Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Wednesday, April 16, 2014

    Kedaton Wetan Dan Islam



    Ketika Sri Wikramawardhana bertahta di keraton Trowulan sebagai maharaja Majapahit, Bhre Wirabhumi II Aji Rajanatha bertahta di Blambangan sebagai maharaja Kedaton Timur, menggantikan sang kakek, Bhatara Parameswara Pamotan Wijayarajasa yang wafat 1388M. Naiknya Wikramawardhana menjadi pembenar bagi Bhre Wirabhumi II untuk secepatnya menduduki tahta Majapahit.  Sebagai putra kandung maharaja Majapahit Rajasanegara Hayam Wuruk, bhatara Aji Rajanatha merasa berhak atas tahta. 



    Maka yang terjadi kemudian semakin meruncing perseteruan, melunturkan persatuan keluarga Girindra Majapahit. Ada yang tegas mendukung Kedaton Barat, ada yang sebaliknya, dan ada pula yang bersikap diam. Seluruh keluarga Wijayarajasa yang tersisa, seperti Ratu Daha IV Indudewi, teguh setia mendukung perjuangan Aji Rajanatha. Sangat mungkin pula diikuti patih Daha Arya Panular.

    Arya Panular menjabat sebagai patih Daha menggantikan Gajahmada. Ia adik kandung pendiri Kedaton Timur Baginda Wengker Wijayarajasa. Kedudukan patih Daha Arya Panular sebagai adik kandung Baginda Wengker termuat dalam kakawin Negarakertagama. Keduanya merupakan putra Arya Bangah, adik Raden Wijaya.

    Aji Rajanatha merupakan salah satu anggota keluarga Girindra yang memiliki hubungan dekat dengan Islam. Pada waktu itu, Islam masih terbilang agama kecil atau minoritas. Tentunya Kedaton Timur yang ketika itu berposisi sebagai pemerintahan tandingan atau oposisi Majapahit, berjuang meraih dukungan dari beberapa kalangan minoritas. Hubungan ini kelak tersirat dari kunjungan pertama rombongan Laksamana Islam Tiongkok Cheng Ho ke Kedaton Timur di Blambangan. 
    .
    Berdasarkan penafsiran terhadap beberapa prasasti seperti Bilululuk II-IV dan prasasti Raden Saleh yang keluar sebelum 1400M, secara tersirat menggambarkan sengitnya persaingan dua keraton darah Girindra. Masing-masing seperti berlomba mengeluarkan anugerah prasasti atau surat pikukuh kepada daerah-daerah yang menjadi pendukungnya. Masing-masing bersaing memertahankan dan meluaskan wilayah kekuasaannya. Inilah masa perang dingin dalam keluarga Girindra Majapahit. Isi prasasti Biluluk II bertarikh 1391M berdasarkan terjemahan Muhammad Yamin:

    Ketahuilah para juru sekalian yang menguasai perdagangan atau segala macam usaha. Bahwa perkataanku ini untuk meneguhkan perintah sri paduka parameswara sang mokta ring wisnubhuwana. Terkait kebebasan semua keluarga di Biluluk, mengadakan usaha serba empat: berdagang membuat arak, memotong, mencuci, mewarna, memutar, dan membakar kapur, selanjutnya yang menjaga tanah perdikan seluruhnya, berusaha seba satu yaitu kebebasan dari segala macam pungutan bea cukai yaitu cukai padadah, pawiwaha, patatar, pasadran, byangkatan, palalandep, palalajer, pararajeg, pabata, pabale, parahab, pasusuk, mereka juga dibebaskan dari pungutan cukai pada hasil panen sahang, cabe, kapulaga, wesi, kuali wesi, pinggan, rotan penjalin, kapas. Maka mereka dibebaskan dari membayar tahil, mereka tidak dikenakan pungutan dari segala penghasilan itu yang biasanya tiap-tiap jiwa sebesar 500 setiap orangnya. Makadon anahasi parajuru hanagi kapepek irehana mareka kepadaku. Sedangkan semua keluarga, keponakan, kemenakan semua yang memahat di Biluluk dibebaskan juga dari membayar tahil. Meminta sangu pengisi kandi. Jika piagam raja ini sudah diberi cap dan dibacakan, semoga dapat dipatuhi segenap keluarga di Biluluk. Tertanggal kaliwon, bulan kedua tahun saka 1313.

    Dalam prasasti Biluluk II bertarikh 1391M tidak diketahui pasti siapa yang mengeluarkan perintah pencatatan prasasti. Yang pasti, prasasti ini bertujuan untuk meneguhkan anugerah dari Sri Paduka Parameswara sang mokta ring Wisnubhawana kepada penduduk Biluluk, daerah Lamongan. Sri Paduka Parameswara ini adalah baginda Wengker I Wijayarajasa, raja pertama Kedaton Timur, suami Ratu Daha Rajadewi Dyah Wiyat. Dalam Pararaton dikenal sebagai Bhatara Parameswara Pamotan yang wafat pada tahun 1388M, didarmakan di Manar, candi pendarmaannya bernama Wisnubhawanapura. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa yang mengeluarkan prasasti Biluluk 1391M adalah raja Kedaton Wetan Bhre Wirabhumi Aji Rajanatha. Penempatan prasasti di daerah Biluluk atau Lamongan, menunjukkan bahwa Kedaton Timur berupaya menguasai daerah di sekitar pesisir utara. Lamongan berada di dekat Tuban. Raja Kedaton Timur Aji Rajanatha masih mengeluarkan prasasti pada tahun 1395M yang dikenal sebagai prasasti Biluluk III:

    Ketahuilah kepada yang menerima pembayaran tahil dari tukang anda, dari mereka yang membantu tukang anda, yan dari mereka yang membeli latek, dan dari bermacam-macam pemungutan bea cukai lainnya, bahwa perintahku adalah supaya keluarga di Biluluk di Tanggulunan, dibebaskan dari pembayaran uang tahil pada anananda, hanandanu, lan hatuku latek, bebaskanlah, jauhkanlah dari penagihan tahil pada anananda, hanandanu, lan hatuku latek di daerah keluargaku di Biluluk dan di Tanggulunan, menyingkirlah dan datanglah kepadaku, janganlah dipersulit semua keluargaku di Biluluk dan di Tanggulunan, jika surat dari raja ini sudah dibaca, patuhilah para keluargaku di Biluluk. Tertanggal bulan jasta. Tahun saka 1317/1395M.

    Raja Kedaton Timur masih mengeluarkan prasasti Biluluk IV. Ini memunculkan dugaan bahwa daerah Biluluk di Lamongan dipandang sangat penting oleh Sri Bhatara Rajanatha. Dalam prasasti ini, raja Kedaton Timur kembali menegaskan sebagai pihak yang paling berwenang mengeluarkan anugerah perdikan kepada daerah Biluluk, Lamongan. Ditegaskan pula bahwa segala usaha dagang yang dilakukan para peranakan atau keturunan Tiongkok di pesisir utara mendapat perlindungan penuh dari raja Kedaton Timur. Para pejabat mahamentri katrini Majapahit dilarang memungut segala pajak kepada mereka. Dapat ditarik kesimpulan pihak Kedaton Timur berupaya mendapatkan dukungan dari daerah pesisir utara, terutama mereka penganut Islam. Pada waktu itu daerah pesisir utara sekitar Tuban, Lamongan dan Gresik banyak dihuni para pedagang Islam dari Arab, Campa, maupun Tiongkok. 

    Dalam beberapa karya sastra Jawa bernuansa Islam seperti Babad Tanah Jawa, pengabaran masa pertikaian antar keluarga Girindra, dipadu dengan sejarah awal kedatangan tokoh-tokoh Walisanga ke tanah Jawa Majapahit. Diberitakan bahwa kedatangan Maulana Malik Ibrahim ke kotaraja Majapahit bertepatan dengan suasana pertikaian antar keluarga keraton. Di antara para tokoh Walisanga lainnya yang dikenal dalam sejarah, Maulana Malik Ibrahim termasuk tokoh Walisanga yang pertama datang ke tanah Jawa. Menurut Babad Gresik, yang pertama datang ke Gresik adalah dua bersaudara keturunan Arab, Maulana Mahpur dan Maulana Malik Ibrahim. Keduanya datang bersama 40 orang pengiring. Rombongan itu dipimpin Sayid Yusuf Maghribi. Mereka datang ke tanah Jawa untuk berdagang sembari menyebarkan Islam. Berlabuh di Gresik pada sekitar 1371M. Rombongan itu datang ke keraton Majapahit, menghadap Prabhu Brawijaya, lalu mengabarkan kebenaran ajaran Islam. Sang raja menyambut baik kunjungan itu, namun belum berkeinginan menganut Islam. Sampai kemudian Prabhu Brawijaya mengangkat Maulana Malik Ibrahin sebagai pemimpin pelabuhan di Gresik dan diperbolehkan menyebarkan ajaran Islam dengan catatan tidak boleh ada pemaksaan.

    Beberapa sejarawan yang menulis sejarah Walisanga kerap menyimpulkan Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh pertama yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Analisa itu tentunya bersumber dari Drewes dalam New Light on the Coming of Islam to Indonesia yang menyimpulkan Maulana Malik Ibrahim sebagai salah seorang tokoh yang dianggap penyebar Islam tertua di Jawa. Ini jelas sangat menyesatkan sejarah Islam Nusantara. Mereka belum dapat membedakan antara kedatangan, perkembangan, dan pertumbuhan pemerintahan Islam di tanah Jawa. Jika Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, berarti agama Islam belum ada di tanah Jawa sebelum kedatangan Maulana Malik Ibrahim. Padahal, Islam sudah datang dan berkembang bahkan jauh sebelum Majapahit berdiri.

    Bahwa para tokoh Walisanga seperti Maulana Malik Ibrahim memang datang membawa Islam ke tanah Jawa, tetapi bukan sebagai yang pertama. Para Walisanga hanya melanjutkan segala yang telah dirintis para para pedagang Islam masa jauh sebelumnya. Beberapa catatan sejarah terkait Islam Nusantara menunjukkan, pada masa Panjalu dan Jenggala, Islam sudah berkembang di tanah Jawa. Beberapa makam Islam kuna seperti di Leran dan Kediri, merupakan bukti tak terbantahkan bahwa Islam tiba di tanah Jawa sebelum kedatangan para Walisanga. 

    Sementara lepas dari apakah Maulana Malik Ibrahim datang ke keraton Majapahit pada 1371M atau setelahnya, yang dapat dipastikan, tokoh tertua Walisanga ini datang ke tanah Jawa pada akhir pemerintahan Hayam Wuruk. Dan jika diberitakan datang pada saat Majapahit terjadi pertikaian antar keluarga keraton, berarti kedatangannya setelah muncul Kedaton Timur yang dibangun Baginda Wengker I Wijayarajasa Kudamerta pada sekitar 1376M, berdasarkan berita Pararaton yang menyebut pada tahun ini muncul ‘gunung baru’ yang dapat dimaknai sebagai munculnya pusat pemerintahan baru. 

    Jika benar datang setelah Majapahit ada dua keraton, bukan tidak mungkin pula rombongan Maulana Malik Ibrahim berkunjung ke Keraton Timur di Blambangan Wirabhumi. Pada saat itu berkembang pemukiman penduduk paranakan, istilah untuk menyebut keturunan campuran Jawa Tiongkok, di sekitar pesisir utara daerah Biluluk, Lamongan.  Pemukiman orang-orang Tiongkok keturunan ini mendapat perlindungan penuh dari pihak Kedaton Timur. Rombongan armada Islam Tiongkok pimpinan Laksamana Cheng Ho, datang pertama kali ke Majapahit di Kedaton Timur. Kemungkinan terjalinnya hubungan Maulana Malik Ibrahim dengan keraton Timur, berkaitan pula dengan berita kedekatan hubungan antara pihak Blambangan Wirabhumi dengan Maulana Ishak pada masa pemerintahan Maharani Suhita. 

    Lepas dari persoalan keraton mana yang dikunjungi Maulana Malik Ibrahim, yang pasti setelah wafat pada 8 April 1419M, tokoh tertua Walisanga ini dimakamkan di dusun Gapura, Gresik. Dan berita bahwa kegiatan penyebaran ajaran Islam yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim bertepatan dengan pertikaian keluarga Majapahit, ternyata masuk akal.

    Dapat pula dikatakan berita cerita babad yang mengabarkan setelah berkunjung ke keraton Majapahit, Maulana Malik Ibrahim mendapat tanah di sekitar Gresik, mengandung kebenaran. Dan sangat mungkin yang memberikan anugerah adalah raja Kedaton Timur. Kuatnya kemungkinan ini, selain tersirat dalam isi prasasti Bululuk II-IV, juga tersurat dalam prasasti Karang Bogem yang dikeluarkan seorang tokoh yang memiliki kekuasaan besar pada tahun 1387M atau dua tahun sebelum Hayam Wuruk Wafat. Pada tahun itu Raja Kedaton Timur, Baginda Wijayarajasa masih hidup. Suami Ratu Daha Dyah Wiyat ini dikenal juga sebagai Bhatara Parameswara Pamotan. Kedaton Timur berpusat di Balambangan Wirabhumi. Adanya penyebutan raja Kedaton Timur sebagai Bhatara Parameswara Pamotan menunjukkan bahwa Baginda Wijayarajasa ketika itu juga berkuasa di keraton Pamotan. Sebelumnya tidak dikenal ada keraton Pamotan di Majapahit. Berarti keraton ini dibangun pertama oleh Baginda Wijayarajasa untuk meluaskan wilayah Kedaton Timur. Pamotan berada di daerah Bangil, Pasuruan. Sangat mungkin wilayah kekuasaan ini mendesak ke arah Kahuripan dan Gresik. Kesimpulannya, Baginda Wijayarajasa juga pernah menguasai keraton Kahuripan. Ini juga dapat untuk menjelaskan mengapa setelah Ratu Kahuripan Tribhuwanatunggadewi wafat, beberapa tahun kemudian belum ada pengganti. Ratu Kahuripan Tribhuwanatunggadewi wafat pada tahun 1375M. Dalam tahun ini wafat pula Ratu Daha Dyah Wiyat, permaisuri Baginda Wijayarajasa. Kekuasaan Baginda Wijayarajasa atas pesisir Kahuripan dan Gresik, sangat mungkin terjadi lantaran tokoh sepuh yang sangat disegani di Majapahit yaitu  Baginda Tumapel Kertawardhana sudah wafat pada tahun 1386M. Meski belum tentu langsung menguasai setelah wafatnya Ratu Kahuripan, berdasarkan pembacaan prasasti bertarikh 1387M, dipastikan daerah pesisir mulai Pasuruan, Kahuripan Hujung Galuh, Gresik, sampai Lamongan, berada dalam kekuasaan Kedaton Timur Baginda Wijayarajasa.


    ==============
    SIWI SANG
    Reverensi:
    Buku Girindra:Pararaja Tumapel Majapahit
    buku Walisongo karya Agus Sunyoto
    Buku Tatanegara Madjapahit karya Muhammad Yamin



    [i] Keluarga Girindra Majapahit memiliki beberapa tokoh bergelar anumerta ‘Parameswara’, antara lain  Bhatara Parameswara Aji Ratnapangkaja, Bhatara Parameswara Kertawardhana, dan Bhatara Parameswara Pamotan Wijayarajasa.

    No comments:

    Post a Comment