Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Sunday, August 25, 2013

    ERLANGGA MEMBELAH NEGARA





    Sri Maharaja Erlangga memiliki istri permaisuri, putri sulung Maharaja Dharmawangsa Teguh, dan istri selir, putri sulung seorang Pandita Siwa. Sri Maharaja Erlangga sangat menyayangi keduanya.


    Setelah pralaya di istana Watan, Erlangga meninggalkan sang permaisuri Dewi Laksmi di asrama Wanagiri dalam keadaan belum hamil. Sampai kemudian Erlangga tiba di kaki gunung Penanggungan lalu menikahi putri pandita Siwa sebagai istri selir. Dari pernikahan ini lahirlah Mapanji Garasakan. Beberapa tahun kemudian, setelah membangun istana Watan Mas, Erlangga menjemput sang permaisuri, memboyong ke istana, dan kelak Dewi Laksmi melahirkan putri bernama Sri Sanggramawijaya dan putra bernama Sri Samarawijaya. Mapanji Garasakan putra tertua Erlangga.

    Ketika seorang raja memiliki keturunan dari permaisuri, keturunan dari istri selir harus memendam keinginannya sebagai putra mahkota. Dari paparan di atas dapat dipastikan bahwa Sri Sanggramawijaya berhak menyandang gelar putri mahkota Medang, calon pengganti Erlangga. Sri Sanggramawijaya adalah cucu Dharmawangsa Teguh, keturunan murni wangsa Isana yang didirikan Mpu Sindok. Meski lebih tua dari Sri Sanggramawijaya, Mapanji Garasakan tidak berhak menyandang jabatan Mahamentri i Hino. Merupakan keputusan tepat ketika Erlangga memberikan jabatan itu pada Sri Sanggramawijaya.
    Dalam tradisi pemerintahan kerajaan di tanah Jawa, sejak masa Medang i Bhumi Mataram sampai masa sebelum Singhasari, seorang Mahamentri i Hino berkedudukan sebagai putra mahkota yang kelak berhak menggantikan raja. Seperti Mpu Sindok yang sebelum menjadi raja di Jawatimur, menjabat sebagai Mahamentri i Hino pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa. Jabatan ini beda dengan jaman Singhasari hingga Majapahit, dimana Mahamentri i Hino sebatas gelar kehormatan bagi keluarga raja, tidak memiliki kekuasaan besar dalam pemerintahan dan tidak merupakan putra mahkota.
    Pada masa Singhasari dan Majapahit, terdapat kelompok mentri bernama Mahamentri Katrini, terdiri dari Mahamentri i Halu, Mahamentri i Sirikan, dan Mahamentri i Hino. Mahamentri i Halu dapat naik hingga menjadi Mahamentri i Hino. Keberadaannya hampir selalu dicantumkan dalam piagam kerajaan atau prasasti. Bertugas terutama membantu mengurusi pajak Negara. Dan hampir semua yang menyandang jabatan Mahamentri Katrini adalah keturunan raja dari istri selir. Dalam perkara menentukan kebijakan Negara, kekuasaannya di bawah seorang mahapatih, meski dalam tata urutan kepemerintahan ditempatkan tepat di bawah raja. Sejak masa Singhasari sampai Majapahit, tiga Mahamentri Katrini itu sekali lagi sebatas gelar kebangsawanan, sebatas mengangkat derajat para putra raja dari istri selir, beda ketika masa Erlangga, dimana kelompok Mahamentri Katrini berpeluang menjadi pengganti raja.
    Pada masa Erlangga tentu kelompok Mahamentri Katrini berjumlah tiga. Meski yang kerap ditulis dalam prasasti adalah Mahamentri i Hino -penyebutannya di bawah Sri Maharaja dan di atas Rakryan Kanuruhan- sangat mungkin terdapat pula Mahamentri i Halu dan Mahamentri i Sirikan. Ketika Sri Sanggramawijaya dinobatkan sebagai Mahamentri i Hino, kiranya Sri Samarawijaya menjabat sebagai Mahamentri i Sirikan, dan Mapanji Garasakan sebagai Mahamentri I Halu, sesuai benar urutan ini dalam adat tradisi kerajaan, dimana keluarga atau darah yang paling utama menempati posisi puncak.
    Dalam prasasti Cane Erlangga bergelar Sri Maharaja Rake Halu. Itu gelar pertama yang digunakan Erlangga sebelum kelak menggunakan gelar Sri Maharaja Sri Lokeswara. Besar kemungkinan setelah tiba di Jawa dan dijodohkan dengan Dewi Laksmi, Erlangga menjadi Mahamentri I Halu. Di atasnya tentu masih ada dua tokoh lagi yang menjabat sebagai Mahamentri i Sirikan dan Mahamentri i Hino. Posisi Erlangga sebagai Mahamentri I Halu pada masa Dharmawangsa, sama artinya dengan menempatkannya sebagai calon putra mahkota, sebagaimana yang juga terjadi pada Mapanji Garasakan.
    Mapanji Garasakan adalah putra selir. Mengapa Erlangga menempatkannya pada kelompok Mahamentri Katrini yang itu berarti memberi peluang bagi Mapanji Garasakan menduduki tahta kerajaan? Terasa di sini betapa besar pengaruh keluarga dari pihak Mapanji Garasakan yang merupakan keturunan pandita Siwa. Betapa keberadaannya terasa sangat penting di mata Erlangga. Hanya maharaja berjiwa besarlah yang suka menempatkan putra selirnya dalam barisan calon putra mahkota, yang memberi peluang besar menduduki tahta. Munculnya Mapanji Garasakan sebagai Mahamentri i Halu adalah kebijakan Erlangga yang ingin mengangkat putra selirnya. Erlangga sekali lagi menyayangi kedua istrinya, dan menyayangi semua putranya. Penempatan Mapanji Garasakan sebagai Mahamentri i Halu tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kakeknya.
    Kakek Mapanji Garasakan adalah tokoh yang sangat dihormati Erlangga. Mertua Erlangga ini berjasa besar menjayakan kembali kerajaan Medang. Dimulai pada 1009M, saat memanggil para pandita Siwa di Jawatimur, mengumpulkannya di kaki gunung Penanggungan, bermufakat mengangkat Erlangga sebagai raja penerus wangsa Isana. Sejak saat itu para pemuka agama Siwa mendukung pemerintahan Erlangga yang menganut Wisnu. Ketika Erlangga tersingkir dari Watan Mas, pandita Siwa ini berjasa pula mengantar Erlangga kembali ke singgasana. Seluruh keluarganya ikut berjuang bersama Erlangga. Mapanji Tumanggala, putra bungsu sang pandita, adalah salah seorang senapati Erlangga yang mengikuti setiap pertempuran penting dan berperan besar dalam penyerbuan atas Lodoyong pada penghujung 1032M. Karena itu sangat beralasan jika Erlangga menempatkan Mapanji Garasakan sebagai Rakryan Mahamentri i Halu, urutan ketiga dalam kelompok Mahamentri Katrini.
    Keberadaan susunan urutan jabatan Mahamentri Katrini dalam pemerintahan Erlangga patut dipaparkan karena kelak menjadi pertimbangan Erlangga ketika membelah kerajaannya. Kelompok Mahamentri Katrini dalam kerajaan Erlangga benar-benar ada dan berpeluang naik tahta. Kelak beberapa raja Panjalu maupun Jenggala membawa gelar Rakai Halu, Rakai Sirikan, maupun Rake Hino dalam gelar abhisekanya.
    Slamet Muljana dalam Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya menulis bahwa jabatan tertinggi sesudah Sri Maharaja Erlangga adalah Rakryan Mahamentri i Hino. Menurut Slamet Muljana yang ahli filologi ini, sejak 1021M, sebagaimana dinyatakan dalam Prasasti Cane, sampai 1035M seperti tertera dalam Prasasti Turun Hyang I, jabatan Rakryan Mahamentri i Hino dipegang Sri Sanggramawijaya Dharmaprasaddha Uttunggadewi, putri Erlangga dari perkawinannya dengan putri Raja Dharmawangsa. Setelah itu nama Sanggramawijaya Dharmaprasaddha Uttunggadewi tidak lagi tercantum dalam prasasti manapun. Slamet Muljana tidak mengetahui mengapa demikian, siapa yang menjadi penggantinya sebagai Rakryan mahamentri,  juga tidak diketahui. Baru diketahui pada 1041M ketika prasasti Pucangan menampilkan Rakryan Mahamentri i Hino baru bernama Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa. Namanya masih tercantum pada prasasti Pamwatan bertarikh 20 Nopember 1042M. Dan nama Samarawijaya sebagai Mahamentri i Hino tidak lagi tercantum pada prasasti Gandhakuti bertarikh 24 Nopember 1042M, padahal cuma berselisih 4 hari.
    Dalam prasasti Pamwatan, Erlangga masih menyebut dirinya sebagai Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Erlangga Ananta Wikramattunggadewa dan menyebut para pembesar kerajaan. Sementara pada prasasti Gandhakuti Erlangga menyebut sebagai Paduka Mpungku Sang Pinaka catraning Bhuwana dan tidak menyebut para pembesar kerajaan. Atas dasar itu pula Slamet Muljana mengambil kesimpulan bahwa Erlangga turun tahta antara tanggal 20 dan 24 Nopember 1042M. Jika demikian, masih menurutnya, pembelahan kerajaan Erlangga berlangsung antara tanggal 20 dan 24 Nopember 1042M juga. Sejauh mana kebenaran simpulan Slamet Muljana terkait mundurnya Erlangga dan pembelahan kerajaannya, akan diuraikan di belakang. Sekarang mengecek dulu kesimpulan Slamet Muljana yang mengatakan bahwa Sri Sanggramawijaya hanya menjabat Mahamentri i Hino sampai tahun 1035M.
    Prasasti Kamalagyan bertarikh 1037M bait 2 menulis: 

    “…maharaja rake hulu cri lokecwara dharmawanca Erlangganama prasodattunggadewa, tinadah rakryan mahamentri I hino cri sanggramawijaya peasodattunggadewi, umnisor I rakryan kanuruhan pu dharmmamantri narottamajanacura.”
    Slamet Muljana menyimpulkan Sri Sanggramawijaya menjadi Mahamentri i Hino hanya sampai 1035M atau pada sampai dikeluarkannya prasasti Turun Hyang I oleh Erlangga. 

    Besar kemungkinan Sri Sanggramawijaya menjabat sebagai Mahamentri i Hino sampai 1041M dan posisinya digantikan adiknya sebagaimana tercantum dalam prasasti Pucangan yang menampilkan Rakryan Mahamentri i Hino baru bernama Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa. 

    Sampai di sini dapat disimpulkan Sri Sanggramawijaya melepas jabatan Mahamentri i Hino antara sekitar tahun 1037M sampai 1041M.
    Babad Tanah Jawi menyebutkan putri mahkota Erlangga meninggalkan keraton menjalani hidup sebagai petapa bergelar Nyi Ageng Kilisuci. Banyak pendapat yang menyebutkan tempat pertapaan Nyi Ageng Kilisuci di goa Selomangleng di lereng gunung Wilis Kadiri maupun di Tulungagung. Nama Kilisuci sendiri tidak termuat dalam prasasti manapun yang dikeluarkan Erlangga maupun masa setelahnya. Jika disangkutkan dengan catatan prasasti Pucangan, kiranya yang dimaksud Kilisuci dalam Babad Tanah Jawi adalah Sri Sanggramawijaya Dharmaprasadha Uttunggadewi.
    Lalu di manakah ibukota kerajaan Erlangga ketika Sri Sanggramawijaya melepas jabatan sebagai Mahamentri i Hino? Apakah ketika masih di Kahuripan atau ketika sudah di Daha? Berdasarkan Prasasti Pucangan bertarikh 1041M, yang menjadi Mahamentri i Hino adalah Sri Samarawijaya. Sementara prasasti ini dikeluarkan ketika Erlangga masih beribukota di Kahuripan. Dengan kata lain Sri Sanggramawijaya melepas jabatannya di Kahuripan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setelah Sri Sanggramawijaya melepas jabatannya, Erlangga memindah ibukota kerajaannya. Atau setelah Sri Sanggramawijaya tidak lagi sebagai putra mahkota di Kahuripan, Erlangga meninggalkan keraton Kahuripan.
    Ketika Sri Sanggramawijaya tidak lagi sebagai Mahamentri I Hino, dengan sendirinya Sri Samarawijaya naik menjadi Mahamentri i Hino dan Mapanji Garasakan sebagai Mahamentri i Sirikan. Siapa yang pada 1041M menjadi Mahamentri i Halu mengganti posisi Garasakan? Jika melihat berita dalam prasasti Banjaran bertarikh 1052M, kiranya bakal diketahui siapa penggantinya. Pada 1052M, Mapanji Alanjung Ahyes naik tahta di Jenggala menggantikan Mapanji Garasakan. Prasasti Banjaran menyebutkan Alanjung Ahyes adalah keturunan Erlangga. Slamet Muljana kemudian menyimpulkan Alanjung Ahyes sebagai adik kandung Mapanji Garasakan. Jika dugaan itu benar, maka dapat dikatakan bahwa dari istri selir, Erlangga memiliki dua putra yaitu Mapanji Garasakan dan Alanjung Ahyes. Dengan demikian pada 1041M, Erlangga di Kahuripan juga mengangkat Alanjung Ahyes sebagai Mahamentri i Halu.
    Jadi pada 1041M susunan Mahamentri Katrini kerajaan Medang adalah: Mahamentri i Hino Sri Samarawijaya, Mahamentri i Sirikan Mapanji Garasakan, dan Mahamentri i Halu Alanjung Ahyes. Posisi tersebut bertahan sampai 20 Nopember 1042M, berdasarkan prasasti Pamwatan yang menulis Erlangga masih bergelar Sri Maharaja, Narottama masih sebagai Rakryan Kanuruhan, dan Sri Samarawijaya sebagai Mahamentri i Hino atau putra mahkota Medang.
    Beberapa bulan setelah mengeluarkan prasasti Pucangan, Erlangga memindahkan ibukota kerajaannya ke Daha. Tentunya keraton Daha sudah dibangun jauh sebelum tahun ini. Dengan kata lain, ketika Erlangga pindah dari Kahuripan, keraton Daha sudah layak ditempati sebagai sebuah ibukota kerajaan sebesar Medang.
    Untuk memusatkan perhatian kiranya perlu ditentukan berapa kira-kira usia para putra Erlangga pada 1041M. Sri Sanggramawijaya lahir sekitar 1014M. Ini berdasarkan keyakinan bahwa ketika dinobatkan sebagai Mahamentri i Hino pada 1021M berusia 7 tahun. Jadi pada 1041M berusia 27 tahun. Kiranya pada tahun itu sudah menikah. Dalam adat tradisi masyarakat Jawa masa itu, seorang gadis dikatakan perawan tua jika belum menikah ketika usia lewat 20 tahun. Adiknya, Sri Samarawijaya lahir sekitar 1018M, sehingga pada waktu diangkat sebagai putra mahkota berusia sekitar 23 tahun. Sementara Mapanji Garasakan lahir pada 1008M atau setahun sebelum Erlangga dinobatkan sebagai raja di kaki gunung Penanggungan, sehingga pada waktu diangkat sebagai mahamentri I Sirikan berusia sekitar 33 tahun. Pada tahun ini, Erlangga berusia sekitar 51 tahun —berdasarkan berita dalam Prasasti Pucangan yang menyebutkan ketika datang ke Jawa Erlangga berusia 16 tahun.
    Antara 1041M sampai 20 Nopember 1042M, atau semenjak masa akhir di Kahuripan sampai masa awal di Daha, Sri Maharaja Erlangga menghadapi persoalan pelik terkait kelangsungan hidup kerajaannya. Setelah susah payah membangun keraton baru di Daha, Erlangga harus menghadapi persoalan besar yang mengarah pada persaingan perebutan takhta antara kedua putranya, antara Mahamentri i Hino Sri Samarawijaya dengan Mahamentri i Sirikan Mapanji Garasakan. Jadi pembelahan kerajaan Medang Daha bukan lantaran keinginan Erlangga untuk menjadi petapa. Bukan lantaran Erlangga mengundurkan diri lalu membagi kerajaannya. Jika tidak terjadi kemelut dalam istana, sudah barang tentu segera menobatkan Sri Samarawijaya sebagai maharaja karena berdasarkan peraturan, yang berhak menggantikannya adalah Mahamentri i Hino.
    Telah diketahui bahwa Mapanji Garasakan lebih tua 10 tahun dari Sri Samarawijaya. Sebagai putra tertua, meski putra selir, Mapanji Garasakan memiliki keinginan kuat untuk segera menggantikan kedudukan ayahnya yang itu berarti menggusur posisi Sri Samarawijaya sebagai putra mahkota. Apalagi di belakangnya ada sang paman, Mapanji Tumanggala, senapati perang kerajaan Medang. Para pemuka agama Siwa di Jawatimur berada di belakang Mapanji Garasakan yang berkeinginan menjayakan agama Siwa, berkeinginan menjadi sang Girinata.
    Sementara Erlangga dan Sri Samarawijaya adalah penganut Wisnu. Melihat nama gelarnya, Sri Samarawijaya juga menganut Wisnu, agama besar yang dianut dan dikembangkan raja-raja wangsa Isana. Sebagai penganut Wisnu, Erlangga sangat menghormati semua agama besar yang ketika itu berkembang di tanah Jawa seperti Siwa dan Boddha.  Perselisihan tersembunyi di dalam keluarga Erlangga dengan cepat berubah ke arah perselisihan dua agama yaitu Wisnu dan Siwa. Para pemuka agama Wisnu dipihak Sri Samarawijaya dan para pemuka Siwa di belakang Mapanji Garasakan. Sementara itu, Sri Maharaja Erlangga sangat menyayangi kedua putranya, meski berasal dari rahim beda.
    Sampai kemudian untuk memecahkan persoalan, Erlangga memanggil sang mahaguru Mpu Bharada, pandita dari Alasanta atau Lemah Tulis yang menganut Boddha Mahayana. Serat Calonarang bertarikh 1540M, menguraikan bahwa Raja Erlangga kemudian mengutus Pandita Bharada ke Bali membawa pesan kepada Pandita Kuturan, supaya sudi menobatkan Mapanji Garasakan sebagai raja di Bali. Kepergian Mpu Bharada melalui selat Bali dengan menapak di atas daun kelewih. Akan tetapi Pandita Kuturan sudah menetapkan cucunya sebagai raja Bali, membikin Mpu Bharada pulang tangan hampa. Demikianlah pada akhirnya Sri Maharaja Erlangga memutuskan untuk membelah negaranya di Jawa untuk kedua puteranya yang sedang bermusuhan. Erlangga menyerahkan sepenuhnya pada Mpu Bharada.
    Maka setelah mendapat wewenang khusus dari Erlangga, Mpu Bharada segera menjalankan tugas berusaha mendamaikan kedua putra Erlangga, mengunjunginya bergantian, menasihati mereka supaya berhenti berperang. Dianjurkan supaya keduanya sudi menerima bagian yang telah mereka kuasai masing-masing. Jadi putera yang menguasai Panjalu, supaya tetap di Panjalu, akan dinobatkan sebagai Maharaja Panjalu. Demikian pula dengan putera yang menguasai Janggala. Barangsiapa membangkang, akan dikutuk sang pandita. Keduanya tunduk dan berjanji akan mematuhi nasihat sang pandita. Kemudian berlangsung pembelahan kerajaan Erlangga beserta penduduknya. Yang seorang menjadi raja di barat, yang seorang lagi di bagian timur.
    Selain dalam Serat Calon Arang, pembelahan kerajaan Erlangga termuat dalam beberapa sumber sejarah seperti Prasasti Mahaksyobhaya dan kakawin Negarakertagama. Dua sumber sejarah itu mengabarkannya secara pralambang yaitu kisah pengucuran air kendi oleh Mpu Bharada. Meski dengan versi berlainan, kisah pengucuran air kendi itu hakikatnya bermakna sama, yaitu penentuan batas wilayah kerajaan Panjalu dan Janggala. Dan meski kental nuansa dongeng, akan tetapi tidak menghilangkan kebenaran sejarah perihal kebijakan Erlangga membagi kerajaannya menjadi dua.
    Dalam Prasasti Mahaksobhya bertarikh 1289M yang dikeluarkan Raja Kertanagara, maharaja terakhir kerajaan Tumapel, menyebutkan bahwa pendeta agung Aryya Bharada mendapat tugas membelah pulau Jawa menjadi dua menggunakan air mancur dari kendi disertai kutuk bagi siapapun yang berani melintasi batas yang telah ditentukan. Lahirlah kerajaan Janggala yang sebelumnya bagian dari wilayah Panjalu. Pembelahan dilakukan demi kepentingan dua putra Erlangga yang saling bermusuhan. Slamet Muljana menyatakan bahwa pada jaman Raja Kertanagara, kutuk Aryya Bharada sudah tawar berkat upaya Sang Prabhu Jayawisnuwardhana yang berhasil menyatukan kembali Panjalu dan Janggala.
    Kesimpulan Slamet Muljana masih harus dicermati. Sang Prabhu Jayawisnuwardhana alias Seminingrat memang dikabarkan berhasil menyatukan Panjalu dan Janggala ke dalam Negara kesatuan Tumapel, sebagaimana termuat dalam Prasasti Mula Malurung bertarikh 1255M. Akan tetapi pernyataan bahwa kedua kerajaan warisan Erlangga itu telah bersatu, bukan berarti telah melunturkan atau menghilangkan kutukan Mpu Bharada. Janggala dan Panjalu pada masa Seminingrat memang bersatu, tetapi secara nyata, tanah Jawa belum seutuhnya dalam kekuasaan Tumapel. Ini terbukti dengan pernyataan Prapanca dalam Negarakertagama pupuh 68 yang menyebutkan tujuan pembangunan candi makam Sang Rajapatni di Bhayalangu adalah untuk memadukan tanah Jawa kembali atau menyatukan Panjalu dan Daha dalam naungan Majapahit. Sebelum candi di Bhayalangu dibangun, sebelum abu jenajah Sang Rajapatni ditanam di daerah kutukan Mpu Bharada, tanah Jawa belum dapat dikatakan padu.
    Pembelahan kerajaan Erlangga yang disimbolkan dengan kisah pengucuran air kendi Mpu Bharada juga termuat dalam kakawin Negarakertagama pupuh 68. Sebelumnya atau dalam pupuh 67 kakawin Negarakertagama karya Dang Acarya Samantabhadra alias Prapanca menulis pesta srada yang diselenggarakan keraton Majapahit serba meriah dan hikmat penuh penghormatan kepada mendiang Sang Rajapatni Dyah Gayatri. Perayaan yang membikin girang jiwa sri Rajapadni yang sudah mangkat. Semoga arwah Sang Rajapatni melimpahkan berkat kepada Sri Nata Rajasanagara supaya tetap jaya menghadapi para musuh selama masih ada bulan dan surya. Lodang lega rasa Baginda Prabu Rajasanagara menyaksikan perayaan berlangsung lancar tiada halangan. Tinggal menunggu karya yang belum rampung yaitu menyempurnakan candi makam Sri Rajapatni Dyah Gayatri di Kamal Pandak.
    “Inilah sejarah Kamal Pandak menurut tutur yang dapat dipercaya,” tulis Prapanca dalam pupuh 68 Negarakertagama. “Suatu ketika Sri Nata Panjalu Daha Maharaja Erlangga berkehendak membelah tanah Jawa lantaran cinta pada kedua putranya. Tersebutlah seorang pendeta Boddha Mahayana yang putus dalam kitab tantra dan yoga, bermukim di tengah kuburan Lemah Tulis, sosok yang senantiasa menjadi pelindung rakyat, ketika mengunjungi pulau Bali hanya berjalan kaki, tenang menapak permukaan lautan. Mpu Bharada namanya, sosok yang paham tiga jaman. Girang beliau menyambut permohonan Maharaja Erlangga supaya membelah Negara. Maka perbatasan Negara ditandai dengan air kendi yang mancur dari angkasa. Dari barat ke timur sampai lautan. Lalu dari utara ke selatan. Daerah selatan yang jaraknya tidak begitu jauh bagaikan terpisah samudera besar. Di daerah selatan itu sang pendeta turun dari angkasa, berhenti di atas pohon Kamal, berniat menaruh kendi suci di Desa Palungan untuk mengakhiri penentuan garis batas kerajaan. Tetapi sebelum menginjak tanah, sang pendeta murka lantaran jubahnya terkait puncak pohon kamal yang tumbuh menjulang tinggi. Mpu Barada terbang ke angkasa lagi lalu mengutuk pohon Kamal menjadi pandak atau kerdil. Itulah tugu batas gaib yang tidak boleh dimasuki kekuasaan Panjalu dan Janggala. Itulah sebab mengapa sekarang dibangun candi. Tujuannya supaya menyatukan tanah Jawa kembali. Dengan demikian semoga baginda prabu serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada, Berjaya memimpin Negara yang kini sudah kembali bersatu-padu”.
    Dalam pupuh selanjutnya Prapanca menyebutkan candi yang dibangun di Kamal Pandak bernama candi Prajnaparamitapuri atau candi Wisesapura, candi makam bagi Sang Rajapatni Dyah Gayatri. Candi makam di Bayalangu ini kesohor sebagai tempat keramat, tiap bulan badrapada disekar para pembesar kerajaan dan para pendeta.
    Dongeng pembelahan negara sebagaimana dalam kakawin Negarakertagama mengandung makna pralambang. Perikehidupan orang Jawa masalampau kental dengan ibarat dan lambang. Ketika bermaksud menyampaikan sesuatu perkara atau masalah yang sekiranya bersinggungan dengan pihak penguasa atau negara, orang Jawa selalu menyampaikannya dengan bahasa lambang atau ibarat. Kejadian-kejadian sejarah yang benar-benar terjadi pada masasilam diterangkan pada para anak keturunannya melalui kisah ibarat, bukan menyampaikan secara apa adanya.
    Ketika membaca beberapa hasil karya sastra para pujangga Jawa baik tulisan maupun lisan, seyogyanya harus memahami watak asli tersebut. Peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi kerap kemudian kelihatan seperti dongengan tidak masuk akal lantaran sudah banyak dibumbui perkara-perkara gaib, diselimuti kejadian-kejadian gaib tidak masuk akal yang bertujuan meluhurkan atau membesarkan para tokoh yang sedang diceritakan atau diungkapkan. Salah sebuah contoh yaitu kisah terbangnya Mpu Bharada saat bertugas membelah negara, sosok yang juga diriwayatkan sanggup mengunjungi pulau Bali hanya dengan menapak di atas permukaan laut.
    Kiranya tidak begitu kehebatan Mpu Bharada. Meski orang jaman dahulu dikenal sakti-sakti, kucuran air kendi tidak bakal menjadi aliran sungai Leksa di timur gunung Kelud. Tanpa perahu, Mpu Barada juga sulit mengunjungi pulau Bali. Sekali lagi watak tabiat penulisan atau pengisahan babad, legenda, dongengan Jawakuna banyak makna tersiratnya, banyak lambang dan ibaratnya.
    Mpu Barada mengutuki pohon asem yang menyangkuti jubahnya sebagaimana dikisahkan Prapanca dalam kakawin Decawarnnana, bukan benar-benar terjadi peristiwa penyangkutan jubah sang pandita pada ujung pohon asem atau kamal di daerah palungan. Bukan benar-benar terjadi pengutukan supaya pohon kamal menjadi pandak hingga kelak daerah itu dinamakan Kamal Pandak, pohon kamal kerdil. Bukan pula benar-benar terjadi peristiwa pengucuran air kendi dari angkasa oleh Mpu Barada sebagai garis pemisah Panjalu dan Janggala.
    Dongeng tersangkutnya jubah Mpu Barada pada pohon asem alas atau pohon kamal mengandung arti Mpu Barada mendapat rintangan besar ketika melakukan pembelahan Negara, sehingga tugasnya tidak sempurna. Ada sebuah daerah yang tidak berhasil dijangkau atau tidak mau tunduk pada kekuasaan Panjalu maupun Janggala. Karena itu Mpu Bharada yang hampir selesai menentukan daerah-daerah mana saja yang masuk kekuasaan Panjalu dan daerah-daerah mana yang masuk wilayah Janggala menjadi murka pada penolakan penguasa daerah brang kidul yang ingin menjadi wilayah merdeka. Padahal daerah itu digolongkan sebagai daerah berkedudukan lebih rendah dari daerah sekitar -dilambangkan sebagai daerah palungan atau cekungan. Di sini maksud daerah palungan sesungguhnya adalah daerah yang memiliki derajat atau menganut agama lebih rendah ketimbang Panjalu dan Janggala. Daerah itu memutuskan berdiri sendiri, serupa berdiri tinggi menjulangnya pohon kamal di tanah cekungan melebihi ketinggian pohon-pohon lain di tanah lebih tinggi. Daerah palungan melawan kekuatan atau kehendak Mpu Barada. Sikap itu dapat diartikan melawan kekuasaan kerajaan.
    Tetapi Mpu Barada tidak sanggup menaklukkan kekuatan brang kidul. Meski demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan kesepakatan dua belah pihak. Terjadi perjanjian antara Mpu Barada dengan penguasa brang kidul. Hasil kesepakatannya bahwa sejak saat itu brang kidul menjadi daerah merdeka, bukan bawahan Panjalu maupun Janggala, dengan syarat harus menghormati kekuasaan Panjalu dan Janggala. Sang pandita mengabarkan kemerdekaan brang kidul ibarat tugu gaib ujung batas sebelah selatan yang tidak boleh dilintasi Panjalu dan Janggala. Kutukan Mpu Barada kepada pohon kamal supaya berubah kecil atau pandak mengandung makna supaya ketinggian dan kekokohan brang kidul mengecil lalu lenyap sehingga yang berkuasa di tanah Jawa hanya Panjalu dan Janggala, kerajaan yang dibangun Maharaja Erlangga.
    Sekali lagi kisah tersangkutnya jubah Mpu Barada dan dikutuknya pohon asem adalah kisah pralambang bahwa pekerjaan sang pandita mendapat halangan berat, sampai bersupata. Seorang pandita sampai bersupata menandakan ada sesuatu yang sangat dibenci. Seorang pandita tidak sembarangan mengeluarkan supata atau kutukan karena sabda pandita ratu tan kena wela-wela. Mpu Barada mengeluarkan kutukan kepada pohon asem yang menyangkuti ujung jubahnya mengandung makna bahwa ada kekuatan di daerah tempat tumbuhnya pohon itu yang menentang atau menghalangi pekerjaan sang pandita. Pembelahan Negara berjalan tidak sempurna karena ada wilayah yang tidak mampu dijangkau atau tidak mau mengikuti kebijakan negara. Lalu sang pandita mengabarkan bahwa daerah Kamal Pandak bebas dari kekuasaan Panjalu dan Jenggala, diibaratkan sebagai tugu batas gaib yang tidak boleh dilintasi Samarawijaya dan Garasakan. Kekuasaan Panjalu dan Jenggala tidak boleh mengusik brang kidul, selatan Brantas, tlatah Lodoyong, kalau tidak ingin diusik balik seperti pada 1032M, saat kekuatan Lodoyong melahap Watan Mas, istana Sri Maharaja Erlangga di gunung Penanggungan.
    Demikianlah, pembelahan negara yang dilakukan Mpu Barada berjalan kurang sempurna. Ada satu daerah di selatan sungai Brantas yang berdiri sendiri, tidak termasuk bagian Panjalu yang dipimpin Samarawijaya, maupun Janggala yang dirajai Mapanji Garasakan.
    Dalam prasasti Pamwatan bertarikh 20 Nopember 1042, Erlangga masih bergelar Maharaja, sementara pada prasasti Gandhakuti bertarikh 24 Nopember 1042, Erlangga sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana yang artinya Raja Pandita Sang Pelindung Jagat. Berdasarkan dua sumber itu, banyak sejarawan, termasuk Slamet Muljana, menyimpulkan peristiwa pembelahan kerajaan dilakukan antara dua tanggal tersebut. 
    Kiranya para ahli sejarah kurang teliti membaca dua berita tersebut. Terkecoh kisah pengucuran air kendi Mpu Bharada. Tugas pembelahan kerajaan atau menentukan daerah-daerah mana yang masuk kekuasaan Panjalu maupun mana yang masuk kekuasaan Janggala, bukan perkara pengucuran air kendi oleh Mpu Bharada dari angkasa. Jika semata pengucuran itu, jika memang Mpu Bharada mampu melesat terbang di angkasa, tentu tugas Negara yang diemban sang pandita selesai tidak sampai sehari.
    Peristiwa pembelahan kerajaan Erlangga yang dilakukan Mpu Bharada, berlangsung setidaknya hampir setahun, setelah keluarnya prasasti Pucangan 1041M sampai keluarnya prasasti Pamwatan 20 Nopember 1042M. Dalam rentang waktu itu Mpu Bharada ditemani Rakryan Kanuruhan Narottama terlebih dulu berkunjung ke Bali, menyampaikan pesan Erlangga kepada Raja Pandita Kuturan. Dalam prasasti manapun tidak dikenal tokoh bernama Pandita Kuturan. Yang dimaksud Serat Calon Arang  sebagai Pandita Kuturan barangkali Sri Dharmawangsawardhana Marakata Pangkaja Sthana Uttunggadewa, adik Erlangga yang bertahta di Bali sejak 1022M sampai 1049M dan digantikan Anak Wungsu.
    Erlangga mencoba mengambil kembali hak atas tanah Bali yang sudah jatuh ke tangan adiknya. Rencananya tanah Bali bakal ditempati Mapanji Garasakan. Akan tetapi Marakata Pangkaja jelas menolak rencana Erlangga. Dan Mpu Bharada serta Narottama yang menjadi duta Erlangga tidak dapat berbuat banyak di tanah Bali. Apa upaya Erlangga menempatkan salah satu putranya mengandung makna bahwa Erlangga sesungguhnya berniat mengadakan penaklukan atas kerajaan yang dipimpin adik kandungnya? Meski bersaudara, tentunya Erlangga mengerti bahwa upaya meminta hak tahta kepada adiknya di Bali bakal sia-sia. Secara resmi Marakata Pangkaja sudah dinobatkan sebagai raja Bali dan itu tidak dapat diganggu gugat. Dalam catatan sejarah, tak ada raja yang menyerahkan kekuasaannya secara cuma-cuma. Cerita keberangkatan Mpu Bharada ke tanah Bali membawa pesan Erlangga sangat mungkin mengandung makna tersirat yaitu adanya peristiwa penaklukkan Erlangga atas tanah Bali yang akhirnya gagal setelah mendapat perlawanan dari Pandita Kuturan.
    Sekembali dari Bali, Mpu Bharada dan Narottama menghadap Erlangga dan langsung mendapat tugas berat, membelah Negara. Kemudian keduanya berkeliling kerajaan, mengunjungi kerajaan-kerajaan bawahan Medang, mengatur mana-mana yang bakal dimasukkan dalam kekuasaan Panjalu dan mana yang masuk dalam wilayah Jenggala. Mpu Bharada kemudian menetapkan garis batas alam yaitu deretan pegunungan mulai dari gunung Welirang ke selatan mengikuti jalur pegunungan Kawi sampai selatan Brantas ke arah segara kidul. Kiranya sebagaimana yang telah diuraikan di awal bahwa wilayah Jenggala berada di timur gunung Kawi sementara Panjalu berada di barat gunung Kawi. Pusat pemerintahan Jenggala tidak di Kahuripan. Kiranya keraton yang pernah ditinggalkan Erlangga itu memiliki suatu masalah besar dan tidak memungkinkan dijadikan ibukota Jenggala. Jika mengikuti konsep bahwa Jenggala di timur gunung Kawi, maka yang memungkinkan sebagai ibukota Jenggala adalah di sekitar Kutaraja yang kelak menjadi cikal kerajaan Tumapel. Sementara pusat pemerintahan Panjalu terletak di Daha atau di timur sungai Brantas.
    Babad Tanah Jawi gubahan Van Rijckevorsel bagian tiga menyebutkan pembelahan kerajaan Erlangga: Karsané Sang Prabu besuk ing sapengkeré kang gumanti jumeneng Nata putrané loro pisan, mulané kratoné banjur diparo: Jenggala -sabageyaning: Surabaya sarta Pasuruwan- lan Kedhiri. Déné kang minangka watesé: pager témbok kang sinebut "Pinggir Raksa", wiwit saka puncaking Gunung Kawi, mangisor, nurut kali Leksa banjur urut ing brangloré kali Brantas saka wétan mangulon tekan ing désa kang saiki aran "Juga", nuli munggah mangidul, terusé kira kira nganti tumeka ing pasisir. Gugur-gugurané tembok iku saiki isih ana tilasé, kayata ing sacedhaking kali Leksa, sakulon lan sakiduling kali Brantas, ing watesing Malang lan Blitar.
    Setelah Panjalu dan Janggala terbentuk, Maharaja Erlangga meninggalkan segala kemegahan dunia, menyepi jalani hidup para resi utama, berupaya unggul menarungi hawa napsu, bercita-cita sebagai pahlawan tapabrata, seiring harapan semoga kedua putranya tampil sebagai raja-raja utama, pengayom para kawulanya, pencetak para narendra utama pula. Menurut Serat Calonarang, Erlangga bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sementara berdasarkan Babad Tanah Jawi bergelar Resi Gentayu. Menurut prasasti Gandhakuti bertarikh 24 Nopember 1042M yang menyebut Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana sebagai gelar kepanditaan Erlangga. Tiga sumber sejarah itu meski beda penyebutannya, namun memiliki kesamaan pemahaman bahwa Erlangga di akhir pemerintahannya mengundurkan diri dari keraton, menjalani hidup sebagai pandita.
    Prasasti Sumengka bertarikh 1059M memberitakan bahwa Resi Aji Paduka Mpungku didarmakan di tirta atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah candi Belahan di lereng gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai sepasang sosok dewi. Prasasti Pucangan menyebut Erlangga sebagai penganut teguh agama Wisnu. Kiranya tiga patung tersebut merupakan perwujudan Raja Erlangga bersama dua istrinya, atau ibu Samarawijaya dan Garasakan.  


    =============

    SIWI SANG