bernama Nambi.

    Dalam buku Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya, Slamet Muljana heran mengapa Ranggalawe tidak termuat dalam prasasti Kudadu, sementara arya Wiraraja termuat. Mengingat kedudukannya sangat tinggi akibat jasa-jasanya, Ranggalawe pasti mendapat pangkat tinggi dalam pemerintahan Majapahit. Demikian keyakinan Slamet Muljana. Menurut Kidung Panji Wijaya Parakrama, nama Ranggalawe hadiah Nararya Sanggramawijaya kepada putra arya Wiraraja, ketika diutus ayahnya membantu raden Wijaya membuka alas Tarik. Jadi Ranggalawe bukan nama sebenarnya.

    Slamet Muljana meyakini Rakryan Menteri arya Adikara pada piagam Kudadu sama dengan Ranggalawe. Nama resmi Ranggalawe adalah arya Adikara, nunggak semi dengan ayahnya.

    Slamet Muljana juga bilang, nama Ranggalawe sebagai arya Adikara termuat dalam prasasti Kudadu.

    Analisa Slamet Muljana sangat lemah.

    Jika Ranggalawe tercantum dalam prasasti Kudadu, sewajibnya Nambi dan terutama Sora juga dicantumkan. Sora paman Ranggalawe, jasanya bahkan lebih tinggi ketimbang Ranggalawe. Jika Ranggalawe menjadi menteri, Nambi dan Sora juga harus jadi menteri, namanya harus dicantumkan dalam prasasti bareng Ranggalawe.

    Kenyataannya tidak.

    Ranggalawe juga masih muda, belum layak dimajukan sebagai menteri Pasangguhan. Paling banter sebagai menteri ring Pakirakiran bersama Nambi dan Sora.

    Sementara tiga menteri Pasangguhan dalam Piagam Kudadu adalah tokoh-tokoh unggulan, tokoh sepuh yang sangat dihormati raden Wijaya. Arya Adikara dalam piagam Kudadu adalah ayah Ranggalawe atau kakak kandung Sora.

    Kesimpulan ini didukung berita Pararaton yang menyebut arya Adikara bersama Ranggalawe, Sora dan tiga putra Wiraraja yaitu Nambi, Wirot, dan Peteng sebagai kesatria Singhasari yang berjuang bersama raden Wijaya. Ranggalawe belum tercantum dalam prasasti Kudadu. Demikian pula Nambi dan Sora.

    Itu karena raden Wijaya belum membentuk Dewan Menteri Pakirakiran. Negara masih darurat. Sementara memilih mahapatih, bukan perkara sepele, tidak asal tunjuk, harus berdasarkan pertimbangan matang bijaksana. Sang raja masih sulit menentukan siapa yang bakal menduduki kursi mahapatih. Apakah Sora atau Nambi atau Anabrang. Sementara waktu, raden Wijaya hanya mengangkat tiga menteri Pasangguhan, tiga tokoh senior yang sangat berpengaruh, dan segera dicantumkan dalam prasasti pertamanya. 

    Arya Wiraraja ayah Nambi. Sementara arya Adikara ayah Ranggalawe.[3] Sora merupakan adik kandung Adikara. Diperkirakan tahun 1295M, Wiraraja berusia 60[4], Adikara 50, Sora 45, Ranggalawe 25, Nambi 40, Anabrang 45. 

    Dari semua pengikut raden Wijaya, Wiraraja yang tertua. Maka pantas jika menjabat rakryan menteri makapramuka atau pemimpin para menteri. 

    Selain usia, kedudukan Wiraraja dalam susunan awal pemerintahan Majapahit karena kontrak politik dengan raden Wijaya. Salah satu kontrak politik yang harus segera dibayar raden Wijaya yaitu memutuskan siapa yang menjadi mahapatih Majapahit.

    Ini sesungguhnya tersulit bagi raden Wijaya ketika harus memilih apakah mahapatih Majapahit dari keluarga Wiraraja atau Adikara. Bagaimanapun keluarga Adikara berperan besar mendampingi perjuangan raden Wijaya. Adikara, Sora, dan Ranggalawe adalah kesatria terkemuka yang gagah berani terjun langsung di lapangan.

    Sementara dari keluarga Wiraraja hanya diwakili Nambi, itu saja perannya kalan menonjol ketimbang Ranggalawe apalagi Sora. Pararaton mengisahkan betapa Sora banyak memberi masukan dan strategi kepada raden Wijaya dan semuanya dipatuhi. Ini beda dengan Nambi yang perannya hanya ditampilkan sekilas.

    Jika melihat usia dan dharmabekti pada raden Wijaya, yang pantas menjadi mahapatih adalah Sora.

    Tetapi jika melihat kontrak politik, raden Wijaya cenderung memerhatikan keluarga Wiraraja. Sekali lagi besar kemungkinan ketika di Sumenep, raden Wijaya dan Wiraraja mengadakan perjanjian, siapa yang menjadi mahapatih jika kelak raden Wijaya berhasil naik tahta menggusur Jayakatwang. 

    Sangat mungkin Wiraraja mau membantu raden Wijaya karena sudah mendapat jaminan bahwa Nambi, putranya, yang bakal diangkat sebagai mahapatih. Wiraraja sudah cukup tua, usianya hampir 60 tahun. Di usia seperti itu, ambisi terbesarnya adalah mengangkat derajat putranya.

    Jadi selain meminta bagian separo tanah Jawa, Wiraraja juga minta supaya Nambi kelak dijadikan mahapatih, orang nomor dua setelah raja. Ini kontrak politik yang harus disepakati raden Wijaya demi memuluskan jalan merebut tahta dari Jayakatwang.

    Janji itu memang disepakati raden Wijaya dan semuanya juga dipenuhi pada tahun 1295M. Nambi, putra sulung Wiraraja menjadi mahapatih pertama Majapahit. Sora, adik kandung Adikara, menjadi patih di Daha. Ranggalawe, putra Adikara, menjadi adipati amancanegara di Tuban.

    Sejarah tidak mencatat seluruh perjanjian antara raden Wijaya dan Wiraraja. Padahal jika membaca pergolakan pada tahun 1295M, sangat mungkin naiknya Nambi sebagai mahapatih sudah direncanakan ketika di Sumenep. Di sini sesungguhnya dapat terbaca mengapa Wiraraja yang sebelumnya mendukung Jayakatwang, berganti haluan. Ini karena kepentingan politik yang lebih besar. Wiraraja dapat dikatakan memiliki ambisi menjadi raja atau penguasa tanah Jawa. Akan tetapi menyadari dirinya tidak berdarah raja. Karena itu langkah yang ditempuh menempatkan putranya sebagai mahapatih. Ia sendiri meminta separo tanah Jawa yang bakal menjadi daerah berdaulat di bawah kekuasaannya.

    Terpilihnya Nambi sebagai mahapatih Majapahit jelas sangat memukul Ranggalawe. Di antara pengikut terkemuka raden Wijaya, Ranggalawe adalah yang termuda, karenanya wajar jika memiliki semangat dan keberanian lebih menggelora. Ranggalawe berani terang-terangan menyatakan perbedaan sikapnya di depan raden Wijaya, raja pertama Majapahit. raden Wijaya dianggap lebih memerhatikan peran Wiraraja, ketimbang perjuangan keluarga Adikara. 

    Padahal yang banyak berperan secara langsung adalah keluarga Adikara.

    Persoalan ini tentu mudah diterka kelanjutannya. Hubungan antara Ranggalawe dengan raden Wijaya merenggang memanas. Meski sudah menjadi raja yang sanggup berbuat apa saja, raden Wijaya jelas berpikir ulang jika langsung menghukum Ranggalawe. Jika itu dilakukan maka bakal menciptakan kegoncangan di Majapahit. Pararaton mengisyaratkan keadaan memanas itu dimanfaatkan tokoh bernama Mahapati.

    Sebagaimana termuat dalam Pararaton, pada tahun 1295M, terjadi pergolakan besar di Majapahit yang berujung gugurnya Ranggalawe. Pararaton menulis: 

    Ranggalawe hendak dinobatkan sebagai patih tapi batal, itulah sebab di Tuban merencanakan gerakan perlawanan. Ranggalawe mengumpulkan balabantuan. Sudah terkumpul orang-orang Tuban di sepenjuru pegunungan utara, mereka semua mendukung Ranggalawe. Nama-nama yang mendukung itu antara lain Panji Marajaya, Ra Jaranwaha, Ra arya Siddhi, Ra Lintang, Ra Tosan, ra Galatik, ra Tati, mereka adalah para mendukung perlawanan Ranggalawe. Dikira pergi dari Majapahit hendak merebut kedudukan, Mahapati menyebar berita bohong, membikin Ranggalawe balik membalas dengan perkataan: jangan banyak bicara! Dalam kitab Partharadja terdapat tempat bagi para penakut! Sampai kemudian terdengar ke Majapahit bahwa Ranggalawe mengadakan perlawanan. Yang menyampaikan kabar itu adalah Mahapati. Maka raja marah, semua yang mendukung perlawanan Ranggalawe gugur, hanya Ra Gelatik yang masih hidup, karena disuruh berbalik hati oleh Mahapati.

    Setelah Ranggalawe gugur, raden Wijaya mengumumkan susunan kepemerintahan baru dalam piagam Penangungan, 1296M. Dalam piagam kedua yang dikeluarkan raden Wijaya ini lengkap mencatat nama para menteri keraton dan daerah, diantaranya Rakryan Patih Mpu Tambi atau Nambi, Rakryan Patih Daha Mpu Sora, Rakryan Demung Mpu Renteng, Rakryan Demung Daha Mpu Rakat, rakryan Kanuruhan Mpu Elam, Rakryan Rangga Mpu Sasi, Rakryan Rangga Daha Mpu Dipa, Rakryan Tumenggung Mpu Wahana, Rakryan Tumenggung Daha Mpu Pamor.

    Kemudian tiga menteri Pasangguhan, sang Nayapati Mpu Lunggah, sang Pranaraja Mpu Sina, dan sang Satyaguna Mpu Bango.

    Pada prasasti Penanggungan 1296M, nama arya Adikara dan arya Wiraraja hilang. Pranaraja masih muncul lengkap dengan nama aslinya, Mpu Sina. Kedudukan arya Adikara dan arya Wiraraja sebagai menteri Pasangguhan digantikan sang Nayapati Mpu Lunggah dan sang Satyaguna Mpu Bango.

    Itu terjadi karena setelah Ranggalawe gugur, raden Wijaya menempatkan arya Adikara sebagai adipati Tuban, mengganti kedudukan Ranggalawe. Pada waktu itu Ranggalawe sudah memiliki seorang anak lelaki tetapi masih sangat kecil, kelak bernama arya Teja yang naik mengganti kedudukan arya Dikara.

    Arya Wiraraja juga meninggalkan keraton menuju Lumajang. Setelah Ranggalawe gugur dan Nambi diangkat sebagai mahapatih Majapahit, arya Wiraraja menagih janji kepada raden Wijaya untuk memberikan separo wilayah Majapahit sebagaimana yang pernah diucapkan ketika datang ke Sumenep. Sebagai raja agung, raden Wijaya harus menepati janji yang pernah diucapkan. Maka raden Wijaya memberikan daerah lembah Lumajang sebelah selatan dan utara ditambah daerah seluas tiga juru di timurnya sebagai milik arya Wiraraja. Jadi batasnya gunung Bromo dan Semeru. Mulai Probolinggo, Lumajang, ke timur sampai Banyuwangi menjadi milik arya Wiraraja.

    Dapat dikatakan pada tahun 1296M, raden Wijaya berkuasa di wilayah bekas kerajaan Panjalu, sementara arya Wiraraja berkuasa di wilayah bekas kekuasaan Jenggala. Arya Wiraraja dapat disebut sebagai raja Jenggala atau Kedaton Timur, sementara raden Wijaya adalah raja Panjalu atau Kedaton Barat. Meski raden Wijaya tidak mewajibkan arya Wiraraja datang menghadap ke Majapahit, sangat mungkin pada masa awal, arya Wiraraja masih suka menghadap ke Majapahit. Ketika itu Lumajang tidak benar-benar berdiri sebagai wilayah merdeka yang lepas dari pemerintahan Majapahit.

    Menurut Pararaton, Wiraraja tidak kembali ke Majapahit, tidak mau menghamba kepada raden Wijaya. Berselang tiga tahun dari peristiwa Ranggalawe, terjadilah peristiwa Sora, 1298M. Sora difitnah Mahapati, dan akhirnya dibunuh Kebo Anabrang pada tahun saka 1222 atau 1300M.

    Berdasarkan berita Pararaton, Kebo Anabrang ternyata masih hidup pada tahun 1300M. Kidung Panji Wijayakrama dan kidung Ranggalawe menulis Kebo Anabrang gugur berbarengan dengan Ranggalawe.[5] Dua kidung ini bersumber dari Pararaton. Terkait riwayat Kebo Anabrang, sumber sejarah yang lebih dipercaya adalah Pararaton. Dapat dikatakan bahwa  Kebo Anabrang bukan tokoh yang melenyapkan Ranggalawe. Yang dapat dipastikan, Adipati Tuban Ranggalawe gugur akibat gempuran pasukan keraton Majapahit yang ditugaskan raden Wijaya.

    Kebo Anabrang tokoh senior di bawah arya Wiraraja dan arya Adikara. Usianya sepantaran Mpu Sora. Ketika berangkat ke Malayu, usianya sekitar 25 tahun. Melihat jasa besar dan usianya, sangat mungkin Kebo Anabrang adalah sang Pranaraja Mpu Sina, salah satu menteri Pasangguhan sebagaimana termuat dalam prasasati Kudadu dan Penangungan. Kebo Anabrang dianggap sebagai pejuang besar Singhasari yang berhasil memimpin penaklukkan Malayu. 

    Catatan ini dikutip langsung dari buku Girindra : Pararaja Tumapel Majapahit karya Siwi Sang terbitan Pena Ananda Indie Publishing Tulungagung cetakan pertama 30 Desember 2013

    ==============
    SIWI SANG



    [1] Setelah arya Wiraraja meninggalkan Sumenep, pemerintahan di ujung timur Madura itu mengalami kemunduran. kekuasaan diserahkan kepada saudaranya, arya Bangah, ibukota Sumenep pindah dari Batuputih ke Banasare. Selanjutnya arya Bangah diganti anaknya, arya Danurwendo, ibukotanya pindah ke Desa Tanjung. Danurwindo diganti anaknya, arya asparati. Diganti pula oleh anaknya, Panembahan Djoharsari. Selanjutnya kekuasaan dipindahkan kepada anaknya bernama Panembahan Mandaraja, yang mempunyai 2 anak bernama Pangeran Bukabu yang kemudian menganti ayahnya, ibukota Sumenep pindah ke Keratonnya Pangeran Bukabu di kecamatan Ambunten. Selanjutnya diganti adiknya, Pangeran Baragung. Lihat www.sumenep.go.id

    [2] Hanya Kidung Harsawijaya keliru menyebut Ranggalawe sebagai patih pertama Majapahit. Berdasarkan prasasti Sukamreta atau Penanggungan bertarikh 1296M, patih pertama Majapahit adalah Nambi, bukan Ranggalawe.

    [3] Serat Damarwulan dan Serat Kandha, mengenal nama Ranggalawe namun tidak mengetahui pasti kisah hidupnya. Dua karya sastra ini menempatkan Ranggalawe hidup sejaman Damarwulan dan Menak Jingga. Diceritakan Ranggalawe sebagai adipati Tuban merangkap panglima angkatan perang Majapahit pada masa pemerintahan ratu Kencanawungu. Ketika Majapahit diserang Menak Jingga dari Blambangan, Ranggalawe mendapat tugas menghadangnya. Awalnya Menak Jingga tidak mampu membunuh Ranggalawe karena ia senantiasa terlindung payung pusaka. Maka yang dilakukan Menak Jingga lebih dulu membunuh abdi pemegang payung Ranggalawe bernama Wangsapati. Hingga kemudian Menak Jingga berhasil melenyapkan Ranggalawe. Diceritakan pula bahwa Ranggalawe memiliki dua orang putra, Siralawe dan Buntarlawe, masing-masing menjadi adipati Tuban dan Bojonegoro.

    [4] Pararaton menulis arya Wiraraja berusia 40 tahun ketika terjadi penyerbuan Melayu atau keberangkatan pasukan ekspedisi Melayu, 1275M. Usia Adikara dipastikan lebih muda ketimbang Wiraraja. Ini terbukti dengan berita Pararaton yang menampilkan Adikara terjun langsung dalam pertempuran bersama para pengikut raden Wijaya.

    [5] Pararaton tidak menyebut siapa tokoh yang berhasil membunuh Ranggalawe. Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menguraikan kisah kematian Ranggalawe panjang lebar, serta menyebut Mahisa Anabrang yang membunuh Ranggalawe. Dikisahkan pasukan Majapahit dipimpin Nambi, Lembu Sora, dan Mahisa Anabrang berangkat menumpas Ranggalawe. Perang terjadi di sungai Tambak Beras. Mahisa Anabrang bertarung melawan Ranggalawe di dalam sungai, yang dimenangkan Mahisa Anabrang. Lembu Sora tidak rela melihat keponakannya terbunuh. Dari arah belakang, Lembu Sora ganti membunuh Mahisa Anabrang, rekannya sendiri. Kidung Sorandaka mengisahkan keluarga Mahisa Anabrang tidak berani menuntut hukuman untuk Lembu Sora karena ia pembantu kesayangan raden Wijaya. Baru pada 1300M putra Mahisa Anabrang bernama Mahisa Taruna didukung seorang tokoh bernama Mahapati berhasil menyingkirkan Lembu Sora dari lingkungan keprajuritan keraton. Peristiwa selanjutnya ialah pembunuhan Lembu Sora oleh pasukan Nambi akibat fitnah Mahapati, tokoh licik yang bernapsu tinggi merebut kursi mahapatih. Tokoh bernama Mahapati sangat mungkin Halayudha, yang pada masa Jayanegara menjadi mahapatih Majapahit mengganti Mpu Nambi.







    5 comments:

    1. Kok hampir sama dgn kisah sandiwara Tutur tinular ya...

      ReplyDelete
    2. Mas Widodogb
      Maturnuwun sudah singgah.
      Jika cermat sebenarnya sangat beda dengan kisah Tutur Tinular. Catatan ini juga beda dengan penafsiran profesor Slamet Muljana. Nuwun

      ReplyDelete
    3. Ini tafsir baru terkait sosok Ranggalawe, Arya Wiraraja, juga Kebo Anabrang. Dalam beberapa buku Kebo Anabrang diberitakan gugur pada tahun 1395M saat terjadi apertarungan dengan Ranaggalawe. Ini sebenarnaya bertenatangan dengan berita Pararaton. Kebo Anabrang masih hidup pada tahun 1300M. Jadi sangata beda dengan tafsir buku lain. Nuwun.

      ReplyDelete
    4. saya tanyangkan di link di bawah ini juragan. tanpa mengurangi isi apapun. hanya pengatarnya saja untuk membuka tulisan panjenengan. happy blogging
      selalu berkarya dan jangan lupa bahagiaaaa.
      nuwun.

      http://www.akarasa.com/2016/10/ronggolawe-bukanlah-putra-arya-wiraraja.html

      ReplyDelete
      Replies
      1. terimakasih om @Ulul Rosyad sudah berkunjung kunjung.silakan saja kalo ada yang layak untuk ditampilkan diblog sampeyan yang penting kasih link baik on atau off. di sini sampeyan dan dulur blogger lainnya dapat bebas meninggalkan jejak link di komentar sepanjang itu bukan link negatif akan tetap terpampang di sini. yang penting link bermanfaat dan bikin heppy blogging, akan saya kunjungi balik.

        Delete