Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Breaking News

    Tuesday, September 29, 2015

    Prasasti Kedukan Bukit [analisa Nia Kurnia Sholihat Irfan]

     

     

    DI ANTARA prasasti-prasasti Kerajaan Sriwijaya, prasasti Kedukan Bukit paling menarik diperbincangkan. Di samping banyak mengandung kata yang tidak mudah ditafsirkan, prasasti tersebut oleh beberapa sarjana dianggap mengandung kunci pemecahan masalah lokasi ibukota kerajaan besar itu, yang mendominasi pelayaran dan perdagangan internasional selama empat abad. Dari segi ilmu bahasa, prasasti Kedukan Bukit merupakan pertulisan bahasa Melayu-Indonesia tertua yang pernah ditemukan sampai saat ini.


    Alkisah, di daerah Kedukan Bukit, Palembang, terdapat batu bertuliskan huruf kuno yang dikeramatkan penduduk. Jika diadakan perlombaan berpacu perahu bidar di Sungai Musi, perahu yang akan dipakai ditambatkan dulu pada batu itu dengan harapan memperoleh kemenangan. Pada bulan November 1920, Batenburg seorang kontrolir Belanda mengenali batu itu sebagai prasasti. Penemuan itu segera dilaporkan pada Oudheidkundigen Dienst (Dinas Purbakala). Akhirnya, prasasti itu tersimpan di Museum Pusat Jakarta dengan nomor D.146.

    Pada tahun itu juga, Residen Palembang Louis Constant Westenenk menemukan prasasti lain di daerah Talang Tuwo. Di Museum Pusat prasasti itu bernomor D.145. Kemudian kedua prasasti itu ditranskripsikan dan diterjemahkan oleh Philippus Samuel van Ronkel pada tahun 1924 dalam majalah ilmiah Acta Orientalia.[1]


    ISI PRASASTI

    Prasasti Kedukan Bukit bertarikh 604 Saka (682 M) dan merupakan prasasti berangka tahun yang tertua di Indonesia. Terdiri atas sepuluh baris, tertulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno, masing-masing baris berbunyi sebagai berikut:

    1 Swasti, sri. Sakawarsatita 604 ekadasi su-
    2 klapaksa wulan Waisakha Dapunta Hyang naik di
    3 samwau mangalap siddhayatra. Di saptami suklapaksa
    4 wulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Minanga
    5 tamwan mamawa yang wala dua laksa dangan kosa
    6 dua ratus cara di samwau, dangan jalan sariwu
    7 telu ratus sapulu dua wanyaknya, datang di Mukha Upang
    8 sukhacitta. Di pancami suklapaksa wulan Asada
    9 laghu mudita datang marwuat wanua .....
    10 Sriwijaya jayasiddhayatra subhiksa

    Terjemahan dalam bahasa Indonesia modern:

    1 Bahagia, sukses. Tahun Saka berlalu 604 hari kesebelas
    2 paroterang[2] bulan Waisaka Dapunta Hyang naik di
    3 perahu melakukan perjalanan. Di hari ketujuh paroterang
    4 bulan Jesta Dapunta Hyang berlepas dari Minanga
    5 tambahan membawa balatentara dua laksa dengan perbekalan
    6 dua ratus koli di perahu, dengan berjalan seribu
    7 tiga ratus dua belas banyaknya, datang di Muka Upang
    8 sukacita. Di hari kelima paroterang bulan Asada
    9 lega gembira datang membuat wanua .....
    10 Perjalanan jaya Sriwijaya berlangsung sempurna

    Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh karena Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu bukanlah piknik, melainkan ekspedisi militer menaklukkan suatu daerah. Dari prasasti Kedukan Bukit, kita mendapatkan data-data:

    1. Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682).[3] Tidak ada keterangan dari mana naik perahu dan mau ke mana.
    2. Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang (sampai kini masih ada desa Upang di tepi Sungai Musi, sebelah timur Palembang).
    3. Dapunta Hyang membuat ‘wanua’ tanggal 5 Asada (16 Juni).

    Prasasti Kedukan Bukit hanya menyebutkan gelar Dapunta Hyang tanpa disertai nama raja tersebut. Dalam prasasti Talang Tuwo yang dipahat tahun 606 Saka (684 M) disebutkan bahwa raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menitahkan pembuatan Taman Sriksetra tanggal 2 Caitra 606 (23 Maret 684). Besar kemungkinan dialah raja Sriwijaya yang dimaksudkan dalam prasasti Kedukan Bukit.

    Timbul setumpuk pertanyaan: Di manakah letak Minanga? Benarkah Minanga merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya, ataukah hanya daerah taklukan Sriwijaya? Apakah arti kalimat ‘marwuat wanua’? Benarkah kalimat itu menyatakan pembangunan sebuah kota seperti pendapat banyak ahli sejarah? Benarkah peristiwa itu merupakan pembuatan ibukota atau perpindahan ibukota Sriwijaya? Demikianlah prasasti Kedukan Bukit mengandung banyak persoalan yang tidak sederhana. “This text has caused much ink to flow,” kata Prof. Dr. George Coedes.[4]


    BEBERAPA TAFSIRAN

    Pada tahun 1975 Departemen P dan K menerbitkan enam jilid buku Sejarah Nasional Indonesia yang ditetapkan sebagai buku standar bagi pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Jilid II membahas Zaman Kuna, disusun oleh Ayatrohaedi, Edi Sedyawati, Edhie Wuryantoro, Hasan Djafar, Oei Soan Nio, Soekarto K. Atmojo dan Suyatmi Satari, dengan editor Bambang Sumadio. Tafsiran mereka terhadap isi prasasti Kedukan Bukit adalah sebagai berikut: Dapunta Hyang memulai perjalanan dari Minanga Tamwan, kemudian mendirikan kota yang diberi nama Sriwijaya. Mungkin sekali pusat Sriwijaya terletak di Minanga Tamwan itulah, daerah pertemuan sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri.[5]

    Dr. Buchari, ahli epigrafi terkemuka, memberikan penafsiran yang berbeda: Pada mulanya Kerajaan Sriwijaya berpusat di Minanga yang terletak di Batang Kuantan, di tepi Sungai Inderagiri, dengan alasan minanga = muara = kuala = kuantan. Lalu pada tahun 682 Dapunta Hyang menyerang Palembang dan membuat kota yang kemudian dijadikan ibukota kerajaannya yang baru. Jadi pada tahun 682 terjadi perpindahan ibukota Sriwijaya dari Minanga ke Palembang.[6]

    Dr. Slametmulyana, ahli filologi ternama, berpendapat bahwa Kerajaan Sriwijaya selamanya beribukota di Palembang dan tidak pernah berpindah-pindah. Isi prasasti Kedukan Bukit tidak ada hubungannya dengan pembuatan kota Sriwijaya, dan Minanga yang disebutkan dalam prasasti itu hanyalah sebuah daerah taklukan Sriwijaya. Slametmulyana mula-mula menyamakan Minanga Tamwan dengan Muara Tebo,[7] lalu dia berubah pendapat dengan melokasikan Minanga di Binanga, yang terletak di tepi Sungai Barumun, Sumatera Timur.[8]


    LOKASI SRIWIJAYA

    Pendeta I-tsing (634-713), dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di negeri Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya (tatabahasa Sansekerta). Ketika pulang dari India tahun 685 I-tsing bertahun-tahun tinggal di Sriwijaya untuk menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. I-tsing kembali ke Cina dari Sriwijaya tahun 695. Selama di Sriwijaya dia menulis dua buah bukunya yang termasyhur, Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang).

    Dalam kedua karyanya itu I-tsing memberikan informasi berharga mengenai letak dan keadaan Sriwijaya. Oleh karena dia lama berdiam di Sriwijaya, sudah tentu keterangannya sangat dapat dipercaya. I-tsing menyaksikan keadaan Sriwijaya dengan mata kepala sendiri. Uraian-uraiannya merupakan sumber berita dari tangan pertama. Tidak ada alasan bagi kita untuk meragukan pernyataan I-tsing itu.[9]

    Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri sebagai berikut: “Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan .... Setelah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana saya berdiam selama enam bulan untuk belajar Sabdawidya. Sri Baginda sangat baik kepada saya. Beliau menolong mengirimkan saya ke negeri Malayu, di mana saya singgah selama dua bulan. Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah .... Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) .... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India).”[10]

    Perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut: “Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua .... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.[11]

    Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Malayu terletak di tengah pelayaran antara Sriwijaya dan Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Malayu. Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa negeri Malayu berlokasi di Jambi, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Jambi terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286 M) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Malayu.[12] I-tsing juga mengatakan bahwa Sriwijaya terletak di muara sungai yang besar.[13] Maka satu-satunya tempat yang memenuhi syarat sebagai lokasi negeri Sriwijaya adalah Palembang.

    Ditinjau dari data arkeologi, pelokasian Sriwijaya di Palembang memperoleh pembuktian yang sangat kuat. Sebagian besar prasasti Sriwijaya ditemukan di Palembang: Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Telaga Batu, lima buah pecahan prasasti, dan batu-batu mengenai ‘siddhayatra’. Pada salah satu pecahan prasasti terdapat keterangan mengenai pardatuan (istana raja). Yang lebih meyakinkan, prasasti Telaga Batu menyebutkan berbagai pembesar tinggi yang hanya mungkin ada di ibukota atau pusat pemerintahan suatu kerajaan, seperti putra mahkota, selir raja, senapati, hakim, para menteri, sampai pembersih dan pelayan istana.[14]

    Ir. J.L. Moens, dalam karangannya Crivijaya, Yava en Kataha tahun 1937, melokasikan Sriwijaya di Muara Takus yang terletak pada garis khatulistiwa, berdasarkan uraian I-tsing bahwa di Sriwijaya orang yang berdiri pada tengah hari tidak mempunyai bayang-bayang.[15] Tetapi di Muara Takus tidak ada bukti arkeologis yang lebih kuat daripada di Palembang. Pernyataan I-tsing itu tidak harus berarti Sriwijaya pada lintang nol derajat, melainkan dapat ditafsirkan bahwa Sriwijaya terletak di sekitar khatulistiwa. Palembang pun memenuhi syarat, sebab terletak pada posisi tiga derajat lintang selatan (masih dekat dengan khatulistiwa). Patut diingat, I-tsing biasa hidup di negeri Cina di mana bayang-bayang tengah hari cukup panjang. Dapat difahami jika dia mengatakan di Sriwijaya (Palembang) tidak ada bayang-bayang tengah hari. Bahwa negeri Sriwijaya tidak terletak pada garis khatulistiwa, melainkan di selatan khatulistiwa, terbukti dari keterangan Al-Biruni yang menyatakan bahwa garis khatulistiwa terletak antara Kedah dan Sriwijaya.[16]

    Pada tahun 1954, atas perintah Menteri PP&K Muhammad Yamin, Dinas Purbakala mengadakan penelitian geomorfologi pantai timur Sumatera. Hasil penelitian itu menyatakan bahwa pada abad ketujuh Jambi dan Palembang masih terletak di tepi laut. Jambi mempunyai kedudukan yang lebih strategis dalam menguasai lalu lintas pelayaran. Kapal-kapal dari arah India, Cina dan Jawa harus melewati Jambi, sedangkan Palembang hanya dilewati kapal-kapal yang berlayar antara Selat Malaka dan Jawa. Lagi pula, letak pelabuhan Jambi menghadap ke laut bebas, sedangkan pelabuhan Palembang hanya menghadap ke Selat Bangka.[17]

    Berdasarkan hasil penelitian itu Dr. Sukmono cenderung melokasikan Sriwijaya di Jambi. Kiranya pendapat Dr. Sukmono ini terlalu tergesa-gesa. Meskipun Jambi lebih strategis, tidaklah berarti Sriwijaya harus di Jambi, sebab tidak ada sumber sejarah yang mengatakan letak Sriwijaya strategis. Kata I-tsing, yang selalu disinggahi kapal-kapal adalah Malayu, bukan Sriwijaya. Jadi hasil penelitian geomorfologi itu justru membuktikan Jambi sebagai lokasi negeri Malayu!

    Sewaktu Kerajaan Sriwijaya baru berdiri pada pertengahan abad ketujuh, negeri itu hanya sering disinggahi pendeta-pendeta Cina untuk urusan keagamaan. I-tsing mengatakan, pendeta Cina yang ingin mempelajari ajaran Buddha di India sebaiknya berdiam dulu di Sriwijaya untuk berlatih.[18] Ditinjau dari segi keagamaan Sriwijaya memang menonjol. Tetapi dari segi ekonomi dan perdagangan Sriwijaya tertinggal oleh Malayu dan Kedah yang letaknya strategis. Itulah sebabnya pada akhir abad ketujuh Sriwijaya melancarkan ekspansi teritorial untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan strategis di Selat Malaka. Ketika I-tsing pulang dari India tahun 685, dia mengatakan bahwa Kedah dan Malayu sudah menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya. Jelaslah bahwa dominasi Kerajaan Sriwijaya atas Selat Malaka bukanlah karena letak ibukotanya strategis, melainkan karena kerajaan itu mampu menguasai Malayu dan Kedah.

    Kesimpulannya, ditinjau dari segi manapun (data arkeologi, uraian I-tsing, penelitian geomorfologi), tidak ada tempat lain yang cocok sebagai lokasi negeri Sriwijaya selain Palembang. Seperti kata Prof. Oliver William Wolters, “Srivijaya had its capital at Palembang and nowhere else. In support of this location, there is an impressive consistency between the epigraphic evidence and I-tsing’s records.[19]


    “MARWUAT WANUA”

    Banyak ahli sejarah yang mengartikan ungkapan “marwuat wanua” pada prasasti Kedukan Bukit dengan “membuat kota”, sehingga timbul anggapan bahwa pada tahun 682 Dapunta Hyang datang ke Palembang untuk membuat kota Sriwijaya. Padahal pada tahun 671 I-tsing telah singgah di Sriwijaya. Menurut Hsin-T’ang-shu (Sejarah Baru Dinasti Tang), Kerajaan Sriwijaya telah mengirimkan utusan ke Cina pada periode 670-673.[20] Hal ini berarti bahwa peristiwa “marwuat wanua” tahun 682 itu bukanlah menyatakan pembentukan negeri Sriwijaya.

    Kata wanua memiliki arti ganda: kota (negeri) dan rumah (bangunan). Dalam beberapa bahasa daerah di Sumatera bagian selatan, sampai sekarang kata wanua berarti “rumah”, sering disingkat menjadi nua atau nuo. Prof. George Coedes, dalam karangannya Les Inscriptions Malaises de Crivijaya tahun 1930, memberikan arti: wanua = pays, royaume, forteresse (kota, kerajaan, rumah pertahanan).[21] Ketika Van Ronkel mula-mula menerjemahkan prasasti Kedukan Bukit, dia mengartikan wanua dengan fortress (rumah pertahanan).[22] Jadi kalimat “marwuat wanua” dapat berarti membuat kota atau membuat rumah. Jika kita artikan membuat kota, kita terbentur pada kenyataan bahwa kota Sriwijaya sudah ada pada tahun 671. Maka satu-satunya pilihan adalah mengartikannya membuat rumah. Pada pecahan prasasti nomor D.161 yang ditemukan di Palembang, yang isinya serupa dengan isi prasasti Kedukan Bukit, tertulis: ... wihara ini, di wanua ini.[23] Jelaslah bahwa wanua (rumah) yang dibuat Dapunta Hyang tahun 682 adalah sebuah wihara (rumah peribadatan).


    PERSOALAN MINANGA

    Prasasti Kedukan Bukit mengatakan pada tanggal 7 Jesta 604 (19 Mei 682) Dapunta Hyang berangkat (marlapas) dari Minanga. Oleh karena dia meninggalkan Minanga dengan tentara yang bersukacita, mudahlah disimpulkan bahwa Minanga merupakan daerah yang baru saja ditaklukkan Sriwijaya. Mereka berangkat dari Minanga dengan sukacita—karena baru menang perang—untuk kembali ke ibukota di Palembang.

    Di manakah letak Minanga? Anggapan para penyusun Sejarah Nasional Indonesia Jilid II bahwa Minanga terletak di pertemuan sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan bersumber pada pendapat Prof. Dr. R.M.Ng. Purbatjaraka. Alasannya, tamwan berasal dari kata temu, lalu Purbatjaraka menafsirkannya “daerah tempat sungai bertemu”. Mengapa harus di Kampar, Purbatjaraka tidak memberikan alasan.[24] Pendapat ini dibantah dengan jitu oleh Prof. Dr. J.G. de Casparis yang membuktikan bahwa tamwan tidak ada hubungannya dengan temu, sebab kata yang terakhir ini sudah dipakai pada zaman Sriwijaya. Dalam prasasti Talang Tuwo terdapat enam buah kata temu.[25] Penelitian para ahli bahasa menyatakan bahwa kata tamwan pada prasasti Kedukan Bukit bukanlah nama tempat, melainkan kata biasa yang sekarang menjadi tambahan, sebagaimana kata wulan, sariwu, wanyak dan marwuat menjadi bulan, seribu, banyak dan membuat.

    Pendapat Dr. Buchari yang mengatakan Minanga adalah Batang Kuantan (minanga = muara = kuala = kuantan) juga perlu diragukan. Kata minanga tidak ada hubungannya dengan muara, sebab kata muara juga sudah dipakai pada zaman Sriwijaya.[26] Buchari sendiri mengakui bahwa di Batang Kuantan belum ditemukan peninggalan arkeologis yang menunjang pendapatnya.[27]

    Untuk menetapkan daerah yang cocok bagi lokasi Minanga, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
    (1) Daerah tersebut namanya mirip dengan Minanga.
    (2) Daerah itu menurut prasasti Kedukan Bukit berjarak kira-kira sebulan pelayaran dari Palembang.
    (3) Daerah itu lokasinya harus strategis mengingat ekspansi Sriwijaya bertujuan menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan.
    (4) Pada daerah itu terdapat peninggalan arkeologis yang membuktikan bahwa daerah itu pernah berperan dalam sejarah.

    Kiranya daerah yang cocok bagi pelokasian Minanga adalah Binanga yang terletak di tepi Sungai Barumun, Sumatera Timur, seperti pendapat Dr. Slametmulyana. Daerah Binanga memenuhi persyaratan ditinjau dari segala aspek:
    1. Pada abad ketujuh Binanga masih terletak di tepi laut.
    2. Tempat itu ideal untuk mengawasi lalu lintas Selat Malaka.
    3. Tempat itu dapat digunakan batu loncatan oleh armada Sriwijaya untuk menyerang Semenanjung. Seperti dikatakan I-tsing, pada tahun 685 (tiga tahun setelah penaklukan Minanga, 682) Kedah sudah ditaklukkan Sriwijaya.
    4. Di daerah Padang Lawas, dekat Binanga, sampai kini terdapat biaro (wihara) Bahal, Sitopayan dan Sipamutung.[28] Ini berarti Binanga pernah berperan dalam sejarah.
    5. Perubahan nama Minanga menjadi Binanga sangat mungkin terjadi, sebab fonem m dan b sama-sama huruf bibir (bilabial). Kata mawa dan marlapas pada prasasti Kedukan Bukit kini berubah menjadi bawa dan berlepas (berangkat).


    KESIMPULAN

    Berdasarkan seluruh uraian di atas, isi prasasti Kedukan Bukit dapat ditafsirkan sebagai berikut:

    Pada tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682) raja Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang naik perahu dari suatu tempat untuk bergabung dengan tentaranya yang baru saja menaklukkan Minanga (Binanga). Lalu pada tanggal 7 Jesta (19 Mei) Dapunta Hyang memimpin laskarnya meninggalkan Minanga untuk pulang ke ibukota. Mereka bersukacita karena pulang dengan membawa kemenangan. Mereka mendarat di Muka Upang, sebelah timur Palembang, lalu menuju ibukota. Kemudian pada tanggal 5 Asada (16 Juni) Dapunta Hyang menitahkan pembuatan sebuah wanua (bangunan) berupa wihara di ibukota sebagai manifestasi rasa syukur dan gembira.

    Boleh dipastikan bahwa pembuatan Taman Sriksetra pada tahun 606 Saka (684 Masehi), sebagaimana tercantum pada prasasti Talang Tuwo, masih merupakan rangkaian manifestasi rasa gembira akibat suksesnya siddhayatra (ekspedisi militer) dua tahun sebelumnya.

    Oleh karena isi prasasti Kedukan Bukit (juga prasasti Talang Tuwo) menceritakan peristiwa penting dalam perkembangan Kerajaan Sriwijaya, sudah sewajarnya prasasti itu ditempatkan di ibukota kerajaan. Dengan demikian, prasasti Kedukan Bukit memperkuat bukti bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya berlokasi di Palembang.

    Wallahu a`lam bish-shawab.


    CATATAN:

    [1] Philippus Samuel van Ronkel, “A Preliminary Notice Concerning Two Old Malay Inscriptions in Palembang”, Acta Orientalia, II, 1924, hh. 12-21.
    [2] Dalam tarikh Saka, satu bulan dibagi dua bagian: suklapaksa (paroterang, dari awal bulan sampai purnama) dan kresnapaksa (parogelap, dari purnama sampai akhir bulan). Masing-masing bagian berjumlah 15 hari. Jadi tarikh Saka tidak mengenal tanggal 16. Lihat: Johannes Gijsbertus de Casparis, Indonesian Chronology, E.J. Brill, Leiden/Koln, 1978, hh. 48-50.
    [3] Penyesuaian tarikh Saka ke tarikh Masehi diambil dari Louis-Charles Damais, “Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie”, BEFEO, tome 46, 1952, hh. 1-105.
    [4] George Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1968, h. 82.
    [5] Departemen P dan K, Sejarah Nasional Indonesia, II, Balai Pustaka, Jakarta, 1977, h. 53.
    [6] Buchari, “An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”, Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Jakarta, 1979, hh. 26-28.
    [7] Slametmulyana, “Perkembangan Penelitian Bahasa Nasional”, Research di Indonesia 1945-1965, Jilid IV, Departemen Urusan Research Nasional, Djakarta, 1965, hh. 131-132; Slametmulyana, Sriwidjaja, Nusa Indah, Ende, 1968, hh. 117-118.
    [8] Slametmulyana, “Srivijaya’s Territorial Expansion in the 7th and 8th Centuries”, Majalah Arkeologi, II(3), Universitas Indonesia, Jakarta, 1979, hh. 60-61; Slametmulyana, Dari Holotan ke Jayakarta, Idayu, Jakarta, 1980, hh. 27-28; Slametmulyana, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi, Idayu, Jakarta, 1981, hh. 73-74.
    [9] Kedua karya I-tsing masing-masing diterjemahkan oleh Junjiro Takakusu, A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London, 1896, dan oleh Edouard Chavannes, Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing, Ernest Leroux, Paris, 1894. Cuplikan uraian I-tsing juga terdapat dalam karya Gabriel Ferrand, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, 1922, Bab “Textes Chinois”, serta karya Paul Wheatley, The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur, 1961, Bab “Towards the Holy Land”. Kemudian Oliver William Wolters dalam bukunya Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, 1967, mengoreksi kekeliruan terjemahan Takakusu dan Chavannes.
    [10] Chavannes, h. 119; Ferrand, h. 4; Wheatley, hh. 41-42; Wolters, hh. 207-208.
    [11] Takakusu, h. 34; Wheatley, hh. 41-42; Wolters, hh. 227-228.
    [12] R.Pitono Hardjowardojo, Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Abad XIV, Bhratara, Djakarta, 1966, hh. 36-38.
    [13] Chavannes, h. 176; Ferrand, h. 6; Wolters, h. 226.
    [14] George Coedes, “Les Inscriptions Malaises de Crivijaya”, BEFEO, tome 30, 1930, hh. 29-80; Johannes Gijsbertus de Casparis, Prasasti Indonesia II, Dinas Purbakala Republik Indonesia, Masa Baru, Bandung, 1956, hh. 1-46.
    [15] J.L. Moens, “Crivijaya, Yava en Kataha”, TBG, deel 77, 1937, h. 340.
    [16] Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, ahli geografi Persia, mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanan Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia). Paul Wheatley, h. 219, menerjemahkan keterangan Al-Biruni: “The equator runs between Kedah and Srivijaya”.
    [17] R. Soekmono, “Tentang Lokalisasi Criwijaya”, Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Pertama, Jilid V, Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, Djakarta, 1958, hh. 243-264; serta “Geomorphology and the location of Criwijaya”, Madjalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, I(1), 1963, hh. 79-82.
    [18] Takakusu, h. 34; Coedes, The Indianized States, h. 81.
    [19] Wolters, h. 208. Kesimpulan yang sama dikemukakan oleh Coedes, 1968, h. 92.
    [20] Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, tome 4, 1904, h. 334.
    [21] Coedes, 1930, h. 77.
    [22] Van Ronkel, hh. 20-21.
    [23] J.G. de Casparis, 1956, hh. 14-15.
    [24] Poerbatjaraka, Riwajat Indonesia, I, Jajasan Pembangunan, Djakarta, 1952, h. 35.
    [25] J.G. de Casparis, 1956, h. 13. Lihat juga J.G. de Casparis, Indonesian Palaeography, E.J. Brill, Leiden/Koln, 1975, h. 26.
    [26] Pada pecahan prasasti A baris ke-16 yang ditemukan di Palembang terdapat kata muara. Lihat: J.G. de Casparis, 1956, h. 5.
    [27] Buchari, 1979, h. 28, mengatakan, “Memang di Batang Kuantan belum ditemukan peninggalan arkeologis. Tapi kan di sana belum diadakan penggalian? Siapa tahu nanti ada kejutan di sana.”
    [28] “Survay di Sumatera Utara”, Berita Penelitian Arkeologi, No. 4, 1976. 
    --------------------- 

    Literatur

    Taktik Menulis

    Banjarnegara