PEMBELAHAN kerajaan Erlangga
yang disimbolkan dengan kisah pengucuran air kendi Mpu Bharada juga termuat
dalam kakawin Negarakertagama pupuh 68. Sebelumnya
pada pupuh 67, Prapanca menulis pesta srada yang diselenggarakan keraton
Majapahit serba meriah dan hikmat penuh penghormatan kepada mendiang Sang
Rajapatni Dyah Gayatri. Perayaan yang membikin girang jiwa sri Rajapadni yang
sudah mangkat. Semoga arwah Sang Rajapatni melimpahkan berkat kepada Sri Nata
Rajasanagara supaya tetap jaya menghadapi para musuh selama masih ada bulan dan
surya. Lodang lega rasa Baginda Prabu Rajasanagara menyaksikan perayaan
berlangsung lancar tiada halangan. Tinggal menunggu karya yang belum rampung
yaitu menyempurnakan candi makam Sri Rajapatni Dyah Gayatri di Kamal Pandak.
Terjemahan Prof. Slamet Mulyana atas Pupuh 68 kakawin Negarakertagama:
candi Wisesapura atau candi pendarmaan Rajapatni dyah Gayatri di Boyolangu Tulungagung |
Terjemahan Prof. Slamet Mulyana atas Pupuh 68 kakawin Negarakertagama:
Demikianlah sejarah Kamal Pandak menurut tutur yang dapat dipercaya. Suatu
ketika Sri Nata Panjalu Daha Maharaja Erlangga berkehendak membelah tanah Jawa
lantaran cinta pada kedua putranya. Tersebutlah seorang pendeta Boddha Mahayana yang putus dalam kitab tantra
dan yoga, bermukim di tengah kuburan Lemah Tulis, sosok yang senantiasa menjadi
pelindung rakyat, ketika mengunjungi pulau Bali hanya berjalan kaki, tenang
menapak permukaan lautan. Mpu Bharada namanya, sosok yang paham tiga jaman.
Girang beliau menyambut permohonan Maharaja Erlangga supaya membelah Negara. Maka perbatasan Negara
ditandai dengan air kendi yang mancur dari angkasa. Dari barat ke timur sampai
lautan. Lalu dari utara ke selatan. Daerah selatan yang jaraknya
tidak begitu jauh bagaikan terpisah
samudera besar. Di daerah selatan itu sang
pendeta turun dari angkasa, berhenti di atas pohon Kamal, berniat menaruh kendi
suci di Desa Palungan untuk mengakhiri penentuan garis batas kerajaan. Tetapi sebelum menginjak
tanah, sang pendeta murka lantaran jubahnya terkait puncak pohon kamal yang
tumbuh menjulang tinggi. Mpu Barada terbang ke angkasa lagi lalu mengutuk pohon
Kamal menjadi pandak atau kerdil. Itulah tugu batas gaib yang
tidak boleh dimasuki kekuasaan Panjalu dan Janggala. Itulah sebab mengapa
sekarang dibangun candi. Tujuannya supaya menyatukan tanah Jawa kembali atau
menyatukan Panjalu dan Janggala. Dengan demikian semoga
baginda prabu serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada, Berjaya memimpin Negara
yang kini sudah kembali bersatu-padu.
Dalam pupuh selanjutnya
Prapanca menyebut candi yang dibangun di Kamal Pandak bernama candi
Prajnaparamitapuri atau candi Wisesapura, candi makam bagi Sang Rajapatni Dyah
Gayatri. Candi makam di Bayalangu ini sohor sebagai tempat keramat, tiap bulan
badrapada disekar para pembesar kerajaan dan para pendeta.
Dongeng pembelahan negara sebagaimana dalam kakawin
Negarakertagama mengandung makna pralambang. Perikehidupan orang Jawa
masalampau kental dengan ibarat dan lambang. Ketika bermaksud menyampaikan
sesuatu perkara atau masalah yang sekiranya bersinggungan dengan pihak penguasa
atau negara, orang Jawa selalu menyampaikannya dengan bahasa lambang atau
ibarat. Kejadian-kejadian sejarah yang benar-benar terjadi pada masasilam diterangkan
pada para anak keturunannya melalui kisah ibarat, bukan menyampaikan secara apa
adanya.
Ketika membaca beberapa hasil karya sastra para pujangga
Jawa baik tulisan maupun lisan, seyogyanya harus memahami watak asli tersebut.
Peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi kerap kemudian kelihatan seperti
dongengan tidak masuk akal lantaran sudah banyak dibumbui perkara-perkara gaib,
diselimuti kejadian-kejadian gaib tidak masuk akal yang bertujuan meluhurkan
atau membesarkan para tokoh yang sedang diceritakan atau diungkapkan. Salah
sebuah contoh yaitu kisah terbangnya Mpu Bharada saat bertugas membelah negara,
sosok yang juga diriwayatkan sanggup mengunjungi pulau Bali hanya dengan
menapak di atas permukaan laut.
Kiranya tidak begitu kehebatan Mpu Bharada. Meski orang
jaman dahulu dikenal sakti-sakti, kucuran air kendi tidak bakal menjadi aliran
sungai Leksa di timur gunung Kelud. Tanpa perahu, Mpu Barada juga sulit
mengunjungi pulau Bali. Sekali lagi watak tabiat penulisan atau pengisahan
babad, legenda, dongengan Jawakuna banyak makna tersiratnya, banyak lambang dan
ibaratnya.
Mpu Barada mengutuki pohon asem yang menyangkuti jubahnya
sebagaimana dikisahkan Prapanca dalam kakawin Decawarnnana, bukan benar-benar
terjadi penyangkutan jubah sang pandita pada ujung pohon asem atau kamal di
daerah palungan. Bukan benar-benar terjadi pengutukan supaya pohon kamal
menjadi pandak hingga kelak daerah itu dinamakan Kamal Pandak, pohon kamal
kerdil. Bukan pula benar-benar terjadi peristiwa pengucuran air kendi dari angkasa
oleh Mpu Barada sebagai garis pemisah Panjalu dan Janggala.
Dongeng tersangkutnya jubah
Mpu Barada pada pohon asem alas atau pohon kamal mengandung arti bahwa Mpu
Barada mendapat rintangan besar ketika melakukan pembelahan Negara, sehingga
tugasnya tidak sempurna. Ada sebuah daerah yang tidak berhasil dijangkau atau
tidak mau tunduk pada kekuasaan Panjalu maupun Janggala.
Karena itu Mpu Bharada yang hampir selesai menentukan daerah-daerah mana saja yang masuk kekuasaan Panjalu dan daerah-daerah mana yang menjadi bawahan Janggala, menjadi murka pada penolakan penguasa daerah brang kidul yang ingin menjadi wilayah merdeka.
Padahal daerah itu
digolongkan sebagai daerah berkedudukan lebih rendah dari daerah sekitar. Di
sini maksud daerah palungan sesungguhnya daerah yang memiliki derajat atau
menganut agama lebih rendah ketimbang Panjalu dan Janggala. Daerah itu
memutuskan berdiri sendiri melawan kekuatan atau kehendak Mpu Barada.
Sikap itu dapat diartikan
melawan kekuasaan kerajaan. Melawan kekuasaan kerajaan sama artinya bertindak
kraman dan hukumannya sangat berat. Tetapi Mpu Barada tidak sanggup menaklukkan
kekuatan brang kidul. Meski demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan
kesepakatan dua belah pihak.
Hasil kesepakatannya bahwa
sejak saat itu brang kidul menjadi daerah bebas merdeka, bukan bawahan Panjalu
maupun Janggala, dengan syarat brang kidul harus pula menghormati kekuasaan
Panjalu dan Janggala. Sang pandita mengabarkan kemerdekaan brang kidul ibarat
tugu gaib ujung batas sebelah selatan yang tidak boleh dilintasi Panjalu dan
Janggala.
Kutukan Mpu Barada kepada
pohon kamal supaya berubah kecil atau pandak mengandung makna supaya ketinggian
dan kekokohan brang kidul mengecil lalu lenyap sehingga yang berkuasa di tanah
Jawa hanya Panjalu dan Janggala, kerajaan yang dibangun Maharaja Erlangga.
Maka ketika Panjalu dan
Janggala saling serang, keduanya tidak menyerang daerah Kamal Pandak atau
selatan sungai Brantas yang dikuasai Ratu Dyah Tulodong. Kedua putra Erlangga
setia menghormati dan meyakini
kekeramatan sumpah Mpu Bharada.
Kelak daerah Kamal Pandak dikenal
sebagai Bayalangu atau Boyolangu yang menjadi tempat pendarmaan Sang Rajapatni
Dyah Gayatri dan cucunya, Sri Wikramawardhana. Sejak dulu sampai sekarang, daerah
ini tetap berada di Tulungagung.
Tetapi banyak sejarawan yang menyangkal keberadaan
Boyolangu di Tulungagung sebagai tempat pendarmaan Sang Rajapatni Dyah Gayatri.
Mereka meyakini Boyolangu terletak di dekat muara sungai Porong. Ini
sesungguhnya kekeliruan penafsiran yang berpangkal dari keliru tafsir Berg dan
Slamet Muljana.
Pakar filologi Slamet Muljana dalam buku
Negarakertagama dan tafsir sejarahnya, menyinggung Bayalangu yang menjadi tugu
batas kerajaan Jenggala dengan Panjalu. Ia menyimpulkan bahwa Bayalangu tempat
pendarmaan Sang Rajapatni Dyah Gayatri bukan di Tulungagung, melainkan di utara
Pasuruan atau seberang selatan sungai Porong.
Bahwa pendapat itu sebenarnya berpedoman pada
terjemahan Berg dalam karyanya Herkomst, Vorm en Functie. Slamet Muljana
menulis terjemahannya: “Pembelahan itu dilakukan oleh Mpu Bharada dengan
memancurkan air dari kendi dari arah barat ke timur sampai laut, membagi pulau
Jawa menjadi dua, sebagian terletak di seberang utara, sebagian di seberang
selatan. Sebenarnya kedua kerajaan itu tidak jauh satu sama lain, tetapi
kelihatannya seolah-olah jauh terpisah oleh laut. Jawa lalu diperintah oleh dua
raja.”
Berdasarkan terjemahan itu, Berg menetapkan batas
Jenggala dan Panjalu yaitu sungai Widas dan Porong yang mengalir dari barat ke
timur menuju selat Madura. Ini berarti letak Kamal Pandak tempat candi makam
Rajapatni yang bernama Prajnyaparamitapuri serta Desa Bayalangu tempat candi
pemujaannya yang bernama Wisesapura berada di dekat muara atau di seberang
selatan sungai Porong. Menurut Slamet Muljana, Desa Bayalangu disebut dalam
kakawin Negarakertagama pupuh 19 bait pertama.
Pupuh 19 bait 1: Paginya
berangkat lagi menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam. Dari Baya melalui
Katang, Kedung Dawa, Rame, Menuju Lampes, Times. Serta biara pendeta di Pogara
mengikuti jalan pasir lemak – lembut. Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap,
kereta masih terus lari.
Bait 2: Tersebut dukuh Kasogatan Madakaripura
dengan pemandangan indah. Tanahnya anugerah Sri Baginda kepada Gadjah Mada,
teratur indah. Disitulah Baginda menempati pasanggrahan yang terhias sangat bergas.
Sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandibakti.
Menurut Slamet Muljana, Desa Bayalangu harus
terletak antara Gangan Asem dan Kedung Dawa di seberang kidul sungai Porong.
Maksud kunjungan Sang Prabu Hayam Wuruk di Bayalangu, menurut tafsiran Berg
yaitu untuk mengecek tempat yang akan digunakan untuk mendirikan candi makam
dan candi pemujaan Sri Rajapatni.
Atas dasar uraian tersebut, Slamet Muljana
menyimpulkan bahwa candi pendarmaan
Rajapatni Dyah Gayatri juga berada di sana. Prajnyaparamitapuri dan Wisesapura
yang terletak di Desa Bayalangu di sebelah selatan Tulungagung —Slamet Muljana
menyebut Bayalangu di sebelah barat Tulungagung dan ini keliru— tidak dapat
diterima, meskipun di desa itu terdapat puing-puing bangunan lama dan arca
Pradjnaparamita yang telah rusak. Begitu kesimpulan Slamet Muljana terkait
Bayalangu.
Tetapi Berg maupun Slamet Muljana lupa bahwa
dalam pupuh 19 bait 1, Prapanca tidak menyebut desa Bayalangu melainkan desa
Baya. Bayalangu selalu ditulis lengkap dalam Negarakertagama, dalam pupun 69
dan 74. Selain dalam kakawin Negarakertagama, nama Bayalangu juga ditemukan
pada Prasasti Waringin Pitu, 1447M yang dikeluarkan raja Majapahit ketujuh Sri
Wijaya Parakrama Wardhana Dyah Kertawijaya.
Seumpama mengiyakan pendapat Berg dan Prof Slamet
Muljana, maka sungai Porong sebagai garis batas dari barat ke timur bakal
menempatkan Jenggala di utara dan Panjalu di selatan sungai.
Karena sungai Porong bermula dari Mojokerto
sampai Porong dan di Mojokerto bertemu dengan Brantas, maka supaya wilayah
Jenggala setara dengan luas wilayah Panjalu, garis batas itu harus berlanjut
mengikuti sungai Brantas ke arah hulu, bergerak ke baratdaya ke arah hulu
sungai Brantas, terus ke selatan ke arah Kediri, di Tulungagung belok timur,
terus dan sebelum Turen belok utara sampai Malang.
Dengan demikian, seperti Lamongan, Bojonegoro,
Madiun, gunung Wilis, Trenggalek, Tulungagung, termasuk wilayah Jenggala.
Sementara daerah Daha, gunung Kelud, Anjasmoro, Penanggungan, Kawi, Semeru,
sampai Blambangan masuk Panjalu.
Dugaan bahwa Jenggala di utara sungai Porong
memang bertambah kuat dengan ditemukan kenyataan bahwa Raja Garasakan dari
Jenggala mengeluarkan prasasti Turun Hyang II pada 1044M di Desa Truneng di
timur laut Pamotan atau di seberang utara sungai Porong.
Tetapi keyakinan itu bakal gugur melihat kenyataan bahwa raja Panjalu Daha Sri Kertajaya pada 1194M mengeluarkan dua prasasti yaitu di daerah Kamulan, Trenggalek dan Prasasti Galungun yang dulu ada di desa Panjerrejo Tulungagung. Kemudian pada 1205M raja Panjalu Sri Kertajaya mengeluarkan prasasti di Lawadan, Tulungagung. Tiga prasasti raja Panjalu ini berada di selatan sungai Brantas, bukan selatan sungai Porong.
Bahwa seorang raja selalu mengeluarkan anugerah
tanah swatantra yang tertulis dalam piagam kerajaan khusus kepada desa-desa
yang menjadi wilayah kekuasaannya, bukan kepada daerah di Negara lain.
Melihat kenyataan itu maka dipastikan daerah
Trenggalek dan Tulungagung bukan wilayah Jenggala. Dengan demikian kesimpulan
Berg dan Slamet Muljana yang menyatakan kerajaan Jenggala dan Panjalu dibatasi
aliran sungai Brantas tidak berlaku. Apalagi Kertajaya juga mengeluarkan
Prasasti di Palah pada 1197M, di utara sungai Brantas atau di lereng gunung
Kelud. Ini juga mengandung arti bahwa kekuasaan Panjalu meliputi lembah gunung
Kelud.
Jadi di mana sesungguhnya batas Panjalu dan Jenggala?
Berdasarkan simbolisasi pengucuran air kendi yang meriwayatkan saat
menentukan batas negara, ternyata Mpu Bharada bukan cuma membuat garis batas
dari barat ke timur atau menetapkan sungai Porong sebagai batas Negara, tetapi
juga menambahkan dari utara ke selatan.
Bahkan yang ditetapkan sebagai batas pertama bukan sungai Porong
melainkan sungai Kencana atau sungai Mas yang bermuara di Hujung Galuh, Kahuripan,
bekas ibukota Erlangga sebelum pindah ke Daha.
Penetapan sungai Kencana atau sungai Mas adalah langkah pertama yang
dilakukan Mpu Bharada, tujuannya menentukan daerah pesisir utara yang bakal
menjadi bagian Panjalu dan Jenggala. Negarakertagama menyebut Mpu Bharada
pertama kali bergerak dari barat ke timur sampai selat Madura. Muara sungai
Kencana tepat benar di selat Madura.
Jika meyakini bahwa sungai Kencana menjadi batas pertama, maka titik
pertama ada di muara sungai Kencana, bukan sungai Porong.
Sampai di sini Prasasti Turun Hyang II yang dikeluarkan Mapanji
Garasakan dari Jenggala mengandung makna bahwa daerah pesisir mulai dari muara
itu ke arah Porong terus Pasuruan, sampai Situbondo merupakan wilayah kekuasaan
Jenggala. Sementara Gresik, Tuban dan seterusnya menjadi milik Panjalu.
Lalu Mpu Bharada masih melanjutkan pekerjaannya
dan yang dilakukan adalah membuat garis batas mulai dari bekas ibukota Erlangga
di Kahuripan, bukan dari muara sungai Porong. Mpu Barada bergerak ke selatan dan jika terbang tentu
melayang di atas gunung Welirang, ke selatan menuju gunung Kawi, lalu sedikit
serong baratdaya, menyeberangi sungai Brantas dan ketika sampai di daerah
kekuasaan Ratu Dyah Tulodong penguasa Lodoyong, di sekitar Simping atau agak ke
barat sedikit di gunung Cemenung atau Wajak Bayalangu, Mpu Bharada mendapat
halangan yang dalam kakawin Negarakertagama disimbolkan dengan cerita
tersangkutnya jubah sang pandita boddha ini.
Dengan demikian tugu batas terakhir adalah tepat
benar di selatan sungai Brantas yang pada waktu itu merupakan daerah kekuasaan
Ratu Dyah Tulodong. Pada sekitar 1031M, Penguasa perempuan ini berhasil
menaklukkan raja Erlangga di istana Watanmas, Penanggungan. Peristiwa ini pula
yang menjadi sebab pemindahan ibukota Erlangga ke Kahuripan.
Maka dapat ditetapkan setelah masa pemerintahan
Erlangga, kerajaan Panjalu terletak di barat gunung Kawi dan kerajaan Jenggala
di timur gunung Kawi. Ini sesungguhnya sesuai dengan berita dalam serat
Calonarang yang ditulis pada 1540M.
Selain itu dikuatkan dengan bukti peninggalan
sejarah di Bayalangu Tulungagung berupa candi makam Rajapatni dan arca sang
rani yang disebut sebagai arca Pradjnaparamita. Wisesapura juga terletak di
Bhayalangu. Berdasarkan berita serat Pararaton, raja Majapahit keempat Sri
Wikramawardhana dimakamkan di Wisesapura. Wikramawardhana adalah cucu Sang
Rajapatni Dyah Gayatri. Ditambah lagi nama Bayalangu atau Boyolangu termuat
dalam prasasti Wijaya Parakrama Wardhana.
Berdasarkan isi prasasti Wijaya Parakrama
Wardhana, luas daerah tanah tempat sang hyang perdikan dharma di Waringin Pitu
adalah sebagai berikut: Di sebelah timur berbatasan dengan Kamalagen,
keselatan dari arah timur itu sejauh 81 depa, kemudian lagi menuju ketenggara
sejauh 230 depa. Dari perbatasan timur itu ke kanan keselatan sampai tumang 336
depa. Dari tumang kebarat sampai pinggir Kali Musan sepanjang 21 depa.
Sesudah itu ke barat daya 101 depa, lalu ke barat menuju tumang 280 depa. Di sisi
kanan tumang keutara sampai tepian Kembang
Rawa sepanjang 145 depa. Di kanan menuju ke barat sepanjang 166 depa,
keselatan menuju tumang sepanjang 64 depa. Dari perwatasan selatan, dari tumang
ke selatan sampai tepian Paberan sepanjang 169 depa. Di sebelah kanan
keselatan sepanjang 15 depa. di sebelah kanan ke timur menuju tumang sepanjang
168 depa. Dari tumang ke selatan lalu ke tenggara sampai tepi Klagen
sepanjang 102 depa. Ke barat sejak dari tenggara menurutkan arah tumang sejauh 280 depa. dari tumang ke utara sampai
ke daerah sima bernama Tanjung, sejauh 103 depa. di sebelah kanan
menurutkan tumang menuju barat sejauh 310 depa. dari tumang ke baratdaya sampai
Lagada sejauh 10 depa.
Selain penyebutan Waringin Pitu, Kamalagen,
Klagen, Tanjung, prasasti ini juga menyebut nama Bhayalangu: Mangalor amner
anuju tumang dpa 565. Mangetan amner anuju tumang muwah sapakliran lawan
Bhayalangu dpa 218. Terus dari sisi utara ke timur menuju tumang sejauh 565
depa, dari sisi timur itu menuju tumang lagi sampai berbatasan dengan
Bhayalangu sepanjang 218 depa.
Prasasti yang dikeluarkan maharaja Majapahit
Wijaya Parakrama Wardhana Dyah Kertawijaya pada 1447M ini menyebut nama
Kamalagen dan Klagen bersama nama Waringin Pitu dan Bhayalangu. Sementara telah
dipaparkan bahwa nama Kamalagen, Klagen, dan Waringin Pitu juga terdapat dalam
prasasti Kamalagyan yang dikeluarkan Erlangga pada 1037M yang antara lain
berisi anugerah pengurangan pajak kepada daerah kamalagyan dan sekitarnya.
Dengan disimpulkannya daerah Bhayalangu berada di Tulungagung, maka semakin menguatkan
bahwa prasasti Kamalagyan juga diberikan Erlangga kepada daerah di Tulungagung.
Dengan demikian pendapat sarjana Belanda C.C
Berg, dan professor Slamet Muljana yang menyimpulkan daerah Bhayalangu tempat
pendarmaan Rajapatni Gayatri di dekat sungai Porong Sidoarjo dianggap tidak
berlaku. Bhayalangu atau sekarang Boyolangu terletak di Tulungagung.
* * *
Siwi Sang
wah manteb bahasannya, kulo tiyang jawi tapi mboten njawani
ReplyDeletePak Juragan ry. Maturnuwun sudah menyempatkan baca catatan ini. Nggih niki catatan untuk menguatkan bahwa pendarmaan rajapatni dyah gayatri di Boyolangu Tulungagung. Nuwun.
DeleteMohon maaf, saya baru mendengar ada penguasa bernama Ratu Dyah Tulodhong di kawasan Tulungagung. Atas dasar sumber apakah penulis menyebut adanya tokoh ini?? Mohon petunjuknya.
ReplyDeletekang @Lintang Wetan. ratu tulodong penguasa kerajaan lodoyong di selatan brantas saya merujuk kajian koes indarto dalam buku katuturanira maharaja erlanga. tentunya terkait keberadaannya sudah saya lengkapi dengan sumber lainnya. tapi pada popoknya saya sepakat bahwa kerajaan yang pernah menghancurkan erlangga tahun 1030M berada di selatan brantas.
ReplyDelete