Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Tuesday, September 29, 2015

    Datangnya Islam ke Indonesia [catatan Nia Kurnia Sholihat Irfan]


    SUNGGUH merupakan sesuatu yang ironis bahwa Indonesia, yang kini memiliki umat Islam terbanyak di dunia, justru paling sedikit memiliki sumber-sumber sejarah tentang masuknya Islam ke negeri ini. Hal tersebut erat hubungannya dengan proses tersebarnya Islam ditanah air kita secara damai dan berangsur-angsur, serta umumnya penyebaran Islam itu dilakukan oleh para pedagang dan ulama yang jarang tercatat dalam sumber-sumber sejarah.[1] Di samping itu, terdapat kerancuan konseptual di kalangan sebagian ahli sejarah berupa pencampuradukan antara ‘kedatangan Islam’, ‘berkembangnya Islam’, dan ‘munculnya kerajaan Islam’.[2]


    Penelitian ulama-ulama terhadap hadits merupakan contoh yang tepat tentang bagaimana seharusnya kita meneliti dan mengkritisi sumber-sumber sejarah. Sebagaimana halnya proses klasifikasi hadits, sumber-sumber sejarah dapat diseleksi ke dalam beberapa kategori: sahih (sangat dapat dipercaya), hasan (baik, dapat dipercaya), dan da`if (diragukan, masih harus dikonfirmasikan dengan berita lain yang lebih dipercaya). Sumber sejarah yang sahih adalah prasasti-prasasti, yaitu sumber sejarah yang tertulis di atas batu atau logam.[3] Beritanya sangat dapat dipercaya, asalkan pembacaan prasasti itu tidak keliru. Tidak ada alasan bagi kita untuk meragukan pernyataan dalam prasasti. Sayangnya, jumlah prasasti yang menandai kedatangan Islam ke Nusantara dapat dihitung dengan jari, dan biasanya hanya berupa tulisan pada makam-makam kuno. Selain prasasti-prasasti, sumber sejarah yang banyak membantu penyusunan dan penulisan sejarah Nusantara adalah catatan musafir-musafir asing, terutama Cina, Arab, dan Eropa. Berita-berita asing ini merupakan sumber sejarah yang hasan, karena para musafir itu menyaksikan keadaan negeri-negeri di Nusantara dengan mata-kepala sendiri. Uraian-uraian mereka boleh dikatakan sumber berita dari tangan pertama sehingga cukup dapat dipercaya.[4]

    Cerita-cerita rakyat berupa hikayat, babad dan kakawin merupakan sumber sejarah yang da`if, karena fakta sejarah yang dikandungnya bercampur dengan dongeng dan mitos sehingga tidak dapat diterima begitu saja. Kebenaran beritanya masih harus dikonfirmasikan dengan sumber sejarah yang lebih kuat. Meskipun demikian, cerita-cerita rakyat itu tidak dapat diabaikan sebagai sumber sejarah. Pada hakikatnya dongeng itu sengaja ditambahkan untuk mengagungkan tokoh yang diceritakan. Misalnya, Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan bahwa Sultan Malik as-Saleh mempunyai nama kecil Merah Silu dan dilahirkan oleh seorang putri yang keluar dari pohon bambu. Tidak dapat dipastikan apakah nama kecilnya memang demikian, dan kisah putri dari pohon bambu itu sudah tentu dongeng semata. Namun tidak dapat disangkal bahwa Malik as-Saleh adalah tokoh sejarah, sebab ditemukan batu nisan yang menyebutkan namanya serta tahun wafatnya. Demikianlah hikayat itu disusun berdasarkan fakta-fakta sejarah yang pernah terjadi. Tugas para ahli sejarah adalah memisahkan mana yang fakta sejarah dan mana yang sekedar mitos.[5]


    Hubungan Nusantara dengan Timur Tengah

    Hubungan Nusantara, terutama Sumatera dan Jawa, dengan Timur Tengah telah berlangsung sejak zaman sebelum Islam. Sebuah naskah Yunani, Periplous tes Erythras Thalasses, yang ditulis tahun 70 M, sudah menyebutkan Sumatera dengan nama Chrysenesos (Pulau Emas).[6] Sejak zaman purba para pedagang dari kawasan Mediterrania sudah mendatangi tanah air kita. Di samping mencari emas, mereka mencari tumbuh-tumbuhan yang saat itu hanya dijumpai di Sumatera, yaitu kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica).[7] Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun ternyata sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sejak abad permulaan Masehi, sebagaimana hasil penelitian Dr. J. Innis Miller terhadap naskah Historia Naturalis karya Plinius di abad pertama Masehi.[8] Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari bahasa Arab, luban jawi, yang artinya “kemenyan Jawa”. Nama Latin untuk kapur barus, caphurae, berasal dari nama Arab, kafur, yang diambil dari kata Melayu, kapur. Seorang penyair Arab sebelum Islam, Amru al-Qais (wafat 530 Masehi), sangat memuji keharuman kafur dalam syair-syairnya.[9] Semua ini membuktikan bahwa barang-barang dari tanah air kita sudah dikenal oleh bangsa-bangsa di sekitar Laut Tengah, termasuk bangsa Arab, sejak zaman purba.

    Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-Raja) fasal 9, tercantum keterangan bahwa para pengikut raja negeri Tirus, Hiram, berlayar ke daerah Ophir untuk mencari emas, lalu Hiram mempersembahkan 420 talenta emas kepada raja Isra’il, Nabi Sulaiman a.s. Banyak ilmuwan yang berpendapat bahwa daerah Ophir terletak di Sumatera yang saat itu disebut Pulau Emas (Suwarnadwipa, diarabkan menjadi Suwarandib).[10] Juga dalam kitab Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ ayat 81, tercantum firman Allah bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardhi l-lati barak-Na fiha). Tidaklah mustahil bahwa tanah yang diberkati Allah itu adalah salah satu daerah Nusantara!

    Kini kita meninjau berita-berita Cina. Dua buah sumber sejarah yang menyinggung masalah kedatangan Islam ke Nusantara adalah Hsin-Tang-shu (Catatan Dinasti Tang, 618–907) serta Chu-fan-chi (Catatan Negeri-Negeri Asing) yang ditulis Chau Ju-kua tahun 1225.[11] Dua kronik Cina di atas banyak bercerita tentang Ta-shi, istilah Cina untuk menyebut Arab.[12] Pada tahun 651 Masehi, raja Ta-shi (Arab) bernama Han-mi-mo-mi-ni mengirimkan utusan ke istana Cina.[13] Boleh dipastikan bahwa nama ini adalah ucapan Cina untuk Amir al-Mu’minin, gelar resmi para khalifah Islam, dan “raja Ta-shi” yang mengirimkan utusan itu adalah Khalifah `Utsman ibn Affan yang memerintah dari tahun 644 sampai 656.

    Hsin-Tang-shu mencatat bahwa pada tahun 674 terdapat pemukiman pedagang Ta-shi (Arab) di Po-lu-shih, daerah pantai barat Sumatera.[14] Sebagian besar ahli sejarah berpendapat bahwa daerah yang dimaksudkan adalah Barus, penghasil kapur barus yang termasyhur itu.[15] Hsin-Tang-shu juga memberitakan bahwa pada tahun 674-675 raja Ta-shi mengirimkan utusan ke negeri Ho-ling yang terletak di pulau She-po.[16] Telah disepakati oleh para ahli sejarah bahwa “She-po” adalah transliterasi Cina dari nama Jawa.[17]

    Lokasi negeri Ho-ling serta nama asli negeri itu sampai kini masih diperdebatkan oleh para ahli sejarah. Yang jelas, negeri itu pasti terletak di Jawa.[18] Prof. Dr. Gabriel Ferrand berpendapat bahwa raja Ta-shi itu mungkin Mu`awiyah ibn Abi Sufyan, khalifah Bani Umayyah di Damaskus, sebab tahun pengiriman utusan ke Jawa itu bertepatan dengan masa pemerintahan Mu`awiyah (661–680).[19] Prof. Dr. Hamka juga berpendapat serupa, dengan alasan bahwa Mu`awiyah merupakan khalifah yang mula-mula mendirikan armada laut dan memiliki kegemaran mengirimkan penyelidik ke negeri-negeri lain.[20]

    Meskipun kedatangan utusan Mu`awiyah ke Jawa itu belum dapat kita jadikan titik-tolak masuknya Islam ke Indonesia, tidaklah dapat disangkal bahwa pada abad pertama Hijriyah negeri-negeri di Asia Tenggara telah ramai dikunjungi para pedagang dan musafir dari Timur Tengah, bahkan di setiap pelabuhan ada pemukiman para pedagang Muslim.[21] Ibnu Faqih yang mengunjungi Sriwijaya tahun 902 (290 H) menulis dalam Kitab al-Buldan: “Di Sriwijaya kita dapat mendengar bahasa Arab, Persia, Cina, India, dan Yunani, di samping bahasa pribuminya sendiri, Melayu”.[22] Para pedagang dan musafir Islam itu mungkin sempat mendakwahkan Islam kepada penduduk setempat, sebab setiap Muslim mempunyai kewajiban berdakwah menurut kemampuan masing-masing. Barangkali sejak abad ketujuh atau kedelapan, agama Islam telah dipeluk oleh sebagian kecil penduduk Nusantara, terutama di daerah pesisir yang berada pada jalur lalu lintas perdagangan. Prof.Dr.Thomas Walker Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, mengatakan: “It is impossible to fix the precise date of the Islam into the Malay Archipelago. It may have been carried by Arab traders in the early centuries of the Hijrah, long before we have any historical notices of such influences being at work. This supposition is rendered the more probable by the knowledge we have of the extencive commerce with the East carried on by the Arab from very early time.[23]


    Peureulak dan Samudera-PasaiNaskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian utara Sumatera dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan yang telah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 H atau 1211 M.[24]

    Chu-fan-chi, yang ditulis Chau Ju-kua tahun 1225, mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa.[25] Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Cina melalui laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam.[26]

    Pada akhir abad ke-13 kedaulatan Peureulak berakhir, digantikan oleh kesultanan yang lebih populer, yaitu Samudera-Pasai. Mengenai Samudera-Pasai para ahli sejarah tidak banyak berdebat. Di daerah Pasai terdapat makam sultan-sultannya yang dilengkapi batu nisan bertuliskan nama-nama sultan serta tahun wafat masing-masing. Sultan yang pertama adalah Malik as-Saleh yang wafat tahun 696 H (1297 M).[27]

    Kesultanan Samudera-Pasai juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah di Samudera pada tahun 1345. Ibn Batuthah bercerita bahwa Sultan Malik az-Zahir di negeri Samatrah menyambutnya dengan penuh keramahan. Menurut Ibn Batuthah, penduduk Samatrah (Samudera) menganut mazhab Syafi`i.[28] Informasi mengenai mazhab Syafi`i ini sangat penting, sebab membuktikan bahwa Islam di Indonesia berasal langsung dari Arab, bukan dari Gujarat atau daerah India lainnya yang bermazhab Hanafi! Perlu juga dicatat bahwa nama Samatrah dalam kitab Rihlah karya Ibn Batuthah ini kemudian disalin oleh Niccolo da Ponti dari Italia serta Antonio Pigafetta dari Portugis menjadi Sumatra, dan lama-kelamaan orang-orang Eropa menggunakan nama Sumatra untuk menyebutkan seluruh pulau.[29]


    Perkembangan Islam di JawaBukti historis mengenai keberadaan masyarakat Islam di Jawa baru terdapat pada abad ke-11. Di Leran, dekat Gresik, ditemukan batu nisan bertuliskan huruf Arab yang menerangkan wafatnya seseorang bernama Fatimah binti Maimun pada tanggal 7 Rajab 475 H.[30] Menurut tarikh Masehi, titimangsanya 2 Desember 1082.[31] Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Muslim sudah eksis di Jawa Timur pada zaman Kerajaan Kadiri (Panjalu). Menurut penelitian Prof.Dr.Sutjipto Wirjosuparto, beberapa kata Arab sudah dipakai dalam Kakawin Ghatotkacashraya gubahan Mpu Panuluh, pujangga Kadiri pada awal abad ke-12.[32]

    Menurut Chu-fan-chi (1225), negeri Pu-chia-lung (Panjalu) ramai dikunjungi para pedagang Muslim. Ketika menerjemahkan Chu-fan-chi, Friedrich Hirth dan William Woodville Rockhill dalam catatan kaki mengutip hasil penelitian John Crawfurd bahwa semua mata uang kuno yang ditemukan di pesisir utara Jawa Timur tertulis dalam huruf Arab.[33] Kenyataan ini menunjukkan aktivitas pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur.

    Pada abad ke-13 dan ke-14, masyarakat Islam di Jawa Timur makin berkembang. Pemakaman Muslim kuno di Tralaya (lokasi ibukota Majapahit) dipenuhi batu-batu nisan yang bertuliskan huruf Arab, dan banyak yang dilengkapi dengan kutipan ayat-ayat Al-Qur’an. Makam-makam kuno di Tralaya ini telah diteliti tahun-tahunnya oleh Prof. Dr. Louis-Charles Damais. Meskipun memakai huruf Arab, makam-makam itu umumnya menggunakan tarikh Saka. Hanya ada satu nisan yang bertarikh Hijriyah, yaitu 874 H. Terdapat tiga makam yang sezaman dengan raja Hayam Wuruk (memerintah 1350–1389), masing-masing bertarikh 1290, 1298 dan 1302 Saka (1368, 1376 dan 1380).[34] Fakta ini membuktikan bahwa agama Islam sudah dipeluk oleh sebagian penduduk ibukota Majapahit pada masa kerajaan Hindu itu mencapai kejayaannya.

    Sebuah makam bertarikh 1370 Saka (1448 M) dikenal masyarakat sebagai makam “Putri Cempa” yang beragama Islam dan permaisuri Brawijaya (singkatan dari Batara Wijaya, gelar umum raja-raja Majapahit). Tahun wafatnya Putri Cempa itu berada dalam masa pemerintahan raja Kertawijaya (1447–1451). Mungkin Putri Cempa tersebut adalah selir Kertawijaya, bukan permaisuri, sebab prasasti Waringin Pitu tahun 1369 Saka (1447 M) jelas menyebutkan bahwa permaisuri Kertawijaya adalah sepupunya sendiri, Jayeswari.[35]

    Di manakah letak “Cempa”, daerah asal sang putri? Banyak ahli sejarah yang mengatakannya di Champa, Kamboja. Tetapi penelitian Georges Maspero menunjukkan bahwa tidak ada bukti Islam pernah berkembang di Champa.[36] Besar kemungkinan daerah yang dimaksudkan adalah Jeumpa di Aceh, sebagaimana dikemukakan Dr. Gerret Pieter Rouffaer.[37] Menurut Babad Tanah Jawi, banyak putra Jawa yang menuntut ilmu agama Islam di Cempa (maguru agama rasul ring cempa nagari). Tidak dapat disangkal peranan Aceh pada abad ke-13 dan ke-14 sebagai pusat kegiatan dan penyebaran Islam.***


    Catatan:

    [1] Arnold Joseph Toynbee, Mankind and Mother Earth, London, 1978, h. 508, mencatat : “In continental and insular Southeast Asia, Islamic rule was not imposed by force of arms. Islam spread here through its voluntary adoption by native rulers and their subjects”.
    [2] Gerardus Willebrordus Joannes Drewes, “New Light on the Coming of Islam to Indonesia?”, BKI, 124, 1968, hh. 433-459.
    [3] Buchari, “Epigraphy and Indonesian Historiography”, dalam Soedjatmoko et al, An Introduction to Indonesian Historiography, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1965, hh. 47-73.
    [4] Tjan Tjoe Som, “Chinese Historical Sources and Historiography”, dalam Soedjatmoko et al, idem, hh. 194-205.
    [5] Hoesein Djajadiningrat, “Local Traditions and the Study of Indonesian History”, dalam Soedjatmoko et al, idem, hh. 74-85.
    [6] A. Christie, “An Obscure Passage from the Periplus”, BSOAS, 19, 1957, h. 345.
    [7] Gerald Randall Tibbetts, “Pre-Islamic Arabia and South-East Asia”, JMBRAS, 29, 1956, hh. 182-208.
    [8] J. Innis Miller, The Spice Trade of the Roman Empire, Oxford University Press, London, 1969, terutama Bab “The Cinnamon Route”.
    [9] Oliver William Wolters, Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1967, terutama Bab 8.
    [10] William Marsden, The History of Sumatra, Oxford University Press, Kuala Lumpur, cetak ulang 1975, h. 3.
    [11] Hsin-Tang-shu diterjemahkan oleh Paul Pelliot, “Deux Itineraires de Chine en Inde a la Fin du VIIIe Siecle”, BEFEO, 4, 1904, hh. 132-413. Chu-fan-chi diterjemahkan oleh Friedrich Hirth dan William Woodville Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled CHU-FAN-CHI, Imperial Academy of Sciences, St.Petersburg, 1911.
    [12] Chu-fan-chi menerangkan bahwa Ta-shi mempunyai seorang Buddha (maksudnya Nabi) yang bernama Ma-ha-mat (Muhammad). Dalam sehari mereka lima kali sembahyang, dan setiap tahun berpuasa selama sebulan penuh. Dinasti Ta-shi ada dua macam, yaitu white-robed Ta-shi (Arab berjubah putih) atau Pon-ni-mo-huan (Bani Marwan, atau Bani Umayyah), serta black-robed Ta-shi (Arab berjubah hitam) yang didirikan raja A-po-lo-pa (Abul-Abbas). Lihat: F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 114-124.
    [13] Berita ini tercantum dalam kronik Tung-tien buku 193 nomor 22b. Lihat: F.Hirth dan W.W.Rockhill, h. 119.
    [14] Paul Pelliot, h. 297. Lihat juga Willem Pieter Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bhratara, Jakarta, cetak ulang 1960, h. 14.
    [15] Satyawati Suleiman, Concise Ancient History of Indonesia, The Archaelogical Foundation, Jakarta, 1974, h. 16. Begitu populernya daerah Barus di zaman purba, sehingga negeri Barousai di Chryse Chora (Pulau Emas) tercatat dalam naskah Geographike Hyphegesis yang ditulis oleh ahli geografi Yunani abad kedua, Klaudios Ptolemaios (87–168). Lihat: W. J. van der Meulen, “Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos”, Indonesia, 18, October 1974, h. 1.
    [16] Paul Pelliot, h. 297.
    [17] Mengenai peralihan bunyi Jawa menjadi She-po, lihat Paul Pelliot, hh. 279-295, serta F. Hirth dan W.W.Rockhill, hh. 78-79.
    [18] Louis-Charles Damais berpendapat bahwa Ho-ling transliterasi dari Walaing, sedangkan W. J. van der Meulen menyarankan nama itu transliterasi dari Paryang (Dieng). Oliver W.Wolters menduga letak Ho-ling di Jawa Barat, dan Slametmulyana mencari lokasi Ho-ling di daerah Keling, lembah Kali Brantas. Tetapi semuanya sepakat bahwa Ho-ling harus dicari di Pulau Jawa.
    [19] Gabriel Ferrand, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, 1922, h. 37.
    [20] Hamka, Sedjarah Umat Islam, IV, Nusantara, Djakarta, 1961, h. 18.
    [21] Gabriel Ferrand, Relation de Voyages et Textes Geographique Arabes, Persans et Turks Relatifs a l’Extreme-Orient, dua jilid, Ernest Leroux, Paris, 1913-1914.
    [22] Gabriel Ferrand, Relation de Voyages ..., I, 1913, hh. 56-57.
    [23] Thomas Walker Arnold, The Preaching of Islam, Luzac, London, 1935, h. 363.
    [24] Teuku Iskandar, Hikayat Aceh, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1958. Suwedi Montana, “Nouvelles donees sur les royaumes de Aceh”, Archipel, 53, 1997, hh. 85-95.
    [25] F. Hirth dan W. W. Rockhill, h. 76.
    [26] Sir Henry Yule, The Book of Marco Polo, II, London, 1903, h. 284.
    [27] Jean Pierre Moquette, “De Oudste Vorsten van Samudra-Pase”, Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst, Batavia, 1913, hh. 1-12.
    [28] Gabriel Ferrand, Relation de Voyages ..., II, 1914, hh. 440-450.
    [29] Nicholaas Johannes Krom, “De Naam Sumatra”, BKI, 100, 1941.
    [30] Paul Ravaisse, “L’Inscription Coufique de Leran a Java”, TBG, 65, 1925, hh. 668-703.
    [31] Johannes Gijsbertus de Casparis, Indonesian Chronology, E.J. Brill, Leiden, 1978, h. 34.
    [32] Lihat tesis Prof.Dr.Sutjipto Wirjosuparto, Kakawin Ghatotkacashraya, Universitas Indonesia, 1960. Juga lihat: J. U. Nasution, “Manfaat Studi Bahasa dan Sastra Jawa Kuna Ditinjau dari Segi Sastra”, Majalah Sastra Horison, XI / 4, April 1976.
    [33] F. Hirth dan W.W.Rockhill, h. 75.
    [34] Louis-Charles Damais, “Etudes Javanaises: Les Tombes Musulmanes Datees de Tralaya”, BEFEO, 48, 1957, hh. 353-415.
    [35] Jacobus Noorduyn, “Majapahit in the Fifteenth Century”, BKI , 134, 1978, h. 212.
    [36] Georges Maspero, Le Royaume de Champa, Imprimerie Nationale, Paris, 1928.
    37 Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, IV, Leiden, 1899-1905, h. 205. 

    ______________