Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Breaking News

    Tuesday, October 4, 2016

    Sejarah History Rajapatni Dyah Gayatri di Candi Boyolangu Tulungagung



    Peran besar Rajapatni Dyah Gayatri dalam panggung sejarah Majapahit secara nyata bermula ketika maharaja Majapahit Sri Jayanagara wafat, 1328M,  akibat pemberontakan Ratanca. Jayanagara wafat tanpa meninggalkan keturunan. Majapahit tidak memiliki putra mahkota. Majapahit kosong kekuasaan. Dengan cepat Rajapatni Dyah Gayatri mengendalikan pemerintahan meredam segala pergolakan perebutan tahta.






    arca Pradjnaparamita perwujudan Rajapatni Dyah Gayatri di candi Boyolangu Tulungagung






















    Terdapat poto koleksi {erpustakaan Universitas Leiden Belanda tahun 1931 berupa arca Prajnaparamita yang sudah hilang bagian kepala dan putus lengan tangak kiri. Arca terbuat dari batu andesit itulah yang sampai kini berada di atas bangunan induk Candi Boyolangu atau Candi Gayatri.


    arca Pradjnaparamita perwujudan Rajapatni Dyah gayatri di candi Boyolangu Tulungagung poto tahun 1931 koleksi perpustakaan universitas Leiden Belanda


    CANDI BOYOLANGU

    CANDI BOYOLANGU terletak di dusun Dadapan desa Boyolangu kecamatan Boyolangu kabupaten Tulungagung Jatim. Merupakan tempat pendharmaan Rajapatni dyah Gayatri, salah seorang permaisuri pendiri kerajaan Majapahit, Sri Kertarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya.

    CANDI BOYOLANGU  yang terlihat sekarang dalam keadaan tidak utuh atau rusak berat pada bagian candi induk, tangga naik, atap candi, serta dua bangunan lain yang diperkirakan sebagai bangunan pengiring atau Perwara.

    Candi Boyolangu terbuat dari susunan batu bata,menghadap barat. Candi induk berukuran 11,4m x 11,4m.

    Candi Boyolangu menghadap arah barat, sementara dua bangunan lain berada di sebelah utara dan selatan. di pojok tenggara atau di timur bangunan pengiring sisi selatan, terdapat bangunan yang berfungsi sebagai sumur.

    Candi pendharmaan Rajapatni dyah Gayatri ini tidak memiliki hiasan relief, tetapi berhias motif yang dikenal sebagai Tapak Dara.

    Terdapat arca Pradjnaparamita berada di atas bangunan candi induk terlindungi cungkup menghadap arah barat.

    Di atas bangunan candi induk terdapat 11 umpak batu besar terbuat dari batu andesit. 9 umpak berbentuk segi empat, 2 umpak berbentuk segi delapan.

    Terdapat 2 umpak yang berukir angka tahun pada salah satu bagian sisinya, yaitu angka tahun 1291 saka/1369M dan satu umpak lainnya berangka tahun 1311 saka/ 1389M.

    Selain umpak besar, juga terdapat umpak kecil terbuat dari batu andesit yang kini difungsikan sebagai umpak penyangga tiang cungkup pelindung arca Prajnaparamita.

    Adanya peninggalan berupa umpak umpak batu andesit berukiran besar memunculkan dugaan bahwa candi Boyolangu memiliki bentuk bangunan terbuka semacam pendapa.

    Adanya ukiran angka tahun 1291C/1369M dan tahun 1311C/1389M, memunculkan beragam dugaan.

    Berdasarkan kakawin Negarakertagama, Rajapatni dyah Gayatri wafat tahun 1350M. 12 tahun kemudian berlangsung upacara Sraddha. Penempatan abu jenajah Rajapatni dyah Gayatri berikut arca Prajnaparamita bertepatan dengan pelaksanaan upacara Sraddha tahun 1362M. Negarakertagama juga memberitakan bahwa tahun 1365M atau pada saat kakawin itu selesai ditulis Prapanca, candi Boyolangu ditulis sebagai candi yang baru dibangun dan berprasasti sebagai salah satu dari 27 candi pendharmaan kerajaan.

    Jika pembangunan candi Boyolangu telah selesai paling ahir tahun 1365M, mengapa tidak ada umpak batu yang berukir angka tahun antara 1362M-1365M?

    LINGGA UKURAN BESAR DAN SUMUR SRUMBUNG

    Di ladang milik warga yang terletak sekitar 100 meter barat areal candi Boyolangu, terdapat peninggalan yang masih in situ berupa batu lingga ukuran besar, sebagian tertanam pada tanah serta sumur srumbung.

    Menurut keterangan pak Trenggono, warga Boyolangu, masih terdapat beberapa sumur srumbung lain dengan jarak 25 meter antar sumur.


     
                             


    SEJARAH SINGKAT RAJAPATNI DYAH GAYATRI

    Rajapatni dyah Gayatri merupakan putri bungsu maharaja terahir Singasari Sri Kertanagara dari permaisuri Sri Bajradewi.

    Dalam kakawin Negarakertagama, Rajapatni dyah Gayatri dikenal sebagai permaisuri raden Wijaya yang paling dikasihi.

    Dalam Prasasti Palungan 1330M yang dikeluarkan Maharani Majapahit Tribhuwanatunggadewi, Dyah Gayatri dikenal sebagai KERTARAJASAPATNI yang artinya permaisuri Kertarajasa Jayawardhana.

    Pernikahan antara Rajapatni dyah Gayatri dengan Raden Wijaya menurunkan dua putri yaitu Dyah Gitarja dan dyah Wiyat.

    Dyah Gitarja menjadi Bhre Kahuripan dan Maharani Majapahit 1329M-1350M. Permaisuri Bhre Tumapel I Kertawardhana. Menurunkan Hayam Wuruk dan ratu Pajang I Dyah Nertaja.

    Dyah Wiyat menjadi Bhre Daha III. Atau ketika kakaknya menjadi maharani Majapahit, Dyah Wiyat bersemayam di keraton Daha. Merupakan permaisuri Bhre Wengker I Wijayarajasa. Menurunkan Indudewi Bhre Lasem I.

    Pada tahun 1328M, maharaja Majapahit kedua yaitu Sri Jayanagara wafat. Rajapatni dyah Gayatri sebagai ibu suri tampil mengendalikan kerajaan. 

    Tahun 1329M, menobatkan putri sulungnya, Dyah Gitarja, sebagai maharani Majapahit. 

    Kemudian Rajapatni dyah Gayatri meninggalkan keraton Trawulan menuju mandala Pacira atau sekarang situs Goa Pasir Tulungagung, menjadi seorang Biksuni. Sebagaimana paparan dalam buku GIRINDRA:Pararaja Tumapel-Majapahit karya SIWI SANG 2013, Rajapatni dyah Gayatri berada di Tulungagung sampai wafat tahun 1350M. Ketika wafat, nenek maharaja Majapahit Sri Hayam Wuruk itu sudah menjadi seorang Biksuni Boddha Mahayana.

    Kakawin Negarakertagama memberitakan Rajapatni dyah Gayatri didharmakan di BAYALANGO/BHAYALANGO atau Boyolangu Tulungagung sekarang. Nama resmi candi pendharmaannya adalah WISESAPURA, dengan arca perwujudan Prajnaparamita.

    Terdapat poto koleksi Museum Leiden Belanda tahun 1931 berupa arca Prajnaparamita yang sudah hilang bagian kepala dan putus lengan tangak kiri. Arca terbuat dari batu andesit itulah yang sampai kini berada di atas bangunan induk Candi Boyolangu atau Candi Gayatri. Tahun 2000 dibangun pelindung berupa cungkup bertiang kayu beratap genteng.

    PERAN PENTING RAJAPATNI DYAH GAYATRI DALAM SEJARAH MAJAPAHIT

    Peran besar Rajapatni Dyah Gayatri dalam panggung sejarah Majapahit secara nyata bermula ketika maharaja Majapahit Sri Jayanagara wafat, 1328M,  akibat pemberontakan Ratanca. Jayanagara wafat tanpa meninggalkan keturunan. Majapahit tidak memiliki putra mahkota. Majapahit kosong kekuasaan. Dengan cepat Rajapatni Dyah Gayatri mengendalikan pemerintahan meredam segala pergolakan perebutan tahta.

    Sebagai mantan permaisuri pendiri Majapahit dan sebagai putri maharaja Singasari Sri Kertanagara, Rajapatni Dyah Gayatri memiliki kedudukan sangat kuat didukung beberapa tokoh terkemuka seperti mahapatih Mpu Krewes dan tokoh muda Gajah Mada. Selain itu mendapat dukungan para pandita terutama Dharmadaksa Kasogatan Dang Acarya Kanakamuni.

    Tetapi Rajapatni Dyah Gayatri cukup memahami bahwa dalam tradisi pararaja tanah Jawa, tidak pernah ada seorang Ibu Suri secara resmi naik tahta kerajaan.

    Oleh karena itu Rajapatni Dyah Gayatri berniat menobatkan putri sulungnya sebagai maharani Majapahit karena dianggap paling berhak menduduki tahta.

    Sebelum penobatan, Rajapatni Dyah Gayatri menggelar pernikahan bagi kedua putrinya. Dyah Gitarja menjadi permaisuri Kertawardhana dan Dyah Wiyat menjadi permaisuri Wijayarajasa.

    Setelah menikahan dua putrinya, 1329M, Rajapatni Dyah Gayatri secara resmi menobatkan Dyah Gitarja sebagai maharani Majapahit bergelar Sri Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani.

    Rajapatni Dyah Gayatri juga menobatkan dua menantunya sebagai raja di keraton bawahan Majapahit. Kertawardhana sebagai raja di keraton Tumapel dan Wijayarajasa sebagai raja di keraton Wengker.

    Setrategi politik perkawinan melalui dua putrinya dengan dua tokoh penting berdarah Singasari dan Majapahit semakin mengukuhkan dirinya sebagai sosok pemersatu.

    Tahun 1329M, Tribhuwanatunggadewi mengeluarkan Prasasti Berumbung. Dalam prasasti ini yang menjadi mahapatih Majapahit adalah Mpu Krewes. Gajah Mada belum tercatat sebagai patih Daha.

    Sekitar 1330M, Rajapatni Dyah Gayatri meninggalkan keraton Majapahit menuju Mandala Pacira [Goa Pasir desa Junjung Tulungagung] di selatan sungai Brantas karena ingin menjadi seorang Bhiksuni.

    Meski demikian, Rajapatni Dyah Gayatri tidak berhenti memikirkan perkembangan Majapahit. Rajapatni Dyah Gayatri ingin Majapahit tumbuh sebagai kemaharajaan besar yang dihormati dunia.

    Oleh karena itu, dari mandala Pacira di selatan sungai Brantas, Rajapatni Dyah Gayatri terus membimbing putri sulungnya. Ia senantiasa mencurahkan pikiran dan kebijaksanaannya untuk menjayakan Majapahit.

    Kedudukan dan peran penting Rajapatni Dyah Gayatri  dalam sejarah Majapahit, tersirat dari pemberitaan kakawin Negarakertagama dimana Prapanca menggambarkannya Bhatara Parama Bhagawati yang menjadi pelindung Majapahit terkemuka. Dalam Prasasti, Rajapatni Dyah Gayatri juga ditulis sebagai pembimbing atau pengawas maharani Tribhuwanatunggadewi Dyah Gitarja.

    Berdasarkan Prasasti Palungan 1330M, Gajah Mada tercatat sebagai patih Daha. Berdasarkan Prasasti Tuhanyaru 1323M, yang menjadi patih Daha adalah Dyah Puruseswara. Tahun 1329M, Gajah Mada belum sebagai patih Daha. Dapat ditafsirkan Gajah Mada naik sebagai patih di keraton Daha menggantikan kedudukan Dyah Puruseswara antara tahun 1329M-1330M.

    Karena Rajapatni Dyah Gayatri adalah pembimbing maharani Tribhuwanatunggadewi, kuat dugaan naiknya Gajah Mada sebagai patih Daha atas perintahnya.

    Kakawin Negarakertagama memberitakan pada tahun 1331M terjadi perang Sadeng dan Keta. Serat Pararaton juga memberitakan perang Sadeng atau Pasadeng.

    Kiranya mengetahui kabar kepergian Rajapatni Dyah Gayatri dari keraton, beberapa daerah berupaya melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit. Sadeng dan Keta melakukan perlawanan.

    Tetapi semuanya berhasil dihancurkan pasukan Majapahit yang dipimpin Gajah Mada dan Tuhan Waruju [Adityawarman].

    Serat Pararaton mengisahkan cukup panjang perang Sadeng yang juga diikuti Rakryan Kembar.

    Berdasarkan Serat Pararaton, semua tokoh yang berjasa besar menghancurkan Sadeng, mendapat penghargaan. Kembar sebagai Menteri Araraman, Gajah Mada sebagai Angabehi, Lembu Peteng [Identik dengan Tuhan Waruju atau Adityawarman] sebagai menteri keraton berpangkat Tumenggung. Jaran Bhaya, Demang Bucang, Gagak Minge, Jenar, Jalu, Arya Rahu, semua mendapat kedudukan tinggi.

    Pergolakan yang terjadi di daerah telah mengancam kesatuan Majapahit. Majapahit membutuhkan sosok kuat, berwawasan luas, dan sangat setia pada negara untuk menjaga kesatuan Majapahit dan terutama meneruskan gagasan penyatuan Nusantara yang pernah dilakukan Sri Kertanagara maharaja Singasari.

    Berdasarkan pertimbangan itu, kiranya Rajapatni Dyah Gayatri memutuskan untuk mengganti Mahapatih Majapahit Mpu Krewes yang sudah sepuh. Pilihan itu jatuh kepada Gajah Mada. Sangat mungkin Rajapatni Dyah Gayatri mengetahui siapa sebenarnya Gajah Mada.

    Terpilihnya Gajah Mada sebagai mahapatih Majapahit karena merupakan putra raden Wijaya dari isteri selir. Gajah Mada putra pendiri Majapahit.

    Setelah mendapat amanat Rajapatni Dyah Gayatri, pada 1334M, Gajah Mada dinobatkan sebagai Mahapatih Amangkubhumi Majapahit oleh maharani Sri Tribhuwanatunggadewi.

    Dalam upacara penobatan itu, Gajah Mada mengumandangkan Sumpah Palapa, bertekad menyatukan Nusantara sebagaimana amanat Rajapatni Dyah Gayatri.

    Berdasarkan pemberitaan Serat Pararaton, Sumpah Palapa yang dikumandangkan Gajah Mada mendapat hinaan dari beberapa menteri seperti Kembar, Warak, dan Jabung Terewes. Bahkan Lembu Peteng [Adityawarman] ikut meremehkan Gajah Mada.

    Rupa rupanya penobatan Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubhumi Majapahit memunculkan pertikaian di kalangan Istana yang menyebabkan gugurnya beberapa tokoh seperti Kembar dan Warak ditangan Gajah Mada.

    Meski mendapat halangan, Gajah Mada tetap teguh dalam sumpahnya, tetap berusaha mengemban amanat besar dari Rajapatni Dyah Gayatri untuk menyatukan Nusantara di bawah bendera Majapahit. Bersama Adityawarman, Gajah Mada giat melancarkan penaklukkan ke negeri negeri di Nusantara. Bhumi Malayu diserbu. Meski meraih banyak kemenangan, tetapi pasukan Gajah Mada sempat dipukul mundur pasukan dari kesultanan Samudera Pasai. Gajah Mada pulang ke Majapahit. Selanjutnya menggempur pulau Bali [1343M].

    Setelah berhasil menaklukkan pulau Bali, nama Adityawarman semakin mashur karena kepahlawanannya dalam medan perang. Kegagahan Gajah Mada tenggelam oleh kepahlawanan Adityawarman.

    Ini yang membuat gundah seorang Gajah Mada. Gajah Mada kawatir suatu saat Adityawarman mengambil alih kekuasaan Majapahit yang sedang dipegang Tribhuwanatunggadewi. Gajah Mada tau jika Adityawarman berdarah Singasari dan Malayu. Ibunya bernama Dara Jingga dan ayahnya adalah mahamentri hino Dyah Adwayabrahma, putra selir Sri Kertanagara.

    Atas nama kejayaan Majapahit, Gajah Mada berniat menyingkirkan Adityawarman.

    Tapi Gajah Mada tidak dapat secara leluasa menjalankan keinginannya karena di Majapahit masih ada sosok agung bernama Rajapatni Dyah Gayatri.

    Gajah Mada kemudian menghadap Rajapatni Dyah Gayatri di Mandala Pacira.

    Tetapi Rajapatni Dyah Gayatri berbeda pandangan dengan Gajah Mada soal Adityawarman. Dalam pandangannya, Adityawarman adalah sosok yang sangat setia pada Majapahit dan sudah banyak berkorban untuk membesarkan Majapahit. Rajapatni Dyah Gayatri tidak setuju dengan keinginan Gajah Mada untuk menyingkirkan Adityawarman.

    Sampai ahirnya, untuk menyelesaikan konflik antara Gajah Mada dan Adityawarman, Rajapatni Dyah Gayatri memerintahkan kepada maharani Majapahit untuk menobatkan Adityawarman sebagai maharaja di Bhumi Malayu.

    Pada tahun 1350M, Rajapatni Dyah Gayatri wafat di Mandala Pacira sebagai seorang biksuni Boddha.

    Sebelum wafat, Rajapatni Dyah Gayatri memberi amanat kepada Tribhuwanatunggadewi untuk menyerahkan tahta Majapahit kepada putra mahkota Hayam Wuruk.

    Maharani Tribhuwanatunggadewi menjalankan amanat Rajapatni Dyah Gayatri, turun tahta menyerahkan kekuasaan Majapahit kepada Hayam Wuruk yang berusia 16 tahun [ lahir 1334M]. Dia sendiri kembali bersemayam di keraton Kahuripan menjadi pembimbing maharaja Majapahit.

    Setelah dinobatkan sebagai maharaja Majapahit, Hayam Wuruk memerintahkan persiapan pembangunan candi pendharmaan untuk Rajapatni Dyah Gayatri.  Daerah Boyolangu [Tulungagung] ditetapkan sebagai tempat pendarmaan itu. Tanahnya disucikan oleh pendita Sri Jinana Widhi.

    Sebagaimana tercatat dalam Negarakertagama, pada tahun 1362M berlangsung upacara Sraddha mengenang 12 tahun wafatnya Rajapatni Dyah Gayatri. Pada perayaan itu sekaligus dilangsungkan penempatan abu jenazah Rajapatni Dyah Gayatri dan arca perwujudan bernama Pradjnaparamita sebagai penghormatan kepada Rajapatni Dyah Gayatri, perempuan Ardanareswari yang kewibawaan dan kebijaksanaannya mengayomi Majapahit.

    ===============
    SIWI SANG

    Sumber catatan: 


    Literatur

    Taktik Menulis

    Banjarnegara