Sri Maharaja Erlangga memiliki istri permaisuri, putri sulung Maharaja Dharmawangsa Teguh, dan istri selir, putri sulung seorang Pandita Siwa. Sri Maharaja Erlangga sangat menyayangi keduanya.
Setelah pralaya di istana Watan, Erlangga meninggalkan sang permaisuri Dewi Laksmi di asrama Wanagiri dalam keadaan belum hamil. Sampai kemudian Erlangga tiba di kaki gunung Penanggungan lalu menikahi putri pandita Siwa sebagai istri selir. Dari pernikahan ini lahirlah Mapanji Garasakan. Beberapa tahun kemudian, setelah membangun istana Watan Mas, Erlangga menjemput sang permaisuri, memboyong ke istana, dan kelak Dewi Laksmi melahirkan putri bernama Sri Sanggramawijaya dan putra bernama Sri Samarawijaya. Mapanji Garasakan putra tertua Erlangga.
Ketika seorang raja memiliki keturunan dari permaisuri, keturunan dari istri selir harus memendam keinginannya sebagai putra mahkota. Dari paparan di atas dapat dipastikan bahwa Sri Sanggramawijaya berhak menyandang gelar putri mahkota Medang, calon pengganti Erlangga. Sri Sanggramawijaya adalah cucu Dharmawangsa Teguh, keturunan murni wangsa Isana yang didirikan Mpu Sindok. Meski lebih tua dari Sri Sanggramawijaya, Mapanji Garasakan tidak berhak menyandang jabatan Mahamentri i Hino. Merupakan keputusan tepat ketika Erlangga memberikan jabatan itu pada Sri Sanggramawijaya.
Dalam tradisi pemerintahan kerajaan di tanah Jawa, sejak masa Medang i
Bhumi Mataram sampai masa sebelum Singhasari, seorang Mahamentri i Hino
berkedudukan sebagai putra mahkota yang kelak berhak menggantikan raja. Seperti
Mpu Sindok yang sebelum menjadi raja di Jawatimur, menjabat sebagai Mahamentri
i Hino pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa. Jabatan ini beda dengan jaman
Singhasari hingga Majapahit, dimana Mahamentri i Hino sebatas gelar kehormatan
bagi keluarga raja, tidak memiliki kekuasaan besar dalam pemerintahan dan tidak
merupakan putra mahkota.
Pada masa Singhasari dan Majapahit, terdapat kelompok mentri bernama
Mahamentri Katrini, terdiri dari Mahamentri i Halu, Mahamentri i Sirikan, dan
Mahamentri i Hino. Mahamentri i Halu dapat naik hingga menjadi Mahamentri i
Hino. Keberadaannya hampir selalu dicantumkan dalam piagam kerajaan atau
prasasti. Bertugas terutama membantu mengurusi pajak Negara. Dan hampir semua
yang menyandang jabatan Mahamentri Katrini adalah keturunan raja dari istri
selir. Dalam perkara menentukan kebijakan Negara, kekuasaannya di bawah seorang
mahapatih, meski dalam tata urutan kepemerintahan ditempatkan tepat di bawah
raja. Sejak masa Singhasari sampai Majapahit, tiga Mahamentri Katrini itu
sekali lagi sebatas gelar kebangsawanan, sebatas mengangkat derajat para putra
raja dari istri selir, beda ketika masa Erlangga, dimana kelompok Mahamentri
Katrini berpeluang menjadi pengganti raja.
Pada masa Erlangga tentu kelompok Mahamentri Katrini berjumlah tiga.
Meski yang kerap ditulis dalam prasasti adalah Mahamentri i Hino -penyebutannya
di bawah Sri Maharaja dan di atas Rakryan Kanuruhan- sangat mungkin terdapat
pula Mahamentri i Halu dan Mahamentri i Sirikan. Ketika Sri Sanggramawijaya
dinobatkan sebagai Mahamentri i Hino, kiranya Sri Samarawijaya menjabat sebagai
Mahamentri i Sirikan, dan Mapanji Garasakan sebagai Mahamentri I Halu, sesuai
benar urutan ini dalam adat tradisi kerajaan, dimana keluarga atau darah yang
paling utama menempati posisi puncak.
Dalam prasasti Cane Erlangga bergelar Sri Maharaja Rake Halu. Itu gelar
pertama yang digunakan Erlangga sebelum kelak menggunakan gelar Sri Maharaja
Sri Lokeswara. Besar kemungkinan setelah tiba di Jawa dan dijodohkan dengan
Dewi Laksmi, Erlangga menjadi Mahamentri I Halu. Di atasnya tentu masih ada dua
tokoh lagi yang menjabat sebagai Mahamentri i Sirikan dan Mahamentri i Hino.
Posisi Erlangga sebagai Mahamentri I Halu pada masa Dharmawangsa, sama artinya
dengan menempatkannya sebagai calon putra mahkota, sebagaimana yang juga
terjadi pada Mapanji Garasakan.
Mapanji Garasakan adalah putra selir. Mengapa Erlangga menempatkannya
pada kelompok Mahamentri Katrini yang itu berarti memberi peluang bagi Mapanji
Garasakan menduduki tahta kerajaan? Terasa di sini betapa besar pengaruh
keluarga dari pihak Mapanji Garasakan yang merupakan keturunan pandita Siwa.
Betapa keberadaannya terasa sangat penting di mata Erlangga. Hanya maharaja
berjiwa besarlah yang suka menempatkan putra selirnya dalam barisan calon putra
mahkota, yang memberi peluang besar menduduki tahta. Munculnya Mapanji
Garasakan sebagai Mahamentri i Halu adalah kebijakan Erlangga yang ingin
mengangkat putra selirnya. Erlangga sekali lagi menyayangi kedua istrinya, dan
menyayangi semua putranya. Penempatan Mapanji Garasakan sebagai Mahamentri i
Halu tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kakeknya.
Kakek Mapanji Garasakan adalah tokoh yang sangat
dihormati Erlangga. Mertua Erlangga ini berjasa besar menjayakan kembali
kerajaan Medang. Dimulai pada 1009M, saat memanggil para pandita Siwa di
Jawatimur, mengumpulkannya di kaki gunung Penanggungan, bermufakat mengangkat
Erlangga sebagai raja penerus wangsa Isana. Sejak saat itu para pemuka agama
Siwa mendukung pemerintahan Erlangga yang menganut Wisnu. Ketika Erlangga
tersingkir dari Watan Mas, pandita Siwa ini berjasa pula mengantar Erlangga
kembali ke singgasana. Seluruh keluarganya ikut berjuang bersama Erlangga.
Mapanji Tumanggala, putra bungsu sang pandita, adalah salah seorang senapati
Erlangga yang mengikuti setiap pertempuran penting dan berperan besar dalam
penyerbuan atas Lodoyong pada penghujung 1032M. Karena itu sangat beralasan
jika Erlangga menempatkan Mapanji Garasakan sebagai Rakryan Mahamentri i Halu,
urutan ketiga dalam kelompok Mahamentri Katrini.
Keberadaan susunan urutan jabatan Mahamentri Katrini dalam pemerintahan
Erlangga patut dipaparkan karena kelak menjadi pertimbangan Erlangga ketika
membelah kerajaannya. Kelompok Mahamentri Katrini dalam kerajaan Erlangga
benar-benar ada dan berpeluang naik tahta. Kelak beberapa raja Panjalu maupun
Jenggala membawa gelar Rakai Halu, Rakai Sirikan, maupun Rake Hino dalam gelar
abhisekanya.
Slamet Muljana dalam Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya menulis bahwa
jabatan tertinggi sesudah Sri Maharaja Erlangga adalah Rakryan Mahamentri i
Hino. Menurut Slamet Muljana yang ahli filologi ini, sejak 1021M, sebagaimana
dinyatakan dalam Prasasti Cane, sampai 1035M seperti tertera dalam Prasasti
Turun Hyang I, jabatan Rakryan Mahamentri i Hino dipegang Sri Sanggramawijaya
Dharmaprasaddha Uttunggadewi, putri Erlangga dari perkawinannya dengan putri
Raja Dharmawangsa. Setelah itu nama Sanggramawijaya Dharmaprasaddha
Uttunggadewi tidak lagi tercantum dalam prasasti manapun. Slamet Muljana tidak
mengetahui mengapa demikian, siapa yang menjadi penggantinya sebagai Rakryan
mahamentri, juga tidak diketahui. Baru
diketahui pada 1041M ketika prasasti Pucangan menampilkan Rakryan Mahamentri i
Hino baru bernama Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa.
Namanya masih tercantum pada prasasti Pamwatan bertarikh 20 Nopember 1042M. Dan
nama Samarawijaya sebagai Mahamentri i Hino tidak lagi tercantum pada prasasti
Gandhakuti bertarikh 24 Nopember 1042M, padahal cuma berselisih 4 hari.
Dalam prasasti Pamwatan, Erlangga masih menyebut dirinya sebagai Sri
Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Erlangga Ananta
Wikramattunggadewa dan menyebut para pembesar kerajaan. Sementara pada prasasti
Gandhakuti Erlangga menyebut sebagai Paduka Mpungku Sang Pinaka catraning
Bhuwana dan tidak menyebut para pembesar kerajaan. Atas dasar itu pula Slamet
Muljana mengambil kesimpulan bahwa Erlangga turun tahta antara tanggal 20 dan
24 Nopember 1042M. Jika demikian, masih menurutnya, pembelahan kerajaan
Erlangga berlangsung antara tanggal 20 dan 24 Nopember 1042M juga. Sejauh mana
kebenaran simpulan Slamet Muljana terkait mundurnya Erlangga dan pembelahan
kerajaannya, akan diuraikan di belakang. Sekarang mengecek dulu kesimpulan
Slamet Muljana yang mengatakan bahwa Sri Sanggramawijaya hanya menjabat
Mahamentri i Hino sampai tahun 1035M.
Prasasti Kamalagyan bertarikh 1037M bait 2 menulis:
“…maharaja rake hulu cri lokecwara dharmawanca Erlangganama prasodattunggadewa, tinadah rakryan mahamentri I hino cri sanggramawijaya peasodattunggadewi, umnisor I rakryan kanuruhan pu dharmmamantri narottamajanacura.”
“…maharaja rake hulu cri lokecwara dharmawanca Erlangganama prasodattunggadewa, tinadah rakryan mahamentri I hino cri sanggramawijaya peasodattunggadewi, umnisor I rakryan kanuruhan pu dharmmamantri narottamajanacura.”
Slamet Muljana menyimpulkan Sri Sanggramawijaya menjadi Mahamentri i Hino hanya sampai 1035M
atau pada sampai dikeluarkannya prasasti Turun Hyang I oleh Erlangga.
Besar kemungkinan Sri Sanggramawijaya menjabat sebagai Mahamentri i Hino sampai 1041M dan posisinya digantikan adiknya sebagaimana tercantum dalam prasasti Pucangan yang menampilkan Rakryan Mahamentri i Hino baru bernama Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa.
Sampai di sini dapat disimpulkan Sri Sanggramawijaya melepas jabatan Mahamentri i Hino antara sekitar tahun 1037M sampai 1041M.
Besar kemungkinan Sri Sanggramawijaya menjabat sebagai Mahamentri i Hino sampai 1041M dan posisinya digantikan adiknya sebagaimana tercantum dalam prasasti Pucangan yang menampilkan Rakryan Mahamentri i Hino baru bernama Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa.
Sampai di sini dapat disimpulkan Sri Sanggramawijaya melepas jabatan Mahamentri i Hino antara sekitar tahun 1037M sampai 1041M.
Babad Tanah Jawi menyebutkan putri mahkota Erlangga meninggalkan keraton
menjalani hidup sebagai petapa bergelar Nyi Ageng Kilisuci. Banyak pendapat
yang menyebutkan tempat pertapaan Nyi Ageng Kilisuci di goa Selomangleng di
lereng gunung Wilis Kadiri maupun di Tulungagung. Nama Kilisuci sendiri tidak
termuat dalam prasasti manapun yang dikeluarkan Erlangga maupun masa
setelahnya. Jika disangkutkan dengan catatan prasasti Pucangan, kiranya yang
dimaksud Kilisuci dalam Babad Tanah Jawi adalah Sri Sanggramawijaya
Dharmaprasadha Uttunggadewi.
Lalu di manakah ibukota kerajaan Erlangga ketika Sri Sanggramawijaya
melepas jabatan sebagai Mahamentri i Hino? Apakah ketika masih di Kahuripan
atau ketika sudah di Daha? Berdasarkan Prasasti Pucangan bertarikh 1041M, yang
menjadi Mahamentri i Hino adalah Sri Samarawijaya. Sementara prasasti ini
dikeluarkan ketika Erlangga masih beribukota di Kahuripan. Dengan kata lain Sri
Sanggramawijaya melepas jabatannya di Kahuripan. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa setelah Sri Sanggramawijaya melepas jabatannya, Erlangga memindah ibukota
kerajaannya. Atau setelah Sri Sanggramawijaya tidak lagi sebagai putra mahkota
di Kahuripan, Erlangga meninggalkan keraton Kahuripan.
Ketika Sri Sanggramawijaya tidak lagi sebagai Mahamentri I Hino, dengan
sendirinya Sri Samarawijaya naik menjadi Mahamentri i Hino dan Mapanji
Garasakan sebagai Mahamentri i Sirikan. Siapa yang pada 1041M menjadi
Mahamentri i Halu mengganti posisi Garasakan? Jika melihat berita dalam
prasasti Banjaran bertarikh 1052M, kiranya bakal diketahui siapa penggantinya.
Pada 1052M, Mapanji Alanjung Ahyes naik tahta di Jenggala menggantikan Mapanji
Garasakan. Prasasti Banjaran menyebutkan Alanjung Ahyes adalah keturunan
Erlangga. Slamet Muljana kemudian menyimpulkan Alanjung Ahyes sebagai adik
kandung Mapanji Garasakan. Jika dugaan itu benar, maka dapat dikatakan bahwa
dari istri selir, Erlangga memiliki dua putra yaitu Mapanji Garasakan dan
Alanjung Ahyes. Dengan demikian pada 1041M, Erlangga di Kahuripan juga
mengangkat Alanjung Ahyes sebagai Mahamentri i Halu.
Jadi pada 1041M susunan Mahamentri Katrini kerajaan Medang adalah:
Mahamentri i Hino Sri Samarawijaya, Mahamentri i Sirikan Mapanji Garasakan, dan
Mahamentri i Halu Alanjung Ahyes. Posisi tersebut bertahan sampai 20 Nopember
1042M, berdasarkan prasasti Pamwatan yang menulis Erlangga masih bergelar Sri
Maharaja, Narottama masih sebagai Rakryan Kanuruhan, dan Sri Samarawijaya
sebagai Mahamentri i Hino atau putra mahkota Medang.
Beberapa bulan setelah mengeluarkan prasasti Pucangan, Erlangga
memindahkan ibukota kerajaannya ke Daha. Tentunya keraton Daha sudah dibangun
jauh sebelum tahun ini. Dengan kata lain, ketika Erlangga pindah dari
Kahuripan, keraton Daha sudah layak ditempati sebagai sebuah ibukota kerajaan
sebesar Medang.
Untuk memusatkan perhatian kiranya perlu ditentukan berapa kira-kira
usia para putra Erlangga pada 1041M. Sri Sanggramawijaya lahir sekitar 1014M.
Ini berdasarkan keyakinan bahwa ketika dinobatkan sebagai Mahamentri i Hino
pada 1021M berusia 7 tahun. Jadi pada 1041M berusia 27 tahun. Kiranya pada
tahun itu sudah menikah. Dalam adat tradisi masyarakat Jawa masa itu, seorang
gadis dikatakan perawan tua jika belum menikah ketika usia lewat 20 tahun.
Adiknya, Sri Samarawijaya lahir sekitar 1018M, sehingga pada waktu diangkat
sebagai putra mahkota berusia sekitar 23 tahun. Sementara Mapanji Garasakan
lahir pada 1008M atau setahun sebelum Erlangga dinobatkan sebagai raja di kaki
gunung Penanggungan, sehingga pada waktu diangkat sebagai mahamentri I Sirikan
berusia sekitar 33 tahun. Pada tahun ini, Erlangga berusia sekitar 51 tahun
—berdasarkan berita dalam Prasasti Pucangan yang menyebutkan ketika datang ke
Jawa Erlangga berusia 16 tahun.
Antara 1041M sampai 20 Nopember 1042M, atau semenjak masa akhir di
Kahuripan sampai masa awal di Daha, Sri Maharaja Erlangga menghadapi persoalan
pelik terkait kelangsungan hidup kerajaannya. Setelah susah payah membangun
keraton baru di Daha, Erlangga harus menghadapi persoalan besar yang mengarah
pada persaingan perebutan takhta antara kedua putranya, antara Mahamentri i
Hino Sri Samarawijaya dengan Mahamentri i Sirikan Mapanji Garasakan. Jadi
pembelahan kerajaan Medang Daha bukan lantaran keinginan Erlangga untuk menjadi
petapa. Bukan lantaran Erlangga mengundurkan diri lalu membagi kerajaannya.
Jika tidak terjadi kemelut dalam istana, sudah barang tentu segera menobatkan
Sri Samarawijaya sebagai maharaja karena berdasarkan peraturan, yang berhak
menggantikannya adalah Mahamentri i Hino.
Telah diketahui bahwa Mapanji Garasakan lebih tua 10 tahun dari Sri
Samarawijaya. Sebagai putra tertua, meski putra selir, Mapanji Garasakan
memiliki keinginan kuat untuk segera menggantikan kedudukan ayahnya yang itu
berarti menggusur posisi Sri Samarawijaya sebagai putra mahkota. Apalagi di
belakangnya ada sang paman, Mapanji Tumanggala, senapati perang kerajaan Medang.
Para pemuka agama Siwa di Jawatimur berada di belakang Mapanji Garasakan yang
berkeinginan menjayakan agama Siwa, berkeinginan menjadi sang Girinata.
Sementara Erlangga dan Sri Samarawijaya adalah penganut Wisnu. Melihat
nama gelarnya, Sri Samarawijaya juga menganut Wisnu, agama besar yang dianut
dan dikembangkan raja-raja wangsa Isana. Sebagai penganut Wisnu, Erlangga
sangat menghormati semua agama besar yang ketika itu berkembang di tanah Jawa
seperti Siwa dan Boddha. Perselisihan
tersembunyi di dalam keluarga Erlangga dengan cepat berubah ke arah
perselisihan dua agama yaitu Wisnu dan Siwa. Para pemuka agama Wisnu dipihak
Sri Samarawijaya dan para pemuka Siwa di belakang Mapanji Garasakan. Sementara
itu, Sri Maharaja Erlangga sangat menyayangi kedua putranya, meski berasal dari
rahim beda.
Sampai kemudian untuk memecahkan persoalan, Erlangga memanggil sang
mahaguru Mpu Bharada, pandita dari Alasanta atau Lemah Tulis yang menganut
Boddha Mahayana. Serat Calonarang bertarikh 1540M, menguraikan bahwa Raja
Erlangga kemudian mengutus Pandita Bharada ke Bali membawa pesan kepada Pandita
Kuturan, supaya sudi menobatkan Mapanji Garasakan sebagai raja di Bali.
Kepergian Mpu Bharada melalui selat Bali dengan menapak di atas daun kelewih.
Akan tetapi Pandita Kuturan sudah menetapkan cucunya sebagai raja Bali,
membikin Mpu Bharada pulang tangan hampa. Demikianlah pada akhirnya Sri
Maharaja Erlangga memutuskan untuk membelah negaranya di Jawa untuk kedua
puteranya yang sedang bermusuhan. Erlangga menyerahkan sepenuhnya pada Mpu
Bharada.
Maka setelah mendapat wewenang khusus dari Erlangga, Mpu Bharada segera
menjalankan tugas berusaha mendamaikan kedua putra Erlangga, mengunjunginya
bergantian, menasihati mereka supaya berhenti berperang. Dianjurkan
supaya keduanya sudi menerima bagian yang telah mereka kuasai masing-masing.
Jadi putera yang menguasai Panjalu, supaya tetap di Panjalu, akan dinobatkan
sebagai Maharaja Panjalu. Demikian pula dengan putera yang menguasai Janggala.
Barangsiapa membangkang, akan dikutuk sang pandita. Keduanya tunduk dan
berjanji akan mematuhi nasihat sang pandita. Kemudian berlangsung pembelahan
kerajaan Erlangga beserta penduduknya. Yang seorang menjadi raja di barat, yang
seorang lagi di bagian timur.
Selain dalam Serat Calon Arang,
pembelahan kerajaan Erlangga termuat dalam beberapa sumber sejarah seperti
Prasasti Mahaksyobhaya dan kakawin Negarakertagama. Dua sumber sejarah itu
mengabarkannya secara pralambang yaitu kisah pengucuran air kendi oleh Mpu
Bharada. Meski dengan versi berlainan, kisah pengucuran air kendi itu
hakikatnya bermakna sama, yaitu penentuan batas wilayah kerajaan Panjalu dan
Janggala. Dan meski kental nuansa dongeng, akan tetapi tidak menghilangkan
kebenaran sejarah perihal kebijakan Erlangga membagi kerajaannya menjadi dua.
Dalam Prasasti Mahaksobhya
bertarikh 1289M yang dikeluarkan Raja Kertanagara, maharaja terakhir kerajaan
Tumapel, menyebutkan bahwa pendeta agung Aryya Bharada mendapat tugas membelah
pulau Jawa menjadi dua menggunakan air mancur dari kendi disertai kutuk bagi
siapapun yang berani melintasi batas yang telah ditentukan. Lahirlah kerajaan
Janggala yang sebelumnya bagian dari wilayah Panjalu. Pembelahan dilakukan demi
kepentingan dua putra Erlangga yang saling bermusuhan. Slamet Muljana menyatakan
bahwa pada jaman Raja Kertanagara, kutuk Aryya Bharada sudah tawar berkat upaya
Sang Prabhu Jayawisnuwardhana yang berhasil menyatukan kembali Panjalu dan
Janggala.
Kesimpulan Slamet Muljana masih
harus dicermati. Sang Prabhu Jayawisnuwardhana alias Seminingrat memang
dikabarkan berhasil menyatukan Panjalu dan Janggala ke dalam Negara kesatuan
Tumapel, sebagaimana termuat dalam Prasasti Mula Malurung bertarikh 1255M. Akan
tetapi pernyataan bahwa kedua kerajaan warisan Erlangga itu telah bersatu,
bukan berarti telah melunturkan atau menghilangkan kutukan Mpu Bharada.
Janggala dan Panjalu pada masa Seminingrat memang bersatu, tetapi secara nyata,
tanah Jawa belum seutuhnya dalam kekuasaan Tumapel. Ini terbukti dengan
pernyataan Prapanca dalam Negarakertagama pupuh 68 yang menyebutkan tujuan
pembangunan candi makam Sang Rajapatni di Bhayalangu adalah untuk memadukan
tanah Jawa kembali atau menyatukan Panjalu dan Daha dalam naungan Majapahit.
Sebelum candi di Bhayalangu dibangun, sebelum abu jenajah Sang Rajapatni
ditanam di daerah kutukan Mpu Bharada, tanah Jawa belum dapat dikatakan padu.
Pembelahan kerajaan Erlangga
yang disimbolkan dengan kisah pengucuran air kendi Mpu Bharada juga termuat
dalam kakawin Negarakertagama pupuh 68. Sebelumnya atau dalam pupuh 67 kakawin Negarakertagama karya Dang Acarya Samantabhadra
alias Prapanca menulis pesta srada yang diselenggarakan keraton Majapahit serba
meriah dan hikmat penuh penghormatan kepada mendiang Sang Rajapatni Dyah
Gayatri. Perayaan yang membikin girang jiwa sri Rajapadni yang sudah mangkat.
Semoga arwah Sang Rajapatni melimpahkan berkat kepada Sri Nata Rajasanagara
supaya tetap jaya menghadapi para musuh selama masih ada bulan dan surya.
Lodang lega rasa Baginda Prabu Rajasanagara menyaksikan perayaan berlangsung
lancar tiada halangan. Tinggal menunggu karya yang belum rampung yaitu
menyempurnakan candi makam Sri Rajapatni Dyah Gayatri di Kamal Pandak.
“Inilah sejarah Kamal Pandak menurut tutur yang dapat dipercaya,” tulis
Prapanca dalam pupuh 68 Negarakertagama. “Suatu ketika Sri Nata Panjalu Daha
Maharaja Erlangga berkehendak membelah tanah Jawa lantaran cinta pada kedua
putranya. Tersebutlah seorang pendeta Boddha Mahayana yang putus dalam kitab
tantra dan yoga, bermukim di tengah kuburan Lemah Tulis, sosok yang senantiasa
menjadi pelindung rakyat, ketika mengunjungi pulau Bali hanya berjalan kaki,
tenang menapak permukaan lautan. Mpu Bharada namanya, sosok yang paham tiga
jaman. Girang beliau menyambut permohonan Maharaja Erlangga supaya membelah
Negara. Maka perbatasan Negara ditandai dengan air kendi yang mancur dari
angkasa. Dari barat ke timur sampai lautan. Lalu dari utara ke selatan. Daerah
selatan yang jaraknya tidak begitu jauh bagaikan terpisah samudera besar. Di
daerah selatan itu sang pendeta turun dari angkasa, berhenti di atas pohon
Kamal, berniat menaruh kendi suci di Desa Palungan untuk mengakhiri penentuan
garis batas kerajaan. Tetapi sebelum menginjak tanah, sang pendeta murka
lantaran jubahnya terkait puncak pohon kamal yang tumbuh menjulang tinggi. Mpu
Barada terbang ke angkasa lagi lalu mengutuk pohon Kamal menjadi pandak atau
kerdil. Itulah tugu batas gaib yang tidak boleh dimasuki kekuasaan Panjalu dan
Janggala. Itulah sebab mengapa sekarang dibangun candi. Tujuannya supaya
menyatukan tanah Jawa kembali. Dengan demikian semoga baginda prabu serta
rakyat tetap tegak, teguh, waspada, Berjaya memimpin Negara yang kini sudah
kembali bersatu-padu”.
Dalam pupuh selanjutnya Prapanca menyebutkan candi yang dibangun di Kamal
Pandak bernama candi Prajnaparamitapuri atau candi Wisesapura, candi makam bagi
Sang Rajapatni Dyah Gayatri. Candi makam di Bayalangu ini kesohor sebagai
tempat keramat, tiap bulan badrapada disekar para pembesar kerajaan dan para pendeta.
Dongeng pembelahan negara sebagaimana dalam kakawin
Negarakertagama mengandung makna pralambang. Perikehidupan orang Jawa
masalampau kental dengan ibarat dan lambang. Ketika bermaksud menyampaikan
sesuatu perkara atau masalah yang sekiranya bersinggungan dengan pihak penguasa
atau negara, orang Jawa selalu menyampaikannya dengan bahasa lambang atau
ibarat. Kejadian-kejadian sejarah yang benar-benar terjadi pada masasilam
diterangkan pada para anak keturunannya melalui kisah ibarat, bukan menyampaikan
secara apa adanya.
Ketika membaca beberapa hasil karya sastra para pujangga
Jawa baik tulisan maupun lisan, seyogyanya harus memahami watak asli tersebut.
Peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi kerap kemudian kelihatan seperti
dongengan tidak masuk akal lantaran sudah banyak dibumbui perkara-perkara gaib,
diselimuti kejadian-kejadian gaib tidak masuk akal yang bertujuan meluhurkan
atau membesarkan para tokoh yang sedang diceritakan atau diungkapkan. Salah
sebuah contoh yaitu kisah terbangnya Mpu Bharada saat bertugas membelah negara,
sosok yang juga diriwayatkan sanggup mengunjungi pulau Bali hanya dengan
menapak di atas permukaan laut.
Kiranya tidak begitu kehebatan Mpu Bharada. Meski orang
jaman dahulu dikenal sakti-sakti, kucuran air kendi tidak bakal menjadi aliran
sungai Leksa di timur gunung Kelud. Tanpa perahu, Mpu Barada juga sulit
mengunjungi pulau Bali. Sekali lagi watak tabiat penulisan atau pengisahan
babad, legenda, dongengan Jawakuna banyak makna tersiratnya, banyak lambang dan
ibaratnya.
Mpu Barada mengutuki pohon asem yang menyangkuti jubahnya
sebagaimana dikisahkan Prapanca dalam kakawin Decawarnnana, bukan benar-benar
terjadi peristiwa penyangkutan jubah sang pandita pada ujung pohon asem atau
kamal di daerah palungan. Bukan benar-benar terjadi pengutukan supaya pohon
kamal menjadi pandak hingga kelak daerah itu dinamakan Kamal Pandak, pohon
kamal kerdil. Bukan pula benar-benar terjadi peristiwa pengucuran air kendi
dari angkasa oleh Mpu Barada sebagai garis pemisah Panjalu dan Janggala.
Dongeng tersangkutnya jubah Mpu Barada pada pohon asem
alas atau pohon kamal mengandung arti Mpu Barada mendapat rintangan besar
ketika melakukan pembelahan Negara, sehingga tugasnya tidak sempurna. Ada
sebuah daerah yang tidak berhasil dijangkau atau tidak mau tunduk pada
kekuasaan Panjalu maupun Janggala. Karena itu Mpu Bharada yang hampir selesai
menentukan daerah-daerah mana saja yang masuk kekuasaan Panjalu dan
daerah-daerah mana yang masuk wilayah Janggala menjadi murka pada penolakan
penguasa daerah brang kidul yang ingin menjadi wilayah merdeka. Padahal daerah
itu digolongkan sebagai daerah berkedudukan lebih rendah dari daerah sekitar
-dilambangkan sebagai daerah palungan atau cekungan. Di sini maksud daerah
palungan sesungguhnya adalah daerah yang memiliki derajat atau menganut agama
lebih rendah ketimbang Panjalu dan Janggala. Daerah itu memutuskan berdiri
sendiri, serupa berdiri tinggi menjulangnya pohon kamal di tanah cekungan
melebihi ketinggian pohon-pohon lain di tanah lebih tinggi. Daerah palungan
melawan kekuatan atau kehendak Mpu Barada. Sikap itu dapat diartikan melawan
kekuasaan kerajaan.
Tetapi Mpu Barada tidak sanggup menaklukkan kekuatan brang
kidul. Meski demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan kesepakatan dua
belah pihak. Terjadi perjanjian antara Mpu Barada dengan penguasa brang kidul.
Hasil kesepakatannya bahwa sejak saat itu brang kidul menjadi daerah merdeka,
bukan bawahan Panjalu maupun Janggala, dengan syarat harus menghormati
kekuasaan Panjalu dan Janggala. Sang pandita mengabarkan kemerdekaan brang
kidul ibarat tugu gaib ujung batas sebelah selatan yang tidak boleh dilintasi
Panjalu dan Janggala. Kutukan Mpu Barada kepada pohon kamal supaya berubah
kecil atau pandak mengandung makna supaya ketinggian dan kekokohan brang kidul
mengecil lalu lenyap sehingga yang berkuasa di tanah Jawa hanya Panjalu dan
Janggala, kerajaan yang dibangun Maharaja Erlangga.
Sekali lagi kisah tersangkutnya jubah Mpu Barada dan
dikutuknya pohon asem adalah kisah pralambang bahwa pekerjaan sang pandita
mendapat halangan berat, sampai bersupata. Seorang pandita sampai bersupata
menandakan ada sesuatu yang sangat dibenci. Seorang pandita tidak sembarangan
mengeluarkan supata atau kutukan karena sabda pandita ratu tan kena wela-wela.
Mpu Barada mengeluarkan kutukan kepada pohon asem yang menyangkuti ujung
jubahnya mengandung makna bahwa ada kekuatan di daerah tempat tumbuhnya pohon
itu yang menentang atau menghalangi pekerjaan sang pandita. Pembelahan Negara
berjalan tidak sempurna karena ada wilayah yang tidak mampu dijangkau atau
tidak mau mengikuti kebijakan negara. Lalu sang pandita mengabarkan bahwa
daerah Kamal Pandak bebas dari kekuasaan Panjalu dan Jenggala, diibaratkan
sebagai tugu batas gaib yang tidak boleh dilintasi Samarawijaya dan Garasakan.
Kekuasaan Panjalu dan Jenggala tidak boleh mengusik brang kidul, selatan
Brantas, tlatah Lodoyong, kalau tidak ingin diusik balik seperti pada 1032M,
saat kekuatan Lodoyong melahap Watan Mas, istana Sri Maharaja Erlangga di
gunung Penanggungan.
Demikianlah, pembelahan negara yang dilakukan Mpu Barada
berjalan kurang sempurna. Ada satu daerah di selatan sungai Brantas yang
berdiri sendiri, tidak termasuk bagian Panjalu yang dipimpin Samarawijaya,
maupun Janggala yang dirajai Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan bertarikh 20 Nopember 1042, Erlangga masih bergelar
Maharaja, sementara pada prasasti Gandhakuti bertarikh 24 Nopember 1042,
Erlangga sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana
yang artinya Raja Pandita Sang Pelindung Jagat. Berdasarkan dua sumber itu,
banyak sejarawan, termasuk Slamet Muljana, menyimpulkan peristiwa pembelahan
kerajaan dilakukan antara dua tanggal tersebut.
Kiranya para ahli sejarah kurang teliti membaca dua berita tersebut.
Terkecoh kisah pengucuran air kendi Mpu Bharada. Tugas pembelahan kerajaan atau
menentukan daerah-daerah mana yang masuk kekuasaan Panjalu maupun mana yang
masuk kekuasaan Janggala, bukan perkara pengucuran air kendi oleh Mpu Bharada
dari angkasa. Jika semata pengucuran itu, jika memang Mpu Bharada mampu melesat
terbang di angkasa, tentu tugas Negara yang diemban sang pandita selesai tidak
sampai sehari.
Peristiwa pembelahan kerajaan Erlangga yang dilakukan Mpu Bharada,
berlangsung setidaknya hampir setahun, setelah keluarnya prasasti Pucangan
1041M sampai keluarnya prasasti Pamwatan 20 Nopember 1042M. Dalam rentang waktu
itu Mpu Bharada ditemani Rakryan Kanuruhan Narottama terlebih dulu berkunjung
ke Bali, menyampaikan pesan Erlangga kepada Raja Pandita Kuturan. Dalam prasasti
manapun tidak dikenal tokoh bernama Pandita Kuturan. Yang dimaksud Serat Calon
Arang sebagai Pandita Kuturan barangkali
Sri Dharmawangsawardhana Marakata Pangkaja Sthana Uttunggadewa, adik Erlangga
yang bertahta di Bali sejak 1022M sampai 1049M dan digantikan Anak Wungsu.
Erlangga mencoba mengambil kembali hak atas tanah Bali yang sudah jatuh ke
tangan adiknya. Rencananya tanah Bali bakal ditempati Mapanji Garasakan. Akan
tetapi Marakata Pangkaja jelas menolak rencana Erlangga. Dan Mpu Bharada serta
Narottama yang menjadi duta Erlangga tidak dapat berbuat banyak di tanah Bali.
Apa upaya Erlangga menempatkan salah satu putranya mengandung makna bahwa
Erlangga sesungguhnya berniat mengadakan penaklukan atas kerajaan yang dipimpin
adik kandungnya? Meski bersaudara, tentunya Erlangga mengerti bahwa upaya
meminta hak tahta kepada adiknya di Bali bakal sia-sia. Secara resmi Marakata
Pangkaja sudah dinobatkan sebagai raja Bali dan itu tidak dapat diganggu gugat.
Dalam catatan sejarah, tak ada raja yang menyerahkan kekuasaannya secara
cuma-cuma. Cerita keberangkatan Mpu Bharada ke tanah Bali membawa pesan
Erlangga sangat mungkin mengandung makna tersirat yaitu adanya peristiwa
penaklukkan Erlangga atas tanah Bali yang akhirnya gagal setelah mendapat
perlawanan dari Pandita Kuturan.
Sekembali dari Bali, Mpu Bharada dan Narottama menghadap Erlangga dan
langsung mendapat tugas berat, membelah Negara. Kemudian keduanya berkeliling
kerajaan, mengunjungi kerajaan-kerajaan bawahan Medang, mengatur mana-mana yang
bakal dimasukkan dalam kekuasaan Panjalu dan mana yang masuk dalam wilayah
Jenggala. Mpu Bharada kemudian menetapkan garis batas alam yaitu deretan
pegunungan mulai dari gunung Welirang ke selatan mengikuti jalur pegunungan
Kawi sampai selatan Brantas ke arah segara kidul. Kiranya sebagaimana yang
telah diuraikan di awal bahwa wilayah Jenggala berada di timur gunung Kawi
sementara Panjalu berada di barat gunung Kawi. Pusat pemerintahan Jenggala
tidak di Kahuripan. Kiranya keraton yang pernah ditinggalkan Erlangga itu
memiliki suatu masalah besar dan tidak memungkinkan dijadikan ibukota Jenggala.
Jika mengikuti konsep bahwa Jenggala di timur gunung Kawi, maka yang
memungkinkan sebagai ibukota Jenggala adalah di sekitar Kutaraja yang kelak
menjadi cikal kerajaan Tumapel. Sementara
pusat pemerintahan Panjalu terletak di Daha atau di timur sungai Brantas.
Babad Tanah Jawi gubahan Van Rijckevorsel bagian tiga menyebutkan
pembelahan kerajaan Erlangga: Karsané Sang Prabu besuk ing
sapengkeré kang gumanti jumeneng Nata putrané loro pisan, mulané kratoné banjur
diparo: Jenggala -sabageyaning: Surabaya sarta Pasuruwan- lan Kedhiri. Déné kang minangka watesé: pager
témbok kang sinebut "Pinggir Raksa", wiwit saka puncaking Gunung
Kawi, mangisor, nurut kali Leksa banjur urut ing brangloré kali Brantas saka
wétan mangulon tekan ing désa kang saiki aran "Juga", nuli munggah
mangidul, terusé kira kira nganti tumeka ing pasisir. Gugur-gugurané tembok iku
saiki isih ana tilasé, kayata ing sacedhaking kali Leksa, sakulon lan
sakiduling kali Brantas, ing watesing Malang lan Blitar.
Setelah Panjalu dan Janggala terbentuk, Maharaja Erlangga
meninggalkan segala kemegahan dunia, menyepi jalani hidup para resi utama,
berupaya unggul menarungi hawa napsu, bercita-cita sebagai pahlawan tapabrata,
seiring harapan semoga kedua putranya tampil sebagai raja-raja utama, pengayom
para kawulanya, pencetak para narendra utama pula. Menurut Serat Calonarang, Erlangga bergelar Resi Erlangga Jatiningrat,
sementara berdasarkan Babad Tanah Jawi bergelar Resi Gentayu. Menurut prasasti
Gandhakuti bertarikh 24 Nopember 1042M yang menyebut Resi Aji Paduka Mpungku
Sang Pinaka Catraning Bhuwana sebagai gelar kepanditaan Erlangga. Tiga sumber
sejarah itu meski beda penyebutannya, namun memiliki kesamaan pemahaman bahwa
Erlangga di akhir pemerintahannya mengundurkan diri dari keraton, menjalani
hidup sebagai pandita.
Prasasti Sumengka bertarikh 1059M memberitakan bahwa Resi Aji Paduka
Mpungku didarmakan di tirta atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai
dengan berita prasasti Sumengka adalah candi Belahan di lereng gunung
Penanggungan. Pada kolam tersebut
ditemukan arca Wisnu disertai sepasang sosok dewi. Prasasti Pucangan menyebut
Erlangga sebagai penganut teguh agama Wisnu. Kiranya tiga patung tersebut
merupakan perwujudan Raja Erlangga bersama dua istrinya, atau ibu Samarawijaya
dan Garasakan.
=============
SIWI SANG