Saya membaca buku karya Ahmad Mansur Suryanegara berjudul API SEJARAH: Buku yang akan mengubah Drastis pandangan anda tentang sejarah Indonesia, terbitan Salamadani cetakan kelima, 2012. Selain best seler dan mendapat IBF Award 2010 sebagai buku Islam terbaik kategori nonfiksi dewasa, buku dengan jumlah halaman 586 ini berkafer keren.
Buku yang disisipi peta-peta kuna kekilafahan Islam, gambar uang
Islam kuna di Nusantara, poto-poto para tokoh sejarah, dan gambar-gambar
keren lainnya ini, semakin memenasarani ketika saya
membuka halaman 107 dan 147. Di sana menerangkan Kerajaan Kalingga
pimpinan Ratu Sima menganut Islam. Seanalisa dengan Buya Hamka. Bedanya,
Suryanegara meyakini Kalingga di Jawabarat dan karena itu berani
menyimpulkan bahwa kekuatan politik Islam Nusantara pertama kali berdiri
di Jawabarat, setelah kedatangan rombongan utusan dagang dari Damaskus
ke Kalingga pada 674M, bukan di Aceh, bukan di Demak, tetapi sekali lagi
di Kalingga, di Sunda.
Apalagi ketika menyadari, cukup lama Dinasti Genghis Khan
memenasarani saya, buku API SEJARAH kiranya cocok menumpas rasa haus
saya. Saya pernah membaca novel sejarah Genghis Khan yang meriwayatkan
sejak masa bocah atau ketika masih bernama Temujin sampai ketika
menyatukan klan-klan di dataran Mongolia hingga kesohor sebagai Genghis
Khan yang ditulis orang barat sebagai sosok terbengis di jagadraya,
pemusnah peradaban Islam. Karena penasaran, sebiadab apa Dinasti Genghis
Khan itu —lantaran dianggap bangsa biadab sehingga kelak ada seorang
Mongol bernama Mengki tertimpa nasib sengsara, dipancung telinga dan
hidungnya oleh Raja agung Singhasari, Baginda Prabu Kertanegara—
bagaimana pula pandangan Dinasti Genghis Khan terhadap agama-agama di
dunia ini, dan terutama karena penasaran, benarkah Kubilai Khan menganut
Islam, adakah utusan Kubilai Khan yang menjujug Samudra Pasai, kerajaan
Islam pertama di Sumatera, maka saya segera membolak-balik buku API
SEJARAH dan hidung saya tertuju ke halaman 146. Saya
dipukaui tafsir sejarah Ahmad Mansur Suryanegara perihal Dinasti Gengis
Khan, yang sekali lagi, oleh Barat ditulis sebagai bangsa penghancur
peradaban, bangsa terbiadab di dunia ini.
Suryanegara memandang perlunya memahami hubungan sejarah antara Turki
Bani Saljuk dan Mongol Gengis Khan dalam hubungannya dengan pengaruh
Islam di Nusantara sampai kelak ketika pasukan Kubilai Khan mendarat di
Jawa menemui Kertanegara, bukannya menuju Samudra Pasai yang sudah
Islam, atau sampai ketika armada laut Cheng Ho yang mengangkut para
marinir Islam Dinasti Ming —kunjungan muhibah ke 36 negara yang
dilakukan pada 1405-1433M— tidak melakukan penaklukan atas Majapahit.
Suryanegara mengatakan, pada awalnya, Gengis Khan yang berjaya berhasil
melemahkan Turki Bani Saljuk. Namun pada abad 13M tiba-tiba bangkit
kembali kesultanan Turki Ottoman di Angkara. Berbalik melepaskan
kesultanan Turki dari kekuasaan Mongolia, bahkan memengaruhi Dinasti
Gengis Khan memeluk Islam yang sepak terjang Dinasti ini dinarasikan
mantap di bab pertama dan bab kedua.
Meskipun buku API SEJARAH secara banyak sangat mantap, namun memiliki
kelemahan analisa di beberapa titik, ada beberapa peristiwa sejarah
penting sengaja dilewati Suryanegara, seperti peran besar Demak dengan
Pati Unusnya, Ratu Kalinyamat pendekar Jepara, Mataram dengan Sultan
Agungnya, yang ketiga tokoh besar itu cuma dinarasikan sekilas-pintas.
Sesungguhnya semua itu bermula dari analisa Suryanegara mengenai
Kalingga. Suryanegara terlalu berani menganalisa bahwa Kalingga yang
menganut Islam terletak di Jawabarat.
Cipto Adisuryo
Saya mengenal pertama Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Kontroversi
pemikiran Islam di Indonesia terbitan Rosdakarya Bandung tahun 1990M.
Mengenal melalui tulisan beliau diantaranya yang bertajuk ‘Nu: Sejarah
dan Politik’, tanggapan atas ceramah Mahbud Djunaedi yang heran
seheran-herannya, mengapa Cipto Adisuryo terlupakan?
“Untuk menguraikan sejarah umat Islam ini,” kata Mahbud, “saya kira
fer kalo kita berangkat dari awal dulu. Sebab apa? Sebab saya lihat
dalam pencatatan sejarah nasional ada hal tidak adil. Bukan sekadar
tidak adil, melainkan ada satu hal yang disembunyikan, yang saya maksud
adalah awal tumbuhnya Sarikat Dagang Islam. Ada satu tokoh yang kurang
ditampilkan termasuk oleh kita sendiri, padahal orang itu sangat penting
sekali kedudukannya, yaitu Cipto Adisuryo.
Awal penyembunyian fakta ini saya kira dari jaman colonial sendiri.
Kerap saya tampilkan dalam berbagai forum. Mengapa saya katakan
demikian? Di dalam penulisan-penulisan sejarah, kalo kita menyebut soal
Sarikat Dagang Islam, kita hanya menyebut seorang tokoh, misalnya H.
Samanhudi. Padahal, orang paling menentukan di situ bukan Samanhudi,
melainkan Cipto Adisuryo. Saya berkepentingan dengan Adisuryo sebab
dialah —menurut saya tokoh pers nasional nomer satu. Dialah yang pertama
kali menerbitkan suratkabar berbahasa Indonesia walau belum sebaik
sekarang. Akan tetapi, bagaimanapun, dia pelopor pers nasional
Indonesia.
Sayang sekali orang begini penting justru ditonjolkan pihak lain.
Kita mungkin tahu ada satu buku yang sekarang dilarang —Ceramah Pak
mahbud yang pemuncak NU ini terjadi pada 14 Desember 1987M di PPI-LPMM
Uninus Bandung— yaitu Sang Pemula, ditulis saudara Pramoedya Ananta Toer
yang kebetulan orang dulu. Dia menurut saya seorang pengarang besar,
ketika pulang dari Pulo Buru, menulis serentetan tulisan, ada yang
novel, ada juga yang nonnovel yang semua tulisan itu tidak beredar di
Indonesia. Kalo di luar negeri
pasti beredar, bahkan diterjemahkan dalam 11 bahasa asing. Novel yang
diselesaikan di Pulo Buru oleh saudara Pram ini ada empat rangkaian:
Bumi Manusia, Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca yang semuanya
itu saya kira tidak akan bisa dibaca di sini —perkiraan ini didengar
pemerintah dan untuk memelesetkan kiraan Mahbud, pemerintah kelak
mengedarkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Akan tetapi disamping novel,
ada satu nonnovel yang judulnya Sang Pemula itu. Dan Sang Pemula, sesuai
dengan judulnya, menyangkut ketokohan Adisuryo.
Mengapa Cipto Adisuryo disebut di sini? Sebab beliau sebenarnya
seorang pemuka gerakan nasional Indonesia. Kalo kita bandingkan dengan
Budi Utama yang merupakan sekumpulan elit priyayi Jawa, maka Sarikat
Dagang Islam merupakan satu gerakan massa, bahkan jarang diketahui orang
bahwa Sarikat Dagang Islam didirikan bersama-sama Husni Thamrin.
Sekarang yang kita ingat adalah Husni Thamrin, padahal, kalo menurut
catatan Pram, bukan Husni Thamrin yang pada waktu itu menjadi wedana di
Jakarta. Sarikat Dagang Islam yang didirikan Cipto Adisuryo itulah yang
kira anggap sebagai satu pemula dari gerakan massa umat Islam di
Indonesia ini, yang motifnya jelas sekali, politik. Bagaimana menyatukan
golongan bawah umat Islam ini di dalam gerakan-gerakan bersifat ekonomi
berarti sati gerakan politik. SDI kemudian berkembang menjadi Partai
Sarikat Dagang Islam, dan seterusnya. Berarti gerakan pertama Islam di
Indonesia bersifat politik-ekonomi. Ini catatan sangat penting, yang
saya lihat umumnya, kalo kita belajar sejarah gerakan nasional
Indonesia, berangkat dari Budi Utama itu. Padahal, kalo dilihat dari
sudut kenyataan dan politis, sebenarnya Sarikat Dagang Islam ini yang
merupakan pemula yang didirikan Cipto Adisuryo dan ayahnya, Husni
Thamrin. Usianya kira-kira sama dengan Kartini, berselisih beberapa
tahun, dan dia mengenalnya dengan baik. Cipto sering berkunjung kepada
Kartini yang sering lagi dipesoalkan ini, begitu juga ia sering
berkunjung kepada Dewi Sartika di Bandung.
Saya pernah menawarkan kepada majalah Kartini untuk menampilkan
masalah Kartini ini, tetapi majalah itu menganggap ini masalah sara.
Jadi mereka tidak berani. Saya berpendapat juga bahwa masalah Kartini
ini ada kaitannya dengan Cipto Adisuryo sebab banyak terjadi interaksi
antara Adisuryo dengan Kartini. Kartini itu hebat, dia banyak membaca
dan banyak menulis, tetapi bahwa dia ditampilkan Belanda, itu betul.
Sebab apa yang ditampilkan Belanda? Sebab Belanda ingin membuktikan
kepada dunia, inilah produk ‘Politik Etis’ saat itu. Kita tahu bahwa
Abendanon itu menteri Dikbudnya Belanda, jadi dia berkepentingan pula
untuk menunjukkan kepada dunia dan kaum oposisi di Belanda bahwa inilah
hasil politik etis Belanda.
Mengapa Belanda menampilkan Kartini? Sebab keluarga Kartini termasuk
keluarga yang jinak-jinak, bupati-bupati yang baik. Tidak ada seorang
pun bupati yang menjadi pemberontak terkadap Belanda. Jadi Belanda
merasa tiada halangan menampilkan Kartini. Mengapa tidak Dewi Sartika
yang ditampilkan? Ini menjadi masalah. Padahal umurnya sama dan
bangkitnya pun sama. Kartini mendirikan sekolah di Jepara, Sartika
membuat sekolah di Bandung. Bahkan kalo kita lihat, sampai sekarang
gedungnya masih ada. Jadi dalam intensitas pendidikan, sebenarnya Dewi
Sartika jauh lebih melampaui Kartini, tetapi mengapa Belanda tidak
menampilkan Sartika? Sebab Sartika berasal dari keluarga patih Tegal
Lega yang memberontak dan lalu dibuang ke Ternate. Jadi kita lihat di
sini betapa tidak jujurnya sejarah dalam menulis tokoh-tokohnya,
termasuk Cipto Adisuryo.”
Lalu Ahmad Mansur Suryanegara menanggapi ceramah Mahbud Djunaedi yang kesimpulannya sepemikiran dengan Mahbud Djunaedi.
“Selain kagum dengan tulisan-tulisannya,” kata Suryanegara, “di Koran
maupun di majalah, saya juga mengagumi Pak Mahbud dengan tulisannya,
‘Perang Salib’, yang dimuat di majalah depag. Kalo tidak salah, disitu
ada tulisan yang dianggap lebih sejarawan ketimbang sejarawan,
informasinya yang baik, lengkap, tertib, dan sumber-sumber sejarahnya
begitu lengkap.
Tentang Boedi Oetama yang dijadikan title awal hari kebangkitan
nasional tanggal 20 Mei itu, barangkali sayalah orang pertama yang tidak
setuju 20 Mei itu dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sejak
tahun 1969, tulisan tentang itu telah dimuat dalam harian Abadi 22 Mei
1969. Kemudian pada tahun 1970 ada seminar sejarah. Di situ juga
dikemukakan bahwa peristiwa Boedi Oetama itu mungkin lebih tepat
dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Siliwangi karena kenyataan sejarah,
Boedi Oetama selama 23 tahun, 1908- 1931, menolak kesatuan nasional yang
dapat dibaca dalam keputusan-keputusan konggresnya. Sebulan lamanya
saya melihat-lihat di museum keputusan-keputusan yang dimuat dalam
beberapa surat kabar pada waktu itu. Di situ tertera betapa eklusifnya
Boedi Oetama terhadap gerakan nasional.”
Ceramah dan keheranan Mahbud Djunaedi terhadap Cipto Adisuryo,
Kartini, Dewi sartika dan peran Nu Dalam masa kebangkitan nasional, lalu
tanggapan Ahmad Mansur Suryanegara mengenai itu, dinarasikan panjang
dalam buku API SEJARAH, buku yang memenasarani saya. Dimulai dari ketika
Kartini menentang politik Kristenisasi colonial Belanda, Boedi Oetama,
Sarikat Dagang Islam, Muhamaddiyah, NU, Sang Saka Merah Putih yang
merupakan bendera Kanjeng Nabi Rasul Islam Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, dan segala peristiwa
sejarah yang terjadi di kurun 1900-1942M, dinarasikan sangat mantap
dalam bab empat, bab tentang peran ulama dalam gerakan kebangkitan
kesadaran nasional yang terjadi di kurun 1900-1942M.
Menurut Suryanegara, lantaran penjajahnya Katolik Portugis, Sepanyol
serta Perancis, dan kerajaan Belanda dan Inggeris, ciri gerakan
nasionalisme Indonesia adalah anti kedua imperialisme tersebut, namun
tidak berarti anti agama Katolik dan Prostestan. Sikap toleransi bangsa
Indonesia terhadap perbedaan agama terbilang sangat tinggi, berbeda
dengan barat yang intoleransi dan eklusif dalam beragama.
Imperialis Protestan Belanda menganut paham fundamentalis, penganut
calvinisme atau protestanisme yang tidak suka bertoleransi dalam
menyikapi perbedaan agama. Hal ini tampak dengan dikeluarkannya ordonasi
agama yang diberlakukan baik di Nederland maupun Nusantara pada masa
colonial: agama-agama non protestan dilarang melakukan aktifitasnya.
Namun sejarah diputarbalikkan, barat menuduh Islam tidak mengajarkan
toleransi beragama. Bandingkan dengan timbulnya gerakan separatis
Protestan, RMS pimpinan Soumokil, bertolak dari perumusan pemikiran yang
didalangi Van Mook, dan diadakan pada pertemuan 19 April 1950.
Sedangkan pada 19 April 1529 adalah tanggal awal kelahiran Protestan
Jerman di bawah Martin Luther. Perhatikan pula Protestan Revolusioner,
19 April 1775, melahirkan Negara Amerika Serikat. Sikap kaum
Fundamentalis tidak mampu bertoleransi terhadap agama non Protestan.
Sirna Ilang Kertaning Bhumi
Perkara pemutarbalikkan sejarah memang satu dari sekian ketrampilan
Belanda ketika masih menjadi penjajah Nusantara. Serat yang meriwayatkan
serbuan pasukan Islam Demak atas Majapahit dalam candrasengkala sirna
ilang kertaning bumi (1400c atau 1478M) adalah karya yang Nederlando
sentries. Melalui interpretasi sejarah, colonial Belanda mencoba
membangun opini public bangsa Indonesia supaya berpendapat bahwa Islam
adalah agama asing dari Arab dan kedatangannya merugikan Nusantara,
menghancurkan Majapahit. Belanda memutarbalikkan sejarah, menulis
sejarah yang mengandung beberapa pemalsuan atau pemencengan untuk
memadamkan cahaya gemilang Islam, lantaran merasa terhalangi oleh
kedatangan Islam yang lebih dulu hadir di Nusantara. Sementara
sesungguhnya antara Islam dengan Siwa, Buddha, maupun Kejawen, Kesunden
atau agama asli Nusantara, terjalin toleransi apik. Maka untuk
memecah-mecah agama-agama di Nusantara, menghadapkan Islam dengan agama
awal Nusantara, Belanda memainkan politik adu domba, salah satunya
menulis sejarah palsu perihal runtuhnya Majapahit. Candresengkala Sirna
Ilang Kertaning Bumi ditafsirkan: ‘setelah Islam tiba di Nusantara,
sirna dan hilanglah masa kejayaan atau kertaning bumi Nusantara, bumi
Majapahit’.
Menurut A.M. Suryanegara, candrasengkala adalah kalender dalam bentuk
kalimat, arti sebenarnya, keruntuhan kerajaan Hindu Majapahit jatuh
pada 1400 Saka atau 1478M. Selisih antara tahun Saka dan masehi adalah
78 tahun. Semestinya, masih menurut Suryanegara, jika dasar pembacaannya
bertolak dari Indonesia Sentrisme, Candrasengkala tersebut menyatakan
kepada segenap bangsa Indonesia bahwa: setelah keruntuhan Kerajaan
Majapahit, akibat kedatangan penjajah Barat Katolik dan Protestan,
hilang dan sirnalah kejayaan Nusantara Indonesia.
Candrasengkala termasuk sengkalan lamba, angka tahun
yang dilambangkan dengan ukara yang setiap katanya mengandung nilai
bilangan tertentu, watak wilangan, bukan sembarang ukara. Contohnya
watak satu, barang yang bersifat satu, barang yang bersifat bundar,
seperti bumi, bulan surya, dan sebagainya. Watak nol, kata yang bermakna
‘tidak ada’,seperti sirna, hilang mengandung nilai nol. Candrasengkala
adalah sengkalan yang perhitungan tahunnya berdasarkan peredaran bulan
mengelilingi bumi, seperti tahun Islam dan tahun Jawa. Tapi ada
rambu-rambunya, bukan asal merangkai. Sengkala merupakan bentuk
pemikiran kritis manusia Jawa, bukti keluhuran budi wong Jawa.
Kalimatnya mengandung pralambang suatu peristiwa penting. Cara
membacanya terbalik, dibaca dari depan kebelakang tapi angka yang
terkandung dalam ukara dibaca dari belakang ke depan. Sirna Ilang
Kertaning Bumi. Sirna=0, Ilang=0, Kerta=4, Bumi=1, dibaca tahun 1400
saka atau 1478 Masehi, tahun keruntuhan Majapahit menurut Babad Tanah
Jawa Nederlando Sentris.
Candra sengkala Sirna Ilang Kertaning Bumi tidak ada hubunganya
dengan kedatangan penjajah Barat Katolik maupun Prostestan. Peristiwa
penting di Majapahit pada 1478 tidak ada urusannya dengan kedatangan
Portugis, apalagi Sepanyol, dan apalagi Belanda. Setelah 1478, nusantara
masih bercahaya. Islam semakin bercahaya dengan tampilnya
kadipaten-kadipaten Islam di sepanjang pesisir utara Jawa. Yang redup,
yang sirna ketentramannya adalah buminya Majapahit. Bahkan dua abad
setelah Belanda mendarat di pelabuhan Banten, Nusantara masih bercahaya,
belum sirna kejayaannya. Masih dicahayai berbagai perlawanan, Nusantara
tidak sirna sesirna-sirnanya selama 350 tahun sebagaimana penulisan
dalam buku sejarah.
Mengapa Suryanegara enggan menafsir ulang runtuhnya Majapahit,
menafsirkan peristiwa dalam tahun Sirna Ilang Kertaning Bumi? API
SEJARAH adalah buku yang akan mengubah drastis pandangan kita tentang
sejarah Indonesia, utamanya peran Islam, kaum Ulama dan santri.
Suryanegara, karena bertujuan meluruskan sejarah Islam Nusantara,
seharusnya menarasikan lebih panjang, utamanya hubungan Islam Demak
dengan peristiwa Majapahit di tahun 1478M. Jangan lantaran Demak tidak
di Jawabarat, enggan meluruskan sejarahnya, menerangkan peran besar
ulama dan santrinya
Memang pada halaman 120, menulis: Pada umumnya, keruntuhan Kerajaan
Hindu Majapahit sering didongengkan akibat serangan dari Kerajaan Islam
Demak, padahal realitas sejarahnya yang benar, Kerajaan Hindu Majapahit
runtuh akibat serangan Raja Girindrawardhana dari Kerajaan Hindu Kediri
pada 1478M, keduanya sama-sama Hindu. Serangan Hindu Kediri di bawah
Girindrawardhana itu merupakan serangan balasan terhadap serangan Wijaya
atau Raden Wijaya, terhadap Kerajaan Hindu Kediri pada saat dipimpin
oleh Raja Prabu Jayakatwang, 1292M. Serangan Wijaya terhadap Kerajaan
Hindu Kediri tersebut menggunakan tentara Kubilai Khan.
Tentu yang dimaksud Suryanegara adalah Girindrawardhana yang
tercantum dalam Babad Tanah Jawa gubahan Van van Rijckevorsel yang mana nama Girindrawardhana ini berasal dari prasasti 1486M:
“Mungguh
babade ratu-ratu kang wekasan iki ora terang, mulané ora disebutaké. Ana
ratu ing nagara Keling (salor wétané Kedhiri, sakidul kuloné Surabaya)
jejuluk Prabu Ranawijaya Girindrawardhana nggelar jajahan nelukaké
Jenggala, Kedhiri lan uga mbedhah Majapahit (tahun 1478). Bedhahè
Majapahit iku kuthané ora dirusak, awit ing tahun 1521 lan 1541 nagara
Majapahit isih kecrita kutha kang gedhé. Suwé-suwé kutha Majapahit dadi
rusak, awit wong-wongé kang ora seneng kaerèh ing kraton liya, padha
genti-genti ninggal negarané, nglèrèg marang tanah Bali. Saiki Majapahit
mung kari patilasan baé, awujud pager bata tilas mubeng lan tilas
gapura (Candhi Tikus, Bajang Ratu).”
Menurut saya, analisa dan uraian Suryanegara kurang mantap. Beliau
tidak memahami hubungan antara Girisawardhana dengan Raden Wijaya. Raja
yang berkuasa di Keling atau di keraton lain seperti Daha, Kahuripan,
Kertabhumi, bukan berarti tidak ada hubungan darah dengan Raja
Majapahit. Pada masa Majapahit, seluruh raja di keraton bawahan adalah
keluarga Girindra, Wijaya, keturunan Raden Wijaya. Alasan
Girindrawardhana menggempur Majapahit pada tahun 1478M, jelas bukan
bermaksud menuntut balas tindakah Raden Wijaya yang pada tahun 1293M,
membonceng Mongol, menggempur Daha, menggempur Jayakatwang.
Girindrawardhana, meski memang berkuasa di daerah Kediri, bukan
keturunan Jayakatwang. Lagian, di Majapahit ada dua tokoh yang
menyandang nama Girindrawardhana. Lalu Girindrawardhana yang mana yang
menggempur Majapahit pada tahun 1478M?
Penafsiran baru terkait sejarah keruntuhan Majapahit menjadi begitu
perlu, jika ingin menguak, benarkah Demak dalang atas keruntuhan
Majapahit, sebagaimana keyakinan selama ini? Semakin menjadi perlu
menguaknya karena Suryanegara dalam buku API Sejarahnya sedang berupaya
meluruskan sejarah Islam di Nusantara. Dan sejarah Islam di Nusantara
tidak dapat dilepaskan dari sepak terjang Demak.
Dalam kitab Pararaton menyebutkan empat nama putra Sang Sinagara
alias Rajasawardhana, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan,
dan sang pamungsu Bhre Kertabhumi. Sementara dalam Prasasti Surandakan
yang dikeluarkan Kertawijaya, ayah Sang Sinagara, tercantum nama Bhre
Matahun III Wijaya Parakrama Dyah Samarawijaya dan Bhre Keling III
Girindrawardhana Dyah Wijayakarana. Dua nama ini adalah putra pertama
dan kedua Sang Sinagara.
Sang Sinagara pernah menjadi Bhre Keling II, Bhre Pamotan I,
dan ketika ayahnya naik tahta, ia menjadi pangeran pati di Kahuripan,
menjadi Bhre Kahuripan VI, menggantikan Ratnapangkaja, suami Suhita.
Maka tak heran jika Sang Sinagara dikenal sebagai baginda Prabu, Baginda
Keling, Baginda Pamotan, dan Baginda Kahuripan. Setelah memanjat
tahta di tahun 1451M, Sang Sinagara bertahta di Trawulan, posisi Bhre
Kahuripan alias baginda yang berkuasa di keratin Kahuripan, dipegang
Samarawijaya. Wijayakarana menjadi Baginda di Mataram. Jadi Bhre
Kahuripan dan Bhre Mataram, yang dalam Pararaton disebut sebagai
putra-putra Sang Sinagara adalah adalah Samarawijaya dan Wijayakarana.
Lalu di mana dua putra Sang Sinagara lainnya? Di mana Bhre Pamotan
dan Bhre Kertabhumi? Dalam Prasasti Trailokyapuri [1486M], tertulis
tokoh bernama Singhawardhana Dyah Wijayakusuma dan Girindrawardhana Dyah
Ranawijaya. Dyah Wijayakusuma identik dengan putra ketiga Sang Sinagara yang setelah
ayahnya naik tahta menjadi Bhre Pamotan II. Sementara Dyah Ranawijaya identik dengan putra bungsu atau pamungsu Sang Sinagara yang dalam serat Pararaton ditulis sebagai Bhre Kertabhumi alias baginda yang berkuasa di
keraton Kertabhumi.
Terdapat dua
tokoh bergelar Girindrawardhana, yaitu Girindrawardhana Dyah Wijayakarana atau Bhre Mataram
dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya atau Bhre Kertabhumi.
Singawardhana
Dyah Wijayakusuma ikut dalam penyerbuan ke Trawulan, dipimpin kakak
sulungnya, Baginda Kahuripan Wijaya Parakrama Dyah Samarawijaya [kelak
gugur dan dikenal sebagai Sang Munggwing Jinggan].
Jadi yang menyerbu istana Majapahit di Trawulan pada tahun 1400 Saka/1478M bukan pasukan Jihad Islam Demak.
Siapa sang prabu yang mokta ring kadaton i saka 1400? Dialah adik
bungsu Sang Sinagara, Baginda Prabu Singawikramawardhana Dyah
Suraprabhawa. Suraprabhawa memanjat tahta pada tahun 1466M menggantikan
kakaknya Baginda Girisawardhana alias Baginda Wengker. Sang prabu ini
pernah menjadi Bhre Pandansalas III dan Bhre Tumapel IV.
Setelah merebut tahta dari sang paman, Girindrawardhana Dyah
Wijayakarana memindahkan ibukota Majapahit ke Keling atau ke daerah
Pare, bertahta sampai 1486M. Jadi wajar jika Girisawardhana dikenal
sebagai raja Kediri. Keling terletak di Kediri. Keling bekas keraton
bawahan Majapahit yang juga pernah ditempati Dyah Wijayakarana sebelum
menjadi Baginda Mataram.
Setelah Baginda Prabu Girindrawardhana Dyah Wijayakarana Batara I
Kling wafat, digantikan adiknya, Wijayakusuma. Beberapa
bulan kemudian, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhre
Kertabhumi memanjat tahta Majapahit sampai masa Sultan Trenggana di
Demak menaklukkan Majapahit di Daha tahun 1527M. Bhre Kertabhumi alias baginda yang berkuasa di keraton Kertabhumi
inilah yang dalam babad atau serat kuna dikenal sebagai Batara Wijaya
alias Brawijaya terakhir.
Babad tanah jawi menulis ada tujuh raja Majapahit bergelar Brawijaya. Ini memang benar. Di
Majapahit, ada tujuh tokoh lelaki yang menggunakan nama Wijaya, yaitu dyah Wijaya, dyah Kertawijaya, dyah Wijayakumara alias Sang Sinagara,
dyah Samarawijaya, dyah Wijayakarana, dyah Wijayakusuma, dan dyah Ranawijaya.
Babad tanah
jawi seperti versi Meinsma menerangkan, raja Brawijaya terakhir diserang dan ditaklukkan
putranya sendiri bernama raden Patah, adipati Demak yang menganut
Islam. Barangkali yang dimaksud adalah Brawijaya ke VII alias Baginda
Gieindrawardhana dyah Ranawijaya yang pernah menjadi baginda Kertabhumi.
Terdapat mitos sejarah sangat sohor yang menyesatkan. Mitos sejarah itu menyebutkan bahwa Majapahit runtuh tahun 1478M atau 1400 Saka, lantaran
pertikaian antara ayah dan anak, yaitu Brawijaya dan raden Patah.
Padahal, peristiwa perang besar di 1478M adalah perseteruan antara para putra Sang Sinagara melawan maharaja Singawikramawardhana dyah Suraprabhawa, paman mereka yang naik tahta secara tidak sah dengan menyingkirkan putra
mahkota resmi, Wijaya Parakrama dyah Samarawijaya.
Itu masa ahir Majapahit yang tidak tuntas dikuupas buku API SEJARAH.
Pangeran Sabrang Lor bukan Pangeran Sabrang Anatar
Saya kutip bab empat Babad Tanah Jawa gubahan van Rijckevorsel: “Ing
Tahun 1498 kelakon ana nakoda Portegis aran Vasco de Gama tekan ing
Kalikut kutha ing tanah Indhu. Wong Portegis nuli miwiti lelawanan
dedagangan lan wong Indhu, lan nenelukaké kutha pelabuhan kang ramé-ramé
ing tanah Indhu kono. d'Albuquerque kang wus katetepaké jumeneng Prabu
anom ing Asia nuli ngumpulaké prau perang kanggo merangi kutha-kutha
pelabuhan; Goa, Ormus lan Malaka genti-genti dikalahaké. Iya jamané
d'Alburquerque (tahun 1509 - 1515), iku mumbul-mumbule wong Portegis
nguwasani tanah-tanah pasisir ing Samodra Indhiya tekan Macao.
Bareng wong Portegis wis bisa manggon lan duwè panguwasa ana ing
Malaka, ing tahun 1513 nuli nakoda aran d'abreu, layar menyang Moloko.
Lakuné nganggo mampir-mampir, kayata: menyang Gresik. Ing wektu samono
Gresik wis dadi kutha padagangan gedhé, wong-wongé wis Islam. Wong
Portegis mau ana ing tanah Jawa Tengah lan Wétan sasat tansah dimungsuh
baé, mung ana ing Panarukan bisa mimitran lan wong bumi, jalaran wong
ing kono isih mardika, durung Islam lan durung kaerèh marang Demak.
Rèhné wong Portegis ana ing tanah Jawa Tengah lan Wétan tansah
ngrekasa banget, mulané banjur ana kang nyoba arep lelawanan dedagangan
lan Banten. Ing sakawit ana ing Banten ditampani becik, nanging nuli
wong Portegis lan wong Banten kerep cecongkrahan, jalaran padha déné ora
percayané. Wasana enggoné dedagangan wong Portegis kang dipeng ana ing
Moloko lan pulo Timur.
Nalika wong Portegis teka ana ing tanah Indhiya kang anggedhéni laku
dagang ing kepulowan Moloko bangsa Jawa, nanging bareng Malaka bedhah,
wong Jawa kadhesuk soko kono lan saka kapulowan Moloko, banjur karingkes
pasabané, kang anggedhéni genti wong Portegis, malah ing tahun 1522 ing
Ternate wis didegi bètèng, sarta wong Portegis wis prajangjian
lelawanan dedagangan ijèn-ijènan (monopolie) lan Sultan ing kono. Ing
tembéné kang dadi dhok-dhokané wong Portegis ing Ambon lan Bandha. Ana
ing pulo-pulo Moloko lan ing pulo-pulo Sundha Cilik sisih wétan wong
Portegis padha mencaraké agama Kristen.”
Barangkali Suryanegara lupa bahwa setelah portugis menguasai Malaka,
Pati Unus segera melajukan armada laut menyerbu Portugis, membebaskan
Malaka, meski gagal, bahkan di penyerbuan kedua, menantu Raden Fatah ini
gugur hingga kemudian dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor, karena
pernah menyeberang ke utara menggempur Portugis di Malaka. Sepak terjang
Pati Unus, yang kelak keturunannya bertumbuh-kembang di Jawa barat,
tidak dinarasikan Suryanegara.
Sekilas mengenai Pati Unus. Nama aslinya Raden Abdul Kadir. Setelah
menjadi menantu Raden Fatah, raden Abdul Kadir menjadi adipati Jepara.
Karena ayahnya bernama Raden Unus, maka raden Abdul Kadir dipanggil
sebagai Adipatu bin Yunus hingga kemudian lebih dikenal sebagai Pati
Unus.
Ketika pada tahun 1511M Portugis menerkam Malaka, Demak bersiaga
memperkencang hubungan dengan Banten dan Cirebon, menikahkan Pati Unus
dengan putri Sunan Gunung Jati. Pati Unus kemudian diangkat sebagai
panglima pasukan koalisi Demak, Banten dan Cirebon, bergelar Senapati
Sarjawala, dengan mengemban tugas utama merebut Malaka dari cengkeraman
Portugis.
Tahun 1512M Portugis menerkam samudra Pasai. Maka pada tahun 1513M,
Pati Unus melajukan pasukannya berusaha membobol benteng Portugis di
Malaka dan gagal lalu kembali ke Jawa. Setelah serbuan pertamanya gagal,
Pati Unus bekerjasama dengan Gowa, membangun armada laut, membikin
kapal tempur.
Tahun 1518, Pati Unus menjadi sultan Demak kedua menggantikan Raden
Fatah yang wafat. Tiga tahun kemudian atau pada 1521M, armada lautnya
selesai dibangun, 375 kapal siap melaju ke Malaka, mengangkut pasukan
jihad edisi kedua dan dalam ekspedisi ini, Pati Unus gugur sebagai
Syahid.
Betapa mengesankan sejarah perjuangan Pati Unus menuju Malaka. Tetapi
sayang sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali sayang, Suryanegara
tidak menarasikannya dalam buku API Sejarah. Demak, Pati Unus,
terlupakan. Padahal dari peristiwa itu, kelak muncul tokoh besar bernama
Faletehan alias Fatahilah yang lagi-lagi kelak menjadi panglima pasukan
gabungan menggantikan kedudukan Pati Unus. Fatahillah tokoh yang
berperan besar dalam pengusiran Portugis dari Jayakarta di tahun 1527M.
Fatahillah kelak menikahi putri Sunan Gunung Jati, janda Pati Unus.
Dan barangkali Suryanegara lupa bahwa ketika Pati Unus menuju Malaka,
ketiga putranya ikut serta. Putra pertama dan ketiga gugur sementara
putra keduanya, Raden Abdullah selamat dan berhasil kembali ke Jawa.
Kepulangannya itu bersama sebagian pasukan Malaka yang memutuskan hijrah
ke tanah Jawa. Orang-orang keturunan Malaka inilah yang kemudian
membantu perjuangan Raden Abdullah, mengislamkan tanah Pasundan, hingga
kemudian menamai sebuah tempat persinggahan mereka di Jawabarat dengan
nama Tasikmalaya yang berarti segaranya orang Malaya.
Raihna de Japara senhora paderosa erica dekranige dame
Demak mencapai puncaknya pada masa sultan Trenggana. Setelah
Trenggana gugur di Blambangan pada 1546M, perjuangan menjotos Portugis
diteruskan Jepara, Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat adalah putrid Sultan
Trenggana, bupati perempuan pertama Jepara. Bangsa Portugis miris
mendengar gaung kebesaran Ratu Kalinyamat yang kesohor sebagai hero
perempuan tanah Jawa. Nama aslinya Retno Kencana, menikah dengan Raden
Kalinyamat. Ada yang bilang Raden Kalinyamat adalah putra Sultan
Mughayat Syah, yang berkuasa di aceh pada 1514-1528M. Raden Kalinyamat
murid Sunan Kudus. Setelah menjadi menantu Sultan Trenggana, bergelar
Pangeran Hadiri, bersama Ratu Kalinyamat memerintah Jepara.
Setelah Sultan Trenggana wafat, Demak dipegang Sunan Prawata yang
tiga tahun kemudian wafat usia bertikai dengan Arya Penangsang. Dalam
masa ini sesungguhnya Demak berdarah-darah. Sunan Prawata gugur,
Pangeran Hadiri gugur, lalu Arya Penangsang Gugur, lalu tampil Jaka
Tingkir di Pajang dan perjuangan Demak kemudian diteruskan Ratu
Kalinyamat dari Jepara yang sudah dibawah kekuasaan Pajang.
Sebagaimana Pati Unus, Ratu Kalinyamat bertekad mengusir Portugis
dari Nusantara. Pada 1550M melajukan 40 kapal sarat prajurit tempur,
mengiyakan permohonan Johor, merebut Malaka. Setiba di sana, pasukan
gabungan ini berhasil menendang Portugis yang bertingkah kurangajar di
Malaka utara meski pada akhirnya armada Jepara mundur ke Jawa. Bukan
hanya Malaka yang dihantam Ratu Kalinyamat. Pada 1565M, armada Jepara
melaju ke Ambon, mencegat Portugis. Pada 1573, Ratu Kalinyamat kembali
melajukan 300 kapal tempurnya demi mengiyakan permohonan Aceh, menjotos
Portugis lagi.
Meski tiga upaya hebat Ratu Kalinyamat tidak juga memulangkan
Portugis ke negaranya, tetapi keharumannya, keberaniannya, menancap
dalam ingatan bangsa Portugis, menjadi mimpi buruk di malam buruk, dan
sebagaimana tercatat dalam sejarah, di sepenjuru Jawa, hanya pelabuhan
Sundalah yang sempat disinggahi Portugis.
Raihna de Japara senhora paderosa Erica dekranige Dame. Ratu Jepara,
perempuan kaya dan berkuasa, perempuan pemberani. Demikianlah bangsa
Portugis menjuluki Ratu Kalinyamat yang wafat di tahun 1579M.
Mengapa API SEJARAH melupakannya? Umpama tidak ada Pati Unus, Sultan
Trenggana, ratu Kalinyamat, barangkali, Portugislah yang lebih dulu
merajalela di seantero Jawa, bukannya Belanda. Hanya saja kita
beruntung, kata ‘seantero’ berasal dari bahasa Portugis. Sekali lagi,
mengapa Suryanegara melewatkan sejarah Ratu Kalinyamat?
Tokoh lain yang terlupakan API SEJARAH
API SEJARAH juga mengabaikan peran sultan Harun dari Ternate, tokoh
hebat di nusantara bagian timur di abad 16 itu yang gugur tahun 1570.
Mengapa dilewatkan juga? Yang mengherankan lagi, perjuangan Sultan
Agung, raja terbesar tanah Mataram, tidak diungkap dalam buku API
Sejarah. Apa lantaran Sultan Agung masih keturunan Majapahit? Apakah
karena dalam peristiwa penyerbuan ke Batavia itu terdapat kesalahan
Adipati Ukur, tokoh hebat dari Sunda itu?
API SEJARAH juga ikut-ikutan menganggap Trunajaya sebagai tokoh
pemberontak, bukannya tokoh pendobrak. Apa lantaran Trunajaya masih
keturunan Majapahit? Mengapa perjuangan tokoh Madura itu dibilang
‘pemberontakan’ bukannya ‘perlawanan’? Yang menganggap Trunajaya
pemberontak itu kan Belanda atau Amangkurat II yang probelanda.
Sementara rakyat Jawa Timur, Madura menganggap Trunajaya adalah pahlawan
rakyat.
Cuma memang di bab 4, ketika menguraikan sepak terjang kaum Ulama dan
Santri di masa kebangkitan kesadaran nasional, API SEJARAH cukup
mantap.
KALINGGA
Ketika membuka halaman 147, tentang perkembangan kekuasaan
politik Islam di Nusantara, tentang di mana, Islam pertama kali
berkembangbiak, Suryanegara terlalu memaksakan bahwa di Jawa Baratlah
pertama kali Islam tampil pada abad ke 7. Entah mengapa Jawa Tengah dan
Jawa Timur dilewati begitu saja. Dalam halaman ini, secara lengkap
Suryanegara menulis:
Di bawah peta kekuasaan politik dunia yang sedang dipimpin Islam,
tidaklah heran jika di Nusantara Indonesia bangkit pula kekuasaan
politik Islam atau kesultanan. Untuk Sumatera diawali dari wilayah Aceh,
kemudian menyusul di Jawa Barat, muncul pula di wilayah Sulawesi dan
kepulauan Maluku. Pera pengaruh Islam yang bermula dari Indonesia Barat
atau di pulau Jawa, Propinsi Jawa Barat, sebagai dampak Islam dating
dari Asia Barat atau Timur Tengah.
Untuk Jawa Barat sebagai tempat rendezvous atau tempat pertemuan
wirausahawan di Nusantara Indonesia, dari Cina dan India, serta Timur
Tengah menjadi sebab lebih cepatnya penyebaran ajaran Islam daripada di
Jawa Tengah dan Jawa Timur! Proses percepatan pengembangan Islam,
setelah mayoritas rakyat masuh Islam, diikuti pula oleh kalangan
bangsawan dan raja beralih agama memeluk Islam.
Perihal Jawabarat, Suryanegara memberi catatan kaki: Timbulnya
kekuasaan politik Islam di Jawabarat, besar kemungkinan terjadi pada
masa Kalingga pada 674M atau abad ke 7M menurut berita Cina Dinasti
Tang. Namun, karena pengertian Kalingga di Jawa, terkesan di Jawatengah.
Prof. Buya Hamka menyatakan akibat Ratu Shima dari Kalingga
memberlakukan hukum potong kaki atau tangan yang sama dengan hukum
Islam, maka dinilai Kalingga adalah kekuasaan politik Islam. Tidak
mungkin Kalingga di Jawatengah letaknya, karena di Jawa Tengah baru ada
Kerajaan Mataram I di bawah Raja Sanjaya pada 732M atau abad ke 8M!
Di paragraf pertama, di mana Jawa Tengah dan Jawa Timur itu? Mengapa
dilewati Suryanegara? Di paragraf kedua, benarkah Kalingga yang Islam
terletak di Jawabarat?
Menurut naskah Wangsakerta, kerajaan Sunda merupakan kelanjutan dari
Tarumanegara, berdiri pada tahun 591 Saka atau 667M dengan raja
pertamanya Tarusbawa. Menurut catatan Bujangga Manik —pujangga sunda
yang pada abad 16 melakukan jiarah ke beberapa tempat suci di Jawa Timur
seperti Kawi, Palah, Pacira atau Junjung Tulungagung, pertapan Kaliaca
di Kamulan Trenggalek hingga daerah Wilis— menyebut cipamali atau sungai
Brebes dan ciserayu alias sungai Serayu sebagai batas sunda bagian
timur. Naskah Wangsakerta menyebut daerah Lampung termasuk wilayah
kekuasaan Sunda. Pengembara Portugis Tom Pires yang mengadakan
perjalananan di 1513-1515M, mencatat pula bahwa ada yang bilang bahwa
kerajaan Sunda meliputi separo pulo Jawa sementara yang lainnya bilang
bahwa kerajaan sunda meliputi sepertiga pulo Jawa ditambah
seperdelapannya lagi, ujungnya adalah Cipamanuk.
Menjadi maklum mengapa kelak Portugis mengadakan hubungan dengan
Sunda, pada 1522M mengadakan perjanjian dagang, dimana dalam perjanjian
tersebut, Portugis boleh membangun gudang dan benteng di pelabuhan
Sunda. Sebagai imbalan, Portugis menyokong peralatan militer kepada
Sunda yang pada waktu itu sedang sibuk menahan laju Demak dan Cirebon.
Saya juga maklum mengapa pada saat bersamaan Majapahit Daha menghubungi
Portugis pula. Itu semua berkat kerta bagus teliksandi Portugis bernama
Tom Pires. Perjalanan Tom Pires dalam rangka mengumpulkan keterangan dan
segala apa terkait tanah Jawa yang kemudian diserahkan kepada Portugis
yang sejak 1511M menguasai Malaka.
Sebelum menjadi kerajaan mandiri, Sunda merupakan bawahan
Tarumanegara. Raja Tarumanegara terakhir bernama Sri Maharaja
Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirtabhumi, memerintah selama
tiga tahun, 666-669M, menikah dengan Ganggasari dari kerajaan
Inderaprastha. Dari Ganggasari menurunkan Dewi Manasih dan Dewi
Sobakencana. Dewi Manasih menikah dengan Tarusbawa, Sobakencana menikah
dengan Dapunya Hyang –yang kelak menjayakan Sriwijaya di Palembang.
Setelah Linggawarman wafat, Tarusbawa memanjat tahta menjadi raja
Sunda pertama pada tanggal 9 suklapasa bulan yitsa tahun 529 saka atau
18 Mei 669M. Ini yang kemudian membikin penguasa Galuh Wretikandayun
berontak, melepaskan diri dari Tarumanegara, memandirikan kerajaan
galuh.
Pada waktu Tarumanegara pecah menjadi Sunda dan Galuh, Ratu Shima
sudah berkuasa di Kalingga. Ratu Shima pula yang berperan besar mencegah
perang saudara antara Tarusbawa dan Wretikandayun. Pada waktu itu Ratu
Shima berbesanan dengan Galuh. Telah diuraikan, putri Ratu Shima bernama
Purwati menikah dengan Mandiminyak, putra Wretikandayun. Tarusbawa
terpaksa mengiyakan keinginan Wretikandayun lantaran Galuh dalam posisi
kuat,setelah campur tangan Kalingga. Pada tahun 670M Tarumanegara secara
resmi pecah dua. Sunda di barat sungai Citarum, Galuh di timur Citarum.
Setelah tahun 670M, Jawabarat banyak perang. Sunda dan Galuh berebut hegemoni, sama-sama merasa sebagai penerus
Tarumanegara. Dalam saat bersamaan,
Kalingga tampil mengemuka sebagai satu kerajaan besar di jawa tengah. Tak heran jika pada tahun 674M, rombongan utusan dari Damaskus
yang berkunjung ke Jawa. Tapi buku API SEJARAH menyampaikan bahwa utusan itu mengunjungi Jawa Barat.
Sejarah keberadaan Kalingga banyak termuat dalam catatan sejarah
Tiongkok. Dalam catatan Tiongkok menerangkan bahwa Kalingga dipimpin
Ratu Shima yang memiliki peraturan seperti hukum Islam dan Buya Hamka
menyanggah jika Kalingga pada masa Ratu Shima menganut Siwa. Buya
menyimpulkan bahwa Ratu Shima menganut Islam.
Putra Ratu Shima bernama Purwati menikah dengan Mandiminyak, putra
mahkota Galuh yang kelak menjadi raja Galuh kedua menggantikan
Wretikandayun. Purwati dan Mandiminyak menurunkan Bratasenawa yang kelak
menjadi raja Galuh ketiga. Ratu Shima juga memiliki putra mahkota yang
gagal memanjat tahta lantaran dihukum potong oleh sang Ratu. Putra
mahkota ini memiliki putri bernama Sanaha yang kemudian menikah dengan
Bratasenawa. Dari Sanaha dan Bratasenawa inilah lahir Jamri yang kelak
dikenal sebagai Sanjaya. Jadi Sanjaya adalah putra mahkota Galuh sekaligus anak buyut Ratu Shima.
Rakian Sunda Sambawa, putra tertua Tarusbawa yang meninggal sebelum
memanjat tahta, memiliki seorang putri bernama Sekarkencana. Putu
Tarusbawa ini kelak menikah dengan Rakian Jamri alias Sanjaya dan kelak
dari pernikahan ini melahirkan Tamperan. Ketika Tarusbawa wafat 723M,
Sanjaya memanjat tahta Sunda. Dalam tahun itu pula Sanjaya berhasil
merebut Galuh dari kekuasaan Purbasora. Sanjaya berkepentingan merebut
Galuh lantaran kerajaan ini sebelumnya dikuasai Bratasenawa, ayah
Sanjaya, dan Purbasoralah yang mengkudeta Bratasenawa. Dengan terebutnya
Galuh, maka Sanjaya berkuasa atas sepenjuru jawabarat, berkuasa atas
Sunda dan Galuh.
Sekali lagi Sanjaya anak buyut Ratu Sima di Kalingga. Setelah Ratu
Sima wafat, Sanjayalah yang menjadi penerima waris, berhak atas
Kalingga. Maka pada tahun 732M, sanjaya mengambil keputusan meninggalkan
Jawabarat, menjadi raja di Kalingga. Sunda-galuh diserahkan kepada
Tamperan —kelak ia berkuasa di Sunda Galuh selama tujuh tahun 732-739M
sebelum akhirnya membagi kerajaannya, Galuh kepada Manarah alias Siung
Wanara dan Sunda kepada Bangah. Kelak Sunda Galuh kembali berkumpul dan
di masa pemerintahan Raja Guru Dharmasiksa Sang Hyang Wisnu, raja
Sunda-Galuh ke 25 yang memerintah selama 122 tahun, 1175-1297M, Sunda
Galuh kembali beribukota di Pakuan Pajajaran, ibukota kuna pada masa
Tarusbawa. Kelak raja ke 31 yaitu maharaja Linggabuwanawisesa gugur di
lapangan Bubat.
Setelah menempati Kalingga, Sanjaya mengubah nama kerajaannya menjadi
Medang i Bhumi Mataram, memerintah pada 732-754M. Sanjaya berkuasa di
Kalingga utara. Kalingga selatan bernama Bhumi Sambara ditempati Raja
Dewashinga. Sanjaya menikahi putri Raja Dewashinga bernama Sudiwara yang
kelak menurunkan Rakai Panangkaran.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku API SEJARAH terlalu berani
menyimpulkan bahwa Kalingga tidak mungkin di Jawatengah, melainkan di
Jawabarat, karena di Jawatengah baru ada kerajaan Mataram I dibawah raja
Sanjaya pada tahun 732M.
Bukankah pada tahun 670M, secara resmi di Jawabarat berkembang
kerajaan Sunda dan Galuh, berkuasa Tarusbawa dan Wretikandayun dan
sanjaya baru menjadi raja Sunda pada tahun 723M menggantikan Tarusbawa,
dan pindah ke Kalingga pada tahun 732M? Bukankah pada kurun antara 670
sampai 723M, di Jawabarat yang tampil adalah tarusbawa, Wretikandayun
lalu Bratasenawa dan Purbasora? Bukankah dalam saat bersamaan, Kalingga
bersama Ratu Shima tumbuh di timur tlatah Sunda Galuh?
-----------------
SIWI SANG
No comments:
Post a Comment