Bahwa semua berita, sesuai
dengan sifatnya, dapat tertimpa kesalahan, bahkan berita itu sendiri malah
mengandung factor faktor penyebab kesalahan. Faktor pertama ialah sikap memihak
kepada suatu kepercayaan atau pendapat. Apabila pikiran dalam keadaan netral,
setiap orang biasanya ketika menerima suatu keterangan akan menyelidiki dan
menimbang nimbang terlebih dahulu sampai ia dapat menyerpih kebenaran dan
ketidakbenaran. Tetapi, bilamana pikiran seseorang itu berat sebelah kepada
salah satu pendapat atau kepercayaan, maka ia akan berpihak pada keterangan keterangan
yang menguntungkan pendapat atau kepercayaannya. Oleh karena itu, sikap memihak
akan menutup kejernihan pikiran, mencegah penyelidikan dan pertimbangan dan
cenderung melakukan kesalahan.
Jadi, kesalahan pertama dalam penulisan sejarah menurut
Ibn Khaldun adalah kecenderungan orang untuk menerima begitu saja berita yang
sesuai dengan pendapat atau kepercayaannya, tanpa penyelidikan terlebih dahulu.
Atau dengan terminologi ilmu jiwa, dikatakan bahwa sebab kesalahan dalam hal
ini merupakan factor psikologis murni. Karena segala penilaian orang tersebut
telah terpengaruh oleh berbagai pendapat yang sebelumnya merasuki pikirannya,
yakni beragam pendapat yang bertumbuhkembang dalam masyarakat, paham paham yang
mengarahkan pemikiran orang perorang sehingga memengaruhi penilaian mereka.
“Kepercayaan berlebihan kepada
para penutur, padahal penuturan apapun seharusnya dapat diterima apabila telah
dilakukan ta’dil dan tajrih,” kata tokoh yang memiliki nama
lengkap ‘Abd al-Rahman Abu Zaid Waliuddin Ibn Khaldun ini, menyebut kesalahan
kedua dalam penulisan sejarah.
Jadi, kesalahan kedua seorang sejarawan akibat
kepercayaannya yang berlebihan kepada penutur. Padahal, adakalanya penutur
tersebut seorang pendusta atau yang suka mereka reka. Akibatnya, apabila
seorang sejarawan mengutip berita orang tersebut, sama saja ia mengutip berita
dusta. Karena itu, seorang sejarawan harus meneliti dan menyelidiki kebenaran
berita sejarah dengan kritis dan melalui penelitian mendalam, yakni dengan
metoda yang oleh para ahli tafsir dan hadits Nabi disebut dengan ta’dil dan tajrih.
Metoda ta’dil dan tajrih adalah
suatu metoda yang disusun oleh para penutur Sunnah Nabi. Metoda ini berupa
suatu penelitian cermat yang dilakukan untuk mengetahui kejujuran dan kebenaran
si penutur hadits. Segala informasi yang dihasilkan dalam penelitian kemudian
dihimpun, dan setiap kali diperlukan untuk menguji kebenaran suatu hadits, ia
kembali digunakan atau disaling silang rujukkan. Karena itu, kumpulan informasi
ini akan membentuk ensiklopedi ensiklopedi yang menjadi rujukan setiap ilmuwan.
Dari kesemuanya itu kemudian diiktihsarkan sejumlah prinsip sebagai pembantu
dalam menilai setiap hadits. Prinsip inilah yang membentuk suatu cabang ilmu
yang disebut Musthalah Hadits.
Pertanyaannya, kapankah seseorang
menerapkan metoda tersebut? Apakah metoda ta’dil dan tajrih merupakan langkah
pertama dalam meneliti berita? Menurut Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah, menyebutkan bahwa ta’dil dan tajrih adalah langkah
kedua. Langkah pertama adalah menilai apakah ini berita itu sendiri merupakan
hal yang mungkin atau mustahil. Dan penelitian tentang keadilan dan kejujuran
para penutur tidak dilakukan kecuali setelah diketahui bahwa isi berita itu
sendiri merupakan hal yang mungkin terjadi atau tidak. Bilamana mustahil
terjadi, maka tidak ada gunanya dilakukan ta’dil dan tajrih.
Menurut Ibn Khaldun, kesalahan ketiga adalah ketidaksanggupan memahami apa yang sebenarnya
dimaksud. Banyak para pencatat sejarah yang jatuh dalam kesalahan karena mereka
tidak dapat memahami maksud sebenarnya dari apa yang dilihat dan didengarnya.
Dan juga karena mereka menghubungkan berita itu menurut apa yang dipikirkan dan
dipersangkakannya, sehingga mereka terjatuh dalam kekeliruan.
Jadi, kadang kadang si pencatat
sejarah benar dalam mencatat suatu berita, namun keliru dalam memahaminya. Atau
dengan kata lain, ia menuliskan berita tersebut telah berdasar persepsinya,
yang berbeda dengan hakikatnya, padahal persepsinya itu keliru.
Kesalahan keempat yaitu kepercayaan
yang salah kepada ‘kebenaran’. Pada umumnya hal ini sering terjadi dalam bentuk
terlalu memutlakkan ‘kebenaran’ yang disodorkan penutur berita. DEngan kata
lain, seorang sejarawan menuturkan berita yang keliru dengan keyakinan bahwa
berita itu telah merupakan ‘kebenaran’, sehingga tidak perlu diotak atik lagi.
Sebab keempat ini dapat kita rujukkan pula pada sebab yang kedua.
Kesalahan kelima adalah ketidaksanggupan menempatkan dengan tepat suatu
kejadian dalam hubungan peristiwa peristiwa sebenarnya, karena kabur dan
rumitnya keadaan. Si pencatat merasa puas menguraikan peristiwa seperti yang
dilihatnya saja, akibatnya akan memutarbalikkan peristiwa itu.
Dengan kata lain, sebagian orang
yang tidak bertanggungjawab, berupaya memerdayakan orang banyak dengan
menciptakan beberapa peristiwa dan hal yang tidak benar [move]. Dalam hal ini
apabila sejarawan tidak menyadari pemutarbalikkan berita berita itu, maka
dengan tidak sengaja ia telah menuturkan berita berita yang tidak benar dalam
penuturannya.
Kekeliruan keenam adalah keinginan yang umum untuk mengambil hati orang orang
yang berkedudukan tinggi, dengan jalan memuji muji, menyiarkan kemashuran,
membujuk bujuk, menganggap baik setiap perbuatan mereka dan memberi tafsiran
yang selalu menguntungkan semua tindakan mereka. Hasil kesemuanya ini adalah
terciptanya gambaran yang keliru tentang peristiwa peristiwa sejarah. Semua
orang memang senang dipuji, dan manusia pada umumnya mencari kesenangan di
dunia ini dan mencari segala jalan untuk mencapai kesenangan itu, seperti
kehormatan dan kekayaan. Dan pada umumnya mereka tidak mencari perbuatan yang
baik atau berupaya mendapatkan kebaikan dari orang orang yang baik.
Ini berarti apabila sejarawan
berupaya mendekatkan diri kepada para pemegang kekuasaan dan jabatan tinggi,
demi memeroleh kenikmatan duniawi, maka akan mendorong menyebarnya berita berita
bohong tentang para penguasa dan pembesar demi menyenangkan pihak penguasa atau
pembesar yang didekatinya itu.
Menurut Ibn Khaldun, sebab ketujuh adalah sebab yang paling
penting yaitu tidak mengetahui hokum hukum watak dan mobah mosiknya masyarakat.
Padahal, segala sesuatu, baik benda maupun perbuatan, tunduk kepada hukum watak
dan hukum perubahan. Seandainya si pendengar memahami watak peristiwa dan
perubahan yang terjadi, serta kondisinya, maka pengetahuan seperti ini akan
membantunya melebihi apapun, dalam menguraikan setiap peristiwa yang dicatatnya
dan untuk memilah kebenaran dari kebohongan yang terkandung dalam catatan itu.
Dalam pendahuluan al-Muqaddimah, Ibn Khaldun mencatat, seringkali para sejarawan, ahli
tafsir, dan tokoh penutur terjatuh dalam kesalahan pada pemahaman berita dan
peristiwa. Mereka hanya mendasarkan diri pada penukilan semata, terlepas
beritanya salah atau benar. Mereka tidak mengembalikannya kepada asal usul.
Mereka juga tidak menganalogikannya dengan peristiwa peristiwa serupa. Selain
itu mereka juga tidak mengujinya dengan ukuran hikmahnya, dan berhenti pada
watak watak yang ada dan memperkuat penelitian dan pengkajian terhadap berita berita
itu saja, sehingga mereka menyimpang dari kebenaran. Lebih jauh lagi, mereka
memberikan kesempatan seluas luasnya kepada daya hayal mereka, mengikuti
bisikan sifat berlebihan dan melintasi batasan batasan pengalaman biasa
bilamana membincangkan soal tentara dan kekayaan dari negeri negeri pada zaman
mereka, atau negeri negeri pada masalalu yang dekat.
SIWI SANG
Sumber: FILSAFAT SEJARAH IBN
KHALDUN- Dr. Zainab al-Khudhairi- 1979
No comments:
Post a Comment