Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Tuesday, April 5, 2016

    MENYOAL MAJAPAHIT KESULTANAN ISLAM

    Pendapat atau teori yang menyatakan Majapahit kesultana Islam antaranya berpendapat bahwa Maulana Malik Ibrahim yang makamnya sekarang di Gresik, semasih hidup berposisi atau menjabat sebagai seorang Qadi atau hakim agama Islam di Majapahit. 

    Historiografi memang berkembang. Penulisan sejarah tidak berahir tanda titik. Soal Majapahit kesultanan Islam Nusantara, merupakan kajian baru yang tentunya perlu diapresiasi. Karena sejarah ada banyak kemungkinan dan penafsiran. 

    Akan tetapi, mengaji sejarah apapun termasuk Majapahit yang sangat besar ini, kita tidak akan mendapat pemandangan yang lebih lengkap jika hanya menggunakan satu sudut pandang atau jika hanya berdiri di satu sudut.Kita harus memandang Majapahit dari banyak sudut. Bagaimana dari sudut prasasti, naskah, cerita cerita rakyat, artefak artefik, dan seterusnya. Jangan sampai terutama para penulis dan peneliti sejarah Islam Nusantara berupaya menunjukkan eksistensi tua agama Islam di Nusantara, menunjukkan kegemilangan peradaban Islam di Nusantara, justru memunculkan kesuraman kesuraman baru soal kesejarahan kedatangan, penyebaran, dan perkembangan Islam di Nusantara. 

    Setahun silam saya pernah membaca sekilas buku berjudul Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang tersembunyi karya Herman Sinung Janutama. Karena membaca sekilas, saya belum punya pandangan utuh terkait isi buku itu. Lagian saya membaca sekilas di Gramedia Yogyakarta.

    Bulan kemarin saya kembali baca artikel yang menyoal Majapahit Kesultanan Islam di https://roedijambi.wordpress.com 

    Historiografi memang berkembang. Penulisan sejarah tidak berahir tanda titik. Soal Majapahit sebagai suatu kesultanan Islam Nusantara, merupakan kajian baru yang tentunya perlu diapresiasi. Karena sejarah ada banyak kemungkinan dan penafsiran.

    Sementara ini kita menganuti pendapat mainstream bahwa Majapahit yang didirikan raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana berhaluan negara Siwa.

    Ini didukung fakta bahwa dalam beberapa prasasti awal Majapahit, dewan agama Majapahit lebih dominan Kasaiwan yang memiliki 5 upapati siwa.

    Upapati atau hakim agama atau dalam istilah islam Qadi.

    Sementara Kasogatan atau urusan agama Boddha hanya satu upapati.

    Selanjutnya sampai jaman maharaja Sri Kertawijaya 1447M-1451M, berdasarkan prasasti Waringin Pitu 1447M, kita kenal dua hakim agama Boddha dan 4 hakim Siwa.

    Menunjukkan agama Siwa lebih dominan.

    Karena itulah, para sejarawan memandang Majapahit berhaluan Siwa.

    Meski pada faktanya, berkembang beberapa macam agama termasuk agama lokal Jawa serta agama Islam.

    Lalu mengapa hakim agama Islam atau Qadi sejak awal sampai ahir sama sekali tidak termuat dalam setiap prasasti keluaran para raja Majapahit? 

    Ini kiranya suatu persoalan yang mesti dijabarkan para ahli sejarah terutama sekali Herman Sinung Janutama yang berpendapat Majapahit adalah suatu kesultanan Islam di Nusantara sejak awal.

    Pendapat atau teori yang menyatakan Majapahit kesultana Islam antaranya berpendapat bahwa Maulana Malik Ibrahim yang makamnya sekarang di Gresik, semasih hidup berposisi atau menjabat sebagai seorang Qadi atau hakim agama Islam di Majapahit. 

    Pendapat saya, teori baru Ki Herman Sinung Janutama bahwa Majapahit Kesultanan Islam masih sangat perlu dikaji ulang. Dari rekaman video diskusi yang diunggah di Youtube, ternyata Herman Sinung Janutama dalam mengaji kesejarahan Majapahit menggunakan metode utama yaitu tradisi Jawa dimana dalam tradisi Jawa banyak sekali dengan lambang. Saya sepakat bahwa dalam tradisi Jawa atau Sastra Jawa penuh dengan makna pralambang sehingga ketika kita membaca jangan membaca secara leterlek karena ada banyak bacaan yang siningit alias tersembunyi yang harus kita terjemahkan atau tafsirkan.

    Ini video youtube diskusi Ki Herman Sinung Janutama yang saya lihat: https://www.youtube.com/watch?v=w_yZdzWj95I 

    Akan tetapi, mengaji atau membaca sejarah apapun seperti sejarah Majapahit yang sangat besar ini, kita tidak akan mendapat pemandangan yang lebih lengkap jika hanya menggunakan satu sudut pandang atau jika hanya berdiri di satu sudut. Kita harus memandang Majapahit dari banyak sudut. bagaimana dengan prasasti, naskah, cerita cerita rakyat, artefak artefik, dan seterusnya.

    Kalo soal keping uang berhuruf arab berkalimat tauhid yang disimpulkan Ki Herman Sinung Janutama sebagai mata uang resmi Kesultanan majapahit, itu juga perlu dibaca ulang. Munculnya mata uang logam bernuansa Islam di daerah pesisir utara Jawa, bukan berarti dikeluarkan oleh suatu kesultanan Islam di Jawa yaitu Kesultana Majapahit. Jaman Majapahit ada banyak bangsa, komunitas sosial budaya dan agama. Munculnya koin bernuansa Islam lebih untuk membuktikan bahwa pada jaman itu, Majapahit, sudah berkembang komunitas Islam di Jawa. Ini juga nanti dikuatkan dengan berita dari negeri Tiongkok bahwa pada jaman Panjalu sudah berkembang komunitas Muslim di Jawa.

    Kemudian teori Majapahit Kesultanan Islam dengan memajukan 'fakta Historis' bahwa mahapatih Majapahit Gajah Mada sebagai muslim dengan nama Islam GAJ AHMADA.

    Bajang Ratu Trowulan





    Harap diketahui bahwa dalam sejarah Majapahit, ada banyak nama tokoh mahapatih bernama depan GAJAH. Seperti Gajah Enggon, Gajah Manghuri, Gajah Lembana, Gajah Geger, Gajah Pramada.

    Apa itu lalu dapat kita tulis semua gajah sebagai orang Muslim dengan nama Gaj Ahenggon, Gaj Ahmanguri, Gaj Ahlembana, Gaj Ahgeger, dan Gaj Ahpramada?

    Jangan sampai terutama para penulis dan peneliti sejarah Islam Nusantara berupaya menunjukkan eksistensi tua agama Islam di Nusantara, menunjukkan kegemilangan peradaban Islam di Nusantara, justru memunculkan kesuraman kesuraman baru soal kesejarahan kedatangan penyebaran dan perkembangan Islam di Nusantara.

    Tapi memang semua berhak membaca sejarah, termasuk berpendapat bahwa Majapahit Kesultanan Islam pertama di Jawa sebelum kesultanan Demak Bintara.


    ==============

    SIWI SANG


    5/4/2016

    No comments:

    Post a Comment