Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Thursday, December 26, 2013

    Prolog Buku GIRINDRA :Pararaja Tumapel-Majapahit Karya Siwi Sang

    MEMBACA dan menafsirkan sejarah bukan bertujuan mencari kebenaran sejati, melainkan mencari mana yang lebih masuk akal. Setonggak prasasti keluaran penguasa pada suatu masa juga berkemungkinan untuk menindih kenyataan sejarah masa sebelumnya, artinya menyembunyikan kebenaran sejarah. Dari setiap jaman, penguasalah yang berhak menentukan arus sejarah suatu bangsa. Sejarah adalah kisah kemenangan yang dicetak pihak pemenang. Karenanya tepat yang disampaikan Said Aqil Siradj[1], sejarawan harus mampu membaca dan menafsirkan sejarah secara kreatif.  

     
    Sememangnya kreatifitas dimiliki siapapun yang berakal. Ini anugerah Tuhan pada tiap manusia. Boleh saja sebagian merasa lebih kreatif ketimbang lainnya. Tapi hakikatnya tiap orang miliki daya itu. Rasa ingin ngerti yang menggelogak serta imajinasi dahsat, merupakan dua kemampuan kreatif yang dibawa manusia sejak lahir. Kreatifitas adalah perkara bagaimana memadukan ide-ide lama untuk membentuk sesuatu baru — meski demikian, tiada hal yang betul-betul baru. Ide gagasan baru cumalah kombinasian ide gagasan lama. Buku baru cumalah kombinasian baru dari ide gagasan dan kata-kata yang pernah ada. 
    Membaca dan menafsirkan sejarah secara kreatif adalah menghimpun dan menautkan sumber-sumber sejarah, bertanya dan terus bertanya lalu memanfaatkan daya imajinasi sampai mendapat pemahaman tentang alur dan arus sejarah logis. Penggunaan daya imajinasi kreatif logis merupakan upaya memasuki suasana masalampau, menerka atau menafsirkan peristiwa masuk akal apa yang terjadi pada waktu itu.
    Membaca sejarah secara kreatif, tidak ada hubungannya dengan perkara gaib. Yang dibutuhkan hanyalah kesadaran dan penerapan setrategi dan teknik membaca, mencipta atau menemukan gagasan baru secara masuk akal. 
    Selain membaca sejarah secara kreatif, yang lebih penting lagi adalah mengubah landasan moral dalam melihat dan memahami sejarah dari sudut pandang Hindia colonial menjadi nusantara sentries. Menafsirkan sejarah juga bukan menggunakan arkeologi atau filologi saja, melainkan secara komperehensif menggunakan ilmu lain seperti antropologi sosial serta melalui pendekatan hubungan sejarah lokal dan nasional. Bahwa sejarah lokal dikemukakan untuk menguatkan dan mengayakan sejarah nasional. 
    Abdul Mun’im bilang, pemikiran revolusioner terhadap sejarah memang diperlukan. Buku tentang penafsiran sejarah terbaru yang lebih masuk akal, komperehensif dan adil perlu disebarluaskan demi membebaskan masyarakat dari kesesatan sejarah yang sengaja disebarluaskan kolonial purba maupun kolonial moderen. Celakanya, menurut Mun’im, sekolah dan universitas yang semestinya menjadi forum emansipasi bangsa dari kesesatan kolonial, malah menjadi agen penjajahan bangsa, hanya karena kehilangan daya kritis terhadap realitas sejarah bangsanya. Karena kelanjutan dari revolusi politik, maka revolusi historiografi juga merupakan bagian emansipasi sosial dari cengkeraman penjajahan pemikiran yang ternyata hingga saat ini masih membelenggu kesadaran dan pemikiran kita.[2] 
    Tetapi sebebas apa revolusi sejarah itu, tetap harus menganuti kaidah-kaidah tepat, tidak cuma mendasarkan pada satu sumber sejarah saja, apalagi mengutamakan sumber sekunder ketimbang primer. Seumpama ada prasasti dan cerita babad yang mengabarkan satu peristiwa sejarah sama, sementara terdapat perselisihan dari keduanya, maka memang yang harus menjadi patokan utama adalah prasasti karena merupakan sumber sejarah primer. Itu saja masih harus ditautkan dengan sumber-sumber lain yang layak dipercaya. 
    Sejarawati Nia Kurnia Solihat Irfan bilang, penelitian para ulama terhadap hadits, merupakan contoh bagus bagaimana meneliti atau menggunakan sumber-sumber sejarah. Mengadopsi proses klasifikasi hadits, sumber-sumber sejarah  dapat dipilah menjadi tiga kategori. 
    Pertama, sahih atau sangat dapat dipercaya. Sumber sejarah yang sahih adalah prasasti-prasasti, yaitu sumber sejarah tertulis di atas batu atau logam. Beritanya sangat dapat dipercaya, asalkan pembacaan prasasti itu tidak keliru. Tidak ada alasan meragukan pernyataan dalam prasasti. 
    Kategori kedua adalah hasan atau baik dan dapat dipercaya. Selain prasasti-prasasti, sumber sejarah yang banyak membantu penyusunan dan penulisan sejarah Nusantara adalah catatan para musafir asing, terutama Tiongkok, Arab, dan Eropah. Berita-berita asing ini merupakan sumber sejarah yang dapat dipercaya karena para musafir itu menyaksikan keadaan negeri-negeri di Nusantara dengan mata-kepala sendiri. Uraian-uraian mereka boleh dikatakan sumber berita dari tangan pertama sehingga cukup dapat dipercaya.  
    Sementara kategori ketiga yaitu da’if atau diragukan kebenarannya, masih harus ditautkan dengan berita lain yang lebih dipercaya. Cerita-cerita rakyat berupa hikayat, babad, dan kakawin merupakan sumber sejarah kurang kuat lantaran banyak campuran dongeng dan mitos, sehingga tidak dapat diterima begitu saja. Kebenaran beritanya masih harus ditautkan dengan sumber sejarah yang lebih kuat. Meskipun demikian, cerita-cerita rakyat itu tidak dapat diabaikan sebagai sumber sejarah. Pada hakikatnya dongengan itu sengaja ditambahkan untuk mengagungkan tokoh yang diceritakan. Misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan Sultan Malik as-Saleh mempunyai nama kecil Merah Silu dan dilahirkan oleh seorang putri yang keluar dari pohon bambu. Tidak dapat dipastikan apakah nama kecilnya memang demikian, dan kisah putri dari pohon bambu itu sudah tentu dongeng semata. Namun tidak dapat disangkal bahwa Malik as-Saleh adalah tokoh sejarah, sebab ditemukan batu nisan yang menyebutkan namanya serta tahun wafatnya. Demikianlah hikayat disusun berdasarkan fakta-fakta sejarah yang pernah terjadi. Tugas para ahli sejarah memisahkan mana fakta sejarah dan mana yang sekadar mitos.[3] 
    Dan sesungguhnya hasil penafsiran sejarah dapat saja terpatahkan oleh penafsiran sejarah di masa kemudian kelak. Dalam sejarah tidak ada tanda titik, masih berkemungkinan muncul penafsiran-penafsiran baru, seturut perkembangan ilmu sejarah atau penemuan-penemuan sumber terbaru.
    Selama ini kita banyak membicarakan sirna ilangnya kerta bhumi Majapahit akibat hantaman gelombang besar pasukan Islam Demak pada 1400c atau 1478M. Cerita sohor itu berdasar karya sastra Babad Tanah Jawi, tidak termuat dalam prasasti manapun yang keluar pada hari kemudian. Ini sememangnya harus dibaca dan ditafsir secara kreatif dan arif. Selain membaca isi suatu karya sastra, kita juga harus membaca latar belakang penciptaan karya sastra itu. Meski pada beberapa bagian beritanya terbilang mantap, tetapi landasan moral Babad Tanah Jawi banyak disusupi pengaruh kolonial Belanda.
    Ketika membicarakan keruntuhan Majapahit, tidak cukup berdasarkan berita Babad Tanah Jawi. Masih ada beberapa prasasti di masa akhir Majapahit yang ternyata sangat mantap dijadikan sumber utama memugar sejarah Majapahit, terutama peristiwa besar di 1478M yang sohor itu. 
    Pada pokoknya buku ini bertujuan untuk mendokumentasikan tafsir baru sejarah pararaja Tumapel dan Majapahit yang dikenal sebagai GIRINDRA atau Raja Gunung. Penulis berupaya membaca dan menafsirkan sejarah secara kreatif, memberdayakan imajinasi dan kelogisan, menaut-pautkan sumber-sumber sejarah seperti prasasti, serat Pararaton, kakawin Negarakertagama,  berita babad, maupun karya sastra lain. Rekonstruksi era Majapahit akhir menjadi tujuan puncak.
    Dalam beberapa prasasti masa Majapahit, muncul ungkapan Wilwatikta-Panjalu-Jenggala atau Majapahit-Jenggala-Kadiri. Ini merupakan konsep bahwa Majapahit merupakan wilayah kesatuan Panjalu dan Jenggala, dua kerajaan warisan Erlangga.  Sementara Panjalu dan Jenggala merupakan dua kerajaan bersaudara warisan Erlangga penerus wangsa Isana. Karenanya buku pertama Seri Sejarah Klasik ini sengaja dimulai dari era wangsa Isana Mpu Sindok di Jawatimur.




    [1] Pengantar Profesor KH. Said Aqil Siradj dalam buku Walisongo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan karya Agus Sunyoto terbitan Transpustaka 2011.
    [2] Catatan Abdul Mun’im, editor buku Walisongo karya Agus Sunyoto. Ia juga bilang, feodalisme yang tidak terkikis oleh revolusi it uterus berkembang dan menjadi tetap dominant dalam penulisan sejarah kita. Dalam penulisan buku Sejarah Nasional yang merupakan buku babonnya sejarah Indonesia itu, masih terfokus sebagai sejarah para raja, dan merupakan sejarah politik.Kurang, bahkan sama sekali tidak mengangkat sejarah social atau sejarah peradaban.

    GIRINDRA : Pararaja Tumapel Majapahit




    Judul : GIRINDRA: Pararaja Tumapel-Majapahit
    Penulis : Siwi Sang
    Kategori : Nonfiksi (Sejarah)
    Penerbit : Pena Ananda Indie Publishing – Tulungagung
    Alamat : Perum. Bangau Putih L-9 Tulungagung 66219 Jatim
    ISBN : 978-602-98200-6-5
    Cetakan ke-1 : Desember 2013
    Halaman : xxviii + 279 halaman
    Ukuran : 13 cm x 20,5 cm
    Cover : Doff - Emboss
    Harga : Rp. 70.000,-

    Pembelian (pemesanan dengan pembayaran dimuka) hingga tanggal 29 Desember 2013, ada diskon 15%. Harga diluar ongkos kirim (didalam dan luar Tulungagung)

    PEMESANAN MELALUI SMS ke +628983456885, dengan format:
    GIRINDRA#jml_buku#nama_pemesan#alamat_pemesan#nama_bank_pemesan.

    Pemesan akan menerima balasan dengan format:
    Jml_transfer#no.rek_penerbit#nama_pemilikrekening
    Jika pemesan telah melakukan transfer, beri berita dengan format:
    Jml_transfer#waktu_transfer#nama_pemilikrekening_pemesan

    Hadiri:
    Launching dan Talkshow (perdana) GIRINDRA : Minggu, 29 Desember 2013, pukul 08.00 – selesai, di Ruang Audiovisual Perpustakaan Daerah (timur alon-alon) Kabupaten Tulungagung.

    KLIK dan gabung dengan keluarga besar GIRINDRA di fanpage Girindra: Pararaja Tumapel-Majapahit ( https://www.facebook.com/pages/Girindra-Pararaja-Tumapel-Majapahit/475513005891148  )


    *     *




    No comments:

    Post a Comment