Penyebutan Ken Arok sebagai
putra Dewa Brahma dalam Pararaton dan penyebutan Putra Girinata atau sang
girindratmasunu dalam kakawin Decawarnanna memiliki kesamaan makna bahwa
keduanya ingin mengatakan jika Ken Arok berdarah luhur atau berdarah raja penganut
Siwa yaitu raja Jenggala Sri Maharaja Girindra.
pada tahun Saka Lautan Dasa
Bulan, 1104 saka, ada raja perwira yuda, Putera Girinata. Konon kabarnya, lahir
di dunia tanpa ibu. Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda bakti.
Rangga Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan bijak. Daerah luas sebelah
timur Gunung Kawi terkenal subur makmur. Di situlah tempat putera sang Girinata
menunaikan darmanya. Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat, meneguhkan
Negara. Ibu Negara bernama Kutaraja, penduduknya sangat terganggu. Tahun Saka
Lautan Dadu Siwa, 1144 saka, beliau melawan raja Panjalu. Sang adiperwira
Kretajaya, putus sastra serta tatwopadesa. Kalah ketakutan, melarikan
diri ke dalam biara kecil. Semua pengawal dan perwira tentara yang tinggal,
mati terbunuh. Setelah kalah narapati Kediri, Jawa di dalam ketakutan.
Semua raja datang menyembah membawa tanda bakti hasil tanah. Bersatu Janggala
Panjalu dibawah kuasa satu raja sakti. Cikal bakal para raja agung yang akan
memerintah Pulau Jawa. Makin bertambah besar kuasa dan megah putera sang
Girinata. Terjamin keselamatan Pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun Saka
Muka Lautan Rudra, 1149 saka, beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di
Kagenengan bagai Siwa, di Usaha bagai Budha. [Terjemahan Slamet Muljana
PUPUH 40 kakawin Negarakertagama bait 1-5]
Sementara Pararaton meriwayatkan
Ken Arok sebagai putra Dewa Brahma. Penulis Pararaton sesungguhnya ingin
mengatakan bahwa Ken Arok merupakan putra raja yang lahir dari rahim jelata. Karena
itu menulis riwayat hubungan badan antara Dewa Brahma dengan Ken Endog. Bahwa
raja itu adalah Sri Maharaja Girindra penguasa Jenggala yang tersingkir dari
Kutaraja setelah penggempuran balik Panjalu pimpinan Senapati Tunggul Ametung
pada 1194M sebagaimana dipaparkan di awal. Sri Maharaja Girindra juga termasuk
ayah Sasi Kirana, permaisuri Sri Kameswara.
Pararaton menuturkan bahwa Ken Angrok titisan pemuda Desa Jiput, anak janda
Jiput, berperilaku buruk, doyan melanggar norma kesusilaan, yang setelah pergi
ke desa Bulalak, mengabdi kepada kepala desa bernama Mpu Topowangkeng, bersedia
menjadi korban pembangunan pintu gerbang asrama Mpu Topowangkeng, dengan
harapan dapat kembali ke sorganya dewa Wisnu dan menjelma kembali atau menitis
di dalam kelahiran mulia, hidup kembali ke alam tengah, menikmati tujuh
turunan, dan meminta dijelmakan di sebelah timur gunung Kawi. Keinginan pemuda
Jiput itu terwujud ketika Dewa Brahma menitipkan endog kepada istri Gajah Para
bernama Ken Endok. Setelah genap bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki dari
rahim Ken Endog. Anak itu kemudian dibuang di kuburan oleh Ken Endog.
Seterusnya ada seorang pencuri bernama Lembong yang tersesat dikuburan dan
melihat ada benda menyala dan setelah didekati ternyata sesosok bayi —jaman
dahulu, bayi hebat, bayi berdarah luhur, selalu dilambangkan dengan keluarnya
cahaya menyala. Kemudian bayi itu dibawa Lembong dan sejak saat itu hubungan
antara Ken Arok dengan ibu kandungnya terpisah.
Terpisahnya Ken Arok dengan ibu kandungnya, yang dalam Pararaton dikisahkan
dengan sikap Ken Endog membuang bayi ke kuburan lalu ditemukan dan diasuh
pencuri Lembong, haruslah dimaknai bahwa semasa bocah, Ken Arok meninggalkan
ibunya berkelana karena ingin mencari bapak kandungnya, yang menurut cerita
adalah raja Jenggala.
Tetapi ketika hendak ke Jenggala, terjadi peristiwa besar yaitu penyerbuan
pasukan Panjalu pada1194M. Pada waktu itu Ken Arok berusia sekitar 12 tahun.
Nasib Ken Arok menjadi sangat sengsara, mengembara dari satu tempat ke tempat
lain, mencari perlindungan beberapa tokoh lantaran diburu pihak kerajaan.
Pararaton mengisahkan perburuan atas Ken Arok lantaran ia bertingkah onar di
Tumapel.
Sesungguhnya perburuan itu terjadi lantaran pihak kerajaan Panjalu mengetahui
bahwa Ken Arok keturunan raja Jenggala yang dikhawatirkan bakal menjadi ancaman
di kelak kemudian hari, sehingga perlu ditangkap.
Kisah perburuan berakhir setelah Ken Arok mendapat perlindungan Pendeta
Lohgawe. Sang pendeta Siwa itu kemudian datang menemui Tunggul Ametung, meminta
supaya menerima Ken Arok sebagai salah satu abdinya. Tunggul Ametung mengiyakan
keinginan itu, mengampuni Ken Arok, menempatkannya sebagai pemimpin pasukan
pengawal.
Sementara Prapanca menulis bahwa pada tahun saka lautan dasa bulan, ada
raja perwira yudha, Sang Putra Girinata. Konon kabarnya lahir tanpa ibu. Semua
orang tunduk, sujud menyembah kaki sebagai tanda bakti. Ranggah Rajasa namanya,
penggempur musuh pahlawan bijak.
Kiranya yang dimaksud ‘konon
kabarnya lahir tanpa seorang ibu’ dalam Negarakertagama sebagaimana ditulis
Prapanca adalah kenyataan bahwa Ken Arok lahir tanpa diasuh ibu kandung sendiri
mirip kelahiran Basukarna yang dilarung Kunti dan terpaksa disusui dan diasuh
istri sang Radeya.
Meski demikian Prapanca juga
mengetahui riwayat Ken Arok sebagai keturunan raja Jenggala yang menganut Siwa.
Raja Jenggala menganut agama Siwa dan dikenal juga sebagai sang Girinata.
Karena itu Prapanca menyebut Ken Arok alias Ranggah Rajasa sebagai putra
Girinata. Ini menunjukkan kenyataan sejarah bahwa Ken Arok adalah putra raja
Jenggala.
Dugaan bahwa Ken Arok berdarah
raja semakin menguat oleh berita Pararaton yang menyebut Ken Arok putra Dewa
Brahma yang diambil anak oleh Dewa Siwa dan akhirnya pada dirinya menitis Dewa
Wisnu.
Dalam tubuh Ken Arok bersemayam
tiga Dewa utama, Brahma, Siwa, dan Wisnu. Tetapi ia lebih dikenal sebagai putra
Girinata atau putra Dewa Siwa. Tidak sembarangan sebutan mulia itu disematkan
kepada seseorang.
Sekali lagi penyebutan Ken Arok
sebagai putra Dewa Brahma dalam Pararaton dan penyebutan Putra Girinata atau
sang girindratmasunu dalam kakawin Decawarnanna memiliki kesamaan makna bahwa
keduanya ingin mengatakan jika Ken Arok berdarah luhur atau berdarah raja
penganut Siwa yaitu raja Jenggala Sri Maharaja Girindra.
Sampai kemudian Ken Arok
berupaya mengembalikan kejayaan darah leluhurnya. Rencana besar itu dimulai
dengan merebut tahta Tumapel dari Tunggul Ametung.
Tekad kuat Ken Arok membangkitkan kekuatan Jenggala ditulis Pararaton sebagai
keinginan kuat memiliki Ken Dedes, perempuan yang menurut pendeta Lohgawe
dianggap sebagai sosok ardanareswari, sosok yang bakal menurunkan raja-raja
besar tanah Jawa. Siapapun lelaki yang menikahinya pasti mendapat kemuliaan
hidup menjadi raja besar tanah Jawa.
Menurut Pararaton, setelah menjadi permaisuri Tunggul Ametung, Ken Dedes
hamil. Saat kehamilannya berusia tiga bulan, Ken Dedes pelesir bersama Tunggul
Ametung ke suatu taman. Ketika turun dari kereta kencana, tanpa sengaja kain
bagian bawah yang dikenakan Ken Dedes berkibar disibak angin taman, tanpa
sengaja terkuak betis pahanya, tersingkap bagian terlarang Ken Dedes.
Pemandangan itu terlihat Ken Arok, pemimpin pasukan pengawal yang kebetulan
mengiringi perjalanan Ken Dedes dan Tunggul Ametung. Ken Arok melihat cahaya
mencorong megah dari bagian terlarang Ken Dedes. Sekembalinya rombongan ke
Tumapel, Ken Arok segera menemui gurunya, Mpu Lohgawe, menceritakan
pengalamannya kepada pendeta Siwa dari tanah Hindu itu.
Sang Pendeta Siwa Mpu Lohgawe menerjemahkan cahaya yang dilihat muridnya
sebagai cahaya yang hanya khusus dimiliki sesosok perempuan Ardhanareswari.
”Ia perempuan paling utama, meskipun orang berdosa. Siapapun yang menikahi
perempuan Ardanareswari, akan menjadi maharaja.”
Ken Arok diam memikir sesuatu hingga kemudian kembali berkata, ”Bapa guru,
perempuan yang menyala rahasianya itu adalah istri sang akuwu Tunggul Ametung. Jika
demikian, saya akan melenyapkan sang akuwu dan mengambil istrinya itu. Saya
sanggup membunuhnya jika guru merestui.”
Keinginan Ken Arok untuk merebut
Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung sebenarnya bukan tujuan utama. Tujuan
utamanya adalah merebut kekuasaan dari tangan Tunggul Ametung. Jika penguasa
Tumapel terbunuh, dengan sendirinya Ken Dedes menjanda. Karena Ken Dedes
berparas jelita, sudah barang tentu Ken Arok berniat menjadikannya sebagai
permaisuri jika kelak berhasil menyingkirkan Tunggul Ametung. Penulis Pararaton
seakan menutup rencana perebutan kekuasaan itu dengan menampilkan kisah
tergodanya Ken Arok pada Ken Dedes. Ini merupakan watak sebuah prosa lama atau
penulisan cerita Jawakuna seperti legenda rakyat yang selalu menampilkan kisah
percintaan.
Akan tetapi itu tidak menghapus
kenyataan sejarah bahwa tokoh Ken Arok, Tunggul Ametung dan Ken Dedes
benar-benar ada meski tidak tertutup kemungkinan tiga tokoh itu memiliki nama
lain. Kenyataan sejarah lainnya adalah rencana Ken Arok menguasai Tumapel
dengan membunuh Tunggul Ametung. Rencana itu disampaikan kepada Pendeta Lohgawe.
”Ya,” jawab sang pendeta
Lohgawe. ”tentu matilah Tunggul Ametung olehmu. Hanya aku tak pantas memberi
restu atau mengijinkanmu, karena hal itu bukan sikap dan tindakan seorang
pendeta. Segalanya terserah padamu. Batasnya adalah kehendakmu sendiri.”
Jawaban pandita Lohgawe itu
mengandung makna merestui atau mendukung rencana Ken Arok merebut tahta dari
tangan Tunggul Ametung yang menganut agama Wisnu demi membangkitkan kembali
kekuatan Jenggala yang menganut agama Siwa.
Dalam kehidupan masyarakat pada
waktu itu, kaum pendeta merupakan perwujudan dari kekuatan rakyat. Dukungan
kaum pendeta yang merupakan kasta tertinggi sama artinya sebagai dukungan
rakyat. Pertemuan antara Ken Arok dengan Pendeta Lohgawe yang membicarakan
rencana penggulingan Tunggul Ametung harus dimaknai upaya Ken Arok sang putra
Brahma untuk mendapat dukungan kaum pendeta Siwa sebagai simbol mendapat
dukungan rakyat Jenggala yang menganut Siwa. Itu dilakukan Ken Arok setelah
dirinya mengabdi di Tumapel menjadi pemimpin pasukan pengawal, setelah merasa
memiliki pengaruh cukup besar dalam kesatuan keprajuritan Tumapel. Yang pertama
menyarankan Ken Arok mengabdi ke Tumapel sebagai prajurit Tunggul Ametung
adalah pendeta Lohgawe juga. Sejak awal sesungguhnya pendeta Lohgawe mengetahui
rencana besar Ken Arok membangkitkan kembali kejayaan Jenggala, membangkitkan
kembali kejayaan agama Siwa. Siasat yang pertama kali dijalankan adalah
menanamkan pengaruh dalam lingkungan keprajuritan Tumapel yang kelak digunakan
sebagai kekuatan pendukung utama untuk menjalankan rencana utamanya yaitu
menggempur Panjalu yang menganut agama Wisnu. Maka sekali lagi pendeta Lohgawe
merestui keinginan Ken Arok untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dari Tumapel
karena melihat saatnya sudah tiba bagi sang Putra Dewa Brahma.
Hanya Pararaton sepertinya ingin
menyelamatkan nama baik kaum pendeta Siwa dengan menyisipkan cerita tentang
keinginan Ken Arok untuk merebut Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung.
Pararaton ingin mengatakan bahwa merebut istri orang dilarang ajaran agama
Siwa. Karena itu Pendeta Lohgawe tidak merestui keinginan Ken Arok merebut Ken
Dedes dari tangan Tunggul Ametung.
Jadi yang tidak diresui sang
pendeta bukan rencana perebutan kekuasaan di Tumapel, melainkan perbuatan
merebut istri orang, yang dalam pandangan agama Pendeta Lohgawe sangat tercela,
sehingga tidak pantas bagi seorang pendeta merestui sikap perbuatan itu.
Adapun Pendeta Lohgawe merestui
rencana Ken Arok membunuh Tunggul Ametung karena di matanya sang putra Dewa
Brahma sangat layak melakukan itu lantaran mengambil apa yang menjadi hak
miliknya yaitu tahta Jenggala. Hal itu dihalalkan menurut pandangan kaum
pendeta meski dengan cara membunuh orang lain.
Terdorong keinginan kuat
memiliki sang ardanareswari supaya kelak menjadi maharaja tanah Jawa, setelah
menemui sang guru, Ken Arok pamit menuju desa Gebang Karuman, menemui ayah
angkatnya, Blandar Samparan yang pekerjaannya tukang judi. Setiba di Gebang
Karuman, Ken Arok menceritakan segala rencananya kepada ayah angkatnya itu.
”Bapa Bango,” katanya. ”saya
ingin menjadi maharaja. Tunggul Ametung akan saya lenyapkan. Istrinya akan saya
ambil. Saya ke sini minta dukungan persetujuan Bapa Bango. Saya telah meminta
persetujuan bapa pendeta Lohgawe tapi beliau malah tidak merestui dan
menyerahkan sepenuhnya kepada saja. Bapa Lohgawe mengatakan bahwa seorang
brahmana tidak dapat memberi persetujuan kepada orang yang berniat merebut
paksa istri orang lain. Itulah sebab mengapa saya ke sini menemui Bapa Bango.
Tunggul Ametung akan saya bunuh secara rahasia. Saya yakin dia mati ditangan
saya.”
Bango Samparan sangat sayang dan
cinta pada Ken Arok. Pertama kali ketemu dengan Ken Arok ketika dirinya sedang
ditimpa kesusahan, kalah besar dalam taruhan dengan seorang bandar judi dari
desanya. Ia ditagih supaya membayar semua uang taruhan dan meski sudah
dikeluarkan semua duitnya, masih banyak yang belum terbayar. Bango Samparan
harus menanggung utang pada bandar judi itu, membikin malu dan susah hatinya.
Setelah hari kekalahan itu Bango Samparan pergi ke suatu tempat keramat di
Rabut Jalu dan setelah beberapa hari bertapa, ia menerima wangsit gaib supaya
pulang ke Gebang Karuman karena sebentar lagi bakal datang seorang pemuda
bernama Ken Arok yang bakal sanggup mengubah nasib hidupnya, menjadi jagoan di
setiap medan perjudian. Dan benarlah segala petunjuk dewa itu. Bango Samparan
bertemu Ken Arok, lalu mengajaknya ke setiap medan perjudian. Ken Arok selalu
membawa keberuntungan di setiap perjudian yang dihadapi Bango Samparan.
Nasibnya berputar cepat dan sangat baik. Utang-utangnya dapat dilunasi.
Hidupnya berkelimpahan. Di saat-saat bahagia itu mendadak Ken Arok pergi tanpa
alasan jelas, membikin nasib bango Samparan menukik jatuh, kembali melarat,
selalu kalah judi. Demi melihat kedatangan Ken Arok yang sudah dianggap sebagai
anak sendiri, giranglah hati Bango Samparan. Maka demi mendengar penuturan Ken
Arok yang meminta persetujuan pada niatnya menghabisi Tunggul Ametung, serentak
Bango samparan merestui. Kemudian Bango Samparan yang juga kerap dipanggil
Blandar Samparan menyarankan supaya Ken Arok segera saja menemui seorang empu
sakti di desa Lulukambang bernama Empu Gandring.
”Tunggul Ametung sangat sakti,
kebal tusuk segala senjata. Harus menggunakan senjata sakti untuk membunuh
penguasa Tumapel itu. Satu-satunya jalan adalah menggunakan keris tempaan
Empu Gandring.”
Ken Arok mengikuti segala saran
ayah angkatnya. Menemui Empu Gandring, memesan sebilah keris paling ampuh.
Harus cepat selesai. Sebelum pergi dari hadapan sang empu, Ken Arok bilang
bakal datang ke Lulukambang lima bulan lagi mengambil keris pesanannya.
”Jangan lima bulan,” Empu
Gandring keberatan. ”Jika kamu mengingini keris seperti itu, kira-kira setahun
baru selesai menempanya.”
”Pokoknya aku menghendaki keris
pesananku selesai lima bulan!” Ken Arok kemudian pergi meninggalkan Empu
Gandring dan kembali lagi tepat lima bulan kemudian. Terkejut demi melihat
keris pesanannya masih setengah jadi. Serta-merta Ken Arok menghunus keris lalu
menikam sang empu. Sebelum hembusan napas terakhir Empu Gandring mengeluarkan
kutukan bahwa kelak Ken Arok setujuh turunannya bakal tewas termakan keris
gandring.
Sampai disini penulis Pararaton
sedang menyampaikan perihal hukum karma. Bahwa setiap perbuatan pasti mendapat
balasan.
Setelah segala siasat dirancang
matang, setelah mendapat hari baik, Ken Arok segera saja melancarkan aksinya,
menyingkirkan batu sandungan pertama, memusnahkan pemegang kekuasaan di
Tumapel, Adipati Tunggul Ametung.
Pararaton menulis ketika Ken
Arok mengawal Tunggul Ametung dan permaisurinya pelesir ke taman, usia
kehamilan Ken Dedes tiga bulan. Jika ditambah masa Ken Arok membunuh Empu
Gandring, tentu saja usia kehamilan itu 8 bulan lebih. Tetapi ketika pada
akhirnya Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes,
Pararaton menyebut usia kehamilan Ken Dedes masih 3 bulan.
Meski demikian Pararaton
menyampaikan kenyataan sejarah bahwa Ken Arok berhasil menduduki Tumapel
setelah membunuh Tunggul Ametung pada sekitar 1203M. Ken Arok menikahi Ken
Dedes dan kelak menobatkan diri sebagai raja Tumapel, kerajaan baru yang lepas
dari kekuasaan Panjalu Daha dengan mengambil nama abhiseka Sri Ranggah Rajasa
Sang Amurwabhumi dan menjadikan Kutaraja sebagai ibukota resmi kerajaan
Tumapel. Kenyataan sejarah lainnya yaitu Ken Dedes memiliki seorang putra hasil
perkawinan dengan Tunggul Ametung bernama Sang Panji Anengah Anusapati.
=============
SIWI SANG
No comments:
Post a Comment