Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Monday, May 13, 2013

    Tulungagung Luhung

    Tanpa niat menangguk untung, penghuni tanah ini menyemai benih benih murni jiwa jiwa sejati, menjadi kuwung sejarah nusantara, melengkung mulai Medang  bhumi Mataram sampai Wilwatikta, bahkan hari ini. Watukura Dyah Balitung, Mpu Sindok, Erlangga, Aryeswara, Kertajaya, Rajapatni Gayatri, Tribhuwanatunggadewi, Hayam Wuruk, Kertawijaya, dan masih beberapa lagi tokoh tokoh luhur meneguk pertolongan agung bumi Banarawa. Tunggul Ametung kesatria luhung Kalangbret. Jiwa besarmu mengabdi pada Kertajaya melahirkan Tumapel. Di atas segala berita mereng yang kudengar mengenaimu, aku ngerti kenapa para cucu buyutmu bersemayam di sini, mengisap sari luhungnya, menjadi humus peradaban. Mahisa Wonga Teleng, Sanggramawijaya, Rajapatni Gayatri, Wikramawardhana, Kertawardhana, Jaka Tingkir, pangeran Benawa, kembali ke tanah leluhur sendiri. Tapi kini lihatlah cucu buyutmu di abad digital. Kuntum kuntum gemilang masa depan itu semakin tergerus ornamen ornamen jaman, rupa rupa kemajuan. Keluhungan masalampau lengang, menjadi batu batu pada monitor monitor, pada setiap reklame kemerdekaan dunia virtual. Lihatlah batu batu itu tekun menonton batu batu. Harusnya mereka pelesir ke Popoh atau Molang, tenggelamkan diri dalam debur kesunyian, belajar pada jingking kepiting, pada burung burung laut, pada kelelawar kelelawar goa, supaya kembali ngerti luhungnya Tulungagung. Rajapatni Gayatri perempuan sejati. Jika engkau di sini, tentu sepakat, sejarah panjang Tulungagung belum sepenuhnya tamat. Engkau tentu sepakat, Tulungagung memiliki keberagaman budaya, keberagaman daya cipta. Jika engkau hidup di abad digital ini, tentu menasihati kami kami supaya cerdas kreatif mengelola kekayaan lokal, supaya warisan luhung nusantara tidak tenggelam tanpa jejak, tanpa peninggalan. Tumenggung Surantani. Kebesaran namamu kini menjadi gumam kerumunan. Alas Wajak yang dulu kaukuak, kini dirimbuni ampak ampak. Riwayatmu menari nari di warung warung kopi. Dan wahai Abu Mansur. Lihatlah batu batu itu masih tekun menonton batu batu. Lihatlah jiwa jiwa sejati masih lalai riwayat luhung tanah sendiri.



    No comments:

    Post a Comment