Sejarah, Sastra, dan Jurnalis Warga

  • Tuesday, March 5, 2013

    Cara menulis sejarah secara keliru



    “Bahwa semua berita, sesuai dengan sifatnya, dapat tertimpa kesalahan, bahkan berita itu sendiri malah mengandung faktorfaktor penyebab kesalahan. Faktor pertama ialah sikap memihak kepada suatu kepercayaan atau pendapat. Apabila pikiran dalam keadaan netral, setiap orang biasanya ketika menerima suatu keterangan akan menyelidiki dan menimbangnimbang terlebih dahulu sampai ia dapat menyerpih kebenaran dan ketidakbenaran. Tetapi, bilamana pikiran seseorang itu berat sebelah kepada salah satu pendapat atau kepercayaan, maka ia akan berpihak pada keteranganketerangan yang menguntungkan pendapat atau kepercayaannya. Oleh karena itu, sikap memihak akan menutup kejernihan pikiran, mencegah penyelidikan dan pertimbangan dan cenderung melakukan kesalahan,” kata Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya. 



    Jadi, kesalahan pertama dalam penulisan sejarah menurut Ibn Khaldun adalah kecenderungan orang untuk menerima begitu saja berita yang sesuai dengan pendapat atau kepercayaannya, tanpa penyelidikan terlebih dahulu. Atau dengan terminologi ilmu jiwa, dikatakan bahwa sebab kesalahan dalam hal ini merupakan factor psikologis murni. Karena segala penilaian orang tersebut telah terpengaruh oleh berbagai pendapat yang sebelumnya merasuki pikirannya, yakni beragam pendapat yang bertumbuhkembang dalam masyarakat, pahampaham yang mengarahkan pemikiran orang perorang sehingga memengaruhi penilaian mereka.

    “Kepercayaan berlebihan kepada para penutur, padahal penuturan apapun seharusnya dapat diterima apabila telah dilakukan ta’dil dan tajrih,” kata tokoh yang memiliki nama lengkap ‘Abd al-Rahman Abu Zaid Waliuddin Ibn Khaldun ini, menyebut kesalahan kedua dalam penulisan sejarah.

    Jadi, kesalahan kedua seorang sejarawan akibat kepercayaannya yang berlebihan kepada penutur. Padahal, adakalanya penutur tersebut seorang pendusta atau yang suka merekareka. Akibatnya, apabila seorang sejarawan mengutip berita orang tersebut, sama saja ia mengutip berita dusta. Karena itu, seorang sejarawan harus meneliti dan menyelidiki kebenaran berita sejarah dengan kritis dan melalui penelitian mendalam, yakni dengan metoda yang oleh para ahli tafsir dan hadits Nabi disebut dengan ta’dil dan tajrih.

    Metoda ta’dil dan tajrih adalah suatu metoda yang disusun oleh para penutur Sunnah Nabi. Metoda ini berupa suatu penelitian cermat yang dilakukan untuk mengetahui kejujuran dan kebenaran si penutur hadits. Segala informasi yang dihasilkan dalam penelitian kemudian dihimpun, dan setiap kali diperlukan untuk menguji kebenaran suatu hadits, ia kembali digunakan atau disalingsilang rujukkan. Karena itu, kumpulan informasi ini akan membentuk ensiklopediensiklopedi yang menjadi rujukan setiap ilmuwan. Dari kesemuanya itu kemudian diiktihsarkan sejumlah prinsip sebagai pembantu dalam menilai setiap hadits. Prinsip inilah yang membentuk suatu cabang ilmu yang disebut Musthalah Hadits.

    Pertanyaannya, kapankah seseorang menerapkan metoda tersebut? Apakah metoda ta’dil dan tajrih merupakan langkah pertama dalam meneliti berita? Menurut Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah, menyebutkan bahwa ta’dil dan tajrih adalah langkah kedua. Langkah pertama adalah menilai apakah ini berita itu sendiri merupakan hal yang mungkin atau mustahil. Dan penelitian tentang keadilan dan kejujuran para penutur tidak dilakukan kecuali setelah diketahui bahwa isi berita itu sendiri merupakan hal yang mungkin terjadi atau tidak. Bilamana mustahil terjadi, maka tidak ada gunanya dilakukan ta’dil dan tajrih.

    “Kesalahan ketiga adalah ketidaksanggupan memahami apa yang sebenarnya dimaksud. Banyak para pencatat sejarah yang jatuh dalam kesalahan karena mereka tidak dapat memahami maksud sebenarnya dari apa yang dilihat dan didengarnya. Dan juga karena mereka menghubungkan berita itu menurut apa yang dipikirkan dan dipersangkakannya, sehingga mereka terjatuh dalam kekeliruan.”

    Jadi, kadangkadang si pencatat sejarah benar dalam mencatat suatu berita, namun keliru dalam memahaminya. Atau dengan kata lain, ia menuliskan berita tersebut telah berdasar persepsinya, yang berbeda dengan hakikatnya, padahal persepsinya itu keliru.

    Kesalahan keempat yaitu kepercayaan yang salah kepada ‘kebenaran’. Pada umumnya hal ini sering terjadi dalam bentuk terlalu memutlakkan ‘kebenaran’ yang disodorkan penutur berita. DEngan kata lain, seorang sejarawan menuturkan berita yang keliru dengan keyakinan bahwa berita itu telah merupakan ‘kebenaran’, sehingga tidak perlu diotakatik lagi. Sebab keempat ini dapat kita rujukkan pula pada sebab yang kedua.

    Kesalahan kelima adalah ketidaksanggupan menempatkan dengan tepat suatu kejadian dalam hubungan peristiwaperistiwa sebenarnya, karena kabur dan rumitnya keadaan. Si pencatat merasa puas menguraikan peristiwa seperti yang dilihatnya saja, akibatnya akan memutarbalikkan peristiwa itu. 

    Dengan kata lain, sebagian orang yang tidak bertanggungjawab, berupaya memerdayakan orang banyak dengan menciptakan beberapa peristiwa dan hal yang tidak benar [move]. Dalam hal ini apabila sejarawan tidak menyadari pemutarbalikkan beritaberita itu, maka dengan tidak sengaja ia telah menuturkan beritaberita yang tidak benar dalam penuturannya.

    Kekeliruan keenam adalah keinginan yang umum untuk mengambil hati orangorang yang berkedudukan tinggi, dengan jalan memujimuji, menyiarkan kemashuran, membujukbujuk, menganggap baik setiap perbuatan mereka dan member tafsiran yang selalu menguntungkan semua tindakan mereka. Hasil kesemuanya ini adalah terciptanya gambaran yang keliru tentang peristiwaperistiwa sejarah. Semua orang memang senang dipuji, dan manusia pada umumnya mencari kesenangan di dunia ini dan mencari segala jalan untuk mencapai kesenangan itu, seperti kehormatan dan kekayaan. Dan pada umumnya mereka tidak mencari perbuatan yang baik atau berupaya mendapatkan kebaikan dari orangorang yang baik. 

    Ini berarti apabila sejarawan berupaya mendekatkan diri kepada para pemegang kekuasaan dan jabatan tinggi, demi memeroleh kenikmatan duniawi, maka akan mendorong menyebarnya beritaberita bohong tentang para penguasa dan pembesar demi menyenangkan pihak penguasa atau pembesar yang didekatinya itu.

    Menurut Ibn Khaldun, sebab ketujuh adalah sebab yang paling penting yaitu tidak mengetahui hukumhukum watak dan mobahmosiknya masyarakat. Padahal, segala sesuatu, baik benda maupun perbuatan, tunduk kepada hokum watak dan hokum perubahan. Seandainya si pendengar memahami watak peristiwa dan perubahan yang terjadi, serta kondisinya, maka pengetahuan seperti ini akan membantunya melebihi apapun, dalam menguraikan setiap peristiwa yang dicatatnya dan untuk memilah kebenaran dari kebohongan yang terkandung dalam catatan itu.

    “Seringkali para sejarawan, ahli tafsir, dan tokoh penutur terjatuh dalam kesalahan pada pemahaman berita dan peristiwa. Mereka hanya mendasarkan diri pada penukilan semata, terlepas beritanya salah atau benar. Mereka tidak mengembalikannya kepada asalusul. Mereka juga tidak menganalogikannya dengan peristiwaperistiwa serupa. Selain itu mereka juga tidak mengujinya dengan ukuran hikmahnya, dan berhenti pada watakwatak yang ada dan memperkuat penelitian dan pengkajian terhadap beritaberita itu saja, sehingga mereka menyimpang dari kebenaran. Lebih jauh lagi, mereka memberikan kesempatan seluasluasnya kepada daya hayal mereka, mengikuti bisikan sifat berlebihan dan melintasi batasanbatasan pengalaman biasa bilamana membincangkan soal tentara dan kekayaan dari negerinegeri pada zaman mereka, atau negerinegeri pada masalalu yang dekat.” Tulis Ibn Khaldun dalam pendahuluan al-Muqaddimah.


    Sumber: FILSAFAT SEJARAH IBN KHALDUN- Dr. Zainab al-Khudhairi- 1979 

    No comments:

    Post a Comment